dibanding dengan orang Tionghoa. Orang Jawa lebih senang bekerja pada orang lain dari pada membuka usaha sendiri, hal inilah yang menjadi salah satu jawaban,
bahwa taraf hidup orang Jawa sulit bertanding dengan tingkat sosial ekonomi orang Tionghoa, sehingga orang Tionghoa lebih mengenal orang Jawa sebagai
manusia yang selalu menyerah pada keadaan dan tidak mau berusaha.
2.2.5 Sosialitas Masyarakat Jawa
Kehidupan masyarakat Jawa menghendaki keselarasan dan keserasian dengan pola pikir hidup saling menghormati.Hidup saling menghormati akan
menumbuhkan kerukunan baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan luar rumah tangga atau di dalam masyarakat luas. Pola kerukunan
tersebut dapat menciptakan suasana masyarakat yang tentram, damai, dan harmonis.
Ungkapan rukun ini disimpulkan oleh Bratawijaya 1997:81 sebagai rukun agawe santoso, erah agawe bubruh, artinya kerukunan akan memperkokoh
persaudaraan sehingga dapat menangkal gangguan-gangguan yang datang baik dari dalam maupun dari luar..
Prinsip kerukunan hidup, bertujuan mencegah munculnya konflik karena bila terjadi konflik bagi masyarakat Jawa akan berkesan mendalam dan selalu
diingat atau sukar untuk melupakan tetapi bila timbul konflik karena adanya kepentingan yang saling bertentangan, maka hal ini dapat diselesaikan secara
tradisional yaitu dengan teknik-teknik kompromi secara kekeluargaan yaitu musyawarah untuk mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
Asas kerukunan bagi masyarakat terbatas pada keluarga inti dan sanak saudara tetapi terhadap tetangga terdekat sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Tetangga terdekat yang dimaksud, menurut Bratawijaya 1997:82 adalah tetangga kanan dan kiri samping rumah serta tetangga yang tinggal di depan dan
di belakang rumah. Keluarga Jawa selalu berusaha memperlakukan tetangga ataupun orang lain seperti keluarga sendiri, dengan semua sanak saudara baik
yang dekat maupun yang sudah jauh. Menurut Hildred Geertz dalam Suseno 1988: 38 bahwa ada dua kaidah
yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu sebagai berikut:
2.2.4.1 Prinsip Kerukunan
2.2.4.1.1 Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan
tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu.
Perspektif Jawa mengenai ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan di dapat dengan sendirinya selama tidak diganggu,
seperti juga permukaan laut dengan sendirinya halus jika tidak diganggu oleh angin atau oleh badan-badan yang menentang arus.
2.2.4.1.2 Berlaku Rukun
Rukun sebagai cara bertindak, kerukunan menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan bahkan kalau perlu melepaskan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kesepakatan bersama. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak
secara tidak langsung. Suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik adalah tata krama
Jawa yang mengatur semua bentuk interaksi lengsung di luar lingkungan keluarga inti dan lingkungan teman-teman akrab. Tata krama itu menyangkut gerak badan,
urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraan. Praktek gotong royong merupakan wujud dari kerukunan, dengan gotong
royong dapat menimbulkan sikap saling membantu dan melakukan pekerjaan secara bersama demi kepentingan seluruh desa. Orang Jawa juga tidak jemu-jemu
menunjuk pada keunggulan musyawarah kalau dibandingkan dengan cara Barat dalam mengambil keputusan. Keterikatan pada kerukunan menuntut dari pihak-
pihak yang berlawanan untuk melepaskan keinginan pribadi yang paling mungkin akan menimbulkan keresahan sosial terbuka.
2.2.4.1.3 Rukun dan Sikap Hati
Prinsip kerukunan mempunyai kedudukan yang amat penting dalam masyarakat Jawa. Inti prinsip kerukunan adalah tuntutan untuk mencegah segala
kelakuan yang bisa menimbulkan konflik terbuka. Mengusahakan kerukunan tidak dengan sendirinya menjamin sikap hati mau berdamai, mau mengerti,
apalagi mau mengembangkan rasa simpati, melainkan orang tersebut sanggup untuk membawa diri dengan terkontrol dan dewasa dalam masyarakat.
Prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial
untuk mengintegrasikan kepentingannya demi kesejahteraan kelompok. 2.2.4.2
Prinsip Hormat Kaidah kedua yang memainkan peranan besar dalam mengatur pola
interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip hormat mengatakan bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, dan
keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu setiap orang wajib mempertahankannya.
Rasa wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap
tuntutan-tuntutan prinsip hormat. 2.2.4.3
Etika Keselarasan Sosial Prinsip-prinsip keselarasan menurut pandangan Jawa memang harus
didahulukan terhadap hukum positif. Orang Jawa harus menerima masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan apa yang dicitakan.
Secara moral dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip keselarasan hanya berlaku prima facie, artinya bahwa secara moral suatu tindakan yang mengganggu
keselarasan barangkali kadang dapat dibenarkan, bahkan secara moral dapat dituntut.
Keadaan rukun pada masyarakat Jawaadalah keadaan dimana semua pihak berada dalam kedamaian, suka bekerjasama, saling asah, asih, asuh. Hal inilah
yang menjadi harapan masyarakat Jawa baik dalam hubungan keluarga,
kehidupan sosial, rukun tetangga, dan rukun satu kampong. Kerukunan perlu dilandasi dengan adanya saling percaya antar pribadi, adanya keterbukaan
terhadap siapa saja, adanya bertanggungjawab dan merasa adanya saling ketergantungan atau rasa kebersamaan.
2.3
Dinamika Psikologis
Dinamika psikologis bertujuan untuk memudahkan dalam memahami alur pikir studi mengenai sikap pada karyawan PNS dan Karyawan Swasta terutama
karyawan bersuku Jawa.Berikut ini adalah dinamika psikologis penelitian ini.
Gambar 2.1 Dinamika Psikologis Budaya
Jawa Perspektif
Karyawan bersuku Jawa
Faktor yang mempengaruhi
sikap terhadap rekan kerja
Sikap karyawan bersuku Jawa
terhadap rekan kerja yang berbeda
Sikap karyawan bersuku Jawa terhadap
atasan dan bawahan suku dan agama di
tempat kerja Beradaptasi dengan
rekan kerja yang berbeda suku dan
agama Cara mengatasi
perbedaan dengan rekan kerja yang
berbeda suku dan agama
Gambar 2.1 menunjukkan culture memiliki peran yang besar dalam membentuk perspektif karyawan suku Jawa. Perspektif karyawan bersuku Jawa
memiliki peran dalam melihat faktor-faktor yang mempengaruhi sikap karyawan bersuku Jawa terhadap rekan kerja di tempat kerja, sikap karyawan bersuku Jawa
terhadap rekan kerja yang berbeda suku dan agama, sikap karyawan bersuku Jawa terhadap atasan dan bawahan, bagaimana karyawan bersuku Jawa beradaptasi
dengan rekan kerja yang berbeda suku dan agama, dan cara karyawan bersuku Jawa mengatasi perbedaan suku dan agama di tempat kerja. Cultureadalah
semacam pembentukan dan pengaturan kolektif dari cara berpikir, bersikap dan berperilaku yang menghasilkan perbedaan aspek-aspek dalam kehidupan
seseorang yaitu belief, sikap dan perilaku.Orang-orang menerima situasi secara berbeda karena mereka dikondisikan oleh pendidikan yang berbeda serta
pengalaman hidup yang berbeda yang dibentuk oleh culture.
33
BAB 3 DESAIN PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian