Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada Pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi Craniectomi Dekompresi

(1)

KARYA TULIS TUGAS AKHIR

HUBUNGAN HASIL ROTTERDAM CT SCORE DENGAN

GLASGOW OUTCOME SCALE PADA PASIEN CEDERA

KEPALA YANG DILAKUKAN OPERASI KRANIECTOMI

DEKOMPRESI

TESIS

PENELITI

dr.INDRA SAPUTRA

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar

Spesialis Bedah Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Bedah

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA MEDAN


(2)

Judul : Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada Pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi Craniectomi Dekompresi

Nama PPDS : dr.Indra Saputra Nomor CHS :

Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah Kategori : Bedah Saraf

PROPOSAL PENELITIAN INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH

Pembimbing I :

Pembimbing II:

Prof.Dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat,SpBS(K)

NIP: 194405071977031001 NIP: 197302202005012000 DR.dr.Suzy Indharty,M.Kes,SpBS

Ketua Departemen Ilmu Bedah Ketua Program Studi Ilmu Bedah

Dr.Emir Taris Pasaribu,SpB(K)Onk

NIP:19520304198002100 NIP: 196103161986111001 Dr.Marshal,SpB,SpB-TKV(K)


(3)

SURAT KETERANGAN

Sudah Diperiksa Proposal Penelitian

Judul : Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi Craniectomi Dekompresi

Peneliti : dr.Indra Saputra Departemen : Ilmu Bedah

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

MEDAN, JANUARI 2014

KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU

NIP: 195112021979021001 Prof.DR.H.Aznan Lelo,PhD,SpFK


(4)

PROPOSAL PENELITIAN

Judul : Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada Pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi Craniectomi Dekompresi

Peneliti : dr.Indra Saputra Departemen : Ilmu Bedah

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

MEDAN, JANUARI 2014 SEKSI ILMIAH

DEPATEMEN ILMU BEDAH FK USU

NIP : 196712201997031001 Dr.Budi Irwan,SpB-KBD


(5)

PERNYATAAN

Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasgow

Coma Scale Sesudah Operasi Pada Pasien Cedera Kepala Yang dilakukan Operasi Kraniectomi Dekompresi

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2014


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis penelitian akhir ini yang merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Emir T Pasaribu, SpB(K)ONK dan Sekretaris Departemen, dr. Erjan Fikri, SpB,SpBA. Ketua Program Studi Ilmu Bedah, dr. Marshal SpB,SpBTKV dan Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah, dr. Asrul S, SpB-KBD, yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan.

Prof. Dr. Abd. Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K); Guru Besar di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing penulisan tesis, DR.dr.Rr.Suzy Indharty,Sp.BS,M.kes; Sekretaris Program Studi di Departemen ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universita Sumatera Utara dan pembimbing penulisan tesis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah membimbing, mendidik, membuka wawasan penulis, senantiasa memberikan


(7)

dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada guru-guru saya : Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. Iskandar Japardi, SpBS(K), Prof. Adril A Hakim, SpS,SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB,SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB,SpOT, Alm.Prof Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof Buchari Kasim, SpBP, dr. Asmui Yosodihardjo, SpB,SpBA, dr. Syahbuddin Harahap, SpB, DR. dr. Humala Hutagalung, SpB(K)ONK, dr. Gerhard Panjaitan, SpB(K)ONK, dr. Harry Soejatmiko, SpB,SpBTKV, dr. Chairiandi Siregar, SpOT, dr. Bungaran Sihombing, SpU, dr. Syah M Warli, SpU dan seluruh guru bedah saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya. Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama mengikuti program pendidikan ini.

Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.

Para Senior, dan sejawat peserta program studi Bedah yang bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan.

Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi, dan di semua tempat bersama penulis selama penulis menimba ilmu.

Kedua orang tua, ayahanda Alm.Kasiar Saufi dan ibunda Maslaini . Mertua, ayahanda Dr.H.Rusli Dhanu,Sp.S(K) dan ibunda Hj. Sopanita br Tarigan, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran, kasih sayang dan perhatian,


(8)

dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani kehidupan.

Kepada abang, kakak, adik-adik dan seluruh keluarga besar, penulis menucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta dr.Rika Wahyuni Dhanu, SpAn dan anakku Pangru Perdana Putra dan Arya Dwika Putra atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi saya selama menjalani masa pendidikan yang panjang ini.

Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.

Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan Magister spesialisasi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Medan, Oktober 2013 Penulis


(9)

ABSTRAK

Latar Belakang : Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang, tingkat kematian pada cedera otak traumatik ini mencapai 35%-50%. Di Eropa dilaporkan insidensi cedera otak traumatik yang masuk rumah sakit dan cedera otak traumatik yang berakhir pada kematian adalah 235/100.000 populasi, berbeda dengan India (160/100.000) dan di Amerika Serikat (103/100.000). Setiap tahunnya di Inggris 1500/100.000 populasi mengalami cedera otak traumatik, 300 dirawat di rumah sakit dan 9 meninggal (Reilly, 2007). Cedera otak traumatik menempati peringkat ke-5 dari penyakit utama penyebab kematian di Rumah Sakit dengan angka rerata 3000 kematian pertahun (Depkes RI, 2007). Kraniectomi dekompresi merupakan sarana efektif untuk mengontrol tekanan intrakranial tinggi. Computed tomography (CT) otak adalah pilihan pertama pemeriksaan pada fase akut setelah cedera kepala dan memberikan informasi diagnostik yang penting.Klasifikasi pencitraan yang baru yang didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala yaitu Rotterdam CT score

Metode : Penelitian dilakukan pada 47 pasien hidrosefalus yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sejak oktober 2013 sampai dengan januari 2014. Data Kemudian dilakuakan analisis dengan menggunakan ChiSquare dan nilai p<0,05 dianggap sebagai hubungan yang bermakna.

. Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak.

Hasil Penelitian : Pada 47 pasien yagn dilakukan operasi kraniectomi dekompresi dijumpai : Hubungan antara Rotterdam CT Score dengan GOS adalah bermakna (p = 0,014 ; r = 0,05).

Rotterdam CT dapat dapat digunakan sebagai prediktor prognosis penderita cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna hasil Rotterdam CT Score dengan GOS sebagai predictor prognosis pada cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi

Kata Kunci :Rotterdam CT Score,Glasgow Outcome Scale,kraniectomi Dekompresi,Glasgow Coma Scale,Prognosis.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN HASIL PENELITIAN

Pembimbing,Ketua Departemen,Ketua Program Studi i

Konsultan Metodologi Penelitian ii

Seksi Ilmiah iii

Pernyataan iv

Kata Pengantar v

Abstak viii

Daftar Isi ix

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Hipotesis 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.4.1. Tujuan Umum 4

1.4.2. Tujuan Khusus 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.5.1. Bidang Pendidikan (Ilmu Pengetahuan) 4

1.5.2. Bidang Penelitian 5


(11)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Otak Traumatik 6

2.1.1. Defenisi Cedera Otak Traumatik 6 2.1.2. Pembagian Cedera Otak Traumatik 7 2.1.3. Pembagian Cedera Otak Traumatik

Berdasarkan Derajat Keparahan 8

2.1.3.1. Berdasarkan Derajat Glasgow Coma Scale(GCS) 8 2.2. Skala Prognosis Glasgow (Glasgow Outcome Scale = GOS) 10 2.2.1. Outcome Paska Cedera Kepala (Glasgow Outcome Scale) 10 2.2.2. Skoring Glasgow Outcome Scale 12 2.3. Teknik Pembedahan Craniectomy Decompresi 12 2.4. Rotterdam Computed Tomography Score 17

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian 20

3.2. Tempat, Waktu dan Tenaga Pelaksana Penelitian 20

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 20

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 21

3.5. Perkiraan Besar Sampel 21

3.6. Cara Kerja dan Alur Penelitian 22

3.7. Alur Penelitian 23

3.8. Kerangka Teori 24

3.9. Kerangka Konsep 25

3.10. Definisi Operasional 26

3.11. Informed Consent dan Ethical Clearance 28

3.12. Organisasi Penelitian 28


(12)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1 . Karakteristik Sampel 30

4.1.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Usia 30 4.1.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin 31 4.1.3 Distribusi Pasien Berdasarkan Head CT Scan 32 4.1.4 Distribusi lokasi cedera kepala menurut hasil pemeriksaan

CT Scan 32

4.1.5 Distribusi pasien berdasarkan GCS saat awal masuk 33 4.1.6 Distribusi Pasien berdasarkan skor GOS 34 4.1.7 Distribusi pasien berdasarkan hasil Rotterdam CT Score

dan hasil GOS 36

4.1.8 Proporsi antara GCS saat awal masuk dengan skor GOS 36

BAB 5 PEMBAHASAN 38

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan 40

6.2 Saran 40


(13)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 2 Susunan Peneliti

Lampiran 3 Jadwal Penelitian

Lampiran 4 Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian Lampiran 5 Persetujuan Komote Etik Penelitian

Lampiran 6 Lembar Pengumpul Data Penelitian Lampiran 7 Lembar Penilaian Rotterdam CT Score Lampiran 8 Lembaran Penilaian GOS


(14)

ABSTRAK

Latar Belakang : Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang, tingkat kematian pada cedera otak traumatik ini mencapai 35%-50%. Di Eropa dilaporkan insidensi cedera otak traumatik yang masuk rumah sakit dan cedera otak traumatik yang berakhir pada kematian adalah 235/100.000 populasi, berbeda dengan India (160/100.000) dan di Amerika Serikat (103/100.000). Setiap tahunnya di Inggris 1500/100.000 populasi mengalami cedera otak traumatik, 300 dirawat di rumah sakit dan 9 meninggal (Reilly, 2007). Cedera otak traumatik menempati peringkat ke-5 dari penyakit utama penyebab kematian di Rumah Sakit dengan angka rerata 3000 kematian pertahun (Depkes RI, 2007). Kraniectomi dekompresi merupakan sarana efektif untuk mengontrol tekanan intrakranial tinggi. Computed tomography (CT) otak adalah pilihan pertama pemeriksaan pada fase akut setelah cedera kepala dan memberikan informasi diagnostik yang penting.Klasifikasi pencitraan yang baru yang didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala yaitu Rotterdam CT score

Metode : Penelitian dilakukan pada 47 pasien hidrosefalus yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sejak oktober 2013 sampai dengan januari 2014. Data Kemudian dilakuakan analisis dengan menggunakan ChiSquare dan nilai p<0,05 dianggap sebagai hubungan yang bermakna.

. Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak.

Hasil Penelitian : Pada 47 pasien yagn dilakukan operasi kraniectomi dekompresi dijumpai : Hubungan antara Rotterdam CT Score dengan GOS adalah bermakna (p = 0,014 ; r = 0,05).

Rotterdam CT dapat dapat digunakan sebagai prediktor prognosis penderita cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna hasil Rotterdam CT Score dengan GOS sebagai predictor prognosis pada cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi

Kata Kunci :Rotterdam CT Score,Glasgow Outcome Scale,kraniectomi Dekompresi,Glasgow Coma Scale,Prognosis.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 45 tahun di negara maju dan di negara berkembang. Kepala juga merupakan bagian yang paling sering mengalami kerusakan pada pasien multiple trauma dan tingkat kematian pada cedera otak traumatik ini mencapai 35%-50%. Cedera otak traumatis merupakan masalah kesehatan masyarakat dan merupakan penyebab utama kematian dan cacat berat di kalangan anak muda.(Huang, 2013).

Cedera otak traumatik menempati peringkat ke-5 dari penyakit utama penyebab kematian di Rumah Sakit dengan angka rerata 3000 kematian pertahun (Depkes RI, 2007).

. Di Eropa dilaporkan insidensi cedera otak traumatik yang masuk rumah sakit dan cedera otak traumatik yang berakhir pada kematian adalah 235/100.000 populasi, berbeda dengan India (160/100.000) dan di Amerika Serikat (103/100.000). Setiap tahunnya di Inggris 1500/100.000 populasi mengalami cedera otak traumatik, 300 dirawat di rumah sakit dan 9 meninggal (Reilly, 2007). Cedera kepala menjadi hampir sebagian penyebab kematian dari keseluruhan angka kematian yang diakibatkan trauma, yang sebagian besarnya mengakibatkan kematian pasien akibat trauma setelah masuk ke rumah sakit. Cedera kepala juga merupakan penyebab utama yang paling sering mengakibatkan kecacatan permanen setelah kecelakaan dan kecacatan tersebut dapat terjadi meskipun pada pasien dengan cedera kepala derajat ringan (Selladurai B. et al, 2007).

Faktor paling penting yang menentukan prognosis dari pasien cedera kepala adalah tingkat ketahanan otak terhadap kerusakan. Pada dasarnya perkembangan kerusakan otak setelah cedera kepala merupakan hasil kombinasi dari kerusakan primer dan kerusakan sekunder dan telah diketahui bahwa sebagian besar kerusakan otak pada cedera kepala disebabkan oleh kerusakan sekunder (Narayan, 1996).

Beberapa studi menunjukkan bahwa kraniectomi dekompresi merupakan sarana efektif untuk mengontrol tekanan intrakranial tinggi, terutama pada pasien


(16)

dengan lesi intraparenchymal (Polin, 1997). Kraniectomi dekompresi sering dilakukan,oleh karena itu, prediksi hasil pasca operasi sangat penting dalam praktek bedah saraf. Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan alat utama untuk penilaian klinis keparahan cedera otak, berkorelasi dengan hasil setelah kraniectomi dekompresi

Computed tomography (CT) otak adalah pilihan pertama pemeriksaan pada fase akut setelah cedera kepala dan memberikan informasi diagnostik yang penting dengan implikasi terapi untuk intervensi bedah. Marshall et al 1991, mengusulkan klasifikasi CT untuk mengelompokkan pasien dengan cedera otak traumatik menurut beberapa karakteristik CT. Meskipun klasifikasi CT oleh Marshall et al telah digunakan untuk hasil yang dievaluasi dari cedera otak traumatik (Huang, 2012).

Mass dkk,2005 mengembangkan klasifikasi pencitraan lain yang baru yang didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala yaitu Rotterdam CT score. Mereka menggabungkan karakteristik individual, termasuk status sisterna basal, pergeseran garis tengah, dan jenis lesi massa atau perdarahan intrakranial pada model yang memerlukan untuk tujuan prognostik cedera otak traumatik. Berdasarkan Rotterdam CT score (Maas, 2005), yang mengidentifikasi lima temuan pencitraan kunci pada trauma kepala CT dengan signifikan nilai prognostik klinis: (1) ada atau tidak adanya subdural atau epidural hematoma, (2) ada atau tidak adanya subarachnoid perdarahan, (3) ada atau tidak adanya suatu intraparenchymal hematoma, (4) ada atau tidak adanya klinis yang signifikan pergeseran garis tengah (≥ 5 mm), dan (5) normal. Nilai dari sistem klasifikasi CT dalam memprediksi hasil klinis diakui sebagai pedoman untuk manajemen setelah cedera otak traumatik yang berat (Chestnut, 2000)

Skala pengukuran Glasgow Outcome Scale ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond, 1975, prognosis paska cedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien paska cedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis paska koma traumatik maupun non traumatik. (Bullock,2004; Narayan,Michel, 2002; Jennet,2005)


(17)

Skala ini bersama-sama dengan skala-skala yang lain sering dipakai untuk menentukan efektifitas terapi yang dipilih sehingga sangat menolong dalam penelitian cedera otak. Secara umum, prosedurnya ialah membagi dua/melakukan dikotomi lima peristiwa dari glasglow outcome scale menjadi dua kategori : unfavorable dan favorable. Unfavorable outcome meliputi kategori: meninggal,persisten vegetative state dan ketidakmampuan yang berat. Favorable outcome meliputi : ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik.

Berdasarkan pengetahuan peneliti, penelitian ini belum pernah dilakukan dilakukan di Indonesia, Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari glasgow outcome scale sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma,beratnya kondisi pada awal trauma(diukur dengan GCS), dan tipe lesi intrakranial. Glasgow outcome scale kategori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan terhadap glasgow outcome scale terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak. (Narayan ,et al ,1995).

Penelitian yang dilakukan menemukan makin tinggi hasil Rotterdam CT score makin meningkat mortalitas dan makin menunjukkan hubungan peningkatan glasgow outcome scale (Huang et al,2012)

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Huang et al,2012 menguji perbedaan prognostik dan prediksi dari Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani kraniectomi dekompresi, mereka mendapatkan hasil dimana Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan merupakan prediktor independen terhadap glasgow outcome scale.

Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian terhadap hubungan hasil Rotterdam CT score dengan Glasgow Outcome Scale di Rumah Sakit Umum Adam Malik Medan


(18)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan yaitu : Hubungan hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan prediksi Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi craniectomi decompresi

1.3. Hipotesis

Ada hubungan antara Hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan hasil Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan hasil antara Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

1.4.2. Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui angka kejadian kasus cedera kepala dengan gambaran CT Scan.

- Untuk mengetahui hubungan hasil Rotterdam CT score sebelum operasi dengan hasil Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bidang Pendidikan (Ilmu Pengetahuan)

Pada penelitian ini diharapkan dapat diketahui manfaat hubungan hasil Rottedam CT Score sebelum operasi dengan Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasein cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi.


(19)

1.5.2. Penelitian

Memberikan masukan bagi penelitian lebih lanjut yang nantinya berguna bagi tatalaksana pasien dengan cedera kepala dengan menggunakan Rotterdam CT Score atau Glasgow Outcoma Scale.

1.5.3. Pelayanan kesehatan

Menunjang perbaikan penatalaksanaan pasien pada cedera kepala dengan menggunakan Rotterdam CT Score dan Glasgow Outcoma Scale yang nantinya dapat membantu memperbaiki prognosis.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera otak traumatik

2.1.1. Defenisi cedera otak traumatik

Istilah cedera kepala (Head Injury), trauma kapitis adalah cedera yang mengenai bukan hanya jaringan otak tetapi juga disertai cedera kulit kepala (scalp), tulang tengkorak (atap dan dasar tengkorak), tulang-tulang wajah (maksila, mandibula), saraf kranial spesial (penglihatan, penciuman, pendengaran) (Critchley and Memon, 2009). Tidak semua jejas pada kepala menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya luka sayat sederhana pada kulit kepala), sebaliknya tidak harus ada jejas di kepala menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya jatuh terduduk dari ketinggian tanpa ada perlukaan di kepala).

Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury) adalah suatu proses patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif maupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar (trauma), menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik dan psikososial yang sifatnya menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Dawodu, 2009; Crithcley and Memon, 2009).

Penyebab cedera otak traumatik yaitu kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, cedera olah raga (misalnya olah raga tinju), cedera pada rekreasi (misalnya parachute jumping), luka tembak, kriminalitas, penyalahgunaan anak (child abuse). Penyebab cedera otak traumatik secara lengkap dan terperinci terdapat di naskah klasifikasi diagnostik internasional ke-10 (ICD 10) kode V01 sampai Y98 (ICD 10, Engel, 2008).

Cedera otak primer akibat langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat terjadinya cedera kepala (hancur, robekan, memar dan perdarahan) (Reilly, 2007). Cedera otak primer menyebabkan kerusakan jaringan otak lokal, multi fokal dan difus pada sel neuron, axon, glia dan pembuluh darah. Temuan radiologis pada CT Scan otak yaitu perdarahan epidural, perdarahan sub dural, perdarahan intra serebral, bercak perdarahan kontusio, cedera difus dan sebagainya (Reilly, 2007)


(21)

Cedera otak sekunder adalah akibat lanjutan dari cedera otak primer terdiri dari faktor-faktor lokal (intra kranial) dan sistemik (ekstra kranial) (Reilly, 2007). Suatu hal penting dalam memahami cedera kepala murni (isolated) dengan atau tanpa disertai cedera struktur anatomi dibawah leher (polytrauma). Cedera ganda (polytrauma, multitrauma) memiliki kontribusi besar pada kejadian insult cedera otak sekunder (Crithcley and Memon, 2009).

2.1.2. Pembagian cedera otak traumatik

Klasifikasi cedera otak traumatik dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Klasifikasi cedera otak traumatik berdasarkan mekanisme, derajat keparahan dan morfologi

Jenis Pembagian

Mekanisme Tumpul Kecepatan tinggi (tabrakan mobil) Kecepatan rendah (jatuh, dipukul) Tembus Cedera peluru

Cedera tembus lain Derajat keparahan Ringan GCS 13 – 15

Sedang GCS 9 – 12

Berat GCS 3 – 8

Morfologi Fraktur tengkorak Kalvaria Garis, bintang, distasis

sutura, fraktur kompleks Impresi Terbuka-tertutup Dasar tengkorak Dengan/tanpa kebocoran CSS

Dengan/tanpa paresis N VII

Lesi intrakranial Fokal Epidural Subdural Intraserebral Difus Komosio ringan

Cedera akson difus Tabel diterjemahkan dari Valadka, AB dan Narayan, RK 1996. “Emergency room management of the head injured patient” in RK Narayan R, JE Wilberger, JF Povilshock (ed), Neurotrauma, New York, Mc. Graw-Hill, p120


(22)

Pembagian cedera otak traumatik menurut The International Classification of Diseases (ICD) 10 adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Daftar kode ICD-10 dan kategori cedera kepala

Kode kategorikal Diagnosis

S00 Superficial injury of the head S01 Open wound of the head

S02 Fracture of skull and facial bones

S03 Dislocation, sprain and strain of joints and ligaments of the head

S04 Injury of cranial nerves S05 Injury of eye and orbit S06 Intracranial injury S06.0 Concussion

S06.1 Traumatic cerebral oedema S06.2 Diffuse brain injury

S06.3 Focal brain injry S06.4 Epidural haemorrhage

S06.5 Traumatic subdural haemorrhage S06.6 Traumatic subarachnoid haemorrhage S06.7 Intracranial injury with prolonged coma S06.8 Other intracranial injury

S06.9 Intracranial injury, unspecified S07 Crushing injury of head

S08 Traumatic amputation of part of head S09 Other and unspecified injuries of head

Sumber: International Statistical Classification of disease and Related Health Problems, 10th Revision, Version for 2007 published by the WHO permission from the World Health Organization, ©2007

2.1.3. Pembagian cedera otak traumatik berdasarkan derajat keparahan

2.1.3.1.Berdasarkan derajat Glasgow Coma Scale (GCS)

Pengukuran derajat keparahan cedera otak traumatis ada berbagai macam yaitu, parameter klinis (misalnya penilaian tingkat kesadaran, reaktifitas pupil), radiologi (kriteria cedera difus) dan laboratorium (petanda biomarker kerusakan jaringan otak). Parameter klinis yang sering dipakai adalah penilaian tingkat kesadaran penderita cedera otak traumatik. Ada beberapa skala penilaian tingkat kesadaran seperti: Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring


(23)

System, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, Leeds Coma Scale, Japan Trauma Scale dan lain-lain. Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale = GCS) yang dilakukan setelah resusitasi paling umum dan banyak dipakai di Internasional bahkan di literatur penelitian neurotrauma. Kelebihan GCS adalah reliabel dan obyektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda, sederhana, berguna sebagai pedoman terapi dan memberi informasi tentang prognosis (Stein 1996; Ross Bullock et al, 2003). Kendala keterbatasan pengukuran GCS antara lain jika penderita mengalami edema palpebra, terintubasi, patah tulang ekstremitas, intoksikasi alkohol, penggunaan obat sedasi dan blokade muskuler, serangan kejang pasca traumatik, sehingga ada variabel yang tidak bisa dinilai (Feldman, 1996; Ross Bullock et al, 2003).

Tabel 3. Penilaian Skala Koma Glasgow (GCS)

A Respon buka mata Nilai

Spontan 4

Atas perintah / suara 3

Rangsangan nyeri 2

Tidak ada 1

B Respon motorik Nilai

Menurut perintah 6

Melokalisir nyeri 5

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2

Tidak ada (flasid) 1

C Respon bicara Nilai

Berorientasi baik 5

Berbicara mengacau / bingung 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada 1

Tabel ini diambil dari : American College of Surgeon 1997, Advance Trauma Life Support Program Student Manual, Komisi Trauma “IKABI” (Ikatan Ahli Bedah Indonesia), 6th ed, Komisi Trauma “IKABI”, Jakarta.

Tingkat pengukuran yang menunjukkan derajat keparahan paling berat adalah GCS 3 yaitu tidak dapat membuka mata, tidak dapat berbicara dan tidak ada respon motorik meskipun dengan rangsang nyeri. Sedangkan pengukuran


(24)

yang menunjukkan derajat paling ringan adalah GCS 15 yaitu membuka mata spontan, berbicara baik berorientasi dan respon motorik sesuai perintah. Penulisan pada catatan rekam medik E1, M1, V1 dan E4, M6, V5.

2.2. Skala Prognosis Glasgow (Glasgow Outcome Scale = GOS)

Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak, GOS dikelompokkan dalam 5 kategori: 1. mati, 2. persistent vegetative state, 3. ketidakmampuan yang berat, 4. ketidakmampuan sedang , 5. kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari GOS sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma,beratnya kondisi pada awal trauma(diukur dengan GCS), dan tipe lesi intrakranial. GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan terhadap GOS terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak. (Narayan ,et al ,1995)

Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond, 1975 prognosis paska cedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien paska cedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis paska koma traumatik maupun non traumatik. (Bullock,2004; Narayan,Michel, 2002; Jennet,2005)

Telaah pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera otak di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf memutuskan penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan paska trauma. (Jennet ,2005)

2.2.1 Outcome Paska Cedera Kepala (Glasgow Outcome Scale)

Glasgow Outcome Scale dikembangkan pertama kali oleh Jennet dan Bond pada tahun 1975. Mereka mengembangkan GOS dengan tujuan mengklasifikasi bermacam-macam kondisi outcome yang terdapat pada pasien


(25)

paska cedera kepala. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya GOS terdiri 5 kategori. Kategori GOS mulai dari Good recovery (GOS 5) hingga Death (GOS 1) (Lee KS et al, 1997). Banyak peneliti telah menggunakan GOS sebagai pengukuran utama outcome karena dapat mendeskripsikan secara umum outcome dari pasien (Pozzati E et al, 1980; Seeler RA et al, 1973; Jamieson KG, 1972; Munro D, 1982; Lee KS et al, 1997) Beberapa peneliti dalam studi mereka mengkombinasikan kategori dalam GOS dengan tujuan menciptakan outcome kategori yang lebih luas. Choi dan kawan (1983), Narayan dan kawan-kawan (1981), dan Young dan kawan-kawan-kawan-kawan (1981) membuat kategori outcome baik dan buruk. Outcome baik terdiri dari kategori good recovery atau moderate disability, outcome buruk pada pasien yang mengalami severe disability, persisten vegetative state or death. Dengan membuat kriteria outcome ini lebih luas, peneliti dapat menggambarkan akurasi yang lebih baik pada prediksinya.

Pengukuran outcome dari cedera kepala dilakukan menggunakan skala pengukuran yang beragam. Glasgow Outcome Scale (GOS), Barthel Index (BI), Functional Independence Measure (FIM) merupakan beberapa skala pengukuran yang sering digunakan diantara banyak skala lainnya.


(26)

2.2.2. Skoring Glasgow Outcome Scale Score

Skor

Rating Penilaian Definition Definisi

5 Good Recovery Baik Pemulihan

Resumption of normal life despite minor deficits/ Kembalinya kehidupan normal meskipun defisit kecil

4 Moderate Disability

Cacat Sedang

Disabled but independen independen Can work in sheltered setting

Penyandang cacat tetapi dapat bekerja dalam pengaturan terlindung

3 Severe Disability Cacat berat

Conscious but disabled/Sadar tapi dinonaktifkan. Dependent for daily support /Dependent untuk dukungan setiap hari

2 Persistent vegetative Persistent vegetatif

Minimal responsiveness/ Minimal tanggap

1 Death/ Kematian Non survival / Non hidup

2.3.Teknik Pembedahan Kraniectomi Dekompresi

Tujuan dari kraniectomi dekompresi adalah untuk menganggu prinsip dasar doktrin Monro-Kellie dengan memberikan perluasan ruangan bagi otak secara paksa. Akhirnya dengan membuang ‘bone flap’ dan membiarkan dura terbuka lebar (dengan atau tanpa duraplasty) akan menjadi paling efektif. Kraniotomi yang lebar akan menghalangi kerusakan jaringan dan bendungan vena bila dibandingkan dengan kraniotomi yang lebih kecil bila terdapat


(27)

pembengkakan otak yang hebat. Berbagai teknik operasi telah didiskusikan, tetapi hanya ada sedikit dasar untuk perbandingan secara objektif. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi teknik operasi (surgical approach).

Pembengkakan (swelling) unilateral paling baik ditangani dengan dekompresi unilateral yang luas. Efek masa yang difus, bifrontal atau bitemporal paling baik ditangani dengan teknik bilateral frontal (atau pan-frontal). Batas Hemicraniectomy termasuk (a) 2 cm dari tepi lateral sinus sagital superior, (b) pada tingkat lantai fossa kranial tengah pada asal lengkungan zygomatic, (c) frontal ke midpupillary baris, dan (d) 3 cm posterior meatus akustik eksternal. Craniectomy bifrontal diperpanjang posterior hanya sekitar 2 cm di depan sutura koronal dan lateral ke lantai ke fossa tengah. Duramater dibuka, dan pembukaan diperpanjang ke margin tulang secara stellate atau setengah lingkaran. Permukaan otak ditutupi longgar oleh dura sisa atau substites dural buatan tanpa penutupan kedap. (Huang, 2013)

Dampak dari dekompresi pada pengelolaan pasca bedah mungkin berhubungan erat. Beberapa ahli bedah hanya ‘mengambangkan’ (float) dari bone flap, daripada membuangnya. Penulis cenderung untuk membuang bilateral fronto-temporo-parietal flap dengan meninggalkan sepotong tulang diatas sinus sagittalis superior untuk menempatkan monitoring .

Tujuan pembedahan untuk menghilangkan peningkatan tekanan intrakranial, hipertensi intrakranial tidak sepenuhnya dapat diatasi setelah tindakan dekompresi. Penulis menemukan bahwa static autoregulation hilang setelah tindakan operasi ini yang dapat mengarah ke hyperemic intracranial hypertension yang mungkin memerlukan atau tidak memerlukan tindakan. Sughrue ME dan kawan-kawan mengatakan bahwa tindakan bedah kraniectomi


(28)

dekompresi juga dilakukan sebagai tindakan profilaksis dalam rangka pengaturan darurat pada saat evakuasi subdural hematoma atau lesi masa epidural bila tulang tidak dipasang kembali dalam rangka mengantisipasi peningkatan tekanan intracranial seperti yang diprediksi dari gambaran CT atau tampilan jaringan otak pada saat operasi. Pada teknik operasi ini ditekankan untuk membuang bagian tulang temporal sampai ke dasar fossa media (sphenoid wing) untuk mendapatkan dekompresi maksimal terhadap bagian lateral dari batang otak

Indikasi untuk kraniectomi dekompresi yaitu : (i) tindakan setelah dilakukannya evakuasi dari lesi masa dimana otak dirasakan membengkak berlebihan; dan (ii) pengukuran TIK yang tetap tinggi meskipun telah mengikuti protokol manajemen medis yang maksimal.

Komplikasi kraniectomi Dekompresi :

Komplikasi dari operasi kraniectomi dekompresi 1.Kematian

Dari enam kematian yang terjadi setelah operasi dekompresi hanya satu kasus yang dapat dianggap sebagai komplikasi sesungguhnya. Pasien ini menunjukkan penyembuhan yang baik beberapa hari setelah terjadinya cedera dan ketika ia sedang mencoba untuk berjalan tanpa bantuan dan jatuh tepat pada sisi kraniectomi yang tidak terlindungi. Pasien ini mengalami cedera serebral yang lebih berat dan pada akhirnya meninggal. Sebuah kebijakan operasional khusus untuk post kraniectomi decompresi diimplementasikan untuk pemeriksaan dan manajemen pasien. Sisanya adalah kematian yang disebabkan karena cedera otak traumatik meskipun dilakukan intervensi medis tepat waktu.

2. Herniasi melalui celah kraniectomi

Walaupun herniasi melalui cela kraniectomi telah dilaporkan sebagai suatu komplikasi, fenomena ini terjadi begitu seringnya (contohnya 51% dari sampel kohort ini) yang hampir selalu menjadi penyebab keadaan patologis pada prosedur dekompresi. Meskipun kemungkinan terjadinya cedera pada korteks serebri yang mengalami herniasi telah dijelaskan, pada studi kohort ini, tidak ditemukan bukti klinis atau radiologis dari herniasi pada tepi dari celah kraniectomi. Hal ini


(29)

kemungkinan pada kedua centre ini lebih menekankan pada tindakan kraniotomi ekstensif untuk kasus bedah pada kasus trauma.

3. Efusi subdural/subgaleal

Efusi subdural post traumatic yang terjadi setelah cedera kepala merupakan suatu fenomena yang dapat dikenali dengan baik, dengan insiden yang dilaporkan dari 6% sampai 21%. Patogenesis ini berperan pada terjadinya ruptur lapisan dura-arachnoid dan trabeculae yang disebabkan oleh kejadian traumatik dan perubahan dinamika dari sirkulasi CSF yang transien. Efusi subdural merupakan suatu komplikasi dari kraniectomi dekompresi dengan insiden 26% sampai dengan 60%. Pada studi ini, dari seluruh pasien yang selamat, 63% mengalami beberapa bentuk efusi.

Efusi yang terjadi bisa merupakan komplikasi primer dari cedera otak traumatik dan pembuangan dari bone flap dapat menyebabkan terbentuknya ruangan dimana cairan dapat berkumpul. Pembukaan dari dura menyebabkan terciptanya hubungan dengan ruangan subgaleal dan seiring dengan berkurangnya oedem cerebral akut beberapa bentuk efusi biasanya terbentuk. Ketika efusi ini timbul secara cepat, kebanyakan dari efusi ini mempunyai gejala klinis yang tidak signifikan. Efusi ini biasanya terserap begitu bone flap dipindahkan. Pada seorang pasien dimana efusi terjadi secara kontralateral pada sisi kraniectomi, drainase burr hole berhasil dilakukan pada saat cranioplasty autolog yang dilakukan karena pergeseran midline dan deteriorisasi neurologis.

4. Sindrom Trephined

Sekelompok gejala – gejala yg tidak diinginkan telah ditemui berhubungan dengan tidak adanya bone flap. Sindrom trephined pertama kali dijelaskan oleh Grant dan Necross tahun 1939, mereka menjelaskan gejala – gejala dari sakit kepala, kejang – kejang, perubahan mood, dan gangguan perilaku. Kalimat “sindrom dari tenggelamnya scalp flap” menunjukkan defisit – defisit neurologis yg bisa timbul dikarenakan disfungsi kortikal yang disebabkan distorsi otak dibawah scalp flap tadi seiring dengan hilangnya oedem.

Pada tingkatan dimana pasien ini terpengaruh oleh gejala ini sangat sukar untuk ditentukan secara akurat karena banyak pasien dalam fase penyembuhan dari cedera kepala berat. Pasien – pasien secara terus menerus mengeluh sakit


(30)

kepala, perubahan mood dan gangguan perilaku serta sukar untuk menentukan derajat – derajat fenomena post kraniotomi ini. Pada dua rumah sakit trauma di Australia Barat, bone flaps digantikan sesegera mungkin untuk mengembalikan fungsi kosmetik dan protektifnya. Pada penelitian kohort ini tidak ditemukannya contoh – contoh dimana fungsi neurologis pasien meningkat signifikan setelah operasi kranioplasti primer. Bagaimanapun, tiga orang pasien yang mengalami cranioplasty autolog telah melalporkan keluhan tentang sakit kepala berat postural dengan diikutinya vertigo. Gejala – gejala mereka terpecahkan dengan melakukan sebuah cranioplasty titanium.

5. Hidrosefalus

Nilai insidensi dari hidrosefalus post-traumatik yg simptomatik bervariasi dari 0.7% hingga 29%. Perbedaan – perbedaan dalam kriteria diagnostik dan klasifikasi mempengaruhi variasi ini. Pada pasien yg telah dilakukan kraniectomi dekompresi, nilai insidensi dari hidrosefalus post- traumatik berkisar dari 10% hingga 40%. Penelitian ini dilakukan terhadap lima pasien yg telah tepasang VP shunt. Empat dari pasien tersebut didapatkan kemajuan klinis. Seorang pasien lagi yg telah berada di status vegetatif berkepanjangan, tidak ditemukan adanya perubahan klinis dan diagnosisnya menuju ke ventrikulomegali. Angka insidensi penelitian kohort ini kemudian dilaporkan sebesar 11%. Seperti yg disebut sebelumnya, gangguan – gangguan aliran CSF post-traumatik kemungkinan berpengaruh dalam perkembangan dari efusi subdural dan subgaleal dan dipercaya bahwa hidrosefalus simptomatis muncul ketika sirkulasi CSF tidak normal/ stabil. Tingkat keparahan dari cedera dan perkembangan efusi –efusi subgaleal/ subdural terlihat sangat berhubungan erat dgn perkembangan hidrosefalus. Keseluruhan empat orang pasien menunjukkan efusi – efusi yang ekstensif dan hanya seorang dari empat orang pasien tadi yang menunjukkan penyembuhan yang baik. Meskipun hidrosefalus muncul secara primer sebagai hasil dari cedera kepala berat, ada kemungkinkan juga operasi kraniectomi dekompresi dapat mengubah dinamika tekanan CSF menjadi lebih jelek dan/ atau meningkatkan perlukaan sub-arakhnoid, sehingga menempatkan kelompok pasien ini pada resiko yang lebih besar terkenanya hidrosefalus.


(31)

6. Kejang post-traumatik

Angka insidensi dari kejang post-traumatik untuk segala tipe dari cedera kepala adalah 2% hingga 2.5% dalam populasi masyarakat sipil. Insidensi ini meningkat hingga 5% pada pasien – pasien bedah saraf di rumah sakit. Ketika yang dipertimbangkan hanya cedera kepala berat (kontusi otak, hematoma intrakranial, kehilangan kesadaran atau amnesia post-traumatik >24 jam), insidensinya 10% hingga 15% pada pasien dewasa dan 30% hingga 35% pada anak – anak. Pada pasien – pasien yang telah dilakukan kraniectomi dekompresi (yg diduga termasuk dalam kategori cedera kepala berat), angka insidensi terjadinya epilepsi bervariasi dari 7% hingga 20%. Dalam penelitian ini, dari 34 orang pasien yang bertahan hidup, lima orang (17%) mengalami kejang – kejang post-traumatik. Meskipun terlihat komplikasi ini terjadi secara primer karena cedera kepala berat, manipulasi serebral yang timbul dengan prosedur dekompresi dan cranioplasty yang dilakukan setelahnya kemungkinan mempunyai beberapa pengaruh.(Honeybul S,2010)

2.4. Rotterdam Computed Tomography Score

Yang paling terkenal dari klasifikasi CT kepala pada cedera otak traumatik akut, Marshall CT klasifikasi (Marshall et al., 1991) dan klasifikasi Rotterdam CT (Maas et al., 2005), didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala. Berdasarkan Rotterdam CT klasifikasi (Maas, 2005), yang mengidentifikasi lima temuan pencitraan kunci pada trauma kepala CT dengan signifikan nilai prognostik klinis: (1) ada atau tidak adanya subdural atau epidural hematoma, (2) ada atau tidak adanya subarachnoid perdarahan, (3) ada atau tidak adanya suatu intraparenchymal hematoma, (4) ada atau tidak adanya klinis yang signifikan pergeseran garis tengah (≥ 5 mm), dan (5) normal. Nilai dari sistem klasifikasi CT dalam memprediksi hasil klinis diakui sebagai pedoman untuk manajemen setelah cedera otak traumatic berat (Chestnut, 2000)

Huang YH et al,2012 menguji pembedaan prognostik dan prediksi dari Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani kraniectomi dekompresi untuk cedera otak traumatik. Mortalitas dan skala Glasgow outcome scale pada


(32)

akhir masa follow up dipakai sebagai ukuran hasil akhir. Mereka mendapatkan hasil, untuk pasien cedera otak traumatik yang menjalani kraniectomi dekompresi, Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan merupakan prediktor independen terhadap hasil akhir yang tidak menguntungkan.

Kontusio serebri yang luas adalah umum pada pasien yang menjalani hemicraniectomy decompressive. Awal Skor Rotterdam sangat terkait dengan ekspansi contusio pada pasien yang mengalami hemicraniectomy. Skor Rotterdam tinggi dikaitkan dengan kedua lebih tinggi frekuensi dan ukuran yang lebih besar dari ekspansi contusio. Peningkatan volume contusio besar dari 20 cc berikut hemicraniectomy sangat terkait dengan kematian pasien

Tabel 4. Klasifikasi Rotterdam CT Score

.

PREDICTOR SCORE

BASAL CISTERNS Normal Compressed Absent 0 1 2 MIDLINE SHIFT

No shift or shift ≤ 5 mm Shift > 5 mm

0 1 EPIDURAL MASS LESION

Present Absent

0 1 INTRAVENTRICULAR BLOOD or

SUBARACHNOID HEMORRHAGE Absent 0

Present 1 0

1 SUM SCORE

In

+1

In The Rotterdam Scorring System, 1 point is added as a sum score to make The Rotterdam grade numerically total 6 points, consistent with the motor score of the Glasgow Coma Scale and The Marshall Clssification.


(33)

Dikutip dari : Maas AI, Hukkenhoven CW, Marshall LF, Steyerberg EW. Prediction of outcome in traumatic brain injury with computed tomographic characteristics: A comparison between the computed tomographic classification and combinations of computed tomographic predictors. Neurosurgery 2005;57(6):1173-1182

Berbagai penelitian menggambarkan hasil prediksi dengan klasifikasi Marshall, dan pedoman internasional tentang prognosis pasien meliputi klasifikasi Computed Tomography sebagai prediktor utama. Bahkan klasifikasi Marshall awalnya tidak dikembangkan dari perspektif prognosis, sehingga Maas et al meneliti nilai prediktif dan dibandingkan dengan klasifikasi alternatif Computed Tomography. Mereka menggabungkan individu Computed Tomography memiliki model penilaian yang dikenal sebagai Rotterdam CT score, yang menunjukkan prognostik yang lebih baik atas Marshall CT klasifikasi, khususnya dalam kasus pasien dengan lesi massa.(Huang, 2012).


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional dengan metode pengumpulan data secara cross sectional.

Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasikan subyek penelitian trauma kepala yang dilakukan tindakan operasi kraniectomi dekompresi, sebelumnya dinilai dengan menggunakan Rotterdam CT score dan Glasgow Coma Scale. Selanjutnya dari variabel tersebut akan dihubungkan untuk melihat seberapa besar pengaruhnya sebagai faktor prognostik.

3.2. Tempat, Waktu dan Tenaga Pelaksana Penelitian

Tempat : Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Waktu : Penelitian dilaksanakan sejak Oktober 2013 sampai Januari 2014 Tenaga Pelaksana : Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti sendiri

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi:

Populasi target adalah pasien yang mengalami cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi kraniectomi dekompresi dan yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Sampel:

Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


(35)

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi :

• Pasien yang mengalami closed cedera kepala dengan GCS yang punya indikasi operasi

• Berumur dewasa (18-60tahun)

• Waktu kejadian sampai tiba di rumah sakit kurang dari 12 jam

• Penderita langsung datang dari tempat kejadian dan belum mendapatkan terapi apapun

• Cedera otak traumatik setelah resusitasi stabil tercapai.

• Cedera otak tumpul

• Hasil pemeriksaan CT scan cedera kepala yang memerlukan kraniectomi dekompresi

Kriteria eksklusi :

• Cedera otak GCS 3 dengan pupil midriasis bilateral

• Cedera otak tajam (Penetrating Brain Injury)

• Cedera multipel

• Penyakit pre-morbid penyerta

• Hipertermi

• Hiperglikemi paska traumatic

• Kejang dini (early post traumatic epilepsy)

3.5. Perkiraan Besar Sampel

Pengambilan sampel penelitian dari penderita dimulai sejak bulan Oktober 2013, sampai dengan Januari 2014.

Untuk menentukan besar sampel dapat ditentukan dengan rumus :

n = (Zα)2 d

X P Q 2


(36)

n = Besar sampel

Zα = Tingkat kematangan ( 1.96 CI 95%)

P = proporsi dari penelitian terdahulu (0.35) Q = 1-p

d = Tingkat ketepatan absolute yang diinginkan (10%)

Jadi didapatkan jumlah sampel untuk penelitian ini adalah 47

3.6. Cara Kerja dan Alur Penelitian

• Setiap subjek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi mendapatkan penanganan awal sesuai standar ATLS sampai kondisi stabil, kemudian dilakukan pencatatan identitas penderita meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, nomor telefon yang bisa dihubungi.

• Pasien cedera kepala yang dilakukan tindakan kraniectomi dekompresi

• Selanjutnya pasien di lakukan perawatan sesuai standar di ruang rawat inap

• Dilakukan penilaian Rotterdam CT score pada saat pasien masuk

• Dilakukan penilaian Glasgow Outcome Scale pasien pada saat masuk pulang

• Dilakukan analisa variabel-variabel penelitian dan diambil kesimpulan penelitian.


(37)

3.7. Alur Penelitian

Secara skematis bagan alur penelitian adalah sebagai berikut: Izin penelitian komisi etik

Fakultas Kedokteran USU

Pasien cedera kepala tumpul yang masuk ke Instalasi Gawat

Darurat

Cedera kepala

Kriteria inklusi dan eksklusi

Pasien dirawat di Ruang Rawat Inap

Penilaian Glascow Outcome Scale pada saat pasien pulang

Hasil

Analisis Statistik

Kesimpulan Penilaian Rotterdan CT Score Saat Pasien


(38)

3.8. Kerangka Teori

Cedera Kepala

Peningkatan Tekanan Intra Kranial Cedera Kepala

Ringan

Cedera Kepala Sedang Cedera Kepala


(39)

3.9. Kerangka Konsep

Penilaian prognosis Rotterdam CT Score

Cedera primer otak (dilihat dari CT-Scan)

Penilaian prognosis GOS Saat keluar RS Cedera kepala

Operasi kraniotomi dekompresi Indikasi operasi:

-Craniectomy evakuasi -Craniectomy dekompresi


(40)

3.10. Definisi Operasional

• GCS (Glasgow Coma Scale) adalah skala penilaian kesadaran menurut Teasdale dan Jennet (1974) dengan penilaian sebagai berikut:

A Respon buka mata Nilai

Spontan 4

Atas perintah / suara 3

Rangsangan nyeri 2

Tidak ada 1

B Respon motorik Nilai

Menurut perintah 6

Melokalisir nyeri 5

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2

Tidak ada (flasid) 1

C Respon bicara Nilai

Berorientasi baik 5

Berbicara mengacau / bingung 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada 1

• Cedera kepala berat adalah cedera kepala dengan skor SKG ≤ 8

• Trauma kepala tembus (Penetrating brain injury) adalah trauma kepala dengan kerusakan duramater akibat ruda paksa eksternal

• Scoring Glasglow Outcome Scale

Score Skor

Rating Penilaian

Definition Definisi

5 Good Recovery Baik Pemulihan

Resumption of normal life despite minor deficits/ Kembalinya kehidupan normal meskipun defisit kecil


(41)

4 Moderate Disability Sedang Cacat

Disabled but independen/ Penyandang Cacat tetapi independen. Can work in sheltered setting /Dapat bekerja dalam pengaturan terlindung

3 Severe Disability Cacat berat

Conscious but disabled/Sadar tapi dinonaktifkan. Dependent for daily support /Dependent untuk dukungan setiap hari

2 Persistent vegetative Persistent vegetatif

Minimal responsiveness/ Minimal tanggap

1 Death/ Kematian Non survival / Non hidup

• Rotterdam CT Score :

PREDICTOR SCORE

BASAL CISTERNS Normal Compressed Absent 0 1 2 MIDLINE SHIFT

No shift or shift ≤ 5 mm Shift > 5 mm

0 1 EPIDURAL MASS LESION Present Absent 0 1 INTRAVENTRICULAR


(42)

BLOOD or

SUBARACHNOID HEMORRHAGE Absent 0

Present 1

0 1 SUM SCORE

In

+1

3.11. Informed Consent dan Ethical Clearance

Penelitian ini memberikan penjelasan mengenai prosedur yang akan dilakukan, manfaat penelitian, efek samping yang mungkin akan timbul, dan cara mengatasi efek yang timbul. Keikutsertaan peserta dalam penelitian ini bersifat sukarela dan bebas menolak ataupun memutuskan mengundurkan diri setiap saat dengan alasan apapun tanpa mengubah kualitas pelayanan. Selama peserta ikut dalam penelitian ini, setiap informasi dan data penelitian ini akan diperlakukan dengan rahasia sehingga tidak memungkinkan diketahui orang lain. Biaya pemeriksaan laboratorium tidak dibebankan kepada peserta, tetapi hasil pemeriksaan dapat digunakan untuk pemantauan dan tata laksana penderita. Penelitian mulai dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakulltas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.12. Organisasi Penelitian Institusi Pendidikan

Penelitian dilakukan di bawah institusi pendidikan yaitu di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pelaksana Penelitian

Peneliti Utama : dr. Indra Saputra

Pembimbing : 1. Prof. Dr,Gofar Sastrodiningrat, SpBS (K) 2. DR.dr.Suzy Indharthy,M.Kes,SpBS


(43)

3.13. Analisis Statistik

Semua variabel dimasukkan ke dalam database yang dibuat secara komputerisasi. Untuk menguji perbedaan rerata antar kelompok, digunakan studi parametric ANOVA.


(44)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karateristik Sampel

Selama periode penelitian dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014, dijumpai 47 pasien dengan cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi setelah didiagnosa dengan perdarahan diotak/cedera kepala dengan bantuan CT Scan. Pasien dengan cedera pada organ utama lainnya tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Dari 47 pasien didapatkan 39 orang(82.9%) berjenis kelamin laki-laki dan 8 orang (17.02%) berjenis kelamin perempuan. Data demografi subjek yang mengikuti penelitian ini ditampilkan dalam tabel 4.1.1 dan 4.1.2.

Tabel 4.1.1 Distribusi pasien berdasarkan usia

Usia Jumlah Proporsi

15 – 30 26 26/47

31 – 49 16 16/47

50 – 60 5 5/47

Total 47

Dari tabel 4.1.1 diketahui bahwa kelompok usia terbanyak pasien dengan diagnosa perdarahan diotak/cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi kraniectomi dekompresi adalah pada kelompok usia 15 – 30 tahun, yaitu sebanyak 26 pasien (55.3%) dengan usia tertinggi adalah 60 tahun dan usia terendah adalah 14 tahun.


(45)

Tabel 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Proporsi

Perempuan Laki-Laki

8 39

8/47 39/47

Total 47

Dari tabel 4.1.2 diketahui bahwa kelompok jenis kelamin terbanyak pasien dengan diagnosa perdarahan diotak/cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi kraniectomi dekompresi adalah laki-laki sebanyak 39 pasien (82.9%), sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak 8 pasien (17,1%)


(46)

Tabel 4.1.3 Distribusi pasien berdasarkan gambaran Head CT Scan Gambaran Head CT

Scan

Jumlah Proporsi

EDH SDH

16 31

16/47 31/47

Total 47

Berdasarkan tabel 4.1.3 Gambaran Head CT Scan,dari 47 pasien yang dilakukan kraniectomi dekompresi,16 pasien (34%) menunjukkan gambaran epidural hemorrhagic (EDH) dan 31 pasien (66%) menunjukkan gambaran subdural hemorrhagic ( SDH )

Tabel 4.1.4 Distribusi lokasi cedera kepala menurut hasil pemeriksaan CT Scan

Dari hasil pemeriksaan CT Scan kepala post trauma, lokasi cedera kepala paling banyak dijumpai pada hemisfer kiri (55.3%), dengan bagian temporoparietal merupakan bagian otak yang paling banyak mengalami cedera(29,78%).

CT Scan Jumlah Proporsi

Frontal 6 6/47

Temporal 8 8/47

Temporoparietal 14 14/47

Frontotemporoparietal 7 7/47

Temporoccipital 1 1/47

Frontotemporal 5 5/47

Frontoparietal 4 4/47

Frontotemporooccipital 2 2/47


(47)

Pasien-pasien pada penelitian ini kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan GCS saat awal masuk. Pasien dengan GCS antara 3-8 diklasifikasikan ke dalam kelompok pertama, 9-12 dalam kelompok kedua dan ≥13 dalam kelompok ketiga.( Tabel 4.1.5)

Tabel 4.1.5 Distribusi pasien berdasarkan GCS saat awal masuk

GCS Jumlah Proporsi

3 – 8 13 13/14

9 – 12 20 20/47

13 – 15 14 14/47

Total 47

Dari tabel 4.1.5 diketahui bahwa GCS awal pasien masuk terbanyak adalah pada GCS sedang yaitu sebanyak 20 pasien (42.5%), GCS berat 13 pasien (27.6%) dan GCS ringan 14 pasien (29.7%).


(48)

Kemudian dilakukan penilaian saat pasien pulang atau meninggal dengan menggunakan GOS. (Tabel 4.1.6)

Tabel 4.1.6 Distribusi Pasien berdasarkan skor GOS

GOS Jumlah Proporsi

4-5 35 35/47

2-3 8 8/47

1 4 4/47

Total 47

Dari tabel 4.1.6 diketahui bahwa kelompok GOS terbanyak adalah pada kelompok GOS 4-5 sebanyak 35 pasien (74.4%), GOS 2-3 sebanyak 8 pasien (17.0%), GOS 1 sebanyak 4 pasien (8.5%)


(49)

4.2 Hubungan Hasil Rotterdam CT Score dengan GOS Pada Pasien Cedera Kepala yang dilakukan Kraniectomi Dekompresi

Hubungan hasil Rotterdam CT score sebagai prognostik morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi terhadap Glasglow Outcome Scale dievaluasi. Hasil kemudian dievaluasi dan nilai p < 0,05 (p=0.014) dianggap secara statistik bermakna. Dari 47 pasien perdarahan/cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi dan termasuk dalam penelitian ini, 4 pasien meninggal (8.5%). Pemulihan yang baik dilaporkan dalam 35 pasien (74.5%). Selanjutnya 8 pasien (17.02%) berkembang defek yang berat dan berlanjut ke dalam status vegetatif.

Korelasi antara Rotterdam CT Score dengan Glasglow Outcome Scale

Spearman’s Rotterdam CT GOS

Correlation Coeffisient Sig. (2-tailed) N 1.000 . 47 -,326* ,014 47 Correlation Coeffisient Sig. (2-tailed) N -,326* ,014 47 1,000 . 47 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sig . (2-tailed) < 0,05 maka terdapat hubungan yang bermakna antara GOS dengan Rotterdam

Dari perhitungan uji korelasi spearmans, maka didapatkan P value antara Rotterdam CT score dengan GOS pada pasien cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi adalah p = 0,014, dimana P<0.05. Jadi, antara Rotterdam CT dengan GOS pada pasien cedera kepala yang dilakukan kraniectomi dekompresi memiliki hubungan positif bermakna.


(50)

Tabel 4.1.7 Distribusi pasien berdasarkan hasil Rotterdam CT Score dan hasil GOS

ROTTERDAM CT SCORE

GOS

1 2 3 4 5

1 --(0%) --(0%) --(0%) --(0%) --(0%)

2 --(0%) --(0%) 2(16.6%) 1(8.3%) 9(75.0%) 3 --(0%) 1(9.0%) 2(18.1%) -(0%) 8(72.7%) 4 1(7.7%) 1(7.7%) 2(15.3%) 1(7.7%) 8(61.5%) 5 2(20.0%) 1(10.0%) --(0%) 4(40.0%) 3(30.0%)

6 1(100%) --(0%) --(0%) --(0%) --(0%)

Berdasarkan Tabel diatas, didapatkan hasil bahwa semakin tinggi hasil Rotterdam CT Score maka makin tinggi angka morbiditas dan mortalitas. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi hasil Rotterdam CT Score maka hasil persentase kesembuhan GOS semakin rendah, ini dapat ditunjukkan dari tabel bahwa hasil Rotterdam score 2 hasil GOS 75%, Rotterdam score 3 hasil GOS 72%, Rotterdam score 4 hasil GOS 61%, Rotterdam score 5 hasil GOS 30% dan Rotterdam score 6 hasil 0%.

Tabel 4.1.8 Proporsi antara GCS saat awal masuk dengan skor GOS

GCS GOS Total

Awal 1 2-3 4-5

3 – 8 4(30.7%) 1(7.6) 8(61.5%) 13(27.6%)

9 – 12 0(0%) 6(30%) 14(70%) 20(42.5%)

13 – 15 0(0%) 2(14.2%) 12(85.7%) 14(29.7%)

Total 4(8.5%) 9(19.1%) 34(72.3%) 47(100%)


(51)

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara nilai GCS pasien masuk dengan nilai GOS. Ini ditunjukkan dari tabel diatas bahwa semakin tinggi GCS pasien saat masuk, nilai GOS tidak semakin baik, begitu juga sebaliknya.


(52)

BAB V PEMBAHASAN

Cedera kepala menjadi hampir sebagian penyebab kematian dari keseluruhan angka kematian yang diakibatkan trauma, yang sebagian besarnya mengakibatkan kematian pasien akibat trauma setelah masuk ke rumah sakit. Cedera kepala juga merupakan penyebab utama yang paling sering mengakibatkan kecacatan permanen setelah kecelakaan dan kecacatan tersebut dapat terjadi meskipun pada pasien dengan cedera kepala derajat ringan (Selladurai B. et al, 2007).

Pada penelitian ini didapatkan kasus penderita cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi sebanyak 47 orang, dengan penderita berjenis kelamin laki-laki sebanyak 39 orang dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 orang. Di seluruh dunia, laki-laki lebih sering dijumpai mengalami cedera kepala dibanding dengan perempuan pada tiap kelompok usia (Olson DA, 2012). Dari data demografi ke-47 sampel penelitian, didapatkan kelompok usia terbanyak yang menderita cedera kepala yang dilakukan tindakan operasi adalah pada kelompok usia 15 – 30 tahun. Hal ini sesuai dengan data di Indonesia, bahwa sebagian besar (70%) korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara sepeda motor dengan golongan umur 15 – 55 tahun, dan cedera kepala merupakan urutan pertama dari semua jenis trauma yang dialami korban kecelakaan.

Dari hasil pemeriksaan CT Scan kepala post trauma, lokasi cedera kepala paling sering pada penelitian ini adalah pada lobus temporoparietal, diikuti oleh lobus temporal dan frontotemporoparietal. Dari kepustakaan, perdarahan subdural paling sering terjadi pada lobus frontal dan parietal. Perdarahan subdural dapat meluas di dalam tengkorak, menciptakan bentuk cekung yang mengikuti lengkung dari otak, dan hanya berhenti pada refleksi dura seperti tentorium cerebellum dan falx serebrum (Wagner AL, 2004).

Berdasarkan distribusi GCS saat awal masuk, penderita perdarahan otak pada penelitian ini didapatkan mempunyai GCS <13. Sekitar sepertiga dari kasus perdarahan diotak mengalami cedera kepala berat (GCS <9). Didapatkannya hubungan positif yang lemah dan tidak bermakna antara GCS saat awal masuk dan nilai GOS. Walaupun demikian, dari penelitian ini dapat dilihat


(53)

bahwa penderita perdarahan diotak dengan GCS saat awal masuk tinggi mempunyai prognosis yang lebih baik dibanding dengan GCS saat awal masuk rendah. GCS saat awal masuk mempunyai korelasi dengan tingkat mortalitas pada penderita cedera kepala traumatik (Narayan RK dkk, 1981; Kim HK, 2009). Disaat mempertimbangkan penggunaan GCS saat awal masuk sebagai prediktor prognosis, masalah yang dihadapai adalah seberapa tepat penilaian GCS saat awal masuk dan kurang akuratnya untuk memprediksi prognosis apabila GCS saat awal masuk rendah.

Penelitian yang dilakukan Huang et al,2012 menguji perbedaan prognostik dan prediksi dari Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani kraniectomi dekompresi, mereka mendapatkan hasil dimana Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan merupakan prediktor independen terhadap glasgow outcome scale.

Glasgow outcome scale paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari glasgow outcome scale sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma,beratnya kondisi pada awal trauma(diukur dengan GCS), dan tipe lesi intrakranial. Glasgow outcome scale kategori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan terhadap glasgow outcome scale terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak. (Narayan ,et al ,1995).

Penelitian yang dilakukan menemukan makin tinggi hasil Rotterdam CT score makin meningkat mortalitas dan makin menunjukkan hubungan peningkatan glasgow outcome scale (Huang et al,2012)

Dari penelitian ini didapatkan P value antara Rotterdam CT dengan nilai GOS adalah -0,014 (p<0.05). Antara Rotterdam CT dengan nilai GOS memiliki hubungan yang bermakna. Keunggulan dari penelitian ini adalah didapatkan hubungan yang bermakna antara Rotterdam CT dengan GOS sebagai prognosis penderita cedera kepala/perdarahan diotak, sehingga Rotterdam CT dipakai sebagai prediktor prognosis pada penderita cedera kepala/perdarahan diotak.


(54)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Dari penelitian Hubungan Hasil Rotterdam CT Sore dengan Glasgow Outcome Scale pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi di RSUP H Adam Malik dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014 pada 47 kasus, dijumpai :

Hubungan antara Rotterdam CT Score dengan GOS adalah bermakna (p = 0,014 ; r = 0,05).

Rotterdam CT dapat dapat digunakan sebagai prediktor prognosis penderita cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi.

6.2. Saran

Karena Rotterdam CT Score dapat dipergunakan sebagai prediktor prognosis yang baik pada penderita cedera kepala, maka perlu digunakan sebagai prognosis dan bahan inform concent terhadap pasien dan keluarga yang akan dilakukan tindakan operasi.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Doppenberg E.M, Choi S.C, Bullock R.(1997). Clinical trials in traumatic brain injury. What can we learn from previous studies? Ann. N.Y. Acad. Sci.;825

Kaul N. Dash HH (2003). What’s new in monitoring in severe head injury. Muscat-Oman: Khoula Hospital: 1-7. Available from:URL:

:305–322

Marshall L.F et al., (1991). A new classification of head injury based on computerized tomography. J. Neurosurg. ;75:S14–S2

Marshall F et al., (1992).The diagnosis of head injury requires a classification based on computed axial tomography. J. Neurotrauma;9(Suppl. 1):S287–S292

Maas A.I et al., (2007). Prognostic value of computerized tomography scan characteristics in traumatic brain injury: results from the IMPACT study. J. Neurotrauma.;24

Narayan RK, Wilberger J, Povlishock JT. (1996). Neurotrauma 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 13-31,61-71,673-89

:303–314

Narayan R.K et al., (2002). Clinical trials in head injury. J. Neurotrauma; 19:503–557

Saatman K.E et al.,(2008). Classification of traumatic brain injury for targeted therapies. J. Neurotrauma; 25

Selladurai B.Reilly P (2007). Initial Management of Head Injury. Sydney: McGraw-Hill; 3-7, 10-33, 92-132, 214-28

:719–738

Steyerberg E.W et al., (2008). Predicting outcome after traumatic brain injury: development and international validation of prognostic scores based on admission characteristics. PLoS Med.;5

Teasdale G, Jennett B (1974). Assessment of coma and impaired consciousness: a practical scale. Lancet 2: 81-84

:e165. discussion e165


(56)

The Wikipedia Free Encyclopedia (2011). Astrocyte. Adelaide: Wikimedia FoundationInc;13.Availablefrom

The Wikipedia Free Encyclopedia (2011). Cerebral contusion. Adelaide: WikimediaFoundationInc;12.Availablefrom:

URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Cerebral_contusion

Willoughby KA, Kleindients A, Christian M, Tao C, Judith KM, Earl FE. (2004). S100B protein is released by in vitro trauma and reduces delayed neuronal injury. J Neurochem 91:1284-91. Available from: Zauner A, Muizelaar JP. (2004). Brain metabolism and cerebral blood flow.

In: Reilly P, Bullock R. Editors. Head injury. 3rd ed. London: Chapman nad Hall Medical. 90-9

Sastrodiningrat, Gofar, Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 ฀ No. 3 ฀ September 2006:297-30

Huang YH, Deng YH, Lee TC, Chen WF. Rotterdam Computed Tomography Score as a Prognosticator in Head-Injured Patients Undergoing Decompressive Craniectomy. Neurosurgery 2012;71(1):80-85

Jacobs B,Beems T,Ton M.van der vliet,Ramon R.Diaz-Arrastia,George F.Borm, Pieter E.vos. Computed Tomography and Outcome in Moderate and Severe Traumatic Brain Injury : Hematoma Volume and Midline Shift Revisited.Journal of Neurotrauma 28:203-215(Februari 2011)

Yuh EL,Cooper SR,Ferguson AR,Manley GT. Quantitative CT Improves Outcome Prediction in acute Traumatic Brain Injury. Journal of neurotrauma 29: 735-746 (March 20.2012)

Flint AC,Manley GT,Gean AD,Claude Hempihill J,Rosenthal guy. Post Operative Expansion of Hemorrhagic Contusions after Unilateral Decompressive Hemicraniectomy in Severe Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma 25:503-512 (May 2008)


(57)

Yuh,EL,Gean AD,Manley GT,Callen AL,Wintermark Max : Computed-Aided Assestment of Head Computed Tomography(CT) Strudies in Patients with Suspected Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma 25:1163-1172 (Oktober 2008)

Leitgeb J,Mauritz W,Brazinova A,Janciak I,Majdan M,Wilbacher I,Rusnak M : Effeccts of Gender on Outcome Afterv Traumatic Brain Injury. The Journal of Trauma.Vilume 71 No 6,Desember 2011.

Katsnelson M,Mackenzie L,Frangos S.Oddo M,Levine JM,Pukenas B,Faerber J,Dong C,Kofke WA, Le Roux PD : Are Initial Radiographic and Clinical Scales Assosiated With Subsquent Intracranial Pressure and Brain Oxygen Levels After Severe Traumatic Brain Injury? : Neurosurgery 2012 ; 70 (5): 1095-1105. Smits M,Diederik WJ,Dippel,Steyerberg EW,De Haan GG,Dekkar HM,Vos

PE,Kool DR,Naderkoorn PJ,Hofman PAM,Twinjnstra A, Tanghe HLJ,Myriam Hunink MG :Predicting Intracranial Traumatic Finding 0n Computed Tomography in Patients with Minor Head Injury: The CHIP Prediction Rule. Annals of Internal Medicine 2007;146; 397-405.

Honeybul S: Complication of Decompressive cranictomy for Head Injury. Journal of Clinical Neuroscience 17(2010) 430-435


(58)

Lampiran 1

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

Nama : ………..……

Umur : ……… tahun L / P

Alamat :………..………..

Hubungan dengan pasien : Bapak/Ibu/anak/hubungan kerabat lainnya Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pendataan tentang kondisi kesehatan anak/kerabat Bapak / Ibu tersebut. Kami juga memohon izin kepada Bapak / Ibu untuk melakukan

pemeriksaan CT Scan kepala (bila belum dilakukan sebelum masuk ke IGD RSUP H Adam Malik) terhadap anak/kerabat saya :

Nama : ………. Umur ……...…… tahun

Alamat Rumah :……...………..

yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.

Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

Medan, ………2013 Yang memberikan Yang membuat pernyataan persetujuan penjelasan


(59)

Lampiran 2 Susunan Peneliti

Peneliti

Nama lengkap : Dr. Indra Saputra Pangkat/Gol/NIP : -

Jabatan Fungsional : PPDS Ilmu Bedah

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Pembimbing I

Nama lengkap : Prof.Dr.A.Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K) Pangkat/Gol/NIP : Pembina/IVa/19440507 197703 1 001 Jabatan Fungsional : KPS Departemen Ilmu Bedah saraf

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian : Bedah Saraf

Pembimbing II

Nama lengkap : DR.dr.Suzy Indharty,MKes, SpBS Pangkat/Gol/NIP : 197302202005012000

Jabatan Fungsional : SPS Departemen Ilmu Bedah saraf

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian : Bedah Saraf


(60)

Lampiran 3 Jadwal Penelitian

Oktober 2013 Desember

2013 Januari 2014

PERSIAPAN PELAKSANAAN PENYUSUNAN LAPORAN

PENGGANDAAN LAPORAN


(61)

Lampiran 4

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Bapak/Ibu yang terhormat, nama saya dr.Indra Saputra Peserta Program Pendidikan Spesialis Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk Tesis saya yang berjudul :

Hubungan Hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan Glasglow Outcome Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan Operasi kraniectomi dekompresi.

Dalam penelitian ini subjek akan menjalani pemeriksaan Head CT Scan, Untuk mengetahui scala prognosis penyakit pasien yang dalam hal ini dikenal dengan istilah Rotterdam CT Score,kemudian setelah mendapatkan perawatan dan diizinkan pulang berobat jalan dari Rumah Sakit kembali dilakukan penilaian secara klinis terhadap pasien.

Adapun tujuan dari penelitian saya ini adalah untuk mengetahui prognosis penyakit pada pasien cedera kepala, sehingga bisa diketahui bagaimana Hubungan Hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi melalui Head CT Scan dengan Glasglow Outcome Scale sesudah operasi melalui penilaian klinis setelah subjek medapat izin untuk pulang berobat jalan dari Rumah Sakit.

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian saya ini adalah untuk dapat mengetahui prognosis penyakit pasien sehingga mendapatkan gambaran kondisi subjek setelah dilakukan tindakan operasi decomprei craniectomi.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu atas kesediaannya untuk dilakukan pemeriksaan ini. Penelitian yang saya lakukan ini untuk mengetahui hubungan hasil Rotterdam CT Score dengan Glasglow Outcome Scale pada pasien cedar kepala yang dilakukan operasi Decompresi Craniectomi.


(62)

Penelitian yang saya lakukan ini tidak membawa dampak buruk terhadap subjek yang diteliti karena hanya menilai skala prognosis melalaui Head CT Scan dan penilaian Outcome pasien secara klinis dalam hal ini disebut Glasgow Outcome Scale.

Pada Penelitian ini identitas subjek disamarkan. Hanya dokter peneliti ,anggota peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data subjek yang diteliti. Kerahasiaan data subjek akan dijamin sepenuhnya. Bila data subjek dipublikasikan kerahasiaan nya tetap terjaga. Biaya Pemeriksaan Head CT Scan ditanggung oleh subjek sendiri, oleh karena penelitian ini mengambil sampel pasien-pasien yang memang harus dilakukan tindakan Head CT Scan, artinya tanpa adanya penelitian ini, pemeriksaan itu harus dilakukan untuk menentukan tindakan lanjutan terhadap subjek.Partisipasi subjek dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa ada paksaan pihak manapun. Mudah-mudahan informasi yang saya sampaikan sudah cukup jelas.

Bila ada keluhan setelah dilakukan pemeriksaan, maka dapat menghubungi saya, Nama : dr.Indra Saputra, No HP : 085372253799, alamat : Jalan Karya Tani No 47 Medan. Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan subjek.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian Bapak/Ibu, diucapkan terima kasih.

Hormat saya Peneliti


(63)

Lampiran 5

Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian

PERSETUJUAN KOMISI ETIK TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

Nomor :...

Yang bertanda tangan di bawah ini, Ketua Komisi Etik Penelitian Bidang

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, setelah dilaksanakan pembahasan dan penilaian usulan penelitian yang berjudul :

Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada Pasien Cedera Kepala Yang Dilakukan Operasi Kraniectomi dekompresi

Yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian dengan: Ketua Pelaksana/Peneliti Utama : dr. Indra Saputra

Institusi : Departemen Ilmu Bedah FK USU Dapat disetujui pelaksanaannya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik.

Medan,...

Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU

(...)


(64)

Lampiran 6 LEMBAR PENGUMPUL DATA PENELITIAN

IDENTITAS PRIBADI

No urut :

No. MR :

Tgl. MRS :

Jam MRS :

Nama :

Umur : tahun

Jenis Kelamin : 1. Pria 2. Wanita Suku bangsa :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Status : 1. Kawin 2. Tidak Kawin No. Telepon :

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGIS Pemeriksa Umum : Kesadaran

SKALA KOMA GLASGOW (SKG)

Buka Mata Spontan 4

Dengan perintah verbal 3

Dengan nyeri 2

Tidak ada respons 1

Respon Verbal Orientasi baik dan berbicara 5 Disorientasi dan berbicara 4 Kata-kata yang tidak tepat, menangis 3

Suara yang tidak berarti 2

Tak ada respon 1

Respon Motorik Menurut perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Fleksi terhadap nyeri 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3 Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2


(65)

Total Nilai SKG : ...

STATUS PRESENS

Tekanan darah : mmHg

Suhu : °C

Denyut nadi : X / menit

Pernafasan : X / menit

HASIL PEMERIKSAAN CT-SCAN KEPALA

……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… KESAN :

……… ……….………... ………..

Gambaran HeadCT Scan :

1. Normal

2. Mild focal injury (dijumpai adanya kontusio kecil pada hanya satu area di otak).

3. Medium focal injury (dijumpai beberapa kontusio pada 1 atau 2 area yang berdekatan di otak atau dijumpai subdural hematoma epidural hematoma kecil).

4. Mild/moderate difuse (dijumpai beberapa kontusio kecil atau hematoma tapi tidak pada daerah yang berdekatan, tapi sebagian besar otak kelihatannya normal.

5. Massive focal injury (dijumpai epidural / subdural hematoma besar atau kontusio berat atau parenchymal hematomas).

6. Massive diffuse injury (dijumpai edema otak menyeluruh atau banyak kontusio dibeberapa area).


(66)

Lampiran 7 PEMERIKSAAN SCORING

ROTTERDAM CT SCORE

PREDICTOR SCORE

BASAL CISTERNS Normal

Compressed Absent

0 1 2 MIDLINE SHIFT

No shift or shift ≤ 5 mm Shift > 5 mm

0 1 EPIDURAL MASS LESION

Present Absent

0 1 INTRAVENTRICULAR BLOOD or

SUBARACHNOID HEMORRHAGE Absent 0

Present 1 0

1 SUM SCORE

In

+1


(67)

Lampiran 8 GLASCOW OUTCOMES SCALE(GOS)

1 = Death

2 = Vegetative State

• Tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan

• Tidak ada respon 3 = Severe Disability

• Dapat mengikuti perintah / tidak dapat hidup secara independen (perlu bantuan)

4 = Moderate Disability

• Dapat hidup secara independent tetapi tidak dapat kembali bekerja atau sekolah

5 = Good Recovery

• Dapat kembali bekerja atau sekolah


(1)

Penelitian yang saya lakukan ini tidak membawa dampak buruk terhadap subjek yang diteliti karena hanya menilai skala prognosis melalaui Head CT Scan dan penilaian Outcome pasien secara klinis dalam hal ini disebut Glasgow Outcome Scale.

Pada Penelitian ini identitas subjek disamarkan. Hanya dokter peneliti ,anggota peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data subjek yang diteliti. Kerahasiaan data subjek akan dijamin sepenuhnya. Bila data subjek dipublikasikan kerahasiaan nya tetap terjaga. Biaya Pemeriksaan Head CT Scan ditanggung oleh subjek sendiri, oleh karena penelitian ini mengambil sampel pasien-pasien yang memang harus dilakukan tindakan Head CT Scan, artinya tanpa adanya penelitian ini, pemeriksaan itu harus dilakukan untuk menentukan tindakan lanjutan terhadap subjek.Partisipasi subjek dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa ada paksaan pihak manapun. Mudah-mudahan informasi yang saya sampaikan sudah cukup jelas.

Bila ada keluhan setelah dilakukan pemeriksaan, maka dapat menghubungi saya, Nama : dr.Indra Saputra, No HP : 085372253799, alamat : Jalan Karya Tani No 47 Medan. Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan subjek.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian Bapak/Ibu, diucapkan terima kasih.

Hormat saya

Peneliti


(2)

Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian

PERSETUJUAN KOMISI ETIK TENTANG PELAKSANAAN PENELITIAN BIDANG KESEHATAN

Nomor :...

Yang bertanda tangan di bawah ini, Ketua Komisi Etik Penelitian Bidang

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, setelah dilaksanakan pembahasan dan penilaian usulan penelitian yang berjudul :

Hubungan Hasil Rotterdam CT Score Sebelum Operasi Dengan Glasglow Coma Scale Sesudah Operasi Pada Pasien Cedera Kepala Yang Dilakukan Operasi Kraniectomi dekompresi

Yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian dengan: Ketua Pelaksana/Peneliti Utama : dr. Indra Saputra

Institusi : Departemen Ilmu Bedah FK USU

Dapat disetujui pelaksanaannya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik.

Medan,...

Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU

(...)


(3)

Lampiran 6

LEMBAR PENGUMPUL DATA PENELITIAN IDENTITAS PRIBADI

No urut :

No. MR :

Tgl. MRS :

Jam MRS :

Nama :

Umur : tahun

Jenis Kelamin : 1. Pria 2. Wanita Suku bangsa :

Pendidikan : Pekerjaan :

Status : 1. Kawin 2. Tidak Kawin No. Telepon :

PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGIS Pemeriksa Umum : Kesadaran

SKALA KOMA GLASGOW (SKG)

Buka Mata Spontan 4

Dengan perintah verbal 3

Dengan nyeri 2

Tidak ada respons 1

Respon Verbal Orientasi baik dan berbicara 5 Disorientasi dan berbicara 4 Kata-kata yang tidak tepat, menangis 3

Suara yang tidak berarti 2

Tak ada respon 1

Respon Motorik Menurut perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Fleksi terhadap nyeri 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3 Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2


(4)

STATUS PRESENS

Tekanan darah : mmHg

Suhu : °C

Denyut nadi : X / menit

Pernafasan : X / menit

HASIL PEMERIKSAAN CT-SCAN KEPALA

……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

KESAN :

……… ……….………... ………..

Gambaran Head CT Scan : 1. Normal

2. Mild focal injury (dijumpai adanya kontusio kecil pada hanya satu area di

otak).

3. Medium focal injury (dijumpai beberapa kontusio pada 1 atau 2 area yang

berdekatan di otak atau dijumpai subdural hematoma epidural hematoma kecil).

4. Mild/moderate difuse (dijumpai beberapa kontusio kecil atau hematoma tapi

tidak pada daerah yang berdekatan, tapi sebagian besar otak kelihatannya normal.

5. Massive focal injury (dijumpai epidural / subdural hematoma besar atau

kontusio berat atau parenchymal hematomas).

6. Massive diffuse injury (dijumpai edema otak menyeluruh atau banyak


(5)

Lampiran 7 PEMERIKSAAN SCORING

ROTTERDAM CT SCORE

PREDICTOR SCORE

BASAL CISTERNS Normal

Compressed Absent

0 1 2 MIDLINE SHIFT

No shift or shift ≤ 5 mm Shift > 5 mm

0 1 EPIDURAL MASS LESION

Present Absent

0 1 INTRAVENTRICULAR BLOOD or

SUBARACHNOID HEMORRHAGE Absent 0

Present 1 0

1 SUM SCORE

In

+1


(6)

GLASCOW OUTCOMES SCALE (GOS) 1 = Death

2 = Vegetative State

• Tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan • Tidak ada respon

3 = Severe Disability

• Dapat mengikuti perintah / tidak dapat hidup secara independen (perlu bantuan)

4 = Moderate Disability

• Dapat hidup secara independent tetapi tidak dapat kembali bekerja atau sekolah

5 = Good Recovery

• Dapat kembali bekerja atau sekolah


Dokumen yang terkait

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

1 59 66

Hubungan D-Dimer Terhadap Prognosis Cedera Kepala Sedang Yang Tidak Dilakukan Tindakan Operasi

0 0 1

Hubungan D-Dimer Terhadap Prognosis Cedera Kepala Sedang Yang Tidak Dilakukan Tindakan Operasi

2 9 3

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 16

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 1

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 4

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 12

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 4

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 9

HUBUNGAN GLASGOW COMA SCALE DENGAN GLASGOW OUTCOME SCALE BERDASARKAN LAMA WAKTU TUNGGU OPERASI PADA PASIEN PERDARAHAN EPIDURAL

0 0 8