Upaya FNC dalam Membantu Pemerintah AS Melegitimasi Invasi Irak
segala keburukan yang dimiliki Irak agar kejadian seperti Tragedi 911 tidak terulang kembali.
Selain Bush yang menjadi aktor penting dalam pemerintahan pada masa invasi tersebut, latar belakang kepemilikan FNC dan kontrol Roger Ailes sebagai
seorang yang pernah berperan dalam Partai Republik dan juga sebagai seorang CEO di FNC ternyata berpengaruh pada dukungan terhadap invasi. Dalam hal ini, Ailes
diposisikan sebagai pengarah berita dalam redaksi FNC. Hal ini sesuai dengan pemikiran Kegley dan Wittkopf yang menyebutkan, bahwa media melalui fungsinya
dapat mengarahkan cara pandang masyarakat.
2
Namun hal ini dianalisis bahwa berita FNC yang dipublikasikan ke seluruh masyarakat dapat diartikan sebagai hasil olah
berita oleh redaktur yang sangat berperan sebagai pengontrol kegiatan di ruang redaksi.
Naiknya dukungan opini publik AS melalui Gallup Polling
3
terhadap kebijakan Bush merupakan hal yang sesuai dengan opini publik menurut E. Jackson
Baur yang dibuktikan dengan munculnya suatu pandangan melalui organisasi atau lembaga publik.
4
Dalam hal ini dianalisis bahwa naiknya dukungan publik tersebut merupakan hasil dari kontribusi besar FNC yang secara intensif mempublikasikan isu
invasi secara positif. FNC yang dikenal sebagai media konservatif dalam mendukung kebijakan pemerintah dari Partai Republik mampu menyearahkan pandangan publik
2
Charles W. Kegley dan Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., St. Martin Press, New York: 1991, h. 316-318.
3
Lihat Bab II bagan B.4. “Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak”, h. 31
4
Jackson E. Baur, The Public Opinion Quarterly, Vol. 26, No. 2 Summer, 1962, h. 212-226.
hingga akhirnya dapat terhimpun dalam suatu opini yang hasilnya berupa dukungan terhadap invasi.
Dengan hasil tersebut, FNC yang mendapatkan keuntungan dengan naiknya rating
sepanjang awal perang berlangsung, menjadikan FNC sebagai mainstream media
di AS.
5
FNC diikuti oleh media lainnya sebagai tolak ukur tentang berita apa saja yang patut dan pantas dengan situasi sosial politik yang dibutuhkan oleh
masyarakat AS. Dengan dijadikannya berita FNC sebagai tolak ukur oleh media lain, maka hal demikian diartikan bahwa dalam membangun pandangan positif terhadap
invasi, FNC tidak bekerja secara tunggal. Dengan proses tersebut juga secara tidak langsung menggiring seluruh media untuk menjadikan berita menjadi seragam.
Keseragaman yang terjadi pada media massa saat itu tentu membawa pengaruh pada masyarakat AS yang percaya tentang netralitas seluruh berita dari berbagai media
massa. Dengan demikian, maka keadaan tersebut membuat isu invasi AS ke Irak menjadi semakin dianggap penting karena sebagian besar media utama di AS juga
membahas seperti yang dibahas oleh FNC. Dengan transformasi informasi dari media seperti di atas, maka hal ini dapat
mempengaruhi masyarakat melalui konsumsi media elektronik khususnya terhadap media TV oleh masyarakat AS yang cukup besar. Hal ini dipengaruhi oleh rating
FNC yang berada pada klasemen tertinggi serta keseragaman berita oleh media TV, dengan kondisi tersebut maka FNC dapat mengkostruksikan pandangan tentang sisi
positif invasi terhadap masyarakat AS. Konstruksi pandangan tersebut dibangun
5
“Chairman Speech to Shareholders News Corporation Limited Annual Meeting”, diakses pada 14 Februari 2011 pkl. 01:11, dari http:www.newscorp.comnews
melalui proses kultivasi oleh masyarakat sesuai menurut Straubhaar, J. LaRose, bahwa agenda setting yang dikeluarkan oleh FNC menjadikan isu tentang invasi
sebagai hal penting yang menarik masyarakat AS untuk mengamatinya. Sehingga, suatu realitas politik dari pandangan yang dikeluarkan oleh FNC secara tidak
langsung dapat berpengaruh pada opini publik masyarakat AS pada saat itu. Keseragaman berita yang ada pada media besar di AS, menjadikan FNC
dengan mudah mentransformasikan sikap dan nilai tentang invasi yang kemudian menyebarkan sikap serta nilai-nilainya kepada masyarakat AS dan internasional. Hal
ini digunakan untuk menanamkan pandangan kepada masyarakat bahwa mayoritas masyarakat AS yang diwakili oleh media massa memandang bahwa hal yang sesuai
dengan keinginan masyarakat AS adalah berperang melawan Irak untuk mengantisipasi segala bahaya yang didengungkan oleh pemerintah AS. Hal ini juga
menunjukkan bahwa media massa khususnya FNC menginginkan sebuah homogenitas persepsi yang sama. Homogenitas persepsi yang terjadi pada media di
AS saat itu merupakan efek dari penyesuaian media massa selain FNC yang mau tidak mau harus mengubah pandangannya tentang invasi. Hal ini sesuai menurut
Ibnu Hamad yang menyebutkan, bahwa media massa mau tidak mau memikirkan unsur kapital agar dapat menyesuaikan atmosfer persaingan antarmedia di AS.
6
Dengan menjadikan berita FNC sebagai acuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada proses homogenitas persepsi tersebut terjadi hal yang cukup rumit.
Seperti halnya media massa CNN, CBS, NBC dan ABC yang dapat dinilai bahwa core interest
-nya lebih kental ke arah liberal harus menyesuaikan pandangannya
6
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Granit, Jakarta: 2004, h. 17.
dengan apa yang terjadi di AS. Hal ini terjadi karena melihat rating FNC yang terus naik. Dengan keadaan tersebut, maka dapat diartikan bahwa atmosfer persaingan
antarmedia yang dimenangi oleh FNC mendorong redaksi di setiap media massa yang core interest
-nya lebih ke arah liberal menjadi ke arah konservatif yang mendukung invasi Irak tersebut. Hal ini juga terjadi karena media selain FNC yang lebih liberal
tidak ingin mengalami kemerosotan dalam jumlah rating yang dalam persaingannya sudah jelas di bawah FNC, mengingat media massa AS selalu mengusahakan
penanaman modal swasta dalam penyiarannya dan juga berimbas pada rating-nya. Dengan konsumsi berita masyarakat AS yang lebih besar pada malam hari
serta beberapa proses yang menghasilkan keseragaman berita oleh media massa di AS tersebut,
7
maka tidak diragukan bahwa wacana dan tema yang lebih mendukung perang justru proporsinya lebih dominan pada saat berita malam. Hal ini sesuai
dengan agenda setting menurut Kegley dan Wittkopf yang menjelaskan, bahwa media melalui agendanya mampu mengkondisikan cara pandang masyarakat AS.
8
Dengan demikian, hal ini dianalisis bahwa agenda setting tersebut dapat dinilai sebagai berita positif terhadap invasi. Agenda setting yang ada dalam hal ini adalah
agenda publikasi berita yang ditampilkan pada waktu prime time atau waktu utama konsumsi berita dari jam 05:00pm sampai jam 10:00pm pada tiga minggu awal invasi
berlangsung.
9
Hal ini juga dapat dilihat dari beberapa wawancara dan jajak pendapat
7
Steve Rendall dan Tara Broughel , “Amplifying Officials, Squelching Dissent”, Extra
MayJune 2003 diakses pada 14 Juni 2011 pkl. 15:30, dari http:www.fair.orgindex.php?page=1145
8
Charles W. Kegley and Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process, Fourth eds., St. Martin Press, New York: 1991, h. 316-318.
9
Rendall dan Broughel , “Amplifying Officials, Squelching Dissent”.
yang dilakukan oleh media massa AS pada masa invasi AS ke Irak sepanjang tahun 2003.
Bagan A.1. Publisitas acara berita malam utama selama perang Irak 2003 CBS, ABC, NBC, FNC dan CNN
.
Narasumber Persentase Jumlah
1. Narasumber pendukung perang
2. Narasumber antiperang
3. Narasumber AS pendukung perang
4. Narasumber AS yang antiperang
5. Narasumber yang sedang dan yang pernah bekerja
untuk pemerintah 6.
Narasumber dari kampus, kelompok pakar, dan organisasi non-pemerintah
7. Narasumber pemerintah AS dari kalangan militer
8. Jumlah pejabat atau mantan pejabat pemerintah
yang tampil di televisi 9.
Jumlah aktivis antiperang 10.
Narasumber FNC yang mendukung perang. 64
10 71
3 63
4 68
840 orang 4 orang
81
Sumber
: Steve dan Tara Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent,” Extra, March-June 2003. http:www.fair.orgindex.php.
Dengan bagan di atas, maka dapat dibuktikan bahwa keseragaman berita yang dipelopori oleh FNC sangat mengarah pada perilaku media yang mendukung invasi
sehingga berimplikasi pada opini publik yang positif di AS. Dengan mayoritas pendukung perang yang muncul pada media massa di atas, maka narasumber
diposisikan sebagai representator masyarakat AS yang menyampaikan pesannya, bahwa suara mayoritas saat itu saat itu adalah mendukung invasi Irak 2003. Seluruh
publikasi berita malam di atas dipelopori oleh FNC pada empat hari pertama, kemudian media massa lainnya mengikuti seperti publikasi berita FNC setelah
diketahui rating FNC terus naik melalui publikasi berita seperti di atas.
10
10
Rendall dan Broughel , “Amplifying Officials, Squelching Dissent”
B.
Upaya Pemerintah AS dalam Menangani Media Massa di Medan Perang Pada Saat Invasi Irak Tahun 2003.
Invasi AS ke Irak tahun 2003 juga ternyata memberikan kompleksitas pada dunia jurnalistik. Praktik jurnalistik di medan perang, seperti invasi Irak 2003
membawa pergeseran pada nilai dasar kebebasan jurnalistik yang juga sebagai simbol kebebasan bagi negara demokrasi seperti AS. Pergeseran tersebut diakibatkan karena
masuknya pihak external dari luar media yang membatasi kebebasan media dalam memperoleh informasi. Hal ini berbenturan juga pada nilai kebebasan yang
merupakan suatu keharusan dimiliki oleh media massa yang pada saat itu sebagai representator dari seluruh publik untuk mengetahui dan mendapatkan informasi dari
perang yang sedang berlangsung. Pada masa berlangsungnya Perang Irak 2003, kecenderungan pembatasan
praktik jurnalistik dilakukan oleh pemerintah AS. Pemerintah AS mencampuri urusan jurnalistik sehingga menimbulkan ketidakleluasaan jurnalis dalam
menginvestigasi langsung di daerah yang seharusnya terdapat banyak infromasi penting dari berbagai sudut pandang. Dengan adanya saran untuk menyertakan
praktik jurnalistik dalam tubuh militer perang, maka hal inilah yang menyita kebebasan yang dimiliki oleh media massa dalam menjalankan proses jurnalistik.
Jurnalis yang bergabung secara tidak langsung harus menyesuaikan segalanya terhadap yang dilakukan oleh militer. Seperti halnya beberapa contoh ungkapan
jurnalis yang pernah bergabung dengan militer:
Bagan B.1. Ungkapan Jurnalis yang Menyertakan Diri Dengan Militer Pada Invasi Irak 2003
No. Jurnalis
Media Ungkapan
1 Gordon Dillow
Kolumnis, The Orange County Register
Pertempuran di Baghdad begitu
sengit hingga
seringkali mariner
memberiku senjata untuk digunakan kepada musuh
yang bergerak ke arah kami.
Aku tahu
ini merupakan pelanggaran
tertulis dan non-tertulis dalam etika jurnalistik,
namun sejujurnya hal inilah yang membuatku
nyaman
2 Rick Leventhal
Koresponden, Fox News Channel FNC.
Kami berpakaian sama dengan mereka marinir,
kami makan
dengan mereka,
kami tidur
bersama dengan mereka, dan kami menjadi bagian
dari mereka.
3 Chuck
Stevenson Produser
acara 48
Hours Investigates
di CBS News. Proyek ini sangat keren.
Seperti Band of Brothers yang sungguh nyata. Aku
sudah lama berhubungan dengan marinir, kini aku
pernah mengikuti layanan mulia mereka.
4 Bob Arnot
Koresponden, MSNBC dan NBC. Proses penyertaan
ini adalah
satu langkah
terbaik dari
militer Amerika dalam hubungan
dengan mereka dengan pers.
5 John Burnett
Koresponden, News Public Radio NPR
Sepanjang perjalanan
bersama marinir, aku tak bisa melepaskan perasaan
bahwa kami
adalah pemandu
sorak. Kebanyakan dari militer
yang kami
sertakan mengenggap kami bukan
sebagai jurnalis
yang netral, namun sebagai alat
untuk menunjukkan
prestasi dan
kejayaan mereka.
6 Chantal Escoto
Jurnalis, The Leaf- Chronicle. Aku bukan orang yang
turut bertempur, namun aku
siap mengangkat
senapan untuk mereka atas komandonya jika
perlu. Senapan
tidak sukar digunakan, tinggal
bidik dan tembak.
Sumber
: “Embedded unembedded I. Dispatches: slices of the war”, adaptasi dari http:goliath.ecnext.com data diolah oleh penulis
Dengan beberapa ungkapan para jurnalis di atas, maka penyertaan jurnalis terhadap tubuh militer terdapat penyesuaian yang mau tidak mau harus dilakukan
oleh jurnalis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya transisi perubahan etika jurnlistik yang sangat nyata karena terdapat pergolakan antara nilai jurnalistik dan jiwa
nasionalisme para jurnalis yang menyertakan dirinya ke dalam unit militer. Dalam penyertaan jurnalis dalam ini militer ini, dapat dilihat juga bahwa FNC
yang memimpin klasemen tertinggi dalam persaingan antarmedia massa di AS ternyata tidak dapat berbuat banyak dalam perang yang sedang berlangsung. FNC
hanya dapat diposisikan sebagai konstruktor ide pada tatanan informasi lokal di AS, namun dalam Perang Irak FNC tidak berbeda dengan media massa lain yang
mendapat pengaruh dari pemerintah AS pada saat pengikutsertaan ke dalam unit militer.
Pada saat bergabungnya jurnalis dengan militer, maka secara tidak langsung militer juga dapat mengontrol jalannya peliputan di medan perang. Kontrol tersebut
dilandaskan pada alasan keamanan dan keselamatan jiwa jurnalis.
11
Dengan alasan itulah maka militer dapat memberikan instruksi kapan dan dimana jurnalis dapat
meliput. Selain itu, dengan penyertaan praktik jurnalistik pada militer tersebut maka jurnalis akan tertanamkan jiwa patriotismenya, sehingga sedikit banyak pihak militer
akan mempengaruhi jurnalis, khususnya dari Barat untuk membela bahkan menganggap bahwa perang ini adalah sebuah kebenaran.
12
Hal ini dapat diartikan sebagai pengaruh psikologis pada jurnalis sendiri yang juga menjadikan rasa
dilematis antara tugas jurnalistik yang seharusnya lebih netral atau justru malah membela pihak militer yang menyerang lawan demi kepentingan nasional AS.
Dengan masuknya saran pemerintah dalam praktik jurnalistik di medan perang bukan semata-mata menutup ruang gerak jurnalis dalam meliput secara
keseluruhan, namun pemerintah AS hanya ingin membatasi ruang gerak agar jurnalis yang masuk ke medan perang Irak berada dalam kontrolnya.
13
Hal ini sesuai menurut pemikiran Vandana tentang pengendalian politik. Dalam pengendaliannya terhadap
media massa, pemerintah AS dapat memainkan perannya sebagai aktor penting untuk mengatur alur perang yang sesuai dengan pandangannya.
14
Namun, hal ini dianalisis bahwa alur perang ini tidak seperti mengatur skema penyerangan dan kontak senjata
terhadap pihak Irak di medan perang secara langsung, tetapi lebih diorientasikan pada pengaturan informasi yang nantinya ditransformasikan kepada masyarakat banyak.
11
Jules Crittenden, “Embedded Journal: „I went over to the dark side”, pointer online, laporan jurnalis di medan perang, 11 April 2003, diakses pada 2 Mei 2011 pkl. 11:16, dari
http:poynteronline.orgcontentcontent_view.asp.id=29774.
12
Amy Goodmandan David Goodman, Perang Demi Uang, Profetik, Jakarta, 2005., h. 215.
13
Michael wolff, “The Media at War”, New York 11 Agustus 2003, diakses pada 29 Juni 20011 pkl. 11:30, dari www.newyorkmetro.comnymetro.newsmediafeaturesn_9067.html.
14
Vandana A., Theory of International Politics, Vikas Publishing, New Delhi: 1996, h. 78.
Jadi, dengan informasi yang dimiliki oleh media massa yang sebelumnya telah dikontrol oleh pihak militer, maka pemerintah dapat memberikan pandangannya
sesuai wacana perang yang diinginkan. Dengan kata lain, bahwa seburuk apapun perang berlangsung maka akan di-counter oleh pemerintah melalui publikasi berita
media massa yang tentunya akan menampilkan dari sisi positif perang tersebut. Dengan adanya kontrol terhadap media massa tersebut, dalam publikasi berita
ke masyarakat AS dan masyarakat internasional yang menjangkau dari jaringan media massa dari AS, maka pemerintah AS terlihat lebih menghadirkan sudut
pandangnya. Pemerintah AS terlihat ingin memberikan arus keluar masuknya informasi yang dijangkau oleh seluruh media AS di seluruh dunia berdasarkan
arahannya. Hal ini dianggap sebagai sebuah manipulasi karena dalam proses pengumpulan informasi tersebut juga sudah terdapat campur tangan militer AS untuk
mengatur setting waktu dan tempat bagi jurnalis dalam meliput. Selain itu, disebutnya juga sebagai sebuah manipulasi karena sesuai menurut Arie Indra Chandra
bahwa berita yang diliput dan dipublikasikan oleh media massa dikonstruksikan demi kepentingan nasionalnya yang juga ditujukan untuk dunia luas atau hanya kelompok-
kelompok kecil tertentu yang terpengaruh oleh media massa khususnya mayarakat AS sendiri.
15
Dengan konstruksi pandangan tersebut, seperti yang telah dijelaskan oleh Kj. Holsti bahwa hal ini dapat dinilai sebagai sebuah propaganda yang sengaja
15
Arie Indra Chandra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam politik global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional, Graha
Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007, h. 239-240.
memang dibangun AS tentang invasi Irak terhadap dunia internasional demi kepentingan nasionalnya.
16
Selain kontrol terhadap medianya sendiri, kontrol pemerintah AS juga sangat terlihat dalam beberapa kasus yang telah terjadi dalam lingkup kegiatan jurnalistik.
Pembungkaman terhadap media internasional selain media dari AS sendiri juga dilakukan oleh pemerintah AS, yakni pembunuhan terhadap Taras Protsiu jurnalis
Reuters dari Perancis dan Jose Couso jurnalis Telecinco dari Spanyol di Hotel
Palestine , Baghdad. Pembunuhan tersebut berupa pengeboman yang ditujukan
kepada jurnalis yang tidak mengikutsertakan kegiatan jurnalistiknya pada militer. Hal ini sangat menunjukan bahwa AS sangat ingin menghadirkan homogenitas
pandangan melalui media yang ikut serta dalam militernya saja. Dengan kata lain AS memiliki rasa khawatir terhadap media internasional lainnya akan mempublikasikan
berita dari pandagan lain bahkan berita buruk tentang invasi. Hal lain yang mengindikasikan rasa khawatir ini adalah diketahui juga bahwa Taras Protsiu
merupakan jurnalis yang berasal dari Perancis yang juga sebagai salah satu negara penolak invasi serta Reuters yang berasal dari Inggris yang jelas pada saat
berlangsungnya invasi, Inggris merupakan salah satu negara yang warganya paling banyak menentang terhadap invasi tersebut.
17
Selain dua media asing di atas, pemerintah AS juga sangat ingin menutup pandangan media Timur Tengah terhadap invasi Irak tahun 2003, yakni dengan
16
KJ Holsti, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, IKAPI-Binacipta, Bandung: 1992, h. 168
17
“The Largest Protest in Human History”, diakses pada 16 Juni 2011 pkl. 18:14, dari www.guinnessworldrecords.com
beberapa kasus yang menimpa Aljazeera yang jelas dilakukan oleh pemerintah AS. Beberapa kasus yang menimpa Aljazeera tersebut merupakan tekanan yang dilakukan
oleh pemerintah AS baik secara fisik maupun hambatan administratif. Hal ini merupakan bukti, bahwa pemerintah AS terlihat tidak ingin adanya media tandingan
sehingga membuat arus komunikasi internasional tidak terlalu variatif dalam penyampaian berita invasi. Dengan kata lain, arus informasi yang dikonsumsi oleh
masyarakat hanya berasal dari publikasi media barat yang memang telah diatur oleh pemerintah AS.
Dengan adanya tekanan dan hambatan terhadap media tandingan dari Timur Tengah tersebut, pemerintah AS juga menunjukan, bahwa pihaknya menginginkan
kuatnya arus informasi pada saat itu tetap berasal dari media di bawah kontrolnya sehingga menimbulkan dukungan atas invasi yang dilakukannya. Dengan demikian,
meskipun sebelum invasi memang terdapat negara yang tidak mendukung terhadap kebijakan AS tersebut, namun pemeritah AS juga sangat jelas menginginkan invasi
tersebut tidak diprotes oleh negara lain bahkan oleh rakyat AS sendiri hanya karena akibat dari publikasi media yang menceritakan tentang invasi Irak 2003 tersebut dari
pandangan lain.