Pemberdayaan Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) Dalam Konteks Pengembangan Wilayah di Kota Medan

(1)

PEMBERDAYAAN PEDAGANG KREATIF LAPANGAN (PKL)

DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN WILAYAH

DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

EDI SURANTA SINULINGGA

097003030/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA


(2)

PEMBERDAYAAN PEDAGANG KREATIF LAPANGAN (PKL)

DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN WILAYAH

DI KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

EDI SURANTA SINULINGGA

097003032/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : PEMBERDAYAAN PEDAGANG KREATIF LAPANGAN (PKL) DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Edi Suranta Sinulingga

Nomor Pokok : 097003030

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE) K e t u a

(Kasyful Mahalli, SE. M.Si) (Wahyu Ario Pratomo, SE. M.Ec)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE

Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si

2. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 3. Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D, Ak 4. Drs. Rujiman, MA


(5)

PEMBERDAYAAN PEDAGANG KREATIF LAPANGAN (PKL) DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pedagang kreatif lapangan adalah orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di tempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Pendapatan adalah penghasilan kotor yang diterima pedagang kreatif lapangan. Pengembangan wilayah merupakan menggerakkan unsur-unsur pembangunan suatu wilayah untuk meningkatkan masyarakat.

Tujuan penelitian untuk menganalisis upaya Pemerintah Kota Medan dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan Pedagang Kreatif Lapangan (PKL), faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, dan kontribusi PKL terhadap pengembangan wilayah di Kota Medan. Pengujian penelitian ini menggunakan analisis regresi linier sederhana dan analisis deskriptif.

Upaya pemerintah Kota Medan dalam pemberdayaan PKL dengan cara pemberian modal, penyediaan sarana dan prasarana, dan kemitraan. Pendapatan PKL dipengaruhi oleh faktor modal dan jam berdagang. Kontribusi PKL terhadap pengembangan wilayah Kota Medan dapat menciptakan pengembangan ekonomi lokal.

Kata Kunci: Pemberdayaan, Pedagang Kreatif Lapangan (PKL), Pendapatan


(6)

CADGERS EMPOWERMENT IN CONTEXT OF MEDAN CITY REGIONAL DEVELOPMENT

ABSTRACT

Community empowerment is an effort to increase the community’s dignity and standards, which have been decreasing and trapping in poverty and economic backwardness. Cadgers are people who sale goods and services in public, especially beside the street and pavements. Income is cadgers’ gross revenue. Regional development is determinants to boost one region economic.

The purposes of this research are to analyze the Medan’s government efforts to empower the cadgers in Medan, to analyze factors that influence the cadgers income, and to analyze the cadgers’ contribution on regional development of Medan. This research was estimated using simple linier regression and descriptive analysis.

The Medan’s government efforts to empower the cadgers by giving capital, providing facilities and infrastructures, and partnership. The cadgers’ income were influenced by capital and working hours. The cadgers’ contribution on the medan city regional development was the creation of new local business.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkatNya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang

berjudul “Pemberdayaan Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) Dalam Konteks

Pengembangan Wilayah di Kota Medan”, yang disusun untuk melengkapi

kewajiban dalam memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pedesaan (PWD) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Keberhasilan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu sangat manusiawi sekali bila dalam lembaran pengantar ini saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Kasyful Mahalli, SE., M.Si, dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah berjerih payah dan tanpa mengenal waktu bersedia memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan

Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak/Ibu Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan

saran bagi kesempurnaan tesis ini.

4. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan

Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala keikhlasannya dalam memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.


(8)

5. Yth. Bapak Ir. Syaiful Bahri (Sekretaris Daerah Kota Medan) yang dengan ketulusan hati telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program ini.

6. Seluruh mahasiswa PWD Angkatan 2009 dan staf administrasi atas

keakrabannya, bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.

7. Istri tercinta dan anak tersayang atas pengertian yang mendalam serta

memberikan dorongan semangat selama ini.

8. Orang Tua dan Mertua yang telah turut berdoa dan memberikan dorongan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan sehat, saran dan masukan dari semu pihak. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.

Medan, Agustus 2011 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Edi Suranta Sinulingga lahir di Tebing Tinggi, 22 Agustus 1973, dari

pasangan Persadaan Sinulingga dengan T. Anna Br Sebayang, dan merupakan anak

ketiga dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Dasar tahun 1986 di SDN 060891 Medan. Pada tahun 1989 menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada SMP Bhayangkari I Medan dan tahun 1992 menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU Immanuel Medan. Kemudian pada tahun 1997 menyelesaikan Sarjana S1 di Unika St. Thomas, Medan.

Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Erika Paulina Tarigan, SPd dan

dikarunia 1 (satu) orang putra bernama: David Villa Ertono Sinulingga. Sejak tahun 1993 bekerja di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Medan dan sekarang menjabat Kasubbid Soskesmas Bappeda Kota Medan. Bulan September 2009 mengikuti pendidikan pascasarjana pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Pemberdayaan Masyarakat ... 8

2.2. Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) dalam Sektor Informal ... 13

2.3. Pengembangan Wilayah ... 23

2.4. Penelitian Sebelumnya ... 25

2.5. Kerangka Pemikiran ... 27

2.6. Hipotesis ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 29

3.2. Lokasi Penelitian ... 29

3.2. Populasi dan Sampel ... 29

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 31


(11)

3.5. Analisis Data ... 32

3.6. Definisi dan Batasan Operasional ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1. Deskripsi Kota Medan ... 37

4.2. Upaya Pemerintah Kota Medan Dalam Rangka Pemberdayaan dan Pengembangan Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) ... 49

4.3. Pengaruh Modal, Manajemen Usaha, Lokasi Usaha dan Jam Berdagang terhadap Pendapatan PKL ... 56

4.4. Kontribusi Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) terhadap Pengembangan Wilayah Kota Medan ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1. Kesimpulan ... 71

5.2. Saran ... 72


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Kota Medan untuk Tahun 2009

Berdasarkan Kecamatan ……… .. 41

4.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009 ……… 42

4.3. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009 ……… 43

4.4. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kota Medan Tahun 2009 ……….. 45

4.5. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 47

4.6. Struktur Perekonomian Kota Medan Tahun 2007 – 2009 …………. 49

4.7. Program Pengentasan Kemiskinan Melalui Intervensi Program Pinjaman Modal Kerja Kepada UKM ………. 53

4.8. Jumlah Responden Berdasarkan Umur ………... 57

4.9. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 58

4.10. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ………... 58

4.11. Jumlah Responden Berdasarkan Jam Berdagang ………... 59

4.12. Jumlah Responden Berdasarkan Pendapatan Rata-rata Perhari ……. 59

4.13. Hasil Analisis Uji Aumsi Multikolinearitas ……….. .. 60

4.14. Hasil Analisis Uji Asumsi Autokorelasi ……… 63

4.15. Hasil Analisis Regresi Berganda ……… 65


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

4.1. Peta Pembagian Kecamatan di Kota Medan ……… 39

4.2. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun 2007 – 2009 (%) ……... 46

4.3. Normal PPlot of Regression Standardized Residual ……….. 62


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuisioner Penelitian ………. 77

2. Tabulasi Jawaban Responden ………. 78

3. Hasil Analisis Regresi Berganda ………. 82

4. Uji Normalitas ……….. 83


(15)

PEMBERDAYAAN PEDAGANG KREATIF LAPANGAN (PKL) DALAM KONTEKS PENGEMBANGAN WILAYAH DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pedagang kreatif lapangan adalah orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di tempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Pendapatan adalah penghasilan kotor yang diterima pedagang kreatif lapangan. Pengembangan wilayah merupakan menggerakkan unsur-unsur pembangunan suatu wilayah untuk meningkatkan masyarakat.

Tujuan penelitian untuk menganalisis upaya Pemerintah Kota Medan dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan Pedagang Kreatif Lapangan (PKL), faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL, dan kontribusi PKL terhadap pengembangan wilayah di Kota Medan. Pengujian penelitian ini menggunakan analisis regresi linier sederhana dan analisis deskriptif.

Upaya pemerintah Kota Medan dalam pemberdayaan PKL dengan cara pemberian modal, penyediaan sarana dan prasarana, dan kemitraan. Pendapatan PKL dipengaruhi oleh faktor modal dan jam berdagang. Kontribusi PKL terhadap pengembangan wilayah Kota Medan dapat menciptakan pengembangan ekonomi lokal.

Kata Kunci: Pemberdayaan, Pedagang Kreatif Lapangan (PKL), Pendapatan


(16)

CADGERS EMPOWERMENT IN CONTEXT OF MEDAN CITY REGIONAL DEVELOPMENT

ABSTRACT

Community empowerment is an effort to increase the community’s dignity and standards, which have been decreasing and trapping in poverty and economic backwardness. Cadgers are people who sale goods and services in public, especially beside the street and pavements. Income is cadgers’ gross revenue. Regional development is determinants to boost one region economic.

The purposes of this research are to analyze the Medan’s government efforts to empower the cadgers in Medan, to analyze factors that influence the cadgers income, and to analyze the cadgers’ contribution on regional development of Medan. This research was estimated using simple linier regression and descriptive analysis.

The Medan’s government efforts to empower the cadgers by giving capital, providing facilities and infrastructures, and partnership. The cadgers’ income were influenced by capital and working hours. The cadgers’ contribution on the medan city regional development was the creation of new local business.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis ekonomi dan moneter mengakibatkan terjadinya kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riil yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada munculnya pengangguran di kota-kota besar, termasuk Kota Medan sebagai obyek penelitian ini. Sebagaimana di kota-kota besar lainnya, Kota Medan merupakan kota perdagangan dan jasa adalah wajar apabila para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal. Salah satu sektor informal yang banyak diminati para pengangguran (selain yang sudah lama bekerja di sektor ini) yaitu Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) atau yang sebelumnya disebut Pedagang Kaki Lima. Perubahan istilah Pedagang Kreatif Lapangan berdasarkan Keputusan tiga kementerian yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) pada tahun 2011.

Salah satu masalah penting yang terkait dengan aspek ekonomi adalah kebutuhan akan lapangan kerja yang meningkat yang meningkat. Kesempatan kerja di sektor formal semakin sulit karena sektor ini tidak dapat menampung pertambahan tenaga kerja yang cepat. Dampak logis dari kondisi tersebut adalah berkembangnya sektor informal yang dianggap sebagai jawaban yang tepat dan murah atas masalah


(18)

ketenagakerjaan di perkotaan. Sektor ini terbukti tidak saja memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang tinggi, tetapi juga dapat bertahan tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Salah satu komponen penting dari sektor informal adalah Pedagang Kreatif Lapangan (PKL).

Pedagang kaki lima (PKL) nampaknya akan menjadi jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam sektor informal. (Yustika, 2000). Dilain pihak, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor informal dalam hal ini PKL belum tentu mendatangkan masalah dalam aktivitas perkotaan namun terdapat sisi positif dalam sektor informal tersebut. Sektor informal dapat dianggap sebagai sabuk penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal (Sunyoto, 2006).

Pilihan yang diambil oleh masyarakat untuk menjadi PKL, karena tidak membutuhkan modal dan keterampilan yang besar. Ketidakinginan masyarakat dalam kondisi serba tidak menentu, stabilitas politik yang goyah, barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sembako harganya membumbung tinggi mengakibatkan daya beli masyarakat menurun, angka pengangguran meningkat sedangkan waktu terus berputar dan kebutuhan harus terbeli maka membuka lapangan pekerjaan sendiri dengan menjadi PKL dianggap masyarakat sebagai solusi yang tepat walaupun omzet penjualan tidak tentu dan relatif kecil, namun dapat meringankan beban hidup.

Kurang antisipasi pemerintah dalam mengatasi perkembangan sektor informal sebagai imbas krisis moneter serta ketidaksediaan lokasi yang menampung perkembangan PKL tersebut mengakibatkan PKL tersebut berlokasi di sekitar


(19)

kawasan-kawasan fungsional perkotaan yang dianggap strategis seperti kawasan perdagangan, perkantoran, wisata, permukiman atau fasilitas-fasilitas umum jika dibandingkan berjualan di sekitar rumah, dengan pertimbangan lokasi rumah mereka di dalam gang sempit, tingkat kunjungan rendah, penghuni sekitar rumah memiliki tingkat perekonomian yang rendah sehingga daya beli kurang atau pola pelayanan yang relatif sempit.

Ketidakteraturan lokasi aktivitasnya yang diakibatkan oleh bentukan fisik yang beragam dan sering terkesan asal-asalan dan kumuh berupa kios-kios kecil dan gelaran dengan alas seadanya, menjadikan visual suatu kawasan perkotaan yang telah direncanakan dan dibangun dengan apik, menjadi terkesan kumuh dan tidak teratur sehingga menurunkan citra suatu kawasan.

Hingga pada akhirnya aktivitas PKL di dalam suatu perkotaan menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Terkait dengan permasalahan tersebut, pemerintah Kota Medan sudah mencari alternatif pemecahannya dengan jalan menertibkan dengan menggusur atau menata aktivitas PKL dengan mengembalikan fungsi asli dari kawasan tersebut serta merelokasi para PKL tersebut ke lokasi baru. Namun pada kenyataannya, setelah pelaksanaan relokasi dengan penertiban dan penggusuran PKL yang terkadang disertai dengan tindakan pemaksaan dari petugas penertiban, mereka kembali beraktivitas ke tempat semula bahkan jumlahnya bertambah.

Usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka penertiban dan penataan PKL ternyata dirasa belum mendapatkan hasil seperti yang diharapkan hingga saat ini.


(20)

Penataan terhadap aktivitas PKL tersebut, oleh pemerintah belum mendapatkan tempat dan perhatian khusus dalam penataan ruang kawasan perkotaan diakibatkan produk penataan ruang kota tersebut belum diarahkan untuk PKL. Hal tersebut menambah runyam penataan PKL yang semakin hari jumlahnya bertambah. Antisipasi yang cenderung terlambat tersebut menjadikan penataan kota yang lebih didominasi oleh sektor formal menjadi tidak efektif. Kegagalan sektor informal yang terjadi selama ini, karena pemerintah tidak pernah mampu merencanakan ruang kota untuk sektor informal dengan baik. Bagi pemerintah, yang penting sudah diberikan lokasi baru dan retribusi jalan, sedangkan fasilitas yang lain sama sekali tidak diperhatikan sehingga tidak mengherankan kalau PKL kembali lagi ke lokasi mereka yang semula

Pada dasarnya Pedagang kreatif lapangan mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kreatif lapangan mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

Terlepas dari beberapa keunggulan yang dimiliki kelompok usaha kecil, khususnya pedagang kreatif lapangan sebagaimana dikemukakan di atas, namun hasil pra-survei menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang kreatif lapangan yang tersebar di 21 Kecamatan yang ada di Kota Medan, ternyata memperoleh pendapatan


(21)

rata-rata per-tahun masih tergolong rendah. Indikasi rendahnya tingkat pendapatan mereka dapat ditelusuri melalui kepemilikan rumah tinggal, di mana sebagian besar masih mengontrak rumah, bahkan ada di antara mereka yang masih tinggal di rumah keluarga.

Hasil pengamatan sementara menunjukkan bahwa kondisi ini diduga bersumber dari dua hal pokok, yaitu (1) faktor internal kelompok pedagang kreatif lapangan itu sendiri; dan (2) faktor ekternal, yakni kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan pedagang kreatif lapangan.

Masalah yang berkaitan dengan faktor internal, di antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan formal dan keterampilan dalam berusaha; perilaku konsumtif (konsumerisme), kebanyakan dari mereka belum mempunyai modal sendiri (sumber modal sebagian dari rentenir, dan sebagian dari barang-barang yang dijajakan adalah barang-barang komisi).

Faktor ekternal berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan pedagang kreatif lapangan yang hingga saat ini baru sebagian kecil saja yang telah memperoleh pembinaan dari pemerintah Kota Medan maupun swasta.

Kedua hal pokok di atas merupakan faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan masalah pemberdayaan usaha mikro, khususnya pengelolaan pedagang kreatif lapangan, yakni masalah pengelolaan unsur manusia (pelatihan), pengelolaan unsur uang (modal kerja) dan pengelolaan unsur metode (manajemen usaha), serta lokasi usaha dalam upaya meningkatkan pendapatan guna memberikan kontribusi pada penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD).


(22)

Keberadaan Pedagang Kreatif Lapangan sangat dilematis di wilayah perkotaan. Di satu sisi, PKL sering kali dianggap menggangu kegiatan sektor lain seperti kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan kota, serta fungsi prasarana dan fasilitas publik sehingga harus dihilangkan. Namun di sisi lain, keberadaan PKL sangat membantu mengatasi masalah ketenagakerjaan, sumber penerimaan daerah dan pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat, oleh karenanya usaha ini perlu dilindungi dan dibina. Melihat keseluruhan kondisi tersebut, maka pemerintah Kota Medan perlu melakukan kajian yang mendalam dan komprehensif tentang masalah dan potensi Pedagang Kreatif Lapangan sehingga dapat diambil langkah kebijakan penataan dan pemberdayaan PKL dalam rangka mewujudkan harmonisasi keberadaan PKL dengan lingkungannya.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apa upaya Pemerintah Kota Medan dalam rangka pemberdayaan dan

pengembangan pedagang kreatif lapangan (PKL)?

2. Seberapa besar pengaruh modal, manajemen usaha, lokasi usaha dan jam

berdagang terhadap pendapatan pedagang kreatif lapangan (PKL)?

3. Seberapa besar kontribusi pedagang kreatif lapangan (PKL) terhadap


(23)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis upaya Pemerintah Kota Medan dalam rangka pemberdayaan dan

pengembangan pedagang kreatif lapangan (PKL).

2. Menganalisis pengaruh modal, manajemen usaha, lokasi usaha dan jam berdagang

terhadap pendapatan pedagang kreatif lapangan (PKL).

3. Menganalisis kontribusi pedagang kreatif lapangan (PKL) terhadap

pengembangan wilayah di Kota Medan

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah Kota Medan

dalam merencanakan dan mengimplementasikan percepatan pengembangan dan pemberdayaan pedagang kreatif lapangan (PKL) dalam konteks pengembangan wilayah serta dalam rangka penataan kota dan lingkungan.

2. Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang pembangunan dan

pengembangan wilayah. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat bagi para penelitian lain yang berminat melakukan kajian sejenis.

3. Bagi peneliti hasil penelitian diharapkan dapat memperdalam dan memperkaya

wawasan dan pengetahuan khususnya tentang pemberdayaan pedagang kreatif lapangan (PKL).


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus.

Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yakni yang bersifat “partisipasi (participatory), pemberdayaan

(empowering), dan berkelanjutan (sustainable)” (Chambers, 1995 dalam


(25)

Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu.

Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau system pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulative untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, system politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan

pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the

powerless).

Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur– unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk


(26)

memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada

sumber–sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power

dis powerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan. Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan.

Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Menurut Prijono dan Pranarka (1996), dalam konsep pemberdayaan, manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.


(27)

Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan system pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.

Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi.

Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.


(28)

Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).

Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.

Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor informal, khususnya kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya yang


(29)

mereka miliki yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan/profit usaha sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan pendapatan daerah dari sektor retribusi daerah.

2.2. Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) dalam Sektor Informal

Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) atau yang sebelumnya disebut Pedagang Kaki Lima.

Istilah pedagang kaki lima sebenarnya telah ada dari jaman Raffles yaitu berasal dari istilah 5 feet yang berarti jalur dipinggir jalan selebar lima kaki. Di

Amerika, pedagang semacam ini disebut dengan Hawkers yang memiliki pengertian

orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di tempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006).

Perubahan istilah Pedagang Kreatif Lapangan berdasarkan keputusan tiga kementerian yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. PKL bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. PKL bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh


(30)

pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL (Rukmana, 2005).

2.2.1. Karakteristik PKL

Pedagang kreatif lapangan bermula tumbuh dan semakin berkembang dari adanya krisis moneter yang melanda secara berkepanjangan yang menimpa Indonesia pada tahun sekitar 1998 dimana salah satunya mengakibatkan terpuruknya kegiatan ekonomi. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup dengan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, menuntut masyarakat dengan modal dan ketrampilan terbatas menjadi pedagang kaki lima. Fenomena tersebut tidak disertai dengan ketersediaan wadah yang menaunginya dan seolah kurang memberi perhatian terhadap PKL.

Salah satu karakteristik sektor informal adalah cenderung menggunakan sumber daya lokal dan tidak memiliki ijin resmi sehingga usaha sektor informal sangat beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, pedagang eceran, tukang warung, tukang cukur, tukang becak, tukang sepatu, tukang loak, buruh harian, serta usaha-usaha rumah tangga seperti pembuat tempe, tukang jahit, tukang tenun, dan lain-lain (Herlianto, 1986).

Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik, pola penyebaran dan pola pelayanan dalam ruang perkotaan. Karakteristik dari PKL dijabarkan oleh Simanjutak (1989) sebagai berikut:

1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama yang rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.


(31)

2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan pendapatan yang umumnya relatif kecil.

3. Aktivitas yang tidak memiliki izin usaha

Berikut ini akan dijabarkan mengenai karakteristik aktivitas PKL yang dilihat dari segi sarana fisik dan pola pelayanan, yaitu sebagai berikut.

a. Sarana Fisik Berdagang PKL

Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006) bahwa di kota-kota Asia Tenggara mempunyai bentuk dan sarana fisik dagangan PKL umumnya sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah-pindah atau mudah dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Jenis sarana dagangan yang digunakan PKL sesuai dengan jenis dagangan yang dijajakan. Sarana fisik PKL ini terbagi lagi menjadi jenis barang dagangan dan jenis sarana usaha. Secara detail mengenai jenis dagangan dan sarana usaha dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Dagangan

Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana PKL tersebut beraktivitas. Sebagai contoh di kawasan perdagangan, maka jenis dagangannya beraneka ragam seperti makanan atau minuman, kelontong, pakaian dan lain-lain. Adapun jenis dagangan yang dijual oleh PKL secara umum dapat dibagi menjadi:

a) Bahan mentah makanan dan makanan setengah jadi (Unprocessed and


(32)

mentah makanan seperti daging, buah dan sayuran. Selain itu juga dapat berupa barang-barang setengah jadi seperti beras.

b) Makanan siap saji (Prepared food). Termasuk dalam jenis dagangan ini

berupa makanan atau minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa pulang. Penyebaran fisik PKL ini biasanya cenderung mengelompok dan homogen dengan kelompok mereka.

c) Non makanan (Non foods). Termasuk jenis barang dagangan yang tidak

berupa makanan contohnya adalah mulai dari tekstil sampai dengan obat-obatan.

d) Jasa pelayanan (Services). Jasa pelayanan yang diperdagangkan adalah jasa perorangan, seperti tukang membuat kunci, tukang membuat pigura, reparasi jam dan lain-lain. Pola penyebarannya pada lokasi pusat pertokoan dan pola pengelompokkannya membaur dengan jenis lainnya.

2. Sarana Usaha

PKL adalah pedagang yang didalam usahanya mempergunakan sarana yang mudah dibongkar pasang/dipindahkan. Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bentuk fisik dagangan bagi PKL bukan merupakan bangunan permanen tetapi bangunan yang mudah untuk dibongkar pasang dan dipindahkan.

Menurut Waworoentoe (Widjajanti, 2000), sarana fisik pedagang PKL dapat


(33)

1. Kios

Pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini dikategorikan pedagang yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan.

2. Warung semi permanen

Terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan meja dan bangkubangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus air. PKL dengan bentuk sarana ini dikategorikan PKL menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman.

3. Gerobak/Kereta dorong

Bentuk sarana berdagang ini ada 2 jenis, yaitu gerobak/kereta dorong yang beratap sebagai pelindungan untuk barang dagangan dari pengaruh panas, debu, hujan dan sebagaianya serta gerobak/kereta dorong yang tidak beratap. Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap dan tidak menetap. Biasanya untuk menjajakan makanan, minuman serta rokok.

4. Jongkok/Meja

Bentuk sarana berdagang seperti ini dapat beratap atau tidak beratap. Sarana seperti ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.

5. Gelaran/Alas

Pedagang menjajakan barang dagangannya diatas kain, tikar dan lainnya untuk menjajakan barang dagangannya. Bentuk sarana ini dikategorikan


(34)

PKL yang semi menetap dan umumnya sering dijumpai pada jenis barang kelontong.

6. Pikulan/Keranjang

Sarana ini digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers) atau semi menetap dengan menggunakan satu atau dua buah keranjang dengan cara dipikul. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah untuk dibawa berpindah-pindah tempat.

b. Pola Pelayanan Kegiatan PKL

Pola pelayanan PKL erat kaitannya dengan sarana fisik dagangan PKL yang digunakan dan jenis usahanya. Adapun menurut Hanarti (1999), pengelompokan aktivitas perdagangan sektor informal berdasarkan pola pelayanan kegiatannya dikategorikan atas fungsi pelayanan, golongan pengguna jasa, skala pelayanan dan waktu pelayanan. Untuk lebih jelas terkait dengan pengkategorian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Fungsi Pelayanan

Penentuan jenis fungsi pelayanan dari suatu aktivitas pedagang sektor informal (PKL) dapat ditentukan dari dominasi kuantitatif jenis barang dan jasa yang diperdagangkannya. Suatu lokasi aktivitas PKL dapat memiliki lebih dari satu fungsi secara sekaligus. Peran dan fungsi yang dimiliki oleh aktivitas PKL dalam kehidupan perkotaan secara umum dibagi menjadi tiga fungsi yang akan diuraikan sebagai berikut:


(35)

a) Fungsi pelayanan perdagangan dan jasa

Aktivitas pedagang kaki lima merupakan bagian dari sistem perdagangan kota khususnya dalam bidang pedagang eceran. PKL dalam hal ini berfungsi memasarkan hasil produksi suatu barang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen akhir.

b) Fungsi pelayanan rekreasi

Aktivitas PKL memiliki fungsi sebagai hiburan yang bersifat rekreatif yaitu hiburan sebagai selingan dari kesibukan dan rutinitas kegiatan perkotaan. Fungsi rekreatif ini didapatkan dari suasana pelayanan yang diberikan misalnya lokasi di alam terbuka dapat dipakai sebagai tempat santai, jalan-jalan cuci mata, dan sebagainya.

c) Fungsi pelayanan sosial ekonomi

Aktivitas PKL secara umum telah dikemukakan memiliki fungsi sosial ekonomi yang sangat luas bila dikelola dengan baik. Aktivitas PKL memiliki fungsi sosial ekonomi yang dilihat berdasarkan pandangan masing-masing pelaku yang terlibat didalamnya.

Berdasarkan pandangan penjaja maka aktivitasnya merupakan sumber pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Bagi para pengguna maka aktivitas PKL sangat membantu dalam penyediaan barang dan jasa yang harganya relatif lebih murah daripada di toko atau supermaket. Sedangkan bagi pemerintah kota maka aktivitas jasa sektor informal ini


(36)

sedikit banyak dapat membantu pemecahan masalah penyerapan tenaga kerja dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

2. Golongan Pengguna Jasa

Golongan pengguna jasa yang dilayani oleh aktivitas pedagang sektor informal pada umumnya terdiri dari golongan pendapatan menengah ke bawah. Hal ini dapat dilihat dari tarif harga aktivitas perdagangan tersebut yang relatif rendah sehingga terjangkau bagi golongan pendapatan rendah sekalipun. Sedangkan bagi golongan penduduk berpendapatan tinggi cenderung tidak pergi ke aktivitas perdagangan tersebut.

Pertimbangannya adalah kualitas barang yang lebih rendah, kemungkinan adanya penipuan dalam keaslian barang, dan sebagainya sehingga mereka lebih memilih berbelanja di toko-toko atau supermaket walaupun tingkat harganya lebih tinggi. Pertimbangan lainnya adalah faktor psikologis yaitu gaya hidup masyarakat kota yang ingin menjaga `gengsi' sehingga mereka merasa lebih percaya diri apabila berbelanja di tempat-tempat yang dapat dianggap sebagai simbol status mereka. Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga berbelanja ke lokasi aktivitas pedagang sektor informal, tetapi hal ini hanya terjadi sekali waktu jadi sifatnya insidentil sehingga masih terlihat jelas adanya pembatasan bahwa pedagang sektor informal lebih diperuntukkan bagi golongan pendapatan menengah ke bawah.


(37)

3. Skala Pelayanan

Skala pelayanan suatu aktivitas PKL dapat diketahui dari asal pengguna aktivitasnya. Besar kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya asal penggunanya. Semakin dekat asal penggunanya maka skala pelayanan semakin kecil, sebaliknya semakin jauh asal penggunanya maka skala pelayanannya semakin besar.

4. Waktu Pelayanan

Pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal atau kondisi yang ada. Terdapat juga perbedaan pada setiap periode waktu pelayanan, baik dari segi jumlah PKL

maupun jumlah pengguna jasanya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006).

Saat-saat teramai pada suatu waktu pelayanan dipengaruhi oleh orientasi aktivitas jasa tersebut terhadap pusat-pusat kegiatan di sekitarnya. Saat-saat teramai tersebut bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat pusat-pusat perbelanjaan akan berbeda dengan saat-saat teramai di dekat kawasan rekreasi, kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sebagainya.

Bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat suatu kawasan perbelanjaan seperti pasar, maka saat-saat teramai adalah pada waktu pagi hari sampai siang hari mengingat kegiatan masyarakat pergi ke pasar cenderung dilakukan pada pagi sampai siang hari. Demikian pula bagi aktivitas pedagang sektor informal


(38)

di suatu kawasan pusat kota maka saat-saat teramai adalah pada jam istirahat kantor dan sebagainya. (Bromley dalam Manning dan Noer Effendi, 1996). 5. Sifat Layanan

Berdasarkan sifat pelayanannya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006),

pedagang sektor informal dibedakan atas pedagang menetap (static), pedagang semi menetap (semi static), dan pedagang keliling (mobile). Pengertian tentang ketiga sifat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

a) Pedagang menetap (static hawkers units)

Pedagang menetap adalah suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap pada suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau konsumen harus dating sendiri ke tempat pedagang itu berada.

b) Pedagang semi menetap (semistatic hawkers units)

Merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai sifat menetap yang sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja dengan jangka waktu lama (ada batas waktu tertentu). Dalam hal ini dia akan menetap bila ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat bubaran bioskop, pada saat para pegawai mau masuk/pulang kantor, atau pada saat-saat ramainya pengunjung ke pusat kota. Apabila kemungkinan pembeli yang cukup besar tersebut tidak dijumpai, maka pedagang tersebut akan berkeliling, demikian seterusnya.


(39)

c) Pedagang keliling (mobile hawkers units)

Pedagang keliling adalah suatu bentuk layanan pedagang yang dalam melayani konsumennya mempunyai sifat untuk selalu berusaha mendatangi atau "mengejar" konsumen dengan bergerak atau berpindah-pindah tempat. Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah pedagang yang mempunyai volume dagangan yang kecil.

2.3. Pengembangan Wilayah

Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).

Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

Miraza (2005) di dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Unusr dimaksud seperti natural resources, human resources, infrastructure, technology

dan culture.

Dengan memahami konsep wilayah diharapkan para perencana dalam melakukan pendekatan lebih memperhatikan komponen-komponen penyusunan wilayah tersebut yang saling berinteraksi dan mengkombinasikan potensi dari


(40)

masing-masing komponen sehingga tercipta suatu strategi pembangunan dan pengembangan wilayah yang baik dan terarah.

Nasution (2009) pengembangan wilayah merupakan proses pemberdayaan masyarakat dengan segala potensinya dan meliputi seluruh aktivitas masyarakat di dalam suatu wilayah, baik aspek ekonomi, sosial dan budaya, maupun aspek-aspek lainnya. Sedangkan Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.

Mulyanto (2008) pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu sasaran utama dari pengembangan wilayah adalah mengurangi kesenjangan regional dan spasial (tata ruang). Kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan dalam lingkup suatu wilayah, kesenjangan antara pusat pertumbuhan dengan wilayah pengaruh cenderung bertambah besar, hal ini berarti implementasi dari segi strategi kebijakan kutub pertumbuhan dianggap gagal (Adisasmita, 2010). Peranan kutub pertumbuhan dalam pengembangan wilayah adalah sebagai penggerak


(41)

utama atau lokomotif pertumbuhan yang selanjutnya menyebarkan hasil pembangunan dan dampak pertumbuhan ke wilayah pengaruhnya.

Dalam pengembangan wilayah sering menghadapi kenyataan bahwa dana yang tersedia adalah terbatas sedangkan usulan dari masing-masing sektor cukup banyak (Tarigan, 2006). Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan, baik dari sektor swsasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masyarakat secara cepat (Mahalli, 2005).

2. 4. Penelitian Sebelumnya

Adapun penelitian yang telah dilakukan mengenai pemberdayaan pedagang kreatif lapangan dalam konteks pengembangan wilayah sebelumnya antara lain:

1. Tohar (2003) dalam penelitiannya “Profil dan Strategi Pengembangan Sektor

Informal di Kota Medan (Studi Kasus Pedagang Makanan dan Minuman)”, menyimpulkan bahwa pendapatan pedagang sektor informal dipengaruhi secara signifikan oleh variable modal investasi, jam kerja, tenaga kerja, dan modal kerja yang dikeluarkan.

2. Putra (2005) “Analisisi Peran Pedagang Kaki Lima terhadap Pengembangan

Wilayah di Kecamatan Medan Kota”, menyimpulkan bahwa pedagang kaki lima yang terdapat di Kecamatan Medan Kota umumnya adalah kaum urban yang tinggal di sepanjang kota Medan dan rata-rata mampu menampung tiga orang tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima


(42)

di Kecamatan Medan Kota adalah modal, jam kerja, lama kerja, lokasi usaha dan tingkat pendidikan.

3. Fransiska (2006) dalam penelitiannya “Pemberdayaan Sektor Informal, yang

berkaitan dengan studi tentang pengelolaan kelompok pedagang kaki lima dan konstribusinya terhadap penerimaan PAD di Kota Manado, menyimpulkan bahwa Faktor-faktor pemberian pelatihan, bantuan modal usaha, cara-cara pengelolaan usaha dan tingkat pendapatan/profit usaha PKL, secara parsial memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) dari sisi retribusi daerah dan keempat faktor tersebut juga secara simultan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan PAD dari sisi retribusi daerah. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL) berperan positif dalam meningkatkan peneriman pendapatan pemerintah kota Manado untuk membiayai pembangunan kota.

4. Suharyanto (2007) dalam penelitiannya “Dampak Keberadaan IPB Terhadap

Ekonomi Masyarakat Sekitar Kampus dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian Kabupaten Bogor”, menyimpulkan bahwa ekonomi masyarakat sekitar Kampus

mempunyai keterkaitan dengan keberadaan IPB. Faktor-faktor yang

mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar Kampus IPB Darmaga adalah faktor pendidikan dan lokasi usaha di dalam kampus IPB. Tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap pendapatan pelaku usaha, artinya pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pelaku usaha sektor informal. Jika tingkat pendidikan pelaku usaha sektor informal meningkat 1 tahun maka


(43)

pendapatan akan bertambah sebesar Rp.1.199.797. Sedangkan lokasi dalam IPB yang berarti lokasi usaha sektor informal dilakukan di dalam kampus IPB dan berkaitan langsung dengan aktivitas IPB berpeluang lebih besar untuk meraih keuntungan yang besar dari pada pelaku usaha yang usahanya atas alasan yang berasal dari faktor lain.

2.5. Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini, digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pembangunan Kota Medan

Modal Manajemen Usaha

Lokasi Usaha Pedagang Kreatif

Lapangan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi pendapatan

Jam berdagang Pemko Medan

Pemberdayaan


(44)

2.6. Hipotesis

Bertitik tolak dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Modal, manajemen usaha, lokasi usaha dan jam berdagang berpengaruh positif terhadap pendapatan pedagang kreatif lapangan (PKL).


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini adalah pemberdayaan pedagang kreatif lapangan (PKL) dalam konteks pengembangan wilayah di Kota Medan.

3.2. Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan.

3.3. Populasi dan sampel

Penelitian ini mengkaji pemberdayaan pedagang kreatif lapangan (PKL) dalam konteks pengembangan wilayah di Kota Medan, oleh karenanya yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kota Medan yang berprofesi sebagai pedagang kreatif lapangan (PKL).

Sampel yang akan dipilih dengan menggunakan multi stage sampling method

(metode sampling bertahap). Mengingat masyarakat yang akan diteliti adalah homogen, dilihat dari wilayah administratif, serta pekerjaan yang mereka tekuni berhubungan dengan pedagang kreatif lapangan (PKL), maka pada tahap awal dipilih 3 (tiga kecamatan) secara purposive. Kriterianya adalah bahwa ketiga kecamatan itu mewakili daerah tengah kota dan pinggiran kota. Berdasarkan kriteria tersebut


(46)

diperoleh 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Medan Marelan, Medan Kota dan Medan Johor.

Tahap kedua adalah menentukan kelurahan yang menjadi tempat penelitian dari masing-masing kecamatan tersebut secara purposive. Kriterianya sama dengan kriteria pengambilan sampel kecamatan yaitu kelurahan yang berada di tengah kecamatan dan pinggiran kecamatan.

Tahap ketiga adalah menentukan jumlah responden. Sampel responden ditetapkan mengikuti pendapat Roscoe (Sugiyono, 2003), yang menyatakan berapapun jumlah populasinya, dalam penelitian sosial ukuran sampel yang layak digunakan adalah antara 30 sampai 500 orang. Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menetapkan sampel responden sebanyak 90 orang masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang kreatif lapangan, dengan alasan: 1) telah melebihi ambang batas kriteria Roscoe, yakni batasan minimal 30 orang; 2) mengingat masyarakat pedagang kreatif lapangan yang akan diteliti adalah homogen, dilihat dari segi modal dan usaha tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta mengambil lokasi berdagang di pinggiran jalan. Dengan demikian penetapan anggota sampel sebanyak 90 orang dianggap telah representatif.

Distribusi sampel responden berdasarkan kelurahan ditetapkan sebanyak 10 orang pedagang kreatif lapangan pada tiap-tiap Kelurahan di tiga Kecamatan yang

menjadi sampel penelitian, pengambilan sampel dilakukan secara simple random


(47)

Tabel 3.1. Populasi dan Sampel per Kelurahan

No Kecamatan Kelurahan Sampel Responden

1 Medan Marelan Labuhan Deli

Terjun Paya Pasir

10 10 10

2 Medan Kota Sudi Rejo I

Teladan Barat Pandan Hulu

10 10 10

3 Medan Johor Titi Kuning

Sukamaju Gedung Johor

10 10 10

Jumlah 9 90

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan, diolah, 2011

3.4. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer bersumber dari masyarakat responden, yakni melalui penyebaran kuisioner dan wawancara dengan pihak yang berkompeten. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumentasi lembaga/instansi yang berhubungan dengan penelitian.

3.5. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data primer, digunakan teknik kuisioner yang disebarkan secara langsung kepada responden penelitian. Selain menggunakan kuisioner, pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara terhadap pihak-pihak yang berkompeten, seperti Badan Perencana Daerah Kota Medan, untuk mendapatkan informasi tentang pemberdayaan pedagang kreatif lapangan (PKL) dalam konteks pengembangan wilayah di Kota Medan.


(48)

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dengan mempelajari buku-buku literatur maupun dokumen-dokumen resmi lain yang telah dipublikasikan pemerintah Kota Medan. Studi dokumentasi ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder dari variabel yang diteliti yang bersumber dari Badan Perencana Daerah, Badan Pusat Statistik Kota Medan dan instansi terkait yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.6. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif (deskriptif analitis) dan kuantitatif (analisis korelasi), di mana:

1. Untuk menjawab perumusan pertama digunakan analisis deskriptif untuk

mendeskripsikan upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Medan dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan pedagang kreatif lapangan (PKL).

2. Untuk menguji hipotesis dan perumusan masalah kedua digunakan analisis regresi berganda berdasarkan hasil kuisioner, yaitu:

Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4

Di mana:

+ µ

Y = Pendapatan Pedagang Kreatif Lapangan (rupiah/hari) X1

X

= Modal (rupiah/hari) 2

untuk yang memiliki laporan keuangan dan 0 untuk yang tidak memiliki = Manajemen Usaha (Variabel Dummy, mendefinisikan responden Di mana 1 laporan keuangan)

X3

untuk yang kulster dan 0 untuk yang tidak kluster)

= Lokasi Usaha (Variabel Dummy, mendefinisikan responden Di mana 1 X4

β0 = Jam berdagang (jam/hari) µ = Error term


(49)

β1… β4 = Koefisien regresi

3. Untuk menguji perumusan ketiga digunakan analisis deskriptif, untuk

mendeskripsikan kontribusi pedagang kreatif lapangan (PKL) terhadap pengembangan wilayah di Kota Medan.

3.6.1. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Ada beberapa permasalahan yang bisa terjadi dalam model regresi linier, yang secara statistik permasalahan tersebut dapat mengganggu model yang telah ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang terbentuk. Untuk itu perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik yang terdiri dari:

1. Uji Multikolinieritas

Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Jika dalam sebuah persamaan terdapat multikolinieritas, maka akan menimbulkan beberapa akibat, untuk itu perlu dideteksi multikolinieritas dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yakni:

a. Variasi besar (dari taksiran OLS)

b. Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar maka standar error

besar, sehingga interval kepercayaan lebar)

c. Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas yang signifikan baik secara subtansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana, bisa tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error


(50)

terlalu besar, maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan

d. R2

e. Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai

yang tidak sesuai dengan substansi, sehingga tidak menyesatkan interpretasi.

tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari uji-t.

2. Uji Normalitas

Uji normalitas untuk mengetahui normal tidaknya distribusi faktor gangguan (residual). Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik. Analisis grafik adalah

dengan grafik histogram dan melihat normal probability plot yaitu dengan

membandingkan distribusi kumulatif dengan distribusi normal. Sedangkan uji statistik dilakukan dengan melihat nilai kurtosis dan skewness dari residual.

3. Uji Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series. Sehingga terdapat saling ketergantungan antara faktor pengganggu yang berhubungan dengan observasi yang dipengaruhi oleh unsur gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lainnya. Oleh sebab itu masalah autokorelasi biasanya muncul dalam data time series, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam data cross sectional. Dalam konteks regresi, model regresi linier


(51)

klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau pengguan µi. Dengan menggunakan lambang Ε (µi, µj) = 0; i ≠ j. Secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.

4. Uji Heterokedastsitas

Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Uji heterokedastisitas dilakukan dengan melihat ada tidaknya

pola tertentu pada grafik Scatterplot antara SRESID dan ZPRED. Dasar

analisisnya dapat dilihat :

a) Jika titik-titik yang membentuk pola yang teratur (bergelombang, melebar

kemudian memyempit) maka mengidentifikasikan telah terjadi heterokedastisitas.

b) Jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu y maka tidak terjadi heterokedastisitas.

3.6.2. Uji Kesesuaian

Suatu masalah yang erat hubungannya dengan penaksiran koefisien regresi adalah kesesuaian (goodness of fit) regresi sample secara keseluruhan. Kebaikan


(52)

sesuai diukur dengan koefisien determinasi R2, yang mengatakan proporsi variasi

variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel yang menjelaskan. R2

Pengujian satistik dilakukan dengan menggunakan uji-t (t-test) dan uji-F (F-test) serta perhitungan nilai koefisien determinasi R

ini mempunyai jangkauan antara 0 dan 1, semakin dekat ke 1 maka semakin baik kesesuiannya.

2

. Uji-t dimaksud untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Sedangkan uji-F dimaksudkan untuk mengetahui signikasi statistik koefisien regresi secara bersama.

Koefisien determinasi R2 bertujuan untuk melihat kekuatan variabel bebas

menjelaskan variabel tidak bebas.

3.7. Definisi dan Batasan Operasional

1. Pendapatan adalah penghasilan kotor yang diterima responden setiap hari

(Rupiah).

2. Modal dagang adalah modal lancar, yakni pembelian bahan-bahan baku yang

akan dipergunakan untuk kebutuhan produksi atau berjualan setiap hari (Rupiah)

3. Manajemen usaha adalah kemampuan responden dalam mengelola usaha

(Variabel Dummy, di mana 1 untuk yang memiliki laporan keuangan dan 0 untuk yang tidak memiliki laporan keuangan).

4. Lokasi usaha adalah tempat di mana responden melakukan usaha (Variabel


(53)

merupakan sekumpulan pedagang-pedagang yang berjualan menetap pada suatu lokasi tertentu yang terorganisir. Sedangkan tidak kluster merupakan pedagang-pedagang yang berjualan di pinggiran jalan, tidak menetap dan tidak terorganisir.

5. Jam berdagang adalah waktu yang dipergunakan responden pedagang kreatif


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Kota Medan

Secara internal ada 3 (tiga) aspek pokok yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah Kota Medan selama tahun 2009, yaitu (1) kondisi geografis, (2) kondisi demografis, dan (3) kondisi sosial ekonomi daerah. Ketiga aspek tersebut merupakan potensi yang dimiliki Pemerintah Kota Medan sehingga dapat menjadi modal dasar pembangunan Kota Medan dan sekaligus dapat menjadi tantangan bagi keberlangsungan pembangunan Kota Medan di masa mendatang. Berikut ini uraian dari ketiga aspek yang menjadi modal dasar bagi penyelenggaraan Pemerintahan Kota Medan selama tahun 2009.

4.1.1. Kondisi Geografis Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom dengan status kota, maka kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis baik secara regional maupun nasional. Bahkan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dan tolok ukur dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa maka secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia dan Singapura.


(55)

Berdasarkan pertimbangan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perubahan. Pada tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 Tanggal 29 September 1951 yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha yang meliputi 4 kecamatan dengan 59 kelurahan.Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951 agar daerah Kota Medan diperluas menjadi 3 (tiga) kali lipat.

Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973, Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116 kelurahan. Kemudian, berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD tanggal 5 Mei 1986 ditetapkan pemekaran kelurahan menjadi 144 kelurahan.

Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefinitipan 7 kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan dimekarkan kembali menjadi 21 kecamatan dengan 151 kelurahan dan 2.001 lingkungan.


(56)

(57)

Secara astronomis Kota Medan terletak pada posisi 3°30’ - 3°43’ Lintang

Utara dan 98°35’ - 98°44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 km2

Di samping itu, Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut dan secara administratif mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli.

Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka

Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang

4.1.2. Gambaran Umum Demografis Kota Medan

Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang memiliki kemajemukan meliputi unsur agama, suku, etnis budaya dan adat istiadat. Kehidupan yang penuh kemajemukan tersebut dapat berjalan cukup baik dan harmonis yang dilandasi rasa kebersamaan dan saling toleransi serta memiliki rasa kekeluargaan yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa karakter masyarakat Kota Medan memiliki sifat keterbukaan dan siap menerima perubahan konstruktif dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan data BPS Kota Medan diketahui ada peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.036.185 jiwa pada tahun 2005 menjadi 2.067.288 jiwa pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penduduk Kota Medan berjumlah 2.083.156 jiwa


(58)

meningkat menjadi 2.102.105 jiwa pada tahun 2008 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,91%. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah penduduk Kota Medan meningkat menjadi 2.121.053 jiwa atau tumbuh sebesar 0,90% dari tahun sebelumnya. Dilihat dari laju pertumbuhannya, penduduk Kota Medan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tingkat kelahiran, kematian dan arus urbanisasi.

Tabel 4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Kota Medan untuk Tahun 2009 Berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan Jumlah Penduduk Persentase ( % )

1. Medan Tuntungan 70.073 3.30

2. Medan Johor 116.220 5.48

3. Medan Amplas 115.156 5.43

4. Medan Denai 139.939 6.60

5. Medan Area 109.253 5.15

6. Medan Kota 84.292 3.97

7. Medan Maimun 57.859 2.73

8. Medan Polonia 53.427 2.52

9. Medan Baru 44.216 2.08

10. Medan Selayang 85.678 4.04

11. Medan Sunggal 110.667 5.22

12. Medan Helvetia 145.376 6.85

13. Medan Petisah 68.120 3.21

14. Medan Barat 79.098 3.73

15. Medan Timur 113.874 5.37

16. Medan Perjuangan 105.702 4.98

17. Medan Tembung 141.786 6.68

18. Medan Deli 150.076 7.08

19. Medan Labuhan 106.922 5.04

20. Medan Marelan 126.619 5.97

21. Medan Belawan 96.700 4.56

Jumlah 1 2 121 053 100


(59)

Tabel 4.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009

Indikator Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Penduduk

(orang)

2.036.185 2 067 288 2.083.156 2.102.105 2.121.053

Laju Pertumbuhan Penduduk (%)

1,49 1,52 0,77 0,91 0,90

Sumber: BPS Kota Medan, 2010

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Kota Medan dari tahun ke tahun maka rasio kepadatan penduduk Kota Medan juga mengalami peningkatan dikarenakan luas wilayah Kota Medan yang tidak mengalami perubahan (tetap).

Rasio kepadatan penduduk Kota Medan mengalami peningkatan dari 7.681 jiwa/Km2

pada tahun 2005 menjadi 7.798 jiwa/Km2 pada tahun 2006. Pada tahun 2007

kepadatan penduduk Kota Medan 7.858 jiwa/Km2 pada tahun 2007 menjadi 7.929

jiwa/Km2 pada tahun 2008 dan meningkat kembali menjadi 8.001 jiwa/Km2 pada

tahun 2009. Dilihat dari rasio kepadatan penduduk tersebut maka kepadatan penduduk Kota Medan relatif termasuk tinggi sehingga untuk masa mendatang menjadi salah satu tantangan demografi yang harus diantisipasi. Oleh karena itu, kecenderungan semakin menyempitnya luas lahan berpeluang terjadinya ketidakseimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada.


(60)

Tabel 4.3. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2007-2009

Indikator Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

Luas Wilayah (km2

265,1 )

265,1 265,1 265,1 265,1

Kepadatan Penduduk

7.681 7,798 7,858 7,929 8,001

Sumber: BPS Kota Medan, 2010

Struktur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Oleh karena itu, jika angka kelahiran pada suatu daerah cukup tinggi maka dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah penduduk usia muda. Berdasarkan data pada Tabel 4.4 di bawah menunjukkan bahwa proporsi anak-anak yang berusia di bawah lima tahun (balita) di Kota Medan sekitar 9% dari jumlah penduduk. Besarnya proporsi balita ini berimplikasi pada kebutuhan penyediaan prasarana dan sarana kesehatan untuk usia balita tersebut serta sarana pendidikan bagi anak usia dini baik secara kualitas maupun kuantitas.

Sedangkan untuk kelompok usia anak-anak dan remaja, kebijakan Pemerintah Kota Medan yang telah ditempuh selama ini diarahkan pada program dan kegiatan yang diarahkan pada peningkatan status gizi anak, pengendalian tingkat kenakalan anak dan remaja, peningkatan kualitas pendidikan dan lain-lain. Kebijakan ini diharapkan terus berkesinambungan dalam rangka untuk mempersiapkan masa depan anak-anak dan remaja sehingga akan mendukung terbentuknya sumber daya manusia yang semakin berkualitas dan tangguh dalam menghadapi persaingan global/regional.


(61)

Di samping itu, secara umum terdapat beberapa masalah kependudukan yang dihadapi Kota Medan pada saat ini maupun dimasa mendatang, antara lain:

1. Kecenderungan adanya penurunan fluktuasi laju pertumbuhan penduduk dari

tahun 2007, 2008 dan tahun 2009.

2. Kecenderungan peningkatan arus ulang alik ke Kota Medan yang berimplikasi

pada pemenuhan fasilitas sosial ekonomi yang dibutuhkan.

3. Masalah kemiskinan, tenaga kerja dan permasalahan sosial lainnya yang

dipengaruhi oleh iklim perekonomian nasional dan global.

4. Penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya


(62)

Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kota Medan Tahun 2009

Golongan Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 > 75

85.479 92.938 93.816 112.384 118.376 101.077 85.089 75.751 77.087 57.601 47.369 36.150 27.363 21.220 11.793 5.984 92.031 95.831 101.718 102.112 123.835 105.293 72.358 88.369 77.986 51.876 52.936 38.715 23.351 19.092 13.230 12.863 177.510 188.769 195.534 214.496 242.211 206.370 157.447 164.120 155.053 109.477 100.305 74.865 50.714 40.312 25.023 18.847

Jumlah 1.049.457 1.071.596 2.121.053

Sumber: BPS Kota Medan, 2010

4.1.3. Keadaan Perekonomian Kota Medan

Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan gambaran dari aktifitas perekonomian masyarakat di suatu daerah, disamping juga dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan dari pelaksanaan pembangunan itu sendiri.


(63)

Berdasarkan indikator PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000, pertumbuhan ekonomi Kota Medan selama periode 2007 – 2009 menunjukkan perlambatan yang berarti. Pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Kota Medan mencapai 7,78% namun seiring dengan kecenderungan global/regional yang mempengaruhinya pada tahun 2008 terjadi penurunan menjadi 6,75% dan 6,15% pada tahun 2009. Namun demikian, selama periode tersebut, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan sebesar 6,89% per tahun dan relatif masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,72%.

Sumber: BPS Kota Medan

Gambar 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun 2007 – 2009 (%)

Selanjutnya apabila dianalisis secara sektoral, perlambatan ekonomi Kota Medan umumnya terjadi pada kelompok sektor tersier yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran yang turun dari 5,94% pada tahun 2007 menjadi 5,04% pada tahun 2009,

29,35 31,21 33,26

7,78 6,75 6,15 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 27,00 28,00 29,00 30,00 31,00 32,00 33,00 34,00

2007 2008 2009 *)

PDRB ADHK 2000 (Rp. triliun) Pertumbuhan Ekonomi (%)


(64)

diikuti sektor transportasi dan telekomunikasi yang turun dari 10,61% menjadi 7,83% pada tahun 2009 serta penurunan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dari 12,82% tahun 2007 menjadi 8,15% pada tahun 2009. Walaupun terjadi perlambatan ekonomi pada sektor tersier tersebut, akan tetapi untuk penyerapan tenaga kerja pada tahun 2009 terjadi peningkatan dari 70,61% pada tahun 2008 menjadi 73,72% di tahun 2009 atau mengalami peningkatan sebesar 3,11%.

Sedangkan untuk kelompok sektor sekunder, yang mengalami perlambatan adalah sektor industri pengolahan yang turun dari 6,08% pada tahun 2007 menjadi 1,71% pada tahun 2009. Penurunan ini umumnya terjadi dihampir semua daerah yang mengandalkan sektor industri pengolahan dengan produk-produk yang berorientasi ekspor ke negara-negara maju. Seiring dengan menurunnya sektor tersebut, kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja juga menurun dari 24,35% pada tahun 2008 menjadi 22,25% dari total kesempatan kerja yang tercipta pada tahun 2009.

Tabel 4.5. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Medan Tahun 2007 – 2009

No Lapangan Usaha Pertumbuhan (%)

2007 2008 2009

1. Pertanian 5,14 3,61 4,73

2. Pertambangan & Penggalian -10,30 -13,49 0,46

3. Industri Pengolahan 6,08 3,91 1,71

4. Listrik, Gas dan Air Minum -2,81 3,58 4,01

5. Bangunan 6,43 8,07 8,22

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 5,94 5,60 5,04

7. Pengangkutan & Komunikasi 10,61 8,15 7,83

8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 12,82 9,50 8,15

9. Jasa-Jasa 6,83 7,08 7,42

PDRB 7,78 6,75 6,15


(65)

Sementara itu, sektor ekonomi yang tumbuh secara signifikan dari kelompok sektor primer adalah sektor pertambangan dan penggalian yang meningkat dari -10,30% pada tahun 2007 menjadi 0,46% tahun 2009. Sedangkan dari kelompok sektor sekunder adalah sektor listrik, gas dan air minum yang tumbuh dari -2,81% menjadi 4,01% pada tahun 2009 dan sektor konstruksi yang tumbuh dari 6,43% pada tahun 2007 menjadi 8,22% pada tahun 2009. Selanjutnya, dari kelompok sektor tersier adalah sektor jasa-jasa yang tumbuh dari 6,83% menjadi 7,42% pada tahun 2009 atau rata-rata tumbuh sebesar 4,23% per tahun. Meningkatnya sektor ekonomi tersebut terutama didorong oleh kebutuhan masyarakat akan perumahan (kontruksi) dan kebutuhan utama sehari-hari seperti listrik, gas dan air minum.

Peranan atau kontribusi sektor ekonomi menunjukkan besarnya kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam menciptakan nilai tambah dan menggambarkan ketergantungan daerah terhadap kemampuan memproduksi barang dan jasa dari masing-masing sektor ekonomi. Untuk mengetahui struktur perekonomian Kota Medan dapat dilihat dari kontribusi setiap sektor dalam pembentukan PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku.

Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa struktur ekonomi Kota Medan

relatif tidak mengalami pergeseran selama periode 2007 – 2009. Untuk sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor yang paling besar peranannya terhadap pembentukan PDRB Kota Medan dan diikuti sektor pengangkutan dan telekomunikasi. Selanjutnya sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa dan sektor bangunan


(1)

23 Edy Brahmana 58 SD Laki-laki 250.000 0 0 5 300.000

24 Sugiono 38 D3 Laki-laki 1.200.000 0 0 9 1.500.000

25 Maemunah 40 SMP Perempuan 500.000 0 0 9 750.000

26 Madiana 53 SD Perempuan 300.000 0 0 5 350.000

27 M.Effendi 42 SMA Laki-laki 800.000 0 0 7 950.000

28 Maruhum Batubara 33 SD Laki-laki 350.000 0 0 4 400.000

29 Emmy Aziz 36 SMP Perempuan 400.000 0 0 4 450.000

30 Yendri Azwiyadi 47 SMA Laki-laki 500.000 0 0 5 600.000

31 Upik 38 SMA Perempuan 450.000 0 0 8 600.000

32 Darwinsyah Effendi 51 SD Laki-laki 500.000 0 0 9 850.000

33 Swardi 36 SMA Laki-laki 750.000 0 0 8 1.000.000

34 Warso 34 D3 Laki-laki 750.000 1 1 9 1.000.000

35 Zufrial 32 SMP Laki-laki 400.000 0 0 5 500.000

36 Erman Apas Saragih 41 SD Laki-laki 300.000 0 0 7 450.000

37 Iwan 28 SD Laki-laki 200.000 0 0 3 500.000

38 Sumarni 35 SD Laki-laki 350.000 0 0 6 500.000

39 Sulaiman 31 SMP Laki-laki 300.000 0 0 7 500.000

40 Amrizal 30 D1 Laki-laki 750.000 0 0 8 850.000

41 Nanang 27 SMP Laki-laki 750.000 0 0 6 900.000

42 Salman 28 D1 Laki-laki 550.000 0 0 4 600.000

43 Fendy Wahyudi 26 SMA Laki-laki 450.000 0 0 8 600.000

44 Rika Rahayu 31 SMP Perempuan 300.000 0 0 7 400.000

45 Yayak 38 SMP Laki-laki 300.000 0 0 9 500.000

46 Riswan 26 SD Laki-laki 100.000 0 0 3 150.000

47 Ernalina 28 SMA Perempuan 500.000 0 0 5 550.000

48 Dolly 37 SD Laki-laki 100.000 0 0 4 200.000


(2)

49 Rusdi 41 SD Laki-laki 120.000 0 0 3 220.000

50 Kamto 38 SMP Laki-laki 300.000 0 0 7 500.000

51 Sri Pujiana 50 SMP Perempuan 500.000 0 0 9 700.000

52 Hanafie 39 D3 Laki-laki 800.000 0 0 6 950.000

53 Ucok Siregar 35 SMA Laki-laki 700.000 0 0 5 900.000

54 Nurlia 37 SMA Perempuan 500.000 0 0 8 650.000

55 Idris Lubis 41 SMP Laki-laki 750.000 0 0 6 850.000

56 Ummi Kalsum 38 SMP Perempuan 450.000 0 0 4 500.000

57 Amri Harahap 43 SMA Laki-laki 300.000 0 0 4 350.000

58 Hendry 45 SMP Laki-laki 500.000 0 0 6 600.000

59 Bobby Sitorus 43 SMA Laki-laki 300.000 0 0 8 400.000

60 Widodo 41 SMP Laki-laki 500.000 0 0 6 600.000

61 Mimi Runtami 36 SMP Perempuan 500.000 0 0 5 650.000

62 Badar 42 SMP Laki-laki 450.000 0 0 8 600.000

63 Iwes 39 SMA Laki-laki 500.000 1 1 9 850.000

64 Armen Tarigan 34 SMP Laki-laki 750.000 0 0 8 1.000.000

65 Yati 30 SMA Perempuan 750.000 1 0 9 1.000.000

66 Deddy Riswadi 31 SMP Laki-laki 400.000 0 0 5 500.000

67 Kifli 30 SMP Laki-laki 300.000 0 0 7 450.000

68 Kurniati 28 SD Perempuan 200.000 0 0 3 500.000

69 Yusuf 37 SD Laki-laki 350.000 0 0 6 500.000

70 Lela 31 SMP Perempuan 300.000 0 0 7 500.000

71 Ade Gurnins 28 SMA Laki-laki 750.000 0 0 8 850.000

72 Badar 36 SMA Laki-laki 750.000 1 1 6 900.000

73 Mansyur 31 SMP Laki-laki 550.000 1 0 4 600.000

74 Joni Silalahi 28 SMP Laki-laki 450.000 0 0 8 600.000


(3)

75 Martauli Situmorang 48 SD Laki-laki 300.000 0 0 7 400.000

76 Markonah 34 SMP Perempuan 300.000 0 0 9 500.000

77 Abel Tarigan 42 SD Laki-laki 100.000 0 0 3 150.000

78 Sutan Girsang 40 SMP Laki-laki 500.000 0 0 5 550.000

79 Jonas Ginting 27 SD Laki-laki 100.000 0 0 4 200.000

80 Suparman 34 SD Laki-laki 120.000 0 0 3 220.000

81 Siti Zaenab 37 SMP Perempuan 250.000 0 0 5 450.000

82 Lilik 30 SMA Laki-laki 300.000 0 0 5 450.000

83 Angga 41 SMP Laki-laki 600.000 1 1 6 800.000

84 Rachmat 28 SMA Laki-laki 750.000 0 0 6 850.000

85 Ningsih 30 SMA Perempuan 500.000 0 0 8 800.000

86 Huda Hasibuan 27 SMP Laki-laki 800.000 1 1 9 1.000.000

87 Dasrul 40 SMA Laki-laki 500.000 0 0 7 600.000

88 Lola Suhari 36 SD Perempuan 250.000 0 0 5 400.000

89 M. Basri 38 SMA Laki-laki 600.000 1 1 8 800.000

90 Iwes 41 SMP Laki-laki 250.000 0 0 5 400.000


(4)

Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Berganda

Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered

Variables

Removed Method

1

Jam Berdagang, Lokasi Usaha, Modal Usaha, Manajemen Usaha(a)

. Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Pendapatan

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .972(a) .945 .943 64177.71001

a Predictors: (Constant), Jam Berdagang, Lokasi Usaha, Modal Usaha, Manajemen Usaha

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 6073113830771.590 4 1518278457692.899 368.623 .000(a)

Residual 350096169228.409 85 4118778461.511

Total 6423210000000.000 89

a Predictors: (Constant), Jam Berdagang, Lokasi Usaha, Modal Usaha, Manajemen Usaha b Dependent Variable: Pendapatan

Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 24939.947 24710.848 1.009 .316

Modal Usaha .992 .036 .844 27.665 .000

Manajemen Usaha 2375.167 46590.686 .004 .051 .959

Lokasi Usaha 87367.043 48614.737 .125 1.797 .076

Jam Berdagang 19724.093 4493.754 .137 4.389 .000


(5)

Lampiran 4. Uji Normalitas

-2-101234 Regression Standardized Residual

02468101214

Frequency

Mean = 2.8E-16 Std. Dev. = 0.977 N = 90 Dependent Variable: Pendapatan Histogram

0.00.2Observed Cum Prob0.40.60.81.0 0.00.2 0.40.6 0.81.0

Expected Cum Prob

Dependent Variable: Pendapatan Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual


(6)

Lampiran 5. Uji Multikolinieritas

Coefficients(a)

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 24939.947 24710.848 1.009 .316

Modal .992 .036 .844 27.665 .000 .689 1.452

Manajemen

Usaha 2375.167 46590.686 .004 .051 .959 .132 7.589

Lokasi Usaha 87367.043 48614.737 .125 1.797 .076 .132 7.549

Jam Berdagang 19724.093 4493.754 .137 4.389 .000 .661 1.512

a Dependent Variable: Pendapatan

Lampiran 6. Uji Autokorelasi

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of

the Estimate Durbin-Watson

1 .972(a) .945 .943 64177.71001 1.814

a Predictors: (Constant), Jam Berdagang, Manajemen Usaha, Modal, Lokasi Usaha b Dependent Variable: Pendapatan

Lampiran 7. Uji Heterokedastisitas

-2Regression Standardized Predicted Value-10123

-2-101234

Regression Studentized Residual

Dependent Variable: Pendapatan Scatterplot