Dengan ketentuan apabila gadai telah berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa uang tebusan sebulan
setelah masa panen. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian dan
Agraria No. 20 Tahun 1963 tentang Penyelesaian Masalah Gadai guna antisipasi timbulnya sengketa di kemudian hari. Menurut Supriadi, ketentuan dalam
Kepmen Pertanian dan Agraria ini merupakan peraturan yang sangat ideal. Karena tetap menghargai hak penggadai atas perlakuan pemegang gadai yang merasa
memiliki modal atau status sosial yang lebih tinggi dari penggadai. Supriadi, 2010 : 218
2.2.5. Pengaturan Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Di tengah-tengah masyarakat terdapat petani penggarap atau petani yang tidak mempunyai tanah sehingga menggarap tanah pertanian milik orang lain.
Atas dasar itu, maka pemerintah menyusun sebuah peraturan mengenai bagi hasil pertanian yakni UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah
Pertanian. UU No. 2 Tahun 1960 menerangkan perjanjian bagi hasil pertanian adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau
badan hukum yang disebut penggarap untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagi antar kedua belah pihak berdasarkan
perjanjian. Tujuan undang-undang ini untuk memperbaiki nasib para penggarap tanah
milik pihak lain. Harsono, 2008 : 395. Kemudian yang dapat menjadi penggarap
adalah petani yang tidak memiliki tanah pertanian atau petani yang memiliki tanah pertanian di bawah minimum dari ketentuan UU No. 56 Tahun 1960.
Perjanjian bagi hasil ini dilakukan secara tertulis sehingga menghindari terjadinya sengketa di kemudian hari. Perjanjian bagi hasil ini dilakukan di
hadapan Kepala Desa dan mendapatkan pengesahan dari Camat dimana letak tanah pertanian itu berada. Jangka waktu juga dibuat oleh kedua belah pihak
dengan ketentuan sawah adalah sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.
Menurut Supriadi, peraturan mengenai bagi hasil ini sangat berpihak pada kepentingan masyarakat kecil. Karena memberikan perlindungan terhadap
penggarap dari perbuatan tidak jelas pemilik tanah dengan melakukan perjanjian tertulis di hadapan Kepala Desa dan pengesahan dari Camat. Supriadi, 2010 :
222
2.2.6. Penetapan Luas Pemilikan Lahan Pertanian
Guna mempertinggi taraf hidup petani maka diberikan tanah garapan yang cukup luasnya. Pasal 17 UUPA mengatur sebagai berikut :
“1 Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas
maksimum danatau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan
hukum. 2 Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini
dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
3 Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan
ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah.
4 Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan
secara berangsur-angsur. ”
Boedi Harsono juga mengatakan bahwa pemilikan tanah merupakan faktor
utama dalam produksi pertanian diharapkan lebih merata dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata serta mendorong ke arah kenaikan produksi
pertanian. Harsono, 2008 : 369 Berhubung dengan itu, disusunlah UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Lahan Pertanian. Pasal 8 UU No. 56 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa Pemerintah akan mengadakan usaha-usaha agar setiap petani
sekeluarga memiliki tanah pertanian minimal 2 dua hektar. Menurut penjelasan, 2 dua hektar tanah pertanian yang dimaksud berupa sawah, tanah kering.
Rata-rata luas tanah pertanian rakyat adalah 1,05 hektar untuk seluruh Indonesia. Harsono, 2008 : 396. Usaha-usaha yang dimaksud Pasal 8 adalah
ekstesifikasi atau perluasan tanah pertanian dengan pembukaan tanah pertanian secara besar-besaran di luar Pulau Jawa.
2.3. Undang – Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960