Universitas Sumatera Utara
2.5.4. Parameter Orbita
Beberapa penelitian menemukan korelasi linear yang positif antar nilai protrusi bola mata dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil.
21,22,32
Hal ini diduga akibat lebih landainya rongga orbita pada jarak rima orbita lateral yang lebih besar. Meskipun nilai protrusi bola mata
dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil memiliki korelasi yang positif, keadaan tersebut bukan sesuatu proses sebab akibat, namun merupakan hal yang terjadi bersamaan.
21
2.5.5. Ras dan Etnis
Penelitian di berbagai negara telah dilakukan dalam upaya pencarian nilai normal protrusi bola mata. Kashkauli dkk
21
meneliti nilai proetrusi bola mata di Iran dan menemukan rerata nilai protrusi bola mata sebesar 14,2±1,8 mm pada kelompok anak-anak. Quant dkk
22
mendapat nilai protrusi bola mata pada anak di Hongkong sebesar 15-17mm. Fledelius dkk
9
meneliti nilai protrusi bola mata pada ras Kaukasia pada tahun 1986. Mereka mendapatkan nilai protrusi bola
mata pada kelompok usia 5-10 tahun sebesar 13,6±1,75 mm untuk perempuan dan 13,7±1,4 mm untuk laki-laki. Sodhi dkk
15
meneliti nilai protrusi bola mata pada populasi India, mereka menemukan rerata nilai normal protrusi bola mata kelompok usia 3-10 tahun pada jenis kelamin
laki-laki adalah 13,02 mm mata kanan dan 13,09 mm mata kiri, sedangkan pada jenis kelamin perempuan adalah 13,06 mm mata kanan dan 13,03 mm mata kiri.
Berdasarkan berbagai ;penelitian yang telah dilakukan, tampak variasi nilai normal protrusi bola mata menurut ras atau etnis dilokasi geografis tertentu. Nilai normal protrusi bola
mata yang sesuai dengan ras atau etnis setempat dibutuhkan sebagai evaluasi adanya kelainan di orbita juga untuk menilai keberhasilan pengobatan kelainan di orbita.
2.5.6. Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata
Status refraksi menyatakan status bayangan yang terbentuk pada posisi tertentu dari retina. Status refraksi terdiri dari emetropia dan ametropia. Emetropia adalah status refraksi dimana
cahaya sejajar dengan datang dari objek jauh tak terhingga sampai tepat di retina pada mata yang tidak berakomodasi. Ametropia adalah keadaan selain emetropia. Ametropia dibagi menjadi
aksial dan refraktif. Pada ametropia aksial, bola mata cenderung lebih panjang pada myopia, dan lebih pendek hipermetropia. Pada ametropia refraktif, panjang sumbu bola mata umumnya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
normal, namun kekuatan refraksi bola mata yang asbnormal. Pada myopia refraktif kekuatan refraksi tinggi sedangkan pada hipermetropia kekuatan refraksi rendah.
Faktor biometri yang mempengaruhi status refraksi yaitu kurvatura kornea, kedalaman bilik mata depan, ketebalan lensa, panjang vitreus, dan panjang sumbu bola mata.
35
Faktor genetik memiliki korelasi yang signifikan terhadap kejadian myopia. Faktor lingkungan seperti aktifitas
lihat dekat, status antropometri, tingkat pendidikan diduga memiliki hubungan dengan kejadian myopia. Saw dkk
36
pada penelitian terlihat bahwa tinggi badan berhubungan dengan refraksi yang lebih negativemyopia. Berat badan yang lebih besar dan anak yang lebih obesitas
cenderung memiliki refraksi kearah hiperopia. Penemuan tersebut bervariasi berdasarkan jenis kelamin. Nora dkk
35
menemukan bahwa obesitas juga memperlihatkan hubungan dengan kejadian myopia walaupun kekuatan hubungan lemah. Penelitian ini tidak mendapatkan
hubungan tinggi badan terhadap kejadian myopia.
36
Quant dkk
22
pada penelitiannya memasukkan subjek dengan semua status refraksi dan menemukan bahwa status refraksi memiliki korelasi negatif lemah dengan nilai protrusi bola
mata. Hal ini diduga karena sedikitnya jumlah subjek dengan myopia tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa panjang bola mata dan status refraksi memiliki korelasi yang kuat pada
subjek anak-anak di Hongkong. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai protrusi bola mata pada myopia tinggi. Sehingga dalam menilai protrusi bola mata, perlu mempertimbangkan status
refraksi juga. Chan dkk
4
pada tahun 2009 melakukan penelitian yang merupakan studi berbasis populasi pertama yang menilai hubungan protrusi bola mata dengan biometri. Penilaian biometri dan
status refraksi yang dilakukan oleh Chan dkk dapat menganalisa peran panjang sumbu bola mata terhadap pseudoproptosis. Mereka menemukan bahwa meskipun terdapat korelasi positif antara
derajat miopia dengan panjang bola mata, namun spherical equivalent tidak berhubungan dengan protrusi bola mata. Pada analisis regresi mereka menemukan bahwa panjang sumbu bola mata
merupakan faktor prediktor bebas terhadap nilai protrusi bola mata, sedangkan status refraksi tidak mempengaruhi nilai protrusi bola mata secara signifikan.
4
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2.6. Pengobatan Tumor Orbita