63 Tabel 3 Jenis dan sumber data
NO JENIS DATA
SKALA THN
BENTUK SUMBER DATA
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 Peta Satuan Lahan dan Tanah
LREP-I Peta Land SystemsLand
Suitability RePPProT
Citra Satelit Landsat PathRow : 127060
Peta Landuse Peta Curah Hujan
Peta Rupa Bumi Peta Administrasi
Data Keragaan Ternak Ruminansia Kab. Lima Puluh
Kota Data Luas Panen Tanaman
Pangan Kab. Lima Puluh Kota. Data Podes Kab. Lima Puluh
Kota Revisi RTRW Kab. Lima Puluh
Kota Tahun 19992000 1:250 000
1:250 000
- 1:250 000
1:1 000 000 1:250 000
1:500 000 -
- -
- 1990
1988 2005
2003 2003
2001 2003
2003- 2005
2003- 2005
2003- 2006
2000 Digital
Digital Digital
Digital Hardcopy
Digital Digital
Tabular Tabular
Tabular Dokumen
Puslittanak Bogor Bakosurtanal
LAPAN Baplan Dephut
Balitklimat Bogor Bakosurtanal
Bakosurtanal Dinas Peternakan
dan Perikanan Kab. Lima Puluh Kota
BPS Kab. Lima Puluh Kota
BPS Pusat Bappeda Kab. Lima
Puluh Kota
3.4. Metode Identifikasi dan Teknik Analisis Data
Identifikasi dan analisis data yang dilakukan adalah 1 identifikasi jenis penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong, 2
penilaian kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong, 3 penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman hijauan makanan ternak, 4 tingkat ketersediaan hijauan
makanan ternak, 5 prioritas arahan lahan, dan 6 analisis wilayah untuk arahan kawasan penyebaran dan pengembangan. Analisis spasial dan penyajian hasil
dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi SIG dengan menggunakan software utama Arcview 3.3.
Peta satuan lahan dan tanah LREP yang diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor mengandung informasi unit lahan, jenis tanah,
kemasaman, tekstur, drainase, kapasitas tukar kation, kedalaman, bahaya banjir dan erosi. Peta tanah tinjau RePPProT digunakan untuk melengkapi peta satuan
lahan dan tanah, karena mengandung informasi jenis batuan, singkapan batuan, landform dan kelerengan.
Peta penggunaan lahan land use diperoleh dari hasil interpretasi Citra Satelit Landsat PathRow : 127060 tahun 2005, kemudian dilakukan digitasi on
screen untuk mendapatkan peta land use, kemudian dilaksanakan pengecekan ke
64 lapangan untuk perbaikan peta, sehingga dihasilkan peta penggunaan lahan
keadaan sekarang existing. Diagram alir pembuatan peta penggunaan lahan seperti terdapat pada Gambar 3.
Peta Digital PenutupanPenggunaan
Lahan Baplan 2003 Citra Satelit Landsat
PathRow : 127060 2005
Rujukan Interpretasi
Penggunaan Lahan
Gambar 3 Diagram alir pembuatan peta penggunaan lahan.
Peta lereng dan elevasi merupakan hasil olahan peta kontur dari peta Rupa Bumi Indonesia RBI, diperoleh dari Badan Koordiasi Survei dan Pemetaan
Nasional Bakosurtanal, seperti tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4 Diagram alir pembuatan peta lereng dan elevasi.
Peta RBI Kontur
Peta Lereng Slope
Peta Ketinggian Elevasi
Pengolahan dengan GIS
Pengolahan dengan GIS
Cek lapang
Perbaikan Peta Penutupanpenggunaan
Lahan Baplan th 2003 Pengamatan di
Lapangan
Konfirmasi dengan Masyarakat
Peta Digital PenutupanPenggunaan
Lahan Keadaan Sekarang
65 Peta satuan lahan diperoleh dengan melakukan operasi tumpang tindih
overlay peta-peta tematik, yaitu peta satuan lahan dan tanah, peta tanah tinjauland system, peta curah hujan, peta kemiringan lereng, peta ketinggian
elevasi dan peta penggunaan lahan. Diagramnya seperti terdapat pada Gambar 5.
Peta Satuan Lahan dan Tanah LREP
Peta Curah Hujan
Peta Elevasi
Peta Lereng
Peta Penggunaan Lahan
Peta Satuan Lahan
Overlay
Peta Landsystem RePPProT
Peta Administrasi
Overlay
Peta Satuan Lahan Kabupaten Lima Puluh Kota
Setelah itu dilakukan matching dan query antara peta satuan lahan dengan persyaratan kesesuaian untuk lingkungan ekologis sapi potong dan persyaratan
kesesuaian untuk hijauan makanan ternak. Hasilnya adalah peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong dan peta-peta kesesuaian lahan tanaman hijauan
makanan ternak sapi potong. Kemudian dilakukan analisis daya dukung DD dan indeks daya dukung IDD, sehingga dihasilkan peta kriteria status ketersediaan
hijauan makanan ternak HMT. Setelah itu dilakukan analisis spasial terhadap peta-peta yang dihasilkan ditambah dengan peta administrasi, sehungga
menghasilkan peta arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota. Gambar 6 memperlihatkan diagram alir pembuatan
peta arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong seperti diuraikan di atas.
Gambar 5 Diagram alir pembuatan peta satuan lahan Kabupaten Lima Puluh Kota.
22
Gambar 6 Diagram alir pembuatan peta arahan kawasan penyebaran dan pengembangan sapi potong.
Persyaratan Kesesuaian Lingkungan Ekologis
Sapi Potong Peta Kesesuaian Lingkungan
Ekologis untuk Sapi Potong
Persyaratan Kesesuaian Lahan untuk Hijauan
Makanan Ternak
Analisis DD dan IDD HMT dari data populasi
dan luas tanaman pangan
Peta Kriteria Satus Ketersediaan
HMT Peta
Satuan Lahan
Analisis Spasial
Peta Administrasi Kab. Lima Puluh Kota
Peta Arahan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan
Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh kota
M a
t c
h i
n g
M a
t c
h i
n g
Peta-peta Kesesuaian Lahan Tanaman
Hijauan Makanan Ternak Peta
Satuan Lahan
Peta-peta tematik berupa peta satuan kahan dan tanah, peta curah hujan, peta kemiringan lereng dan elevasi yang digunakan hádala seperti terdapat pada
Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3
3.4.1 Identifikasi Jenis Penggunaan Lahan Potensial
Identifikasi penggunaan lahan diperoleh berdasarkan hasil interpretasi terhadap citra satelit Landsat PathRow: 127060 terkoreksi tahun 2005, dibantu
dengan peta penutupanpenggunan lahan hasil digitasi on screen dari Badan Planologi Departemen Kehutanan. Selanjutnya dilakukan cek lapangan yang
bertujuan untuk mengkonfirmasi jenis-jenis penutupanpenggunaan lahan yang masih meragukan dari peta penggunaan lahan dan mengetahui jenis hijauan
makanan ternak yang dominan pada berbagai penggunaan lahan. Untuk memperkuat hasil check lapangan dilakukan konfirmasi kepada masyarakat
sekitar dan aparat yang kompeten. Hasil cek lapangan digunakan sebagai rekomendasi perbaikan peta, sesuai keadaan sekarang. Selanjutnya peta penutupan
lahan ini digunakan untuk analisis spasial dan perhitungan-perhitungan.
3.4.2 Penilaian Kesesuaian Lingkungan Ekologis Sapi Potong
Penyusunan peta kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong mengikuti metode evaluasi yang dikembangkan oleh Ashari et al. 1995. Peta tematik
kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong diperoleh dari hasil joint tabel dan query
antara data karakteristik atribut peta satuan lahan dengan data kriteria kesesuaian lingkungan ekologis sapi potong.
Penilaian kesesuaian lingkungan dilakukan secara matching antara kualitaskarakteristik lahan dengan kriteria persyaratan lingkungan ekologis sapi
potong, dalam hal ini penilaian dilakukan untuk pemeliharaan sapi potong sistem kandang. Penilaian dilakukan pada tingkat ordo yaitu: S Sesuai dan N Tidak
Sesuai berdasarkan kriteria yang dihasilkan Tim Peneliti Daya Dukung Lahan Peternakan Puslittanak, yaitu Suratman et al. 1998, seperti tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak sapi sistem pemeliharaan dikandangkan
Kelas Kesesuaian Lingkungan Ternak Kandang
Karakteristik S Sesuai
N Tidak Sesuai Temperature Humidity Indeks THI
- THI n Ketersediaan Air w :
-
Bulan Kering 100 mm -
Curah hujantahun mm -
Keberadaan sumber air Kualitas Air q :
- pH air Terrain s :
-
Elevasi 70 – 80
≤ 8 bulan 4.000
Ada 6.5 – 9.0
≤ 1 250 70, 80
8 bulan 4.000
Tidak ada 6.5 , 9.0
1 250 Sumber : Suratman et al. 1998.
Kterangan : = Sumber air bersifat alternatif
THI = T – 0.55 1 – RH100 T – 58
T = Suhu udara F = 95
C + 32 RH
= Kelembaban udara
Menurut Djaenudin et al 2003, suhu udara dapat diduga berdasarkan ketinggian tempat elevasi dari atas permukaan laut. Pendugaan tersebut dengan
menggunakan pendekatan rumus dari Braak 1928. Berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia suhu di dataran rendah pantai berkisar antara 25-
27°C, dan rumus yang dapat digunakan rumus Braak adalah sebagai berikut :
Suhu udara °C = 26.3°C - 0.01 x elevasi dalam meter x 0.6°C
3.4.3 Penilaian Kesesuaian Lahan Tanaman Hijauan Makanan Ternak
Penilaian kesesuaian lahan tanaman hijauan makanan ternak untuk sapi potong ditujukan untuk beberapa jenis tanaman hijauan makanan ternak yang
dominan dan berpotensi untuk dikembangkan di lokasi penelitian, dan dilakukan secara matching.
Analisis spasial untuk mengetahui sebaran kelas kesesuaian lahan tiap jenis tanaman sumber hijauan makanan ternak dengan menggunakan pendekatan
SIG. Proses yang dilakukan yaitu joint dan query. Joint tabel antara tabel basis data kelas kesesuaian lahan masing-masing tanaman dengan tabel data atribut
satuan lahan. Selanjutnya dilakukan query terhadap data kelas kesesuaian lahan untuk pembuatan peta tematik dan perhitungan luas. Kriteria kesesuaian lahan
masing-masing tanaman sumber hijauan makanan ternak seperti terdapat pada Lampiran 4.
3.4.4 Penghitungan Daya Dukung Lahan yang Sesuai bagi Pengembangan
Ternak Sapi Potong
Daya dukung hijauan makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan pakan ternak terutama berupa hijauan yang dapat dihasilkan
bagi kebutuhan sejumlah populasi sapi potong dalam bentuk segar maupun kering, tanpa melalui pengolahan dan tanpa pengolahan khusus dan diasumsikan
penggunaannya hanya untuk sapi potong. Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan produksi bahan kering BK
terhadap kebutuhan satu satuan ternak 1 ST sapi potong dalam satu tahun, dimana kebutuhan bahan kering adalah 6.25 Kghari atau 2.28 Tontahun NRC,
1984, untuk sapi dengan berat hidup mencapai 500 kg. Untuk ternak sapi di Indonesia pada umumnya tiap 1 ST memiliki kisaran berat hidup 200-250 kg. Jadi
kebutuhan pakanbahan kering minimum untuk 1 ST selama satu tahun dapat berbeda-beda, tergantung berat hidup sapinya. Berat hidup ternak sapi secara rata-
rata di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 200 kg. Kebutuhan pakan minimum ternak ruminansia per satu satuan ternak 1 ST dihitung menurut Sumanto dan
Juarini 2006 sebagai berikut :
K = 2.5 x 50 x 365 x 250 kg = 1.14 ton BKCtahunST
Keterangan : K
= Kebutuhan pakan minimum untuk 1 ST dalam ton bahan kering tercerna atau DDM digestible dry matter selama satu tahun
2.5 = Kebutuhan minimum jumlah ransum hijauan pakan bahan kering terhadap berat badan
50 = Nilai rata-rata daya cerna berbagai jenis tanaman
365 = Jumlah hari dalam satu tahun
250 kg = Berat hidup 1 ST keadaan dapat berubah sesuai kondisi ternak pada setiap wilayah.
Produksi bahan kering merupakan jumlah dari produksi pakan asal limbah pertanian dan produksi pakan dari hijauan alami. Jumlah potensi limbah dari
masing-masing tanaman pangan merupakan potensi ketersediaan pakan potensial saat ini. Perhitungan pakan asal limbah pertanian per kecamatan dihitung menurut
Pedoman Identifikasi Wilayah Sumanto dan Juarini 2006. Hasil perhitungan produksi bahan kering selanjutnya digunakan untuk
mendapatkan daya dukung pakan hijauan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut Haryanto et al. 2002:
Produksi Bahan
Kering KG
Daya Dukung ST = Kebutuhan
Bahan Kering
sapi Dewasa
KGST
Satuan ternak ST adalah satuan untuk populasi ternak ruminansia yang diperoleh dari jumlah populasi dikalikan dengan faktor konversi, untuk ternak sapi
faktor konversinya adalah 0.7 Ashari et al. 1995 Untuk mewakili populasi sapi yang terdiri dari induk betina, induk jantan, dan anak dengan berbagai tingkatan
umur, maka populasi sapi keseluruhan dikali dengan 0.7. Indeks Daya Dukung IDD hijauan makanan ternak dihitung dari jumlah
produksi hijauan makanan ternak yang tersedia terhadap jumlah kebutuhan hijauan bagi sejumlah populasi ternak ruminansia di suatu wilayah. Indeks Daya
Dukung dihitung berdasarkan bahan kering dengan persamaan sebagai berikut Ashari et al. 1995 :
Total Produksi Bahan Kering Kg IDD Hijauan =
Jml Pop Ruminansia ST x Kebut BK Sapi Dewasa KGST
Atau :
Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak ST IDD Hijauan =
Jml Populasi
Ruminansia ST
Berdasarkan nilai indeks daya dukung diperoleh kriteria status daya dukung hijauan seperti pada Tabel 5. Indeks daya dukung mencerminkan tingkat
keamanan pakan pada suatu wilayah, untuk mendukung kehidupan ternak yang berada di atasnya.
Tabel 5 Kriteria status daya dukung hijauan berdasarkan indeks daya dukung No.
Indeks Daya Dukung IDD Kriteria
1 2
3 4
2 1.5 – 2
1 – 1.5 ≤ 1
Aman Rawan
Kritis Sangat Kritis
Sumber : Ashari et al. 1995
Produksi hijauan merupakan produksi relatif untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan disebut juga perkiraan persentase produktivitas, dimana untuk
kelas S1 = 80-100, S2 = 60-80 dan S3 = 41-60, dari produksi rata-rata masing-masing hijauan atau daya dukung lahan, sedangkan kelas N tidak
diperhitungkan karena persentasinya sangat rendah 20 Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001.
Pola ketersediaan hijauan di lahan sawah bersifat lebih fluktuatif dibandingkan pada lahan lainnya, karena dipengaruhi oleh pola tanam dan musim
tanam, sehingga ketersediaan hijauan bersifat dinamik. Analisis spasial untuk mengetahui sebaran tingkat ketersediaan hijauan
makanan ternak dengan menggunakan pendekatan SIG. Proses-proses yang dilakukan yaitu overlay peta satuan lahan dengan peta wilayah kecamatan, joint
basis data dengan data atribut satuan lahan, query untuk pembuatan peta tematik, perhitungan luas dan daya dukung hijauan. Diagram alur kegiatan penelitian dapat
dilihat pada Gambar 7.
3.4.5 Arahan Kawasan Penyebaran dan Pengembangan
Setelah diketahui lahan-lahan yang Sesuai S untuk lingkungan ekologis sapi potong dan daya dukung hijauan makanan ternak, maka prioritas arahan
kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ditentukan dengan :
a. Penentuan status wilayah penyebaran dan pengembangan ternak sapi potong
menggunakan kriteria-kriteria yang dimodifikasi dari tiga unsur pembangunan
sebagaimana diuraikan Ashari et al. 1995 yang dinamakan Nilai Kriteria Karakteristik Kunci, seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Cara penilaian dan
analisis berdasarkan Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, disusun oleh Sumanto dan Juarini
2006.
Tabel 6 Nilai kriteria karakteristik kunci
UNSUR KRITERIA KUNCI
BATAS NILAI
Sumberdaya Manusia SDM
-Pendidikan -Penguasaan lahan
-Mata pencaharian penduduk -Kepadatan penduduk
≥ 16 Peran Kelembagaan
Masukan dan Keluaran
-KUD -Kelompok peternak
-Perusahaan peternakan -Pasarkios
-Penyuluh Pertanian -Bank pedesaan
≥ 7
Sumberdaya Alam SDA
-Luas kesesuaian lahan ternak sapi -Daya Dukung pakan alami IDD
-Kepadatan Ekonomi Ternak ≥ 20
Perkembangan Wilayah dan
Teknologi Peternakan
-Teknologi prabudidaya -Teknologi budidaya
-Teknologi Pasca budidaya -Teknologi Pemasaran
-Status perkembangan kecamatan -Listrik
-Telepon -Sarana jalan
≥ 7
Sumber : Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah 2006 dimodifikasi.
b. melihat hasil analisis LQ dan SSA dengan melakukan perbandingan antar
kecamatan yang memenuhi kriteria nilai LQ dan SSA tersebut. Analisis Location Quotient LQ dilakukan untuk mengetahui apakah
usaha peternakan sapi potong merupakan sektor basis atau non basis pada suatu kecamatan, dengan rumus sebagai berikut :
X
ij
X
i.
LQ
ij
= X.
j
X..
Dimana : X
ij
= kepadatan ekonomi ternak sapi di kecamatan A X
i.
= jumlah kepadatan ekonomi peternakan di kecamatan A
X.
j
= jumlah kepadatan ekonomi ternak sapi di Kabupaten Lima Puluh Kota
X.. = jumlah kepadatan ekonomi seluruh peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota
Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah : 1 kondisi geografis relatif seragam, 2 pola-pola aktifitas relatif seragam, dan 3 setiap aktifitas
menghasilkan produk yang sama Panuju dan Rustiadi 2005. Untuk memahami pergeseran struktur aktifitas usaha ternak sapi potong di
kecamatan tertentu dibandingkan dengan di wilayah kabupaten dalam 2 titik waktu digunakan Shift Share Analysis SSA. Hasil SSA dapat menjelaskan
kinerja aktifitas beternak sapi potong di suatu kecamatan dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah kabupaten. Untuk menghitung SSA
digunakan rumus sebagai berikut :
X..t
1
X.it
1
X..t
1
Xijt
1
X.it
1
SSA = - 1 +
- + -
X..t X.it
X..t Xijt
X.it a b c
Dimana : a = komponen regional share
b = komponen proportional shift c = komponen differential shift
X.. = Nilai total kepadatan ekonomi peternakan dalam Kabupaten X.i = Nilai total kepadatan ekonomi ternak sapi dalam Kabupaten
Xij = Nilai kepadatan ekonomi ternak sapi dalam kecamatan A t
1
= titik tahun akhir t
= titik tahun awal
Penilaian Kesesuaian Lingkungan Ekologis
Sapi Potong Matching Peta Kesesuaian Lahan
untuk Tanaman HMT Analisis Tingkat
Ketersediaan HMT : DD IDD HMT
Peta Ketersediaan HMT
Analisis Spasial
Peta Administrasi
Peta Kesesuaian Lingkungan Ekologis
Penilaian Kesesuaian Lahan Matching
Analisis Kriteria Karakteristik
Kunci, LQ, SSA.
Data Kualitas
Karakteristik Satuan Lahan
Persyaratan Kesesuaian
Lingk Ekologis Persyaratan
Kesesuaian Lahan
Tanaman HMT
- Data populasi
dan komposisi
ternak ruminansia.
- Data luas
tanaman pangan
- Lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan sapi potong.
- DD lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan sapi potong
- Arahan kawasan PP Kapasitas Peningkatan Populasi Sapi Potong
Data Kualitas
Karakteristik Satuan Lahan
Gambar 7 Diagram alir kegiatan penelitian.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peranan sektor pertanian termasuk di dalamnya subsektor peternakan semakin menonjol pada pengembangan agribisnis saat ini dan masa yang akan
datang, Beberapa keunggulan agribisnis berbasis peternakan adalah : mempunyai kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes misalnya dalam
pengembangan sistem integrasi karet-sapi, kelapa-sapi atau ternak dan pelestarian alam, produk peternakan mempunyai nilai elastisitas tinggi terhadap perubahan
pendapatan, sehingga permintaan produk peternakan akan selalu meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan Saragih 2000.
Seiring dengan peningkatan pengetahuan dan pendapatan masyarakat, permintaan akan pangan sumber protein hewani juga mengalami kenaikan,
terutama terhadap produk unggas dan sapi potong. Untuk itu pengembangan subsektor peternakan sebagai bagian integral dari sektor pertanian perlu mendapat
perhatian khusus dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan yang ada. Hal ini karena kegiatan pada subsektor peternakan terbukti
memiliki peran penting dalam peningkatan pendapatan petani, pemerataan perekonomian dan kesempatan kerja, serta perbaikan terhadap gizi masyarakat.
Tujuan ini dapat dicapai melalui peningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak.
Strategi pengembangan
peternakan untuk mencapai hasil yang optimal
memerlukan perencanaan yang matang dan tepat, sehingga ruang yang digunakan untuk kegiatan pengembangan peternakan tidak bersaing dengan kegiatan lain dan
tidak saling mengganggu antara peternakan itu sendiri dengan lingkungan sekitarnya. Untuk itu perlu suatu penataan ruang kawasan peternakan secara
khusus, yang disusun berdasarkan potensi lahan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan ternak, akses ke tempat pemasaran dan sarana prasarana yang
menunjang usaha dibidang peternakan tersebut. Dengan demikian diharapkan kegiatan dibidang peternakan dapat berjalan dengan aman dan lancar serta mampu
menghasilkan produksi yang optimal dari segi kualitas maupun kuantitas.
2 Kegiatan peternakan yang telah memiliki kawasan tersendiri yang lebih jelas dan
teratur, selain lebih mudah dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan maupun penanggulangan wabah penyakit yang dapat segera dilaksanakan, juga
lebih memudahkan untuk membuat program-program yang bersifat menunjang kegiatan peternakan tersebut.
Penataan kawasan pengembangan peternakan perlu memperhatikan aspek lahan sebagai tempat hidup dan tempat menanam hijauan pakan ternak, jalur
transportasi sebagai penghubung dengan tempat pemasaran, aspek penduduk, lokasi kegiatan pertanian sebagai penunjang kegiatan peternakan, dan lain-lain.
Selain itu, sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 417KptsOT.21072001 tentang Pedoman Umum Penyebaran dan
Pengembangan Ternak, lokasi penyebaran peternakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : bebas penyakit hewan menular sesuai jenis ternak
yang akan disebarkan, sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, sesuai dengan Tata Ruang KabupatenKota, mendukung kelancaran pemasaran,
mendukung efisiensi dan efektivitas pembinaan dan daya dukung lokasiwilayah memadai Anonim 2001.
Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Barat dengan ibukotanya sampai saat sekarang masih berada di pusat
Kota Payakumbuh dan berada pada jalur darat utama yang menghubungkan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau. Keadaan ekonomi Kabupaten
Lima Puluh Kota dilihat dari nilai Produk Domestik Regional Bruto PDRB atas harga berlaku didominasi oleh bidang usaha pertanian, dan subsektor peternakan
berada pada urutan keempat setelah tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan distribusi PDRB atas harga
berlaku dari tahun 2002 sampai dengan 2004 seperti tertera pada Tabel 1. Salah satu komoditi peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota yang
ditetapkan sebagai komoditi unggulan adalah ternak sapi potong. Populasi ternak sapi potong dan jumlah rumah tangga pemeliharanya secara signifikan mengalami
peningkatan selama empat tahun terakhir ini, seperti terlihat pada Tabel 2.