Struktur Organisasi Kehakiman CABANG KEKUASAAN YUDISIAL 1. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman

- 55 - dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhu- bungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara, atau kegiatan tertentu. Sedangkan, kesopanan ter- wujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antarpribadi, baik dalam tutur kata lisan, tulisan, atau bahasa tubuh, dalam ber- tindak, bekerja, dan bertingkah laku ataupun dalam ber- gaul dengan sesama hakim, dengan karyawan atau pega- wai pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara. 5 Kesetaraan Equality Principle Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perla- kuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan ke- manusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda- bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan aga- ma, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawi- nan, kondisi fisik, status sosial-ekonomi, umur, pan- dangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa. Prinsip kesetaraan ini secara esensial melekat dalam si- kap setiap hakim untuk senantiasa memperlakukan se- mua pihak dalam persidangan secara sama sesuai de- ngan kedudukannya masing-masing dalam proses per- adilan. 6 Kecakapan dan Keseksamaan Competence and Dili- gence Principle Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan pra- syarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pela- tihan, danatau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan, keseksamaan merupakan sikap pribadi ha- kim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, Jilid II 56 ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksa- naan tugas profesional hakim. Keenam prinsip etika hakim itu dapat dijadikan oleh hakim Indonesia untuk merumuskan sendiri kode etik yang berlaku di Indonesia. Dalam hubungan ini, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Kode Etik Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Peratur- an Mahkamah Konstitusi No. 07PMK2005. 50

3. Struktur Organisasi Kehakiman

Dalam struktur organisasi kekuasaan kehakiman, terdapat beberapa fungsi yang dilembagakan secara in- ternal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-jabatan ke- hakiman itu, terdapat pula pejabat-pejabat hukum yaitu a pejabat penyidik, b pejabat penuntut umum, dan c advokat yang juga diakui sebagai penegak hukum. Di lingkungan pejabat penyidik, terdapat i polisi, ii jaksa, iii penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, dan iv penyidik pegawai negeri sipil, yang dewasa ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 52 macam. Mereka yang menjalankan fungsi penuntutan adalah i jaksa penuntut umum, dan ii Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Sementara itu, dalam lingkungan internal organisa- si pengadilan, dibedakan dengan tegas adanya 3 tiga jabatan yang bersifat fungsional, yaitu i hakim, ii 50 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 07PMK2005 bertanggal 18 Oktober 2005. PMK ini merupakan penyempurnaan dari PMK Nomor 02PMK2003 ten- tang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi bertanggal 24 September 2003, yang telah disesuaikan dengan tuntutan perkembangan baik nasional maupun internasional, juga setelah adanya Deklarasi dari para Hakim Konstitusi mengenai Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang lebih dikenal dengan nama Sapta Karsa Hutama. - 57 - panitera, dan iii pegawai administrasi lainnya. Ketiga- nya perlu dibedakan dengan tegas, karena memiliki kedudukan yang berbeda dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Hakim adalah pejabat nega- ra yang menjalankan kekuasaan negara di bidang yudi- sial atau kehakiman. Sementara itu, panitera adalah pegawai negeri sipil yang menyandang jabatan fungsi- onal sebagai administratur perkara yang bekerja berda- sarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan se- tiap perkara. 51 Sedangkan, pegawai administrasi biasa adalah pegawai negeri sipil yang tunduk pada ketentuan kepegawainegerian pada umumnya. Independensi hakim dalam menjalankan tugas ke- hakimannya pada pokoknya terletak dalam diri setiap hakim itu sendiri. Hakim tidak bertanggung jawab ke- pada Ketua Majelis Hakim, kepada Ketua Mahkamah Agung, ataupun kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. Hakim memutus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan karena itu bertanggung jawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib diyakini dan diimani oleh setiap Hakim Indonesia sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Panitera sebagai pejabat fungsional di bidang administrasi tunduk dan bertanggungjawab kepada Ke- tua Mahkamah, Ketua Pengadilan, atau kepada Ketua Majelis Hakim dalam bidang administrasi perkara. Akan tetapi, dari segi administrasi kepegawaian tunduk kepa- 51 Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “bersifat fungsional” tidaklah iden- tik dengan “jabatan fungsional” yang dikenal dalam hukum kepegawaian. Hal yang dapat dikategorikan sebagai jabatan fungsional dalam arti yang biasa di sini adalah “panitera”, sedangkan hakim bukan lagi pegawai negeri seperti dulu, sehingga tidak dapat disebut sebagai jabatan fungsional kepe ga- waian. Hakim, dewasa ini, diakui sebagai pejabat negara. Lihat ketentuan- ketentuan pada UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LN No. 169 Tahun 1999, TLN. 3890. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II 58 da Sekretaris Mahkamah Agung atau Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi. 52 Oleh karena itu, di lingkungan pengadilan, ada tiga pejabat yang memegang tampuk kepemimpinan, yaitu i Ketua pengadilan yang bersangkutan, ii Panitera, dan iii Sekretaris yang kadang-kadang dirangkap oleh Pani- tera. Di lingkungan Mahkamah Konstitusi dan demikian pula di Mahkamah Agung, ketiga jabatan ini dipisahkan secara tegas. Pada Mahkamah Konstitusi, terdapat kedudukan Sekretaris Jenderal yang bertanggung jawab di bidang administrasi umum dengan status sebagai Pejabat Eselon IA, dan ada pula Panitera yang bertang- gung jawab di bidang administrasi peradilan dengan status sebagai Pejabat yang disetarakan dengan Eselon IA. Dengan demikian, kedua pejabat penunjang ini tidak saling tumpang tindih tanggung jawabnya dalam mendu- kung kelancaran pelaksanaan tugas hakim. Pemisahan kedua jabatan administrasi penunjang ini jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 53 Dalam perkembangan selanjutnya, pemisahan se- rupa juga dilakukan di lingkungan Mahkamah Agung. Bahkan organisasi struktural di lingkungan Mahkamah Agung lebih besar dan lebih kompleks, mengingat seba- gian fungsi administrasi kehakiman yang sebelumnya ditangani oleh Pemerintah c.q. Departemen Kehakiman, sekarang beralih penanganannya oleh Mahkamah Agung di bawah manajemen satu atap. Pemerintah tidak lagi berwenang menangani masalah administrasi pembinaan hakim dan sebagainya. Oleh karena itu, pemisahan jabat- 52 Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia Tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2004 bertanggal 22 Juni 2004. 53 Indonesia, Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU Nomor 24 Tahun 2003, LN Nomor 98 Tahun 2003, TLN Nomor 4316. - 59 - an Panitera dan Sekretaris menjadi semakin penting untuk dilakukan di lingkungan Mahkamah Agung. Sek- retaris bertindak menjadi semacam “Menteri Kehakim- an” masa lalu yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Agung. Se- dangkan, Panitera tetap menangani administrasi perkara sebagaimana biasanya. Tugas Sekretaris Mahkamah Agung sangat kom- pleks, sehingga oleh karena itu diberi kewenangan untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas beberapa Direk- tur Jenderal yang diadakan khusus di lingkungan Mah- kamah Agung. Dengan demikian, pembinaan organisasi badan-badan peradilan di seluruh Indonesia berada di bawah tanggung jawab administratif Sekretaris Mahka- mah Agung. 54

D. CABANG KEKUASAAN EKSEKUTIF 1. Sistim Pemerintahan