Perumusan Masalah Hipotesis Rotterdam Computed Tomography Score

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan yaitu : Hubungan hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan prediksi Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi craniectomi decompresi

1.3. Hipotesis

Ada hubungan antara Hasil Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan hasil Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan hasil antara Rotterdam CT Score sebelum operasi dengan Glasgow Outcome Scale sesudah operasi pada cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

1.4.2. Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui angka kejadian kasus cedera kepala dengan gambaran CT Scan. - Untuk mengetahui hubungan hasil Rotterdam CT score sebelum operasi dengan hasil Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasien cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bidang Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Pada penelitian ini diharapkan dapat diketahui manfaat hubungan hasil Rottedam CT Score sebelum operasi dengan Glasgow Outcoma Scale sesudah operasi pada pasein cedera kepala yang dilakukan operasi kraniectomi dekompresi. Universitas Sumatera Utara

1.5.2. Penelitian

Memberikan masukan bagi penelitian lebih lanjut yang nantinya berguna bagi tatalaksana pasien dengan cedera kepala dengan menggunakan Rotterdam CT Score atau Glasgow Outcoma Scale.

1.5.3. Pelayanan kesehatan

Menunjang perbaikan penatalaksanaan pasien pada cedera kepala dengan menggunakan Rotterdam CT Score dan Glasgow Outcoma Scale yang nantinya dapat membantu memperbaiki prognosis. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera otak traumatik

2.1.1. Defenisi cedera otak traumatik

Istilah cedera kepala Head Injury, trauma kapitis adalah cedera yang mengenai bukan hanya jaringan otak tetapi juga disertai cedera kulit kepala scalp, tulang tengkorak atap dan dasar tengkorak, tulang-tulang wajah maksila, mandibula, saraf kranial spesial penglihatan, penciuman, pendengaran Critchley and Memon, 2009. Tidak semua jejas pada kepala menyebabkan cedera jaringan otak misalnya luka sayat sederhana pada kulit kepala, sebaliknya tidak harus ada jejas di kepala menyebabkan cedera jaringan otak misalnya jatuh terduduk dari ketinggian tanpa ada perlukaan di kepala. Cedera otak traumatik Traumatic Brain Injury adalah suatu proses patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif maupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar trauma, menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik dan psikososial yang sifatnya menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran Dawodu, 2009; Crithcley and Memon, 2009. Penyebab cedera otak traumatik yaitu kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, cedera olah raga misalnya olah raga tinju, cedera pada rekreasi misalnya parachute jumping, luka tembak, kriminalitas, penyalahgunaan anak child abuse. Penyebab cedera otak traumatik secara lengkap dan terperinci terdapat di naskah klasifikasi diagnostik internasional ke-10 ICD 10 kode V01 sampai Y98 ICD 10, Engel, 2008. Cedera otak primer akibat langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat terjadinya cedera kepala hancur, robekan, memar dan perdarahan Reilly, 2007. Cedera otak primer menyebabkan kerusakan jaringan otak lokal, multi fokal dan difus pada sel neuron, axon, glia dan pembuluh darah. Temuan radiologis pada CT Scan otak yaitu perdarahan epidural, perdarahan sub dural, perdarahan intra serebral, bercak perdarahan kontusio, cedera difus dan sebagainya Reilly, 2007 Universitas Sumatera Utara Cedera otak sekunder adalah akibat lanjutan dari cedera otak primer terdiri dari faktor-faktor lokal intra kranial dan sistemik ekstra kranial Reilly, 2007. Suatu hal penting dalam memahami cedera kepala murni isolated dengan atau tanpa disertai cedera struktur anatomi dibawah leher polytrauma. Cedera ganda polytrauma, multitrauma memiliki kontribusi besar pada kejadian insult cedera otak sekunder Crithcley and Memon, 2009.

2.1.2. Pembagian cedera otak traumatik

Klasifikasi cedera otak traumatik dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Klasifikasi cedera otak traumatik berdasarkan mekanisme, derajat keparahan dan morfologi Jenis Pembagian Mekanisme Tumpul Kecepatan tinggi tabrakan mobil Kecepatan rendah jatuh, dipukul Tembus Cedera peluru Cedera tembus lain Derajat keparahan Ringan GCS 13 – 15 Sedang GCS 9 – 12 Berat GCS 3 – 8 Morfologi Fraktur tengkorak Kalvaria Garis, bintang, distasis sutura, fraktur kompleks Impresi Terbuka-tertutup Dasar tengkorak Dengantanpa kebocoran CSS Dengantanpa paresis N VII Lesi intrakranial Fokal Epidural Subdural Intraserebral Difus Komosio ringan Cedera akson difus Tabel diterjemahkan dari Valadka, AB dan Narayan, RK 1996. “Emergency room management of the head injured patient” in RK Narayan R, JE Wilberger, JF Povilshock ed, Neurotrauma, New York, Mc. Graw-Hill, p120 Universitas Sumatera Utara Pembagian cedera otak traumatik menurut The International Classification of Diseases ICD 10 adalah sebagai berikut: Tabel 2. Daftar kode ICD-10 dan kategori cedera kepala Kode kategorikal Diagnosis S00 Superficial injury of the head S01 Open wound of the head S02 Fracture of skull and facial bones S03 Dislocation, sprain and strain of joints and ligaments of the head S04 Injury of cranial nerves S05 Injury of eye and orbit S06 Intracranial injury S06.0 Concussion S06.1 Traumatic cerebral oedema S06.2 Diffuse brain injury S06.3 Focal brain injry S06.4 Epidural haemorrhage S06.5 Traumatic subdural haemorrhage S06.6 Traumatic subarachnoid haemorrhage S06.7 Intracranial injury with prolonged coma S06.8 Other intracranial injury S06.9 Intracranial injury, unspecified S07 Crushing injury of head S08 Traumatic amputation of part of head S09 Other and unspecified injuries of head Sumber: International Statistical Classification of disease and Related Health Problems, 10th Revision, Version for 2007 published by the WHO http:www.who.intclassificationsappsicdicd10online . Reproduced with permission from the World Health Organization, ©2007 2.1.3. Pembagian cedera otak traumatik berdasarkan derajat keparahan 2.1.3.1.Berdasarkan derajat Glasgow Coma Scale GCS Pengukuran derajat keparahan cedera otak traumatis ada berbagai macam yaitu, parameter klinis misalnya penilaian tingkat kesadaran, reaktifitas pupil, radiologi kriteria cedera difus dan laboratorium petanda biomarker kerusakan jaringan otak. Parameter klinis yang sering dipakai adalah penilaian tingkat kesadaran penderita cedera otak traumatik. Ada beberapa skala penilaian tingkat kesadaran seperti: Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring Universitas Sumatera Utara System, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, Leeds Coma Scale, Japan Trauma Scale dan lain-lain. Skala koma Glasgow Glasgow Coma Scale = GCS yang dilakukan setelah resusitasi paling umum dan banyak dipakai di Internasional bahkan di literatur penelitian neurotrauma. Kelebihan GCS adalah reliabel dan obyektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda, sederhana, berguna sebagai pedoman terapi dan memberi informasi tentang prognosis Stein 1996; Ross Bullock et al, 2003. Kendala keterbatasan pengukuran GCS antara lain jika penderita mengalami edema palpebra, terintubasi, patah tulang ekstremitas, intoksikasi alkohol, penggunaan obat sedasi dan blokade muskuler, serangan kejang pasca traumatik, sehingga ada variabel yang tidak bisa dinilai Feldman, 1996; Ross Bullock et al, 2003. Tabel 3. Penilaian Skala Koma Glasgow GCS A Respon buka mata Nilai Spontan 4 Atas perintah suara 3 Rangsangan nyeri 2 Tidak ada 1 B Respon motorik Nilai Menurut perintah 6 Melokalisir nyeri 5 Fleksi normal menarik anggota yang dirangsang 4 Fleksi abnormal dekortikasi 3 Ekstensi abnormal deserebrasi 2 Tidak ada flasid 1 C Respon bicara Nilai Berorientasi baik 5 Berbicara mengacau bingung 4 Kata-kata tidak teratur 3 Suara tidak jelas 2 Tidak ada 1 Tabel ini diambil dari : American College of Surgeon 1997, Advance Trauma Life Support Program Student Manual, Komisi Trauma “IKABI” Ikatan Ahli Bedah Indonesia, 6th ed, Komisi Trauma “IKABI”, Jakarta. Tingkat pengukuran yang menunjukkan derajat keparahan paling berat adalah GCS 3 yaitu tidak dapat membuka mata, tidak dapat berbicara dan tidak ada respon motorik meskipun dengan rangsang nyeri. Sedangkan pengukuran Universitas Sumatera Utara yang menunjukkan derajat paling ringan adalah GCS 15 yaitu membuka mata spontan, berbicara baik berorientasi dan respon motorik sesuai perintah. Penulisan pada catatan rekam medik E1, M1, V1 dan E4, M6, V5.

2.2. Skala Prognosis Glasgow Glasgow Outcome Scale = GOS

Glasgow outcome scale GOS paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak, GOS dikelompokkan dalam 5 kategori: 1. mati, 2. persistent vegetative state, 3. ketidakmampuan yang berat, 4. ketidakmampuan sedang , 5. kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari GOS sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma,beratnya kondisi pada awal traumadiukur dengan GCS, dan tipe lesi intrakranial. GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia. Kritikan terhadap GOS terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak. Narayan ,et al ,1995 Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond, 1975 prognosis paska cedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien paska cedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis paska koma traumatik maupun non traumatik. Bullock,2004; Narayan,Michel, 2002; Jennet,2005 Telaah pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera otak di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf memutuskan penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan paska trauma. Jennet ,2005

2.2.1 Outcome Paska Cedera Kepala

Glasgow Outcome Scale Glasgow Outcome Scale dikembangkan pertama kali oleh Jennet dan Bond pada tahun 1975. Mereka mengembangkan GOS dengan tujuan mengklasifikasi bermacam-macam kondisi outcome yang terdapat pada pasien Universitas Sumatera Utara paska cedera kepala. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya GOS terdiri 5 kategori. Kategori GOS mulai dari Good recovery GOS 5 hingga Death GOS 1 Lee KS et al, 1997. Banyak peneliti telah menggunakan GOS sebagai pengukuran utama outcome karena dapat mendeskripsikan secara umum outcome dari pasien Pozzati E et al, 1980; Seeler RA et al, 1973; Jamieson KG, 1972; Munro D, 1982; Lee KS et al, 1997 Beberapa peneliti dalam studi mereka mengkombinasikan kategori dalam GOS dengan tujuan menciptakan outcome kategori yang lebih luas. Choi dan kawan-kawan 1983, Narayan dan kawan- kawan 1981, dan Young dan kawan-kawan 1981 membuat kategori outcome baik dan buruk. Outcome baik terdiri dari kategori good recovery atau moderate disability, outcome buruk pada pasien yang mengalami severe disability, persisten vegetative state or death. Dengan membuat kriteria outcome ini lebih luas, peneliti dapat menggambarkan akurasi yang lebih baik pada prediksinya. Pengukuran outcome dari cedera kepala dilakukan menggunakan skala pengukuran yang beragam. Glasgow Outcome Scale GOS, Barthel Index BI, Functional Independence Measure FIM merupakan beberapa skala pengukuran yang sering digunakan diantara banyak skala lainnya. Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Skoring Glasgow Outcome Scale Score

Skor Rating Penilaian Definition Definisi 5 Good Recovery Baik Pemulihan Resumption of normal life despite minor deficits Kembalinya kehidupan normal meskipun defisit kecil 4 Moderate Disability Cacat Sedang Disabled but independen independen Can work in sheltered setting Penyandang cacat tetapi dapat bekerja dalam pengaturan terlindung 3 Severe Disability Cacat berat Conscious but disabledSadar tapi dinonaktifkan. Dependent for daily support Dependent untuk dukungan setiap hari 2 Persistent vegetative Persistent vegetatif Minimal responsiveness Minimal tanggap 1 Death Kematian Non survival Non hidup 2.3.Teknik Pembedahan Kraniectomi Dekompresi Tujuan dari kraniectomi dekompresi adalah untuk menganggu prinsip dasar doktrin Monro-Kellie dengan memberikan perluasan ruangan bagi otak secara paksa. Akhirnya dengan membuang ‘bone flap’ dan membiarkan dura terbuka lebar dengan atau tanpa duraplasty akan menjadi paling efektif. Kraniotomi yang lebar akan menghalangi kerusakan jaringan dan bendungan vena bila dibandingkan dengan kraniotomi yang lebih kecil bila terdapat Universitas Sumatera Utara pembengkakan otak yang hebat. Berbagai teknik operasi telah didiskusikan, tetapi hanya ada sedikit dasar untuk perbandingan secara objektif. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi teknik operasi surgical approach. Pembengkakan swelling unilateral paling baik ditangani dengan dekompresi unilateral yang luas. Efek masa yang difus, bifrontal atau bitemporal paling baik ditangani dengan teknik bilateral frontal atau pan-frontal. Batas Hemicraniectomy termasuk a 2 cm dari tepi lateral sinus sagital superior, b pada tingkat lantai fossa kranial tengah pada asal lengkungan zygomatic, c frontal ke midpupillary baris, dan d 3 cm posterior meatus akustik eksternal. Craniectomy bifrontal diperpanjang posterior hanya sekitar 2 cm di depan sutura koronal dan lateral ke lantai ke fossa tengah. Duramater dibuka, dan pembukaan diperpanjang ke margin tulang secara stellate atau setengah lingkaran. Permukaan otak ditutupi longgar oleh dura sisa atau substites dural buatan tanpa penutupan kedap. Huang, 2013 Dampak dari dekompresi pada pengelolaan pasca bedah mungkin berhubungan erat. Beberapa ahli bedah hanya ‘mengambangkan’ float dari bone flap, daripada membuangnya. Penulis cenderung untuk membuang bilateral fronto-temporo-parietal flap dengan meninggalkan sepotong tulang diatas sinus sagittalis superior untuk menempatkan monitoring . Tujuan pembedahan untuk menghilangkan peningkatan tekanan intrakranial, hipertensi intrakranial tidak sepenuhnya dapat diatasi setelah tindakan dekompresi. Penulis menemukan bahwa static autoregulation hilang setelah tindakan operasi ini yang dapat mengarah ke hyperemic intracranial hypertension yang mungkin memerlukan atau tidak memerlukan tindakan. Sughrue ME dan kawan-kawan mengatakan bahwa tindakan bedah kraniectomi Universitas Sumatera Utara dekompresi juga dilakukan sebagai tindakan profilaksis dalam rangka pengaturan darurat pada saat evakuasi subdural hematoma atau lesi masa epidural bila tulang tidak dipasang kembali dalam rangka mengantisipasi peningkatan tekanan intracranial seperti yang diprediksi dari gambaran CT atau tampilan jaringan otak pada saat operasi. Pada teknik operasi ini ditekankan untuk membuang bagian tulang temporal sampai ke dasar fossa media sphenoid wing untuk mendapatkan dekompresi maksimal terhadap bagian lateral dari batang otak Indikasi untuk kraniectomi dekompresi yaitu : i tindakan setelah dilakukannya evakuasi dari lesi masa dimana otak dirasakan membengkak berlebihan; dan ii pengukuran TIK yang tetap tinggi meskipun telah mengikuti protokol manajemen medis yang maksimal. Komplikasi kraniectomi Dekompresi : Komplikasi dari operasi kraniectomi dekompresi 1. Kematian Dari enam kematian yang terjadi setelah operasi dekompresi hanya satu kasus yang dapat dianggap sebagai komplikasi sesungguhnya. Pasien ini menunjukkan penyembuhan yang baik beberapa hari setelah terjadinya cedera dan ketika ia sedang mencoba untuk berjalan tanpa bantuan dan jatuh tepat pada sisi kraniectomi yang tidak terlindungi. Pasien ini mengalami cedera serebral yang lebih berat dan pada akhirnya meninggal. Sebuah kebijakan operasional khusus untuk post kraniectomi decompresi diimplementasikan untuk pemeriksaan dan manajemen pasien. Sisanya adalah kematian yang disebabkan karena cedera otak traumatik meskipun dilakukan intervensi medis tepat waktu. 2. Herniasi melalui celah kraniectomi Walaupun herniasi melalui cela kraniectomi telah dilaporkan sebagai suatu komplikasi, fenomena ini terjadi begitu seringnya contohnya 51 dari sampel kohort ini yang hampir selalu menjadi penyebab keadaan patologis pada prosedur dekompresi. Meskipun kemungkinan terjadinya cedera pada korteks serebri yang mengalami herniasi telah dijelaskan, pada studi kohort ini, tidak ditemukan bukti klinis atau radiologis dari herniasi pada tepi dari celah kraniectomi. Hal ini Universitas Sumatera Utara kemungkinan pada kedua centre ini lebih menekankan pada tindakan kraniotomi ekstensif untuk kasus bedah pada kasus trauma. 3. Efusi subduralsubgaleal Efusi subdural post traumatic yang terjadi setelah cedera kepala merupakan suatu fenomena yang dapat dikenali dengan baik, dengan insiden yang dilaporkan dari 6 sampai 21. Patogenesis ini berperan pada terjadinya ruptur lapisan dura-arachnoid dan trabeculae yang disebabkan oleh kejadian traumatik dan perubahan dinamika dari sirkulasi CSF yang transien. Efusi subdural merupakan suatu komplikasi dari kraniectomi dekompresi dengan insiden 26 sampai dengan 60. Pada studi ini, dari seluruh pasien yang selamat, 63 mengalami beberapa bentuk efusi. Efusi yang terjadi bisa merupakan komplikasi primer dari cedera otak traumatik dan pembuangan dari bone flap dapat menyebabkan terbentuknya ruangan dimana cairan dapat berkumpul. Pembukaan dari dura menyebabkan terciptanya hubungan dengan ruangan subgaleal dan seiring dengan berkurangnya oedem cerebral akut beberapa bentuk efusi biasanya terbentuk. Ketika efusi ini timbul secara cepat, kebanyakan dari efusi ini mempunyai gejala klinis yang tidak signifikan. Efusi ini biasanya terserap begitu bone flap dipindahkan. Pada seorang pasien dimana efusi terjadi secara kontralateral pada sisi kraniectomi, drainase burr hole berhasil dilakukan pada saat cranioplasty autolog yang dilakukan karena pergeseran midline dan deteriorisasi neurologis. 4. Sindrom Trephined Sekelompok gejala – gejala yg tidak diinginkan telah ditemui berhubungan dengan tidak adanya bone flap. Sindrom trephined pertama kali dijelaskan oleh Grant dan Necross tahun 1939, mereka menjelaskan gejala – gejala dari sakit kepala, kejang – kejang, perubahan mood, dan gangguan perilaku. Kalimat “sindrom dari tenggelamnya scalp flap” menunjukkan defisit – defisit neurologis yg bisa timbul dikarenakan disfungsi kortikal yang disebabkan distorsi otak dibawah scalp flap tadi seiring dengan hilangnya oedem. Pada tingkatan dimana pasien ini terpengaruh oleh gejala ini sangat sukar untuk ditentukan secara akurat karena banyak pasien dalam fase penyembuhan dari cedera kepala berat. Pasien – pasien secara terus menerus mengeluh sakit Universitas Sumatera Utara kepala, perubahan mood dan gangguan perilaku serta sukar untuk menentukan derajat – derajat fenomena post kraniotomi ini. Pada dua rumah sakit trauma di Australia Barat, bone flaps digantikan sesegera mungkin untuk mengembalikan fungsi kosmetik dan protektifnya. Pada penelitian kohort ini tidak ditemukannya contoh – contoh dimana fungsi neurologis pasien meningkat signifikan setelah operasi kranioplasti primer. Bagaimanapun, tiga orang pasien yang mengalami cranioplasty autolog telah melalporkan keluhan tentang sakit kepala berat postural dengan diikutinya vertigo. Gejala – gejala mereka terpecahkan dengan melakukan sebuah cranioplasty titanium. 5. Hidrosefalus Nilai insidensi dari hidrosefalus post-traumatik yg simptomatik bervariasi dari 0.7 hingga 29. Perbedaan – perbedaan dalam kriteria diagnostik dan klasifikasi mempengaruhi variasi ini. Pada pasien yg telah dilakukan kraniectomi dekompresi, nilai insidensi dari hidrosefalus post- traumatik berkisar dari 10 hingga 40. Penelitian ini dilakukan terhadap lima pasien yg telah tepasang VP shunt. Empat dari pasien tersebut didapatkan kemajuan klinis. Seorang pasien lagi yg telah berada di status vegetatif berkepanjangan, tidak ditemukan adanya perubahan klinis dan diagnosisnya menuju ke ventrikulomegali. Angka insidensi penelitian kohort ini kemudian dilaporkan sebesar 11. Seperti yg disebut sebelumnya, gangguan – gangguan aliran CSF post-traumatik kemungkinan berpengaruh dalam perkembangan dari efusi subdural dan subgaleal dan dipercaya bahwa hidrosefalus simptomatis muncul ketika sirkulasi CSF tidak normal stabil. Tingkat keparahan dari cedera dan perkembangan efusi –efusi subgaleal subdural terlihat sangat berhubungan erat dgn perkembangan hidrosefalus. Keseluruhan empat orang pasien menunjukkan efusi – efusi yang ekstensif dan hanya seorang dari empat orang pasien tadi yang menunjukkan penyembuhan yang baik. Meskipun hidrosefalus muncul secara primer sebagai hasil dari cedera kepala berat, ada kemungkinkan juga operasi kraniectomi dekompresi dapat mengubah dinamika tekanan CSF menjadi lebih jelek dan atau meningkatkan perlukaan sub-arakhnoid, sehingga menempatkan kelompok pasien ini pada resiko yang lebih besar terkenanya hidrosefalus. Universitas Sumatera Utara 6. Kejang post-traumatik Angka insidensi dari kejang post-traumatik untuk segala tipe dari cedera kepala adalah 2 hingga 2.5 dalam populasi masyarakat sipil. Insidensi ini meningkat hingga 5 pada pasien – pasien bedah saraf di rumah sakit. Ketika yang dipertimbangkan hanya cedera kepala berat kontusi otak, hematoma intrakranial, kehilangan kesadaran atau amnesia post-traumatik 24 jam, insidensinya 10 hingga 15 pada pasien dewasa dan 30 hingga 35 pada anak – anak. Pada pasien – pasien yang telah dilakukan kraniectomi dekompresi yg diduga termasuk dalam kategori cedera kepala berat, angka insidensi terjadinya epilepsi bervariasi dari 7 hingga 20. Dalam penelitian ini, dari 34 orang pasien yang bertahan hidup, lima orang 17 mengalami kejang – kejang post-traumatik. Meskipun terlihat komplikasi ini terjadi secara primer karena cedera kepala berat, manipulasi serebral yang timbul dengan prosedur dekompresi dan cranioplasty yang dilakukan setelahnya kemungkinan mempunyai beberapa pengaruh.Honeybul S,2010

2.4. Rotterdam Computed Tomography Score

Yang paling terkenal dari klasifikasi CT kepala pada cedera otak traumatik akut, Marshall CT klasifikasi Marshall et al., 1991 dan klasifikasi Rotterdam CT Maas et al., 2005, didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala. Berdasarkan Rotterdam CT klasifikasi Maas, 2005, yang mengidentifikasi lima temuan pencitraan kunci pada trauma kepala CT dengan signifikan nilai prognostik klinis: 1 ada atau tidak adanya subdural atau epidural hematoma, 2 ada atau tidak adanya subarachnoid perdarahan, 3 ada atau tidak adanya suatu intraparenchymal hematoma, 4 ada atau tidak adanya klinis yang signifikan pergeseran garis tengah ≥ 5 mm, dan 5 normal. Nilai dari sistem klasifikasi CT dalam memprediksi hasil klinis diakui sebagai pedoman untuk manajemen setelah cedera otak traumatic berat Chestnut, 2000 Huang YH et al,2012 menguji pembedaan prognostik dan prediksi dari Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani kraniectomi dekompresi untuk cedera otak traumatik. Mortalitas dan skala Glasgow outcome scale pada . Universitas Sumatera Utara akhir masa follow up dipakai sebagai ukuran hasil akhir. Mereka mendapatkan hasil, untuk pasien cedera otak traumatik yang menjalani kraniectomi dekompresi, Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan merupakan prediktor independen terhadap hasil akhir yang tidak menguntungkan. Kontusio serebri yang luas adalah umum pada pasien yang menjalani hemicraniectomy decompressive. Awal Skor Rotterdam sangat terkait dengan ekspansi contusio pada pasien yang mengalami hemicraniectomy. Skor Rotterdam tinggi dikaitkan dengan kedua lebih tinggi frekuensi dan ukuran yang lebih besar dari ekspansi contusio. Peningkatan volume contusio besar dari 20 cc berikut hemicraniectomy sangat terkait dengan kematian pasien Tabel 4. Klasifikasi Rotterdam CT Score . PREDICTOR SCORE BASAL CISTERNS Normal Compressed Absent 1 2 MIDLINE SHIFT No shift or shift ≤ 5 mm Shift 5 mm 1 EPIDURAL MASS LESION Present Absent 1 INTRAVENTRICULAR BLOOD or SUBARACHNOID HEMORRHAGE Absent 0 Present 1 1 SUM SCORE In +1 In The Rotterdam Scorring System, 1 point is added as a sum score to make The Rotterdam grade numerically total 6 points, consistent with the motor score of the Glasgow Coma Scale and The Marshall Clssification. Universitas Sumatera Utara Dikutip dari : Maas AI, Hukkenhoven CW, Marshall LF, Steyerberg EW. Prediction of outcome in traumatic brain injury with computed tomographic characteristics: A comparison between the computed tomographic classification and combinations of computed tomographic predictors. Neurosurgery 2005;576:1173-1182 Berbagai penelitian menggambarkan hasil prediksi dengan klasifikasi Marshall, dan pedoman internasional tentang prognosis pasien meliputi klasifikasi Computed Tomography sebagai prediktor utama. Bahkan klasifikasi Marshall awalnya tidak dikembangkan dari perspektif prognosis, sehingga Maas et al meneliti nilai prediktif dan dibandingkan dengan klasifikasi alternatif Computed Tomography. Mereka menggabungkan individu Computed Tomography memiliki model penilaian yang dikenal sebagai Rotterdam CT score, yang menunjukkan prognostik yang lebih baik atas Marshall CT klasifikasi, khususnya dalam kasus pasien dengan lesi massa .Huang, 2012. Universitas Sumatera Utara BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Dokumen yang terkait

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

1 59 66

Hubungan D-Dimer Terhadap Prognosis Cedera Kepala Sedang Yang Tidak Dilakukan Tindakan Operasi

0 0 1

Hubungan D-Dimer Terhadap Prognosis Cedera Kepala Sedang Yang Tidak Dilakukan Tindakan Operasi

2 9 3

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 16

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 1

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 4

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 12

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 4

Kaitan Glasgow Coma Score Awal Dan Jarak Waktu Setelah Cedera Kepala Sampai Dilakukan Operasi Pada Pasien Perdarahan Subdural Akut Dengan Glasgow Outcome Scale

0 0 9

HUBUNGAN GLASGOW COMA SCALE DENGAN GLASGOW OUTCOME SCALE BERDASARKAN LAMA WAKTU TUNGGU OPERASI PADA PASIEN PERDARAHAN EPIDURAL

0 0 8