2.2.4. Pengaturan Soal Pengembalian Dan Penebusan Tanah – Tanah
Pertanian Yang Digadaikan
Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Harsono, 2008 : 391.
Artinya sebelum uang gadai dikembalikan, tanah tersebut masih dikuasai oleh pemegang gadai dan pengembalian uang gadai tergantung dari kemampuan
pemilik tanah. Sehingga banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun. Pengaturan gadai tanah telah diatur dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960 terutama
pada Pasal 7 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak-gadai yang pada mulai
berlakunya Peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah
tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
”
Gadai yang telah berlangsung selama 7 tahun berturut-turut sudah lebih dari cukup bagi pemegang gadai karena telah mendapatkan hasil yang lebih dari
adanya penguasaan tanah tersebut. Sehingga Pasal 7 ini telah membatalkan sistem gadai yang sudah berjalan di daerah-daerah yang masih menggunakan hukum
adat. Bagi gadai yang belum berlangsung selama 7 tahun, maka pemilik tanah berhak memintanya kembali dengan membayar uang tebusan setiap setelah
tanaman selesai dipanen. Besarnya uang tebusan didasarkan dengan rumus : 7+12 - waktu berlangsungnya hak-gadai x uang gadai
7
Dengan ketentuan apabila gadai telah berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa uang tebusan sebulan
setelah masa panen. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian dan
Agraria No. 20 Tahun 1963 tentang Penyelesaian Masalah Gadai guna antisipasi timbulnya sengketa di kemudian hari. Menurut Supriadi, ketentuan dalam
Kepmen Pertanian dan Agraria ini merupakan peraturan yang sangat ideal. Karena tetap menghargai hak penggadai atas perlakuan pemegang gadai yang merasa
memiliki modal atau status sosial yang lebih tinggi dari penggadai. Supriadi, 2010 : 218
2.2.5. Pengaturan Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian