11
Peta pewilayahan memuat data dan informasi
berbagai komoditas pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif pada
berbagai zona agroekologi. Pada skala 1 : 50.000 data dan informasi yang disajikan akan mempunyai akurasi yang tinggi dan bersifat operasional pada
tingkat kabupaten. Oleh karena itu, hasil penilaian kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas unggulan pada berbagai zone agroekologi dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian dan komoditas unggulan sesuai dengan peruntukannya.
Provinsi Bengkulu memiliki luas wilayah ± 19.919,33 Km² , terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota, 124 kecamatan dengan jumlah penduduk sekitar
1.766.794 jiwa, mempunyai keadaan biofisik dan kondisi sosial ekonomi dan
budaya yang beranekaragam. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya yang ada, tertama sektor pertanian memerlukan pendekatan yang spesifik lokasi.
Sistem usahatani dan teknologi spesifik lokasi akan bersifat lebih efisien, berkelanjutan, dan mempunyai keunggulan komparatif apabila disesuaikan
dengan daya dukung lahan, tenaga kerja yang tersedia, modal dan kemampuan manajemen petani. Agar sistem usahatani dan teknologi spesifik lokasi tersebut
dapat diterapkan dan memberikan hasil yang lebih efisien, terarah dan benar- benar sesuai dengan kondisi Provinsi Bengkulu maka diperlukan pewilayahan
komoditas berdasarkan zona agroekologi. Penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian Provinsi Bengkulu telah
dilakukan pada beberapa kecamatan, yaitu: Kecamatan Arga Makmur dan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara, Kecamatan Curup, Bermani Ulu dan
Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong serta Kecamatan Manna dan Seginim Kabupaten Bengkulu Selatan. Selanjutnya tahun 2013 telah disusun peta
satuan lahan dan pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Bengkulu Tengah. Peta tersebut penting untuk mendukung pelaksanaan penelitian dan pengkajian
serta dan diseminasi sesuai dengan tupoksi BPTP Bengkulu. Untuk itu diharapkan kegiatan pemetaan AEZ skala 1: 50.000 dapat dilanjutkan sebagai dasar
perencanaan pengembangan komoditas dan penyusunan kebijakan daerah.
1.3. Tujuan
1. Mengidentifikasi
dan mengkarakterisasi
sumberdaya lahan
di Kabupaten Mukomuko.
12
2. Menyusun peta satuan
lahan dan peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi skala 1 : 50.000 di Kabupaten
Mukomuko.
1.4. Luaran
1. Peta satuan lahan berupa karakteristik dan potensi sumberdaya lahan Kabupaten Mukomuko.
2. Peta pewilayahan komoditas pertanian Kabupaten Mukomuko skala 1: 50.000 berdasarkan AEZ
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
I nformasi geospasial dalam bentuk peta pewilayahan komoditas,
diharapkan dapat menjadi acuan dalam alokasi zona budidaya untuk komoditas tertentu, sehingga produk pertanian yang dihasilkan menjadi lebih optimal, baik
kuantitas, kualitas maupun kontinuitasnya. serta mampu mengurangi resiko pertanian akibat cekaman kekeringan, banjir, bencana alam dan
potensi serangan hama dan penyakit. Adapun manfaat yang diharapkan antara lain :
1. Bermanfaat untuk dijadikan bahan perencanaan penelitian dan pengkajian,
serta pengembangan pertanian wilayah berdasarkan zona agroekologi baik bagi Peneliti BPTP maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Mukomuko.
2. Bermanfaat untuk
menunjang kegiatan agribisnis di wilayah Kabupaten Mukomuko khususnya dan Provinsi Bengkulu pada umumnya.
3. Bermanfaat sebagai sumber informasi potensi khususnya potensi lahan
untuk pengembangan komoditas pertanian spesifik lokasi dan dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan
pertanian ditingkat operasional sesuai dengan tata ruang dan kondisi wilayah.
Adapun perkiraan dampak dari kegiatan ini antara lain: 1. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian untuk produksi pangan
secara dinamis, lestari, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan kebutuhan pangan.
2. Pengembangan komoditas pertanian yang memberi arti ekonomis bagi wilayah secara keseluruhan dan dapat dikembangkan dalam skala luas.
13
3. Pengembangan agribisnis
dan agroindustri
yang berdaya
saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
5
I I . TI NJAUAN PUSTAKA
Konsep ZAE zone agro ekologi diperkenalkan oleh FAO 1978 untuk evaluasi lahan di Afrika dengan menggunakan peta tanah FAO 1974 skala
1: 5.000.000 dengan parameter panjang periode tumbuh length of growing
period dan suhu. Selanjutnya, FAO merekomendasikan penggunaan ZAE pada tingkat nasional dan provinsi pada skala 1: 1.000.000-1: 500.000 Kassam
et al., 1991. ZAE didefinisikan sebagai pengelompokan wilayah ke dalam zona-zona
berdasarkan kemiripan similarity karakteristik iklim, terrain, dan tanah, yang
memberikan keragaan performance tanaman tidak berbeda secara nyata FAO,
1996. Peta zone agro ekologi Provinsi Bengkulu skala 1: 250.000 yang telah
disusun oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu bersama Balai Besar Sumberdaya Lahan pertanian BBSDLP
merupakan kumpulan data informasi sumberdaya lahan yang menjelaskan pengelompokan suatu
wilayah ke dalam zona-zona pengembangan pertanian, perkebunan dan sistem kehutanan serta alternatif komoditas berdasarkan kesamaan karakteristik biofisik
lahan dan iklim lingkungan. I nformasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam
perencanaan pengembangan
pertanian daerah
untuk menjaga
keberlanjutan produksi dan produktivitas serta kelestarian lingkungannya.
Pengelompokan wilayah ke dalam zona-zona agroekologi, dapat membantu dalam perakitan dan penerapan paket teknologi yang disesuaikan dengan kondisi
fisik lingkungan Amien et al., 1997.
Peta ZAE skala 1: 250.000 penggunaannya terbatas pada tingkat provinsi untuk perencanaan pengembangan pertanian. Agar terjaga kesinambungan
dalam perencanaan pengembangan pertanian, data informasi sumberdaya lahan tersebut perlu dijabarkan ke dalam skala yang lebih detil, yaitu dengan
penyusunan Pewilayahan Komoditas Pertanian skala 1 : 50.000. Pada skala tersebut diperlukan informasi yang lebih detil terutama yang berkaitan dengan
sifat dan karakteristik lahan, sebagai prasyarat utama dalam evaluasi lahan. Sifat dan karakteristik lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan adalah tanah
media perakaran, retensi hara, toksisitas, iklim suhu udara, elevasi, curah hujan, terrain lereng dan singkapan batuan, bahaya banjir, dan bahaya erosi
CSR FAO, 1983: Djaenuddin, at al. 2000 .
6
Unsur-unsur terrain seperti lereng dan tingkat torehan mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesesuaian lahan, sehingga delineasi yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai satuan dasar dalam evaluasi lahan. Secara hirarki, terrain dapat dibedakan berdasarkan skala peta 1: 250.000-1: 10.000 kedalam empat
kategori yaitu: terrain province, terrain system, terrain unit, dan terrain
component. Kategori terrain unit yang setara dengan land catena dapat digunakan untuk mendelineasi satuan lahan pada skala 1: 50.000 Kips
et al., 1981; Van Zuidam, 1986.
Pendekatan dengan metode analisis terrain telah banyak dilakukan antara lain oleh Mitchell dan Howard 1978 yang membedakan lahan kedalam tujuh
kategori, yaitu: land zone-land province-land region-land system-land catena-
land facet-land element. Akan tetapi hanya empat kategori yang sering digunakan, yaitu skala 1: 250.000 sampai 1: 5.000. Pendekatan serupa telah
dilakukan oleh Kips et. al. 1981 di DAS Sekampung, Provinsi Lampung pada
skala 1: 250.000, dan DAS Samin Provinsi Jawa Tengah pada skala 1:25.000. Dent
et al. 1977 menggunakan pendekatan sistem lahan land system untuk evaluasi sumberdaya lahan tingkat tinjau mendalam skala 1: 100.000 di DAS
Cimanuk, Jawa Barat. Desaunettes dalam Dent et al. 1977 telah menyusun
Catalogue of Landform for I ndonesia untuk menunjang pemetaan sumberdaya lahan di I ndonesia. Dalam survei sumberdaya lahan tingkat tinjau Proyek LREP I
Sumatera 1987-1990 telah diterapkan pendekatan analisis terrain, terdiri dari komponen landform, litologi, dan relief.
7
I I I . METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran