- 61 -
presidentil. Misalnya, sebelum UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, UUD 1945 dikatakan
menganut sistim pemerintahan presidentil. Akan tetapi, di samping itu, sistim yang diterapkan tetap mengan-
dung ciri parlementernya, yaitu dengan adanya MPR yang berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, tempat
kemana Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dianut oleh
UUD 1945 sebelum perubahan itu adalah sistim quasi- presidentil, karena ciri presidentilnya tetap lebih menon-
jol, meskipun terdapat pula ciri parlementer. Akan tetapi, apabila ciri parlementernya yang lebih menonjol,
maka sistem demikian lebih tepat disebut quasi-parle- menter, sebagaimana yang telah dipraktikkan di negara
Perancis.
2. Kementerian Negara
Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parle- menter, Menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Sedangkan dalam sistem presidentil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam sistem parlementer jelas sekali bahwa kedudukan menteri adalah bersifat sentral. Perdana Menteri sebagai
menteri utama, menteri koordinator, atau menteri yang memimpin para menteri lainnya dalam kabinet adalah
kepala pemerintahan, yaitu yang memimpin pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan secara operasional sehari-
hari. Kinerja pemerintahan sepenuhnya berada di tangan para menteri yang dipimpin oleh seorang Perdana Men-
teri itu. Dikarenakan sangat kuatnya kedudukan para menteri, parlemen pun dapat dibubarkan oleh mereka.
Sebaliknya, kabinet juga dapat dibubarkan oleh parle- men apabila mendapat mosi tidak percaya dari parle-
men. Demikianlah perimbangan kekuatan di antara kabinet dan parlemen dalam sistem pemerintahan parle-
menter.
Jilid II
62
Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, maka dalam sistem presidentil, kedudukan menteri sepe-
nuhnya tergantung kepada Presiden. Para menteri diang- kat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada
Presiden. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan tugas- nya, tentu saja, para menteri itu membutuhkan duku-
ngan parlemen agar tidak setiap kebijakannya “dijegal” atau “diboikot” oleh parlemen. Namun demikian, secara
umum, dapat dikatakan bahwa para menteri dalam sistem pemerintahan presidentil itu mempersyaratkan
kualifikasi yang lebih teknis profesional daripada politis seperti dalam sistim parlementer. Dalam sistem presi-
dentil, yang bertanggung jawab adalah Presiden, bukan Menteri, sehingga sudah seharusnya nuansa pekerjaan
para menteri dalam sistem presidentil itu bersifat lebih profesional daripada politis.
Oleh sebab itu, untuk diangkat menjadi menteri se- harusnya seseorang benar-benar memiliki kualifikasi
teknis dan profesional untuk memimpin pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berdasarkan prinsip merito-
krasi. Sistem pemerintahan presidentil lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet daripada kabinet
dalam sistim parlementer yang lebih menonjol sifat politisnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan seseorang
diangkat menjadi menteri, sudah seharusnya Presiden dan Wakil Presiden lebih mengutamakan persyaratan
teknis kepemimpinan daripada persyaratan dukungan politis.
Hal itu dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa dalam sistem pemerintahan presidentil, menteri itu sendiri ada-
lah pemimpin yang tertinggi dalam kegiatan pemerintah- an di bidangnya masing-masing. Oleh karena dalam ja-
batan Presiden dan Wakil Presiden tergabung fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, maka
tentunya Presiden dan Wakil Presiden tidak mungkin terlibat terlalu mendetil dalam urusan-urusan operasi-
- 63 -
onal pemerintahan sehari-hari. Bahkan, untuk kepen- tingan koordinasi, terbukti pula diperlukan adanya
jabatan menteri senior, seperti para Menteri Koordi- nator. Artinya, untuk melakukan fungsi koordinasi teknis
saja, Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak dapat lagi terlalu diharapkan efektif.
Oleh karena itu, jabatan menteri untuk masing- masing bidang pemerintahan tersebut memang seharus-
nya dipercayakan penuh kepada para menteri yang kom- peten di bidangnya masing-masing. Itulah sebabnya
dalam Penjelasan UUD 1945
55
yang diberlakukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 1945 berdasar-
kan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dinyatakan bahwa menteri itu bukanlah pejabat tinggi negara yang biasa.
Menteri itu adalah pemimpin pemerintahan yang se- sungguhnya dalam bidangnya masing-masing. Oleh
karena jabatan Presiden dan Wakil Presiden sendiri se- bagian fungsinya bersifat simbolik, maka fungsi kepe-
mimpinan dalam arti teknis memang seharusnya berada di pundak para menteri. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa
para menterilah yang sesungguhnya merupakan pemim- pin pemerintahan yang riel dan operasional dalam pe-
ngertian sehari-hari. Bahkan, dapat diidealkan bahwa perbedaan kualitas antara sifat-sifat kepemimpinan Pre-
siden dan para Menteri dalam proses pemerintahan adalah bahwa Presiden dan Wakil Presiden adalah pe-
mimpin pemerintahan dalam arti politik. Sedangkan, para menteri merupakan pemimpin pemerintahan dalam
arti teknis.
55
Lihat pendapat Satyavati S. Jhaveri, “Pada saat ditetapkannya, UUD 1945 belum ada Penjelasannya. Adapun Penjelasan yang disiarkan dalam Berita
RI Tahun II No. 7, bukanlah karya Panitia Hukum Dasar, melainkan dibuat oleh alm. Prof. Dr. Soepomo pribadi dan isinya sesuai dengan penjelasan
beliau pada Rapat Besar Badan Penyelidik tanggal 5 Juli 1945”. Satyavati S. Jhaveri The Presidency in Indonesia, Dilemmas of Democraty, Disertasi,
Bombay: Populer Prakashan Private Limited, 1975, hal. 2. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid II
64
Siapa yang akan diangkat menjadi menteri, tentu sepenuhnya merupakan kewenangan Presiden untuk
menentukannya. Pasal 17 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara”, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhen- tikan oleh Presiden”, “Setiap menteri membidangi urus-
an tertentu dalam pemerintahan”. Akan tetapi, Pasal 17 ayat 4 menentukan pula bahwa “Pembentukan, pengu-
bahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang”. Maksudnya ialah, meskipun
mengenai orangnya merupakan kewenangan mutlak Pre- siden, tetapi mengenai struktur organisasinya harus di-
atur dalam undang-undang.
Dengan demikian, organisasi kementerian negara itu tidak dapat seenaknya diadakan, diubah, atau dibu-
barkan hanya oleh pertimbangan keinginan atau kehen- dak pribadi seorang Presiden belaka. Semua hal yang
berkenaan dengan organisasi kementerian negara itu ha- ruslah diatur dalam undang-undang. Artinya, peru-
bahan, pembentukan, atau pembubaran organisasi ke- menterian negara harus diatur bersama oleh Presiden
bersama-sama para wakil rakyat yang duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Itulah esensi dari ketentuan
bahwa hal tersebut harus diatur dalam undang-undang.
Selain itu, dalam cabang kekuasaan eksekutif ini, terdapat pula cakupan bidang kekuasaan yang sangat
luas, termasuk kekuasaan pemerintahan daerah local government. Fungsi pemerintahan daerah itu terdapat
di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten kota. Di samping itu, ada pula aspek-aspek pemerintahan desa
yang juga perlu dibahas tersendiri. Oleh karena luasnya cakupan materi yang terkandung di dalam persoalan ke-
kuasaan pemerintahan eksekutif itu, maka dalam buku ini hal tersebut sengaja belum dibahas. Sebab, persoalan
hukum yang menyangkut bidang pemerintahan eksekutif itu sudah berkaitan dengan materi pokok dalam studi
- 65 -
hukum tata negara dan hukum administrasi negara, sehingga oleh sebab itu harus dibahas secara khusus
dalam buku Hukum Tata Negara yang bukan bersifat pengantar seperti buku ini.
E. PERKEMBANGAN ORGANISASI NEGARA 1.