9
I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang No 22 Tahun 1999 sebagai titik aw al pelaksanaan
otonomi daerah mengamanatkan kepada pemerintah pusat untuk menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk
mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat dan dapat mengambil keputusan terkait kepentingan daerah serta
mngembangkan segala potensi yang ada untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.
Semangat reformasi otonomi daerah tersebut perlu diterjemahkan pada berbagai aspek pembangunan antara lain adalah pembangunan di bidang
pertanian. Sektor pertanian merupakan pengerak utama pembangunan di wilayah Provinsi Bengkulu. Share Produk Domestik Regional Bruto sektor
pertanian atas dasar harga berlaku dalam 10 tahun terakhir mencapai 33 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11,39 per tahun. Hasil Survei Angkatan
Kerja Nasional Sakernas bulan Agustus 2011 menyatakan bahwa mayoritas penduduk Bengkulu berusia 15 tahun keatas bekerja di sektor pertanian 52.24
BPS 2011. Pengelolaan sumberdaya lahan dalam konteks pembangunan kedepan
menjadi lebih penting karena berbagai tantangan yang dihadapi semakin komplek seperti 1 tekanan lahan oleh pertambahan penduduk 2 konservasi
lahan dan alih fungsi lahan, 3 degradasi lahan dan kerusakan lahan 4 kerusakan lingkungan serta bencana alam yang terus meningkat. Permasalahan
pengelolaan sumberdaya lahan yang banyak terjadi pada daerah otonomi baru adalah belum tersedianya keterbatasan data informasi sumberdaya lahan pada
skala operasional. Pengembangan komoditas pertanian unggulan harus didukung oleh
kesesuaian agroekologi. Untuk itu, Badan Litbang Pertanian merencanakan untuk
10
menyusun informasi sumberdaya lahan berupa Peta AEZ skala 1: 250.000 dalam one map policy untuk seluruh provinsi se I ndonesai. Sedangkan untuk skala
operasional 1: 50.000 direncanakan akan selesai pada tahun 2015. Data dan informasi sumberdaya lahan telah tersedia pada berbagai tingkat
kedetilan dan tingkat skala peta. Salah satu kegiatan pengumpulan data dan informasi sumberdaya lahan telah dilakukan, yaitu Penyusunan peta Zona Agro
Ekologi ZAE skala 1: 250.000. Penyusunan peta ini telah dilaksanakan oleh BPTP di seluruh I ndonesia melalui jaringan litkaji sejak tahun 1996. Penyusunan
peta ZAE Provinsi Bengkulu dilaksanakan pada tahun 2001, terdiri dari Peta ZAE Kabupaten Bengkulu Utara Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan
Kabupaten Rejang Lebong Winardi, et al. 2001.
Peta tersebut sangat bermanfaat sebagai acuan dasar pada tingkat perencanaan regional atau nasional, sedangkan untuk pemanfaatannya pada
skala operasional perlu ditindaklanjuti dengan skala yang lebih besar yaitu 1 : 50.000. Pada skala detil tersebut, penilaian kesesuaian lahan digunakan sebagai
dasar untuk menyusun peta pewilayahan komoditas pada berbagai zone agro- ekologi akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pemanfaatan peta
ZAE secara operasional. Penyusunan peta pewilayahan komoditas mempertimbangkan sifat dan
karakteristik tanah sebagai prasyarat utama. Faktor-faktor tanah dan fisik lingkungan yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan adalah tanah
media perakaran, retensi hara, toksisitas, iklim suhu udara, elevasi, curah hujan terrain lereng, singkapan batuan, batuan dipermukaan, bahaya banjir
dan bahaya erosi. Pengembangan komoditas pertanian yang sesuai secara biofisik dan menguntungkan secara ekonomi, sangat penting dalam perencanaan
pengkajian teknologi untuk pengembangan komoditas unggulan dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
kelembagaan sehingga pengembangan komoditas tersebut berkelanjutan Sudaryanto dan Syafa’at, 2000. Artinya, bahwa informasi dan data AEZ
merupakan informasi dan data dasar penting bagi perencanaan pengembangan sistem usaha pertanian komoditas unggulan spesifik lokasi.
1.2. Dasar Pertimbangan