Kebijakan AS terhadap Irak
julukan tersebut memang terlihat sangat subjektif terhadap Saddam, namun demikian citra negatif inilah yang berdampak dari beberapa kasus yang telah
dibuatnya. Seperti Saddam yang menghebohkan dunia dengan Perang Teluk I Irak-Iran 1980-1988 maupun pembantaian suku Kurdi di Kurdistan tahun 1990,
serta agresi Irak terhadap Kuwait pada awal 1990-an. Pandangan tentang buruknya Saddam juga muncul karena Saddam menganggap wajar pembantaian
terhadap suku Kurdi pada masa perang terhadap Iran.
28
Pembantaian tersebut dianggapnya wajar karena suku Kurdi membela pasukan Ayatullah Khomeini dan
memerangi pasukan Saddam. Irak di bawah kepemimpinan Saddam sangat memperjuangkan Partai
Ba‟ath untuk membangun kekuatan jangka panjang dengan mengakselerasikan perjalanan negara pada pertumbungan ekonomi yang cepat dan mengusahakan
kebijakan kepemimpinan sekuler dan modernisasi.
29
Dengan memperjuangkan sasaran nasionalnya berupa unifikasi bangsa Arab di bawah kepemimpinannya,
Saddam Hussein tak segan menggusur segala hambatan yang ada di Timur Tengah. Hal ini terlihat pada saat Irak menyerbu Iran yang dipicu ketika
pembendungan revolusi Islam Irak oleh Iran di kawasan Timur Tengah 1980- 1988.
30
Dalam hubungan terhadap AS, Irak melalui kepemimpinan Saddam terlihat sudah saling berhubungan meskipun tidak ada hubungan yang sangat
fundamental. Pada 22 September 1980 saat Saddam baru duduk di bangku
representator dari pers barat yang memandang tentang buruknya Saddam Hussein sebagai pemimpin negara Irak.
28
Riza Sihbudi, “Bara Timur Tengah Islam, Dunia Arab, Iran”, Bandung: Penerbit Mizan, 1991, h. 135-138.
29
“Profil Saddam Hussein” diakses pada 15 April 2011 pkl. 14:34, dari http:www.thefamouspeople.comprofilessaddam-hussein-95.php.
30
Harmiyati, “Dimensi Teknologi”, h. 31.
presiden, Irak menyerbu Iran dengan rencana merebut kemenangan di Khuzistan dan mengalahkan tentara-tentara Iran di bawah komando Ayatullah Khomeini.
31
Pada penyerangan tersebut, AS mendukung Irak dan beranggapan Saddam telah melakukan hal yang benar karena menyerbu negara yang menyandera warga AS.
Pada hubungan yang terlihat sangat mendukung tersebut, pada bulan Maret tahun 1990 Irak malah menghapus kepercayaan AS dengan terbukti adanya
penyerangan tentara Irak terhadap 50.000 orang suku Kurdi di Halabjah dengan senjata kimia.
32
Hilangnya kepercayaan AS ini dipicu karena Irak menyalahgunakan pinjaman kredit yang telah diberikan AS malah untuk membeli
senjata dan pengembangan militer, bukan untuk latihan intelejen yang sebelumnya disepakati.
Hubungan AS dan Irak terlihat semakin buruk ketika Irak menyerbu Kuwait pada 2 Agustus 1990. Merespon agresi yang dilakukan Irak, AS di bawah
perintah Presiden Bush Sr. juga mengirim tentaranya bersama pasukan koalisi guna mengusir tentara Irak yang ada di Kuwait pada 24 Februari 1991.
33
Kecaman AS terhadap Irak tersebut juga diiringi dengan pembekuan aset kekayaan Irak dan Kuwait yang bernilai milyaran dollar.
Pada masa pemerintahan Bill Clinton, hubungan antara AS dan Irak tidak mengalami perubahan secara signifikan. AS yang terlihat responsif dari
kediktatoran Saddam sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari setiap kebijakan Saddam. Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya kebijakan Dual
31
Lihat dalam Jack Colhoun, “How Bush Becked Iraq”, Middle East Report May-June 1992, h. 35. Dalam laporan tersebut juga menjelaskan tentang hubungan baik antara AS dan Irak.
Pemberian program bantuan kredit bank angsuran untuk ekspor-impor serta pelatihan dinas intelejen Irak dan penghapusan Irak dari daftar negara teroris pada zaman Ronald Reagan 1982.
32
Ibid ., h. 38.
33
Ibid ., h. 39.
Containment Policy penangkalan politik ganda pada tanggal 24 Februari 1994
oleh Clinton untuk menahan bahaya Irak dan Iran di kawasan Teluk Persia.
34
Menurut Martin Indyk Dubes AS untuk Israel 2003 penjabaran politik ganda untuk Irak adalah netralisasi bahaya Saddam Hussein atas negara-negara
tetangganya.
35
Realisasi penerapan politik ganda yang ditujukan terhadap Irak saat itu merupakan proses pembasmian senjata pemusnah massal Irak serta sanksi
ekonomi yang berkesinambungan di bawah legalitas PBB. Dengan kebijakan ini juga merujuk pada keinginan AS agar kekuasaan yang dimiliki Saddam Hussein
melemah yang berakhir dengan lengsernya ia dari bangku kekuasaan sehingga tidak membahayakan di kawasan Timur Tengah.
Dengan adanya politik ganda AS pada tahun 1994, AS juga memberikan kebijakan dengan memperluas wilayah zona larangan terbang di Irak Selatan dari
32 derajat menjadi 33 derajat garis lintang sejajar.
36
Kebijakan tersebut setidaknya mempersempit kekuasaan Saddam dari arah Selatan Irak dengan jarak
jangkau tidak lebih dari 30 mil dari kota Baghdad. Dengan demikian pula mengurangi kekuasaan dan bahaya Saddam atas negara-negara tetangga di selatan
Irak yang juga kaya akan minyaknya.
37
Untuk mengurangi kekuasaan Saddam Hussein di Irak, AS merasa tak cukup dengan penerapan penangkalan politik ganda saja. Naiknya George W.
Bush pasca-Bill Clinton membuat inovasi kebijakan AS terhadap Irak. Hal ini terlihat pada kebijakan AS untuk menyerang Irak pada awal Maret 2003.
34
Stephen C. Pelletiere, “Landpower And Dual Containment: Rethinking America‟s Policy In The Gulf”, US Army War College: Strategic Studies Institute, November 1999, h. 1-2.
35
Rahman, “Geliat Irak Pasca Saddam, Laporan Dari Lapangan”, Harian Kompas, Jakarta, Oktober 2003, h. 11.
36
Pelletiere, “Extraterritoriality” dalam “Landpower And Dual Containment”, h. 4.
37
Ibid.
Kebijakan AS dalam politik internasional yang terealisasi dalam kebijakan luar negerinya seperti invasi ke Irak merupakan perubahan secara signifikan pada era
pergantian pemerintahan tersebut. Berbeda dengan Bush Sr., Bush Jr. diakui tidak memiliki pengalaman khusus dalam menata hubungan antarnegara, tidak seperti
ayahnya yang berpengalaman di bidangnya.
38
Bush Sr. pernah menjabat sebagai Direktur CIA dan Duta Besar di RRC. Hal ini menunjukkan, bahwa adanya relasi
secara multilateral terhadap negara lain dalam hubungan internasional. Sementara itu, Bush Jr. tidak memiliki pengalaman diplomasi sama sekali
sehingga tidak terlalu mementingkan penyelesaian suatu masalah melalui jalan perundingan.
Sebelum invasi, sebenarnya telah ada perundingan pada awal Juli 2002 yang dilakukan oleh Sekjen PBB Kofi Annan dan Menlu Irak Naji Sabri di Wina,
Austria.
39
Pertemuan tersebut merupakan kompromi pelaksanaan resolusi DK PBB No. 1284 tahun 1988 yang menyebutkan agar pengawasan terhadap Irak
cukup hanya dengan memberikan laporan dari hasil pengawasan di Irak. Dengan adanya perundingan tersebut, baik Kofi Annan maupun Naji Sabri memiliki
maksud agar invasi yang AS inginkan tidak terjadi dan mencabut sanksi perdagangan Irak. Namun, dengan kerasnya tekad AS untuk menyerang Irak
serta ketidakinginan AS melakukan kompromi dengan pihak manapun menyebabkan perundingan tersebut gagal. AS juga menggagalkan perundingan
tersebut karena apabila tetap melakukan kompromi maka kemungkinan akan berimbas pada batalnya invasi.
38
Dean, “Worse than Watergate-The Secret Presidency Of George W. Bush”, h. 27
39
“Menlu Irak dan Sekjen PBB Rampungkan Pembicaraan Hari Pertama” diakses pada 15 April 2011 pkl. 15:40, dari http:www.voanews.comindonesiannewsa-32-a-2002-07-05-5-1-
85160897.html?moddate=2002-07-05.
Setidaknya terdapat poin penting yang dijadikan alasan kebijakan luar negeri AS pada masa G. W. Bush terhadap Irak tahun 2003 dikeluarkan. Menurut
Francis Fukuyama, ada tiga argumen rezim Bush untuk melancarkan perang terhadap Irak.
40
Pertama, Irak dituduh memiliki senjata pemusnah massal dan dalam proses untuk menambahnya; ke dua, Irak terkait dengan Al-Qaeda dan
organisasi teror lainnya; ke tiga, Irak adalah sebuah rezim diktator tirani yang harus dirobohkan sehingga rakyat Irak menjadi bebas.
Namun, dalam pandangan lain yang menyebutkan beberapa alasan kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak, antara lain:
41
Pertama, runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin sehingga menjadikan AS sebagai satu-
satunya negara hegemon terbesar dan tak tertandingi. Dengan hegemoninya, sehingga tidak ada lagi negara yang mampu mencegah dan menghalangi tindakan
AS mengintervensi negara lain. Ke dua
, keadaan ekonomi AS sebelum invasi ke Irak merupakan kekuatan terbesar ke dua setelah militer. Kekuatan tersebut diakui lebih besar dibanding
Uni Eropa dan Jepang. Selain itu, ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang terhadap AS membuat negara-negara berkembang enggan bertindak.
Sementara itu, pasar yang ada di AS merupakan tujuan ekspor utama bagi negara- negara lain.
Ke tiga , kemampuan militer AS merupakan kekuatan yang sangat besar di
dunia dan cenderung meningkat meskipun Perang Dingin telah usai. Masa Perang Dingin merupakan masa militerisasi antara kedua pihak, masing-masing pihak
40
Francis Fukuyama, After The Neocons: America at the Crossroads, London: Yale University Press, 2006, h. 78-79.
41
Kenneth N. Waltz, “Globalization and American Power,” The Journal of National Interest
, Number 59, Spring 2000., h. 31.
mengembangkan kekuatan militernya meskipun tidak digunakan langsung untuk perang. Namun masa Pasca-Perang Dingin, sebagian besar negara-negara yang
terlibat menurunkan anggaran militernya yang berimplikasi langsung pada menurunnya kekuatan militer tersebut. Hal ini berbeda dengan AS yang terus
meningkatkan kekuatan militernya dan menambah dana alat utama sistem senjata alutsista negaranya.
Kebijakan luar negeri AS terhadap Irak saat itu telah jelas memberikan gambaran, bahwa Pasca-Tragedi 911 yang menimpa AS sangat kental diarahkan
pada implementasi kebijakannya. Kenangan pahit Tragedi 911 tersebut hingga kini mempengaruhi segala kebijakan luar negeri AS di dunia pada tataran global
dan Timur Tengah khususnya, serta terhadap beberapa negara yang memiliki jejak buruk yang dipandang AS mengancam keamanannya.
Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintahan Bush juga mendapat protes keras dari rival politiknya. Partai Demokrat yang ragu terhadap keabsahan
segala tuduhan Bush terhadap Irak mempertanyakan apakah benar yang dituduhkan Bush terhadap Irak memang ada.
42
Meskipun demikian, kebijakan ini tetap berjalan mulus karena banyaknya dukungan dari masyarakat AS sendiri
yang menganggap bahwa invasi adalah jalan yang pantas diambil oleh AS melalui kebijakan Bush.