6. Rasa sesal dan khawatir
Rasa sesal dan khawatir disebabkan karena individu tidak mengerti kebenaran hidup.Rasa sesal adalah rasa takut pada pengalaman yang telah terjadi, dan rasa
khawatir adalah rasa takut pada pengalaman yang belum terjadi. 7.
Rasa bebas Bebas diartikan rasa tidak bertentangan konflik. Individu yang melihat
sesuatu dan mengerti sifatnya, individu akan merasa bebeas yaitu tidak berselisih dengan apa yang dilihat dan dimengerti.
2.2.4 Stereotip Etnis Jawa
Orang Jawa banyak dipandang sebagai kelompok masyarakat yang mencintai kerukunan, dilihat dari watak dan gaya bicaranya, orang Jawa
diasumsikan sebagai individu yang alus dan kalem. Sikap yang nrimo serta empati yang tinggi terhadap individu bahkan kelompok masyarakat lain, menjadi prinsip
utama orang Jawa. Tradisi kebudayaan Jawa yang menjadi salah satu identitas terbesar bangsa
Indonesia sejak dahulu memegang kuat keasliannya dalam menganut sebuah kepercayaan seperti yang telah tertulis dalam sejarah, bahwa orang Jawa
menjunjung tinggi nilai kesatuan, keharmonisan keluarga dan solidaritas terhadap manusia lain.
“Sumber budaya Jawa adalah berpusat pada pensisikan budi pekerti, budi luhur, budi utama, sopan santun, lemah lembut,
ramah-tamah, sabar, menerima apa adanya. Berdasarkan sumber- sumber itulah tercermin adanya norma-norma susila, tata karma,
menghargai siapapun yang lebih tua. Yang jelas masyarakat Jawa
menginginkan kedamaian, keakraban, dan kekeluargaan yang penuh kedamaian”. Bratawijaya 1997:76
Pandangan negatif mengenai orang Jawa dari etnis lain pun ada meskipun orang Jawa menunjukkan sikap dan sifat yang baik. Orang Jawa dikenal sebagai
kelompok masyarakat yang banyak berharap dan menuntut imbalan tanpa melakukan kewajibannya terlebih dahulu, malas dan lamban dalam bekerja, suka
berbicara banyak hal yang kurang penting basa-basi, dan ketika bekerja, beberapa orang Jawa selalu mengeluh.
Orang Tionghoa di Indonesia mudah masuk dalam komunitas orang jawa karena sikapnya yang ramah dan santun. Orang Tionghoa dahulu beranggapan
bahwa orang Jawa tidak akan berhasil dalam berdagang karena banyak diantara orang jawa tidak mencintai pekerjaannya. Orang Jawa memang telaten tetapi ulet,
segera setelah mendapatkan laba dari hasil berdagang lalu dihabiskan uangnya dengan keyakinan bahwa besok akan mendapatkan rejeki lagi, prinsip orang Jawa
inilah yang tidak disenangi orang Tionghoa, lebih pantas orang Jawa sebagai pekerja dari pada sebagai pengusaha.
Berbeda dengan sekarang, pengusaha Jawa yang mampu bersaing dalam pasaran bisnis. Orang jawa yang hidup di kota-kota besar seperti di Semarang,
tidak lagi kolot dan berpikiran sempit, kebanyakan orang Jawa mempunyai keinginan untuk selalu berinteraksi dengan masyarakat lain, tak heran bila
sekarang banyak wirausaha Tionghoa yang mau bekerjasama dengan wirausaha Jawa dan telah menunjukkan keberhasilannya.
Stereotip-stereotip tentang orang jawa, tidak begitu mudah dihilangkan. Hampir dari sekian orang Jawa lebih senang hidup cukup atau pas-pasan bila
dibanding dengan orang Tionghoa. Orang Jawa lebih senang bekerja pada orang lain dari pada membuka usaha sendiri, hal inilah yang menjadi salah satu jawaban,
bahwa taraf hidup orang Jawa sulit bertanding dengan tingkat sosial ekonomi orang Tionghoa, sehingga orang Tionghoa lebih mengenal orang Jawa sebagai
manusia yang selalu menyerah pada keadaan dan tidak mau berusaha.
2.2.5 Sosialitas Masyarakat Jawa