Hubungan Gambaran Bercak-Bercak Gelap (Dark Specks) Pada Latar Belakang Material Nekrotik Granular Eosinofilik Dengan Kadar CD4 Penderita Limfadenitis Tuberkulosis Servikalis Yang Disertai HIV/AIDS

(1)

HUBUNGAN GAMBARAN BERCAK-BERCAK GELAP (DARK SPECKS) PADA LATAR BELAKANG MATERIAL NEKROTIK GRANULAR EOSINOFILIK

DENGAN KADAR CD4 PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS SERVIKALIS YANG DISERTAI HIV/AIDS

T E S I S

SUTOYO ELIANDY NIM 077108001

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN MEDAN


(2)

HUBUNGAN GAMBARAN BERCAK-BERCAK GELAP (DARK SPECKS) PADA LATAR BELAKANG MATERIAL NEKROTIK GRANULAR EOSINOFILIK DENGAN KADAR CD4 PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS SERVIKALIS

YANG DISERTAI HIV/AIDS

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Patologi Anatomi Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

SUTOYO ELIANDY No. Reg. 18623

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Tesis : Hubungan Gambaran Bercak-bercak Gelap (Dark Specks) pada Latar Belakang Material Nekrotik Granular Eosinofilik dengan Kadar CD4

Penderita Limfadenitis Tuberkulosis Servikalis yang Disertai HIV/AIDS

Nama Mahasiswa : Sutoyo Eliandy Nomor Regristrasi : 18623

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Konsentrasi : Patologi Anatomi

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H.M. Nadjib Dahlan Lubis, SpPA (K) Dr.H.Delyuzar, SpPA (K) NIP. 19630219 199003 1 001

Ketua Program Studi Ketua Departemen Patologi Anatomi FK USU Patologi Anatomi FK USU

Dr. H. Joko S. Lukito, SpPA Dr. H. Soekimin, SpPA NIP. 19460308 197802 1 001 NIP. 19480801 198003 1 002


(4)

PERNYATAAN

Judul Penelitian : Hubungan Gambaran Bercak-bercak Gelap (Dark Specks) pada Latar Belakang Material Nekrotik Granular Eosinofilik dengan Kadar CD4 Penderita Limfadenitis Tuberkulosis Servikalis yang Disertai

HIV/AIDS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan.

Yang Menyatakan,

Peneliti

Dr.Sutoyo Eliandy No. Reg. 18623


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Oktober 2010

__________________________________________________________________________ PANITIA PENGUJI TESIS

Penguji I : Prof. Dr. Gani W. Tambunan, SpPA (K) Penguji II : Dr.H. Soekimin, SpPA


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul: “Hubungan Gambaran Bercak-bercak Gelap (Dark Specks) pada Latar Belakang Material Nekrotik Granular Eosinofilik dengan Kadar CD4 pada Penderita Limfadenitis Tuberkulosis Servikalis yang Disertai HIV/AIDS”.

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan Penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Spesialis Patologi Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, SpA (K) dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran USU.

Dekan Fakultas Kedokteran USU, Prof. Dr. Gontar A. Siregar, SpPD (KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi di Fakultas Kedokteran USU.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya Penulis sampaikan kepada Prof. Dr.H.M. Nadjib Dahlan Lubis, SpPA (K) sebagai Pembimbing I, dan Dr. H. Delyuzar, SpPA (K) sebagai Pembimbing II serta Drs. H. Abdul Djalil Amri, M.Kes sebagai Pembimbing III yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada Penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaikan tesis ini.


(7)

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Sumondang Pardede, SpPA sebagai kepala Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan yang telah mengizinkan Penulis untuk mengambil sampel data pada Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik yang beliau dipimpin.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. H. Soekimin, SpPA selaku Ketua dan Dr. H. T. Ibnu Alferraly, SpPA selaku ketua dan sekretais Departemen Patologi Anatomi FK USU atas segala bimbingan masukan dan dorongan selama Penulis menjalankan pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Patologi Anatomi FK USU.

Terima kasih kepada Dr. H. Joko S. Lukito, SpPA sebagai Ketua Program Studi Patologi Anatomi FK USU atas segala bimbingan dan masukannya dalam penelitian saya ini. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hj. Kemala Intan, MPd; Dr. Betty, SpPA; Dr. Lidya Imelda Laksmi, SpPA dan Dr. Jessy Chrestella, SpPA sebagai staf pengajar di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Gani W. Tambunan, Sp.PA (K); Dr. Hj. Wan Naemah, SpPA; Dr. Jamaluddin Pane, SpPA; Dr. Stephen Udjung, SpPA; Dr. Lisdine, SpPA; Dr. Freddy Tambunan, SpPA; Dr. Sufida, SpPA; Dr. Suryani Eka Mustika, SpPA, Dr. Fitriani Lumongga, SpPA dan Dr. Reno Keumalazia Kamarlis, SpPA yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis sehingga selesainya tesis ini


(8)

Persembahan terima kasih tulus, rasa hormat dan sembah sujud kepada ayahanda H. Ponimin dan ibunda tercinta Sudjiem (almh) dan seluruh keluarga besar Penulis yang telah membesarkan dengan susah payah dengan penuh kasih sayang dan dengan jasa mereka inilah Penulis dapat menjalani pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi ini. Tidak lupa secara khusus Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Mertua Penulis, Ibunda Hj. Hastina Semaoe yang telah memberi bantuan moril, doa dan pengorbanan sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada istriku tercinta Dr. Desfrina Kasuma, ananda tersayang Sigit Aldeto Eliandy, tiada kata yang setara untuk mengutarakan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas cinta, kasih sayang, pengertian, pengorbanan, kesabaran dan dorongan serta doa yang diberikan kepada Penulis.

Akhirnya Penulis menyadari bahwa isi hasil penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik serta saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, 3 Oktober 2010

Penulis

Sutoyo Eliandy


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ….………..………..….…. i

PERNYATAAN ………. UCAPAN TERIMA KASIH ……… DAFTAR ISI ………..………..……..…….…….…………. ii

DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR TABEL ………..….……….….…..…..……..…. v

DAFTAR SINGKATAN ………..……….…….……...….. v

ABSTRAK ……….…… BAB 1 PENDAHULUAN ….………...……….….….. 1

1.1. Latar Belakang ……….………..…... 1

1.2. Perumusan Masalah …..……….……...…….………….….…...….. 4

1.3. Hipotesis ……….………...………....…… 5

1.4. Tujuan Penelitian……….…... 6

1.5. Manfaat Penelitian ………...……….…..…… 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …..……….……….………...… 8

2.1. Epidemiologi …….………...…………..….…...… 8

2.2. Etiologi ………..……..……..………...……...…….. 9

2.3. Patogenesa ………..…….…………. 12

2.4. Diagnosa ….……….………...……….……...…..….. 21

2.4.1. Gambaran Klinis …...………..…..………… 2.4.2. Gambaran Sitopatologi ……..……….…………... 2.4.3. Imunositokimia ………..……..………...…... 2.4.3.1. Mycobacterium Tuberculosis Antibody (ab905) ……… 2.5. Penatalaksanaan ……..……….…………..…..…………... 30 2.6. Kerangka Konsepsional ………..……… ii iii v viii xi xii xiii xiv 1 1 4 4 5 5 6 6 7 10 18 21 23 25 26 27 32


(10)

BAB 3 BAHAN DAN METODA ………...……….………...… 3.1. Tempat dan waktu penelitian...….………...…….………….……….…..….

3.1.1. Tempat penelitian ………..…………..………..… 3.1.2. Waktu penelitian ……….……….…

3.2. Rancangan penelitian ………..…..………….……..…...…... 37

3.3. Kerangka operasional ………. 38

3.4. Subjek penelitian ……….……….………. 3

3.4.1. Populasi ………..….……….... 3.4.2. Sampel ……….. 3.5. Jumlah Sampel ……….………...…..………...….. 3.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ….………..…...………..… 40

3.6.1. Kriteria Inklusi ……….………….………….. 3.6.2. Kriteria Eksklusi ………..………... 3.7. Variabel Penelitian ……… 40

3.8. Definisi Operasional …….……… ..……….……….………..…... 41

3.9. Analisa Data ………..……..……….... 4

3.10. Prosedur dan Teknik Pelaksanaan …………...…..………... 4

3.10.1. Lokasi Pengambilan Sampel Sitologi …..………... 3.10.2 . Peralatan Untuk Biopsi Aspirasi Jarum Halus ……….……….. 3.10.3. Prosedur dan Pengambilan Sediaan Sitologi …….….……… 3.10.4. Prosedur Pewarnaan Sitologi dengan Diff-Quik Stain ……….... 3.10.5. Prosedur Imunositokimia ab905pada Sediaan Hapus ………... 3.11. Alat dan Bahan Penelitian ……..………..………...….…..… 48

3.11.1. Alat- Alat Peneitian ………. 3.11.2. Bahan Penelitian ………..…………..…..

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 4.1. Hasil Penelitian ……….

4.1.1. Karakteristik Penderita ……… 4.1.2. Kadar CD4 ……….

33 33 33 33 33 34 34 34 35 35 36 36 36 36 37 39 39 39 39 40 42 43 44 44 44 47 47 48 48


(11)

4.1.4. Tampilan Immunositokimia ……… 4.1.5. Hasil Uji Statistik ……… 4.2. Pembahasan ……… BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ………

5.1. Kesimpulan ……….. 5.2.Saran ……….

DAFTAR RUJUKAN ……….. Lampiran 1. Tabel Induk ………....… Lampiran 2. Foto-foto Sampel ……… Lampiran 3. Surat Persetujuan Penelitian Komite Etik ………..… Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Concent) ………..

50 52 53 56 56 56

57 61 62 63 64


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis ……….……..…………... 14 Gambar 2. Skema kondisi yang berhubungan dengan infeksi HIV ……….… . Ga Gambar 3. Patogenesis Infeksi HIV-1 ……….... 19 Gambar 4. Granuloma-loose aggregates dari histiosit epiteloid ……… Gambar 5. Perbandingan tampilan dark specks pada limfadenitis TB dengan

limfadenitis akut supuratif ……….…. Gambar 6. Skema Kerangka Konsepsional ……… Gambar 7. Skema Kerangka Operasional ...

11 13 16 24

24 32 34


(13)

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM

Tabel 1. Hubungan Kondisi Klinis, Jumlah Limfosit T dan CD4 …….…….…..…… Diagram 4.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis kelamin ……….……. Diagram 4.2. Distribusi Penderita Berdasarkan Usia ………... Diagram 4.3. Distribusi Penderita Berdasarkan Kadar CD4 ..………. Tabel 4.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Tampilan Sitologi ………... Tabel 4.2. Distribusi Penderita Berdasarkan Tampilan Immunositokimia ……… Tabel 4.3. Hubungan Kadar CD4 dengan Tampilan Sitologi …….………. Tabel 4.4. Hubungan Kadar CD4 dengan Tampilan Immunositokimia ………. Tabel 4.5. Hubungan Tampilan Dark Specks dengan Kadar CD4 ……….. Tabel 4.6. Hubungan Tampilan Immunositokimia dengan Kadar CD4 ………. Tabel 4.7. Hubungan Tampilan Immunositokimia dengan Tampilan Sitologi ……….

20 47 48 48 49 50 50 51 52 52 52


(14)

DAFTAR SINGKATAN

TB : Tuberkulosis

WHO : World Health Organization

HIV : Human Immuno-Deficiency Virus AIDS : Aquired Immuno-Deficiency Syndrome UNAID : United Nations Programme on HIV/AIDS MTSS : Mycobacterium Tuberculosis Species-Specific FNAB : Fine Needle Aspiration Biopsy

CD4 : Cluster of Differentiation 4 BTA : Basil Tahan Asam

DTH : Delayed Type Hypersensitivity CMI : Cell Mediated Immunity APC : Antigen Presenting Cell

MHC : Major Histocompability Complex ARV : Anti Retroviral

PCR : Polymerase Chain Reaction

NNRTIs : Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibuitors NRTIs : Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibuitors DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse

ATS : American Thoracic society

BTSRC : British Thoracic Society Research Committee and Compbell CDC : Communicable Disease Control

OAT : Obat Anti Tuberkulosis MDR : Multidrug Resistance


(15)

ABSTRAK

HUBUNGAN GAMBARAN BERCAK-BERCAK GELAP (DARK SPECKS) PADA LATAR BELAKANG MATERIAL NEKROTIK GRANULAR EOSINOFILIK

DENGAN KADAR CD4 PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS SERVIKALIS

YANG DISERTAI HIV/AIDS

Sutoyo Eliandy, Muhd. Nadjib Dahlan Lubis, Delyuzar Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Latar belakang. Diagnosa limfadenitis TB mudah ditegakkan apabila gambaran-gambaran khas

ditemukan pada sediaan aspirasi. Tetapi apabila gambaran ini tidak dijumpai, sulit membedakan antara limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif terutama pada pasien dengan HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dengan kadar CD4 penderita limfadenitis tuberkulosis servikalis yang disertai HIV/AIDS.

Metoda. Penelitian ini menggunakan Exact Fisher Test dengan pemilihan sampel secara

consecutive sampling.

Hasil. Dari 24 sampel penderita limfadenitis TB yang disertai HIV/AIDS dijumpai 20

orang laki-laki (83,3%) dan perempuan 4 orang (16,7%). Umur penderita seluruhnya pada usia produktif dengan rentang umur 21-49 tahun. Ditemukan gambaran dark specks pada 4 sediaan biopsi aspirasi pada kadar CD4 <200. Ada kecendrungan munculnya dark specks seiring dengan turunnya immunitas penderita, namun setelah diuji secara statistik tidak berbeda secara signifikan, dengan nilai p>0,05.

Kesimpulan. Tidak ada hubungan munculnya dark specks dengan kadar CD4 penderita

limfadenitis TB servikalis yang disertai HIV/AIDS.


(16)

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP OF DARK SPECKS IMAGE AT THE EOSINOPHIL GRANULAR NECROTIC MATERIAL BACKGROUD WITH

CD4 LEVEL TO THE PATIENT CERVICALIS LYMPHADENITIS TUBERCULOSIS WITH HIV/AIDS

Sutoyo Eliandy, Muhd Nadjib Dahlan Lubis, Delyuzar Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine

University of North Sumatera, Medan

Objective. The diagnosis of tuberculous was not difficult to establish if the spesific images found

in the specimen of aspiration. However, if the image was not found in the specimen, it was difficult to distinguish between acute supuratif lymphadenitis and supuratif lymphadenitis TB, primarily for those patients with HIV/AIDS. This research was carried out to determine the relationship of dark specks image at the eosinophil granular necrotic material background with the level of CD4 to the patient cervicalis lymphadenitis TB with HIV/AIDS

Methods. This research was conducted using Exact Fisher Test with the consecutive sampling. Result. From 24 samples of patient lymphadenitis TB with HIV/AIDS was found 20 patients were

male (83,3%) and 4 female patients (16.7). All of the patients were included into the productive age with the range of age from 21-49 years old. It has been found the dark specks image at 4 samples of biopsy aspiration at level of CD4 below than 200. There were the indication, the dark specks image will be appear when the immune system of patients was decrease. However, base on the result of statistical analysis, it was exhibited that there was no significant different (p>0.05) between dark specks image and CD4 level.

Conclusions. There was no relationship appearance of dark specks with the level of CD4 to the

patient cervicalis lymphadenitis TB with HIV/AIDS.


(17)

ABSTRAK

HUBUNGAN GAMBARAN BERCAK-BERCAK GELAP (DARK SPECKS) PADA LATAR BELAKANG MATERIAL NEKROTIK GRANULAR EOSINOFILIK

DENGAN KADAR CD4 PENDERITA LIMFADENITIS TUBERKULOSIS SERVIKALIS

YANG DISERTAI HIV/AIDS

Sutoyo Eliandy, Muhd. Nadjib Dahlan Lubis, Delyuzar Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Latar belakang. Diagnosa limfadenitis TB mudah ditegakkan apabila gambaran-gambaran khas

ditemukan pada sediaan aspirasi. Tetapi apabila gambaran ini tidak dijumpai, sulit membedakan antara limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif terutama pada pasien dengan HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dengan kadar CD4 penderita limfadenitis tuberkulosis servikalis yang disertai HIV/AIDS.

Metoda. Penelitian ini menggunakan Exact Fisher Test dengan pemilihan sampel secara

consecutive sampling.

Hasil. Dari 24 sampel penderita limfadenitis TB yang disertai HIV/AIDS dijumpai 20

orang laki-laki (83,3%) dan perempuan 4 orang (16,7%). Umur penderita seluruhnya pada usia produktif dengan rentang umur 21-49 tahun. Ditemukan gambaran dark specks pada 4 sediaan biopsi aspirasi pada kadar CD4 <200. Ada kecendrungan munculnya dark specks seiring dengan turunnya immunitas penderita, namun setelah diuji secara statistik tidak berbeda secara signifikan, dengan nilai p>0,05.

Kesimpulan. Tidak ada hubungan munculnya dark specks dengan kadar CD4 penderita

limfadenitis TB servikalis yang disertai HIV/AIDS.


(18)

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP OF DARK SPECKS IMAGE AT THE EOSINOPHIL GRANULAR NECROTIC MATERIAL BACKGROUD WITH

CD4 LEVEL TO THE PATIENT CERVICALIS LYMPHADENITIS TUBERCULOSIS WITH HIV/AIDS

Sutoyo Eliandy, Muhd Nadjib Dahlan Lubis, Delyuzar Department of Anatomical Pathology, Faculty of Medicine

University of North Sumatera, Medan

Objective. The diagnosis of tuberculous was not difficult to establish if the spesific images found

in the specimen of aspiration. However, if the image was not found in the specimen, it was difficult to distinguish between acute supuratif lymphadenitis and supuratif lymphadenitis TB, primarily for those patients with HIV/AIDS. This research was carried out to determine the relationship of dark specks image at the eosinophil granular necrotic material background with the level of CD4 to the patient cervicalis lymphadenitis TB with HIV/AIDS

Methods. This research was conducted using Exact Fisher Test with the consecutive sampling. Result. From 24 samples of patient lymphadenitis TB with HIV/AIDS was found 20 patients were

male (83,3%) and 4 female patients (16.7). All of the patients were included into the productive age with the range of age from 21-49 years old. It has been found the dark specks image at 4 samples of biopsy aspiration at level of CD4 below than 200. There were the indication, the dark specks image will be appear when the immune system of patients was decrease. However, base on the result of statistical analysis, it was exhibited that there was no significant different (p>0.05) between dark specks image and CD4 level.

Conclusions. There was no relationship appearance of dark specks with the level of CD4 to the

patient cervicalis lymphadenitis TB with HIV/AIDS.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9 miliar manusia (sepertiga penduduk dunia) telah terinfeksi kuman TB. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi TB di dunia ini. Dan dalam dekade mendatang tidak kurang dari 300 juta orang akan terinfeksi olehnya. Setiap tahunnya dijumpai sekitar 4 juta penderita TB paru menular di dunia, ditambah lagi dengan penderita yang tidak menular. Artinya, setiap tahun akan ada sekitar 8 juta penderita TB paru di dunia dan akan ada sekitar 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini. 1-3

Di Indonesia TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah sekitar 10% dari total jumlah penderita TB di dunia. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar 539.000 kasus baru dengan kematian sekitar 100.000 orang. Insiden kasus TB Basil Tahan Asam (BTA) positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Munculnya pandemi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunedeficiency Syndrome (AIDS) di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi TB dengan HIV akan meningkatkan resiko kejadian TB secara signifikan. 4


(20)

Hingga akhir tahun 2002, WHO dan Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) memperkirakan lebih dari 42 juta orang terinfeksi dengan HIV dan lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia kehilangan jiwa akibat AIDS. Dari data terbaru diperoleh informasi bahwa sekitar 16.000 orang terinfeksi tiap harinya. Selama tahun 2002, diperkirakan telah terjadi 5 juta kasus infeksi HIV baru dan 3 juta kematian. Diperkirakan pula 6 juta anak-anak hidup dengan HIV/AIDS saat ini. Di kawasan Asia pasifik, jumlah penderita yang tertinggi terjadi di India (4,58 juta), diikuti Thailand (800.000) dan Vietnam (88.000). 5

Epidemi HIV di Asia seperti Vietnam, India, Cina dan Indonesia telah masuk ke dalam tahapan epidemi yang relatif cepat. Tingkat penularan HIV pada beberapa subpopulasi di Indonesia telah menunjukkan penularan yang memprihatinkan. Hal ini merupakan tantangan terbesar yang dihadapai dalam upaya penanggulangan TB oleh karena sepertiga dari 40 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS menderita koinfeksi dengan TB pada akhir tahun 2001. 6-8

Limfadenitis TB adalah manisfestasi TB di luar paru yang paling banyak ditemukan. Penderita TB di luar paru di Amerika Serikat dilaporkan sebanyak 41%, sedangkan di Jerman didapatkan 50%. Survei penderita TB di Inggris dan Wales pada tahun 1978 juga mencatat bahwa limfadenitis TB adalah bentuk TB di luar paru yang terbanyak. Di Australia, limfadenitis TB merupakan TB di luar paru yang tersering ditemukan. Dilaporkan terdapat sekitar 9% penderita limfadenitis TB di Victoria selama periode 1970-1986 dan 11,7% penderita TB di New South Wales pada tahun 1986. 1,9


(21)

Insiden limfadenitis TB di India paling sering dijumpai pada usia 11-20 tahun, sedangkan di Amerika Serikat terbanyak pada usia 25-50 tahun. Dengan perbandingan antara penderita laki-laki dan perempuan adalah 1:1,3. 1,2

Gambaran sitologi TB terdiri dari histiosit epiteloid dengan latar belakang limfosit, multinucleated giant cells dari tipe foreign body atau tipe Langhans giant cells dan bisa pula menunjukkan atau tidak menunjukkan adanya nekrosis. 10,11

Pada penderita HIV yang lanjut, Cluster of Differentiation 4 (CD4) akan berkurang dalam jumlah dan fungsinya. Kerusakan sistem imun pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan tidak aktifnya imunitas seluler yang ditandai dengan tes Mantoux yang negatif, tidak terbentuknya granulomatosa, ditemuinya nekrosis kaseosa dan kavitas tetapi jarang ditemukan BTA pada dahak. 3,4

Diagnosa limfadenitis TB mudah ditegakkan apabila gambaran-gambaran khas tersebut di atas ditemukan pada sediaan aspirasi. Tetapi apabila gambaran ini tidak dijumpai, sulit membedakan antara limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif. Lubis et al, dalam studi diagnostik menemukan adanya gambaran lain dari limfadenitis TB, yaitu adanya bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dari aspirat limfadenopati. Dan ternyata apabila sediaan ini dikultur dengan teknik Kudoh, ternyata 83% kasus memberikan kultur positif. 12

Secara imunohistokimia (IHK), dapat dilakukan pemeriksaan mikobak-terial antigen MPT64 yang dapat mendeteksi keberadaan M. Tuberculosis dengan hasil yang lebih pasti dan lebih cepat. 13-15


(22)

Pewarnaan imunositokimia (ISK) dengan menggunakan Mycobacterium Tuberculosis Species-Specific (MTSS) dapat dipakai sebagai diagnostik tambahan limfadenitis TB dari sediaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB). 16

Antibodi spesifik lain yang dapat mengikat antigen M. Tuberculosis yang adalah antibodi ab905. Dan McWilliam et al, melakukan penelitian dengan menggunakan antibodi ini dan menyimpulkan bahwa ab905 muncul untuk mengikat antigen manusia pada sinovium yang meradang, dengan hipotesisnya bahwa ab905 merupakan heat-shock protein. 17

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu: apakah munculnya dark specks pada sediaan biopsi aspirasi berhubungan dengan kadar CD4 pada penderita limfadenitis TB yang disertai HIV/AIDS?

1.3. Hipotesis

Tidak ada hubungan munculnya bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik dengan kadar CD4 pada penderita limfadenitis tuberkulosis yang disertai HIV/AIDS.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum

Untuk melihat hubungan gambaran bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik


(23)

pada sediaan biopsi aspirasi dengan kadar CD4 dalam darah penderita limfadenitis tuberkulosis yang disertai HIV/AIDS.

1.4.2. Tujuan Khusus

1.Untuk melihat tampilan sitologi pada sediaan biopsi aspirasi penderita limfadenitis tuberkulosis yang disertai HIV/AIDS dikaitkan dengan kadar CD4 dalam darah.

2. Untuk melihat ekspresi pewarnaan immunositokimia ab905 pada sediaan biopsi aspirasi penderita limfadenitis tuberkulosis yang disertai HIV/AIDS dikaitkan dengan kadar CD4 dalam darah.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Untuk membantu menegakkan diagnosa limfadenitis tuberkulosis khu-

susnya apabila gambaran khas berupa histiosit, sel epiteloid dengan latar belakang limfosit, multinucleated giant cells dari tipe

foreign body atau tipe Langhans giant cells tidak dijumpai pada sediaan biopsi aspirasi.

2. Menegaskan peranan immunitas dalam menghambat infeksi M. Tuberculosis pada penderita penderita HIV/AIDS dengan mempelajari kadar CD4 penderita.

3. Berperan serta dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat limfadenitis tuberkulosis pada penderita HIV/AIDS dengan memberikan diagnosa yang lebih cepat dan lebih pasti.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi

Terjadinya peningkatan infeksi HIV telah menimbulkan perubahan dalam epidemiologi tuberkulosis. HIV telah merubah penyakit tuberkulosis dari suatu penyakit yang endemis menjadi suatu penyakit yang epidemis di seluruh dunia. Saat ini HIV diyakini menjadi salah satu faktor resiko yang paling penting untuk terjadimya seseorang yang terinfeksi kuman M. Tuberculosis menjadi seorang penderita tuberkulosis yang aktif. Sekitar 5-10% penderita TB laten sepanjang hidupnya akan berlanjut dan berkembang menjadi tuberkulosis yang aktif, sementara pada individu yang mengalami gabungan infeksi dengan HIV, sekitar 5-15% akan berlanjut menjadi tuberkulosis yang aktif dalam satu tahun. 18,19

World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar sepertiga sampai setengah dari individu yang terinfeksi virus HIV akan menderita tuberkuosis yang aktif. Pada tahun 2002 saja, lebih dari 630.000 kasus baru TB dengan HIV dilaporkan di seluruh dunia dan sekitar 450.000 kematian dinyatakan infeksi TB/HIV sebagai penyebabnya. 20

Di India, menurut data WHO, pada penghujung tahun 2007 disebutkan bahwa penduduk yang hidup dengan HIV/AIDS sekitar 2,5 juta jiwa dengan insidensi tuberkulosis sekitar 1,8 juta pertahun. 19,21


(25)

Di Afrika, sebelumnya HIV/AIDS merupakan masalah epidemi dengan koinsiden TB dikawasan Sub Sahara dengan proporsi 200/100.000 penduduk pertahun. Namun pada tahun 2002, angka tersebut mengalami peningkatan menjadi 259 per 100.000 penduduk pertahun. Berdasarkan satu laporan yang dikeluarkan oleh WHO, Afrika merupakan kawasan yang memiliki angka gabungan infeksi TB/HIV paling tinggi. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan penduduk dunia yang hidup dengan TB/HIV sekitar 11,8 juta dan kebanyakan berada dikawasan Afrika. 19,20

Pada tahun 2000, prevalensi TB/HIV terus meningkat di seluruh dunia. Saat itu WHO memperkirakan prevalensi infeksi HIV pada orang dewasa dan anak-anak sekitar 36,1 juta. Pada saat yang sama sekitar 2 miliar orang mengalami infeksi laten oleh kuman TB dan sekitar 11,8 juta orang mengalami infeksi gabungan. 19,20

2.2. Etiologi

Limfadenitis TB disebabkan oleh Micobacterium tuberculosis yang merupakan basil tahan asam dan dapat dilihat dengan pewarnaan Ziehl - Neelsen (karbol fuksin). Basil M. Tuberculosis ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. 21-23

Kuman Mycobacterium ini berbentuk batang dan berukuran panjang antara 2-4 mikron dan lebar antara 0,2-0,5. Kuman M. Tuberculosis tumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat


(26)

merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan terjadi dengan suhu 30o - 40o C dan suhu optimum 37o - 38o C. 21-23

Kuman akan mati pada suhu 60o C selama 15-20 menit. Pada suhu 30o C atau 40o - 45o C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan oksigen akan menurunkan metabolisme kuman. 22

Daya tahan kuman M. Tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan terhadap asam, alkali dan zat warna malakit. Pada sputum kering yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8-10 hari. Proses pasteurisasi dan penggunaan fenol 5% selama 24 jam dapat membunuh kuman M. Tuberculosis. Penggunaan eter dapat menyebabkan sifat tahan asam kuman ini hilang. 22

M. Tuberculosis hominis merupakan penyebab terbesar kasus TB dengan resevoir infeksi biasanya ditemukan pada manusia dengan penyakit paru aktif. Penularan biasanya secara langsung, melalui inhalasi organisme di udara atau melalui sekret penderita. Basil ini pertumbuhannya terhambat oleh pH<6,5 dan asam lemak rantai panjang. Oleh karena itu basil ini ditemukan pada bagian tengah nekrosis perkijuan karena terdapat anaerobiosis, pH rendah dan kadar asam yang meningkat. Mycobacterium lain, terutama M. Avium-intracellulare, jauh kurang virulen dibandingkan dengan M. Tuberculosis serta jarang menyebabkan penyakit pada individu yang mengalami immunosupresi. Namun pada penderita HIV/AIDS, strain ini sering ditemukan dan dapat mengenai 10% hingga 30% penderita. 22-25

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) suatu retrovirus pada manusia yang termasuk ke


(27)

dalam keluarga lentivirus. Sejak dikemukakan pertama kali pada tahun 1980 telah dapat diisolasi 2 tipe HIV dari penderita AIDS, yaitu HIV-1 yang terdapat di seluruh dunia sedangkan HIV-2 ditemukan terutama di Afrika Barat. Dua tipe HIV ini berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen. 26-31

Seperti sebagian besar retrovirus, virion HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel pejamu. Inti virus tersebut mengandung:

1. Kapsid utama protein p24 2. Nukleokapsid protein p7/p9 3. Dua salinan RNA genom, dan

4. Ketiga enzim virus (protease, reverse transcriptase dan integrase).

p24 adalah antigen virus yang paling mudah dideteksi sehingga menjadi sasaran antibodi yang digunakan untuk mendiagnosa infeksi HIV. 27,30

Inti virus dikelilingi oleh matriks protein yang disebut dengan p17, yang terletak di bawah selubung virion. Selubung virus itu sendiri tersusun atas dua glikoprotein virus (gp120 dan gp41) yang sangat penting untuk infeksi HIV pada sel. Genom provirus HIV-1 mengandung gen gag, pol dan env, yang mengkode berbagai protein virus. Produk gen gag dan pol mula-mula ditranslasikan menjadi protein prekursor besar yang harus dipecah oleh protease virus untuk menghasilkan protein matur. Oleh karena itu, obat penghambat protease anti HIV-1 yang sangat efektif akan mencegah perakitan virus dengan menghambat pembentukan protein virus yang matur. 27,30


(28)

2.3. Patogenesa

Penularan TB terjadi karena menghirup udara dengan partikel-partikel yang mengandung M. Tuberculosis dan mencapai alveolus. M. Tuberculosis akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi kalau M. Tuberculosis yang dihirup virulen dan makrofag alveoli lemah, maka M. Tuberculosis akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kamostaksis ke arah M. Tuberculosis berada, kemudian memfagositosis basil TB tetapi tidak membunuhnya. Makrofag dan basil TB membentuk tuberkel yang juga mengandung sel–sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel datia Langhans) dan limfosit T. 1,2,4,5

Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi. M. Tuberculosis atau basil TB menyebar ke kelenjar limfe hilus. Lesi pertama di alveolus , infeksi kelenjar limfe dan limfadenitis yang bersangkutan membentuk kompleks primer. Basil TB setelah dari limfe dapat menyebar melalui saluran limfe dan saluran darah ke organ-organ lain seperti hepar, lien, ginjal, tulang, otak dan lain-lainya. 1,2,4

Basil TB dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ atau hidup dorman di dalam makrofag jaringan dan dapat menyebabkan TB aktif bertahun-tahun kemudian. Tuberkel juga dapat hilang dengan resolusi, berkalsifikasi membentuk kompleks Ghon, atau terjadi nekrosis dengan material kiju yang dibentuk dari makrofag. Kalau masa kiju mencair maka basil dapat berkembang biak ekstraseluler sehingga dapat meluas di jaringan paru dan dapat menyebar


(29)

secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya atau disebut sebagai TB milier. 1,2,4

Respon imun terdiri dari delayed type hypersensitivity (DTH) dan cell-mediated immunity (CMI) yang akan terjadi dalam 4 sampai 6 minggu setelah infeksi primer. Antigen memproses antigen presenting cell (APC) untuk memproduksi major histocompability complex (MHC). Terdapat 2 kelas MHC

Inhalasi basil

Kalsifikasi

Kompleks Ghon Resolusi

Alveolus

Destruksi makrofag Basil TB berkembang biak

Fagositosis oleh makrofag

Pembentukan tuberkel

Destruksi basil

Perkijuan

Pecah

Kelenjar Limfe

Penyebaran

Lesi di hepar, lien, ginjal, tulang dan otak Lesi sekunder paru


(30)

yaitu sel T yang membantu fungsi imun/T-helper yang dikenal sebagai CD4 masuk ke dalam MHC kelas II dan sel T yang berfungsi sebagai supressor atau sitotoksik dikenal sebagai CD8 berhubungan dengan MHC kelas I. Daya tahan tubuh terhadap TB tergantung fungsi CD4, dimana bila terjadi defisiensi CD4 maka individu tersebut akan rentan terhadap infeksi TB. 27,30,33

Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi awal TB primer, umumnya terjadi pada 6 bulan pertama setelah infeksi. Penyebaran infeksi pada kelenjar superfisial tersering adalah melaui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Masuknya basil TB ke dalam aliran limfe selama fase awal TB primer paru dapat tertahan pada satu atau lebih kelenjar superfisial. Dalam beberapa bulan, penyebaran secara hematogen dapat diketahui jika ditemukan pembesaran seluruh kelenjar limfe yang bersifat sementara. 1,2,4

Pada sebagian besar kasus, infeksi pada kelenjar limfe ini regresi dan sembuh sempurna, sedangkan pada sebagian kecil basil berkembang biak dalam kelenjar limfe atau membentuk fokus TB yang tidak aktif, tetapi basil tetap hidup di dalamnya. Fokus laten ini akan menjadi aktif beberapa bulan atau tahun kemudian tergantung dari basil yang masuk, faktor imunitas bawaan maupun didapat, faktor hipersensitivitas dan suseptibilitas kelenjar limfe yang terkena. 1,2,4

Limfadenitis TB juga bisa disebabkan oleh penyebaran limfatik langsung dari fokus primer TB di luar paru. Bila kelenjar limfe merupakan bagian dari kompleks primer, pembesaran akan timbul pertama kali di dekat tempat masuk basil TB. Limfadenitis TB inguinal atau femoral yang unilateral merupakan penyebaran dari fokus primer di kulit atau subkutan paha. Limfadenitis TB di


(31)

leher pada beberapa kasus dapat disebabkan oleh infeksi primer di tonsil, akan tetapi kasus ini jarang terjadi kecuali di beberapa negara yang mempunyai prevalensi TB oleh M.bovine yang tinggi. 1,2,4

Masalah utama pada penderita HIV/AIDS adalah infeksi oportunistik yang terjadi karena penurunan yang progresif fungsi imun. Infeksi oportunistik yang lebih spesifik terjadi pada penderita HIV/AIDS dapat dilihat pada gambar berikut:

33

Infeksi awal HIV dimulai setelah transfer cairan tubuh dari orang yang terinfeksi kepada orang yang tidak terinfeksi. Stadium awal disebut juga stadium akut atau primer, adalah periode dari replikasi virus secara cepat yang diikuti dengan meningkatnya virus pada darah perifer dengan jumlah hingga jutaan virus per milimeternya. Respon ini berhubungan dengan turunnya jumlah CD4. 29,32,33

STADIUM: AWAL LANJUT AKHIR Asimtomatik Asimtomatik Kaposi Sarkoma Limfadenopati Asimtomatik Limfoma Neuropati Demensia awal Demensia Penyakit kulit Leukoplakia Myelopati Meningitis aseptik ITP, demam Dispnea CD4 sel/mm3 >400 200 – 400 <200 <50

Waktu (tahun) 0 0-7 1-9 2 - <8

Post infeksi Mucocutaneus CMV, EBV P.carinii T. Gondii Kandida & HSV Clamidia Histoplasma M. ac

VZV (deartomal) T. pallidum Tuberculosis PML Isospora Salmonela

Mikrosporadia Leishmania Criptosporadi T. Gondii

Kondisi yang berhubungan dengan infeksi HIV

Efek Langsung HIV

Infeksi

Infeksi HIV


(32)

Pada fase akut (sekitar 2 sampai 4 minggu setelah terpapar) sebagian besar penderita akan mengalami influensa atau mononucleus-like illness yang merupakan manifestasi dari infeksi HIV akut, dengan gejala terdiri dari demam, limfadenopati, faringitis, rash, mialgia, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah, pembesaran hepar/lien, penurunan berat badan, dan kelainan neurologis. 29,32,33

Durasi gejala bervariasi, rata-rata 28 hari. Pertahanan tubuh yang kuat akan mengurangi jumlah virus dalam aliran darah, dan dimulainya fase klinis laten yang terjadi bervariasi antara 2 minggu hingga 20 tahun. Selama fase ini virus aktif di dalam organ limfoid, sementara sejumlah virus terperangkap di dalam jaringan sel folikular dendritik. Ketika jumlah CD4 menurun di bawah 200 sel/mm3, respon CMI menghilang, dan infeksi oportunistik dengan berbagai mikroba segera terjadi. Secara umum infeksi oportunistik dikontrol oleh CD4. Infeksi oportunistik paling sering diderita penderita HIV/AIDS adalah infeksi TB dan candida. 29,31,32

Waktu rata-rata paparan viral akut dengan terjadinya respon imun diperkirakan sekitar 2 bulan. Resiko progresif hingga terjadinya AIDS digambarkan dengan menurunnya jumlah CD4. Lebih dari 50% pada penderita HIV/AIDS dengan jumlah CD4 di bawah 150 sel/mm3 akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu 18 bulan. 29,32,33

Pada penderita HIV/AIDS terjadi gangguan pada sel T yang akan mempengaruhi produksi limfokin dan merusak fungsi makrofag. Kerusakan makrofag akan mempengaruhi molekul antigen CD4 pada permukaannya. Sel ini


(33)

adalah bagian dari sel T yang memegang peranan penting terhadap respon imun.

29,32,33

Kerusakan makrofag akan berpengaruh pada pertahanan tubuh terhadap TB. HIV menginfeksi sel yang memiliki molekul antigen CD4 pada permukaannya. Sel ini adalah bagian dari sel limfosit T yang memegang peranan penting terhadap respon CMI. Pada HIV yang lanjut, CD4 akan berkurang dalam jumlah dan fungsinya. Kerusakan sistem imun pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan tidak aktifnya imunitas seluler yang ditandai dengan tes Mantoux yang negatif, tidak terbentuknya granulomatosa, adanya nekrosis kaseosa dan kavitas, tetapi jarang ditemukan BTA pada dahak. 3,4,24,30

Molekul CD4 merupakan suatu reseptor untuk HIV yang berafinitas tinggi. Hal ini menjelaskan mengenai kecendrungan selektif virus terhadap sel T CD4 dan kemampuannya menginfeksi CD4 lain terutama makrofag dan sel dendrit. Namun, dengan berikatan pada CD4 tidak cukup untuk menimbulkan infeksi; selubung gp120 HIV juga harus berikatan pada molekul permukaan sel lainnya (co-receptor) untuk memudahkan masuknya sel. Peranan ini dimainkan oleh dua molekul reseptor kemokin permukaan sel, yaitu CCR5 dan CXCR4. 27,30,34,35


(34)

M. Tuberculosis dan HIV-1 merupakan dua patogen intraseluler yang berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinik dan seluler. HIV meningkatkan kemudahan seseorang terkena infeksi M. Tuberculosis. Pada seseorang yang terinfeksi M. Tuberculosis, HIV merupakan penyebab kuat infeksi TB menjadi penyakit. Dibandingkan dengan seseorang yang tidak terinfeksi HIV, seseorang yang terinfeksi HIV mempunyai resiko 10 kali menderita TB. Menurut GArdi’c bahkan dapat 30 kali. 27,30,34,35


(35)

Pada seseorang yang terinfeksi HIV, terjadi penurunan CD4 dalam jumlah dan fungsi. Kemampuan sistem imun untuk mencegah pertumbuhan dan penyebaran M. Tuberculosis berkurang. TB paru terkadang merupakan tanda pertama infeksi HIV. Bila TB mengenai penderita yang terinfeksi HIV, prognosis umumnya buruk walaupun itu tergantung kepada derajat imunosupresi dan respon terhadap terapi anti-TB. 27,30,34,35

Infeksi HIV dapat mengubah epidemiologi TB melalui 3 cara:

1. Reaktifasi endogen M. Tuberculosis pada seorang yang kemudian terinfeksi HIV.

2. Berlanjutnya infeksi M. Tuberculosis menjadi TB pada seseorang yang sebelumnya terinfeksi HIV.

3. Penyebaran kuman TB pada populasi umum dari penderita TB yang menderita TB akibat infeksi HIV. 27,30,34,35

Respon imun pejamu terhadap infeksi TB adalah aktivasi makrofag, imunitas seluler dan pembentukan granuloma. Akibat hubungan virulensi kuman, hipersensivitas individu dan imunitas terhadap infeksi, maka akan menyebabkan perbedaan lesi. Awal pembesaran kelenjar terutama disebabkan oleh hiperplasia limfosit dan pembentukan tuberkel, selanjutnya terjadi lesi granuloma dan seringkali diikuti nekrosis dan perkijuan. Granuloma TB ditunjukan dengan daerah konsentrik yang terdiri dari sel datia Langhans, sel epiteloid dan limfosit, yang ditengahnya terdapat daerah nekrosis. Nekrosis perkijuan ciri khas pada TB adalah koagulatif, nekrosis total tanpa meninggalkan sisa sel atau debris. 27,30,34,35


(36)

Kelenjar limfe bisa menjadi berlekatan satu sama lain dan menembus kulit akibat reaksi inflamasi. Bila patogenesis TB penyebab pembesaran kelenjar tidak diketahui dan tidak diobati, maka daerah yang terlibat bisa berpindah ke dalam masa perkijuan yang berdekatan, akhirnya terbentuk abses yang menembus kulit dan membentuk sinus. Setelah perkijuan keluar dan kelenjar menyembuh, akan terjadi fibrosis, hialinisasi dan kalsifikasi, baik total maupun parsial, meskipun basil laten dapat bertahan untuk beberapa tahun dalam lesi ini. 27,30,34,35

2.4. Diagnosa

Diagnosa pasti limfadenitis TB ditentukan melalui biopsi kelenjar atau aspirasi dengan pemeriksaan histopatologi, serta dilakukan pewarnaan basil tahan asam (BTA) langsung dan dibiakkan. Pemeriksaan langsung BTA ditemukan pada 25% sampai 50% dari spesimen biopsi, dan M. Tuberculosis berhasil diisolasi sekitar 70% dari yang dibiakkan. Uji tuberkulin yang dilakukan pada penderita TB paru mungkin terjadi negatif palsu pada lebih dari 20-25% kasus. Kemungkinan negatif pada penderita limfadenitis TB kurang dari 10%, sehingga hasil uji kulit yang positif akan mendukung diagnosa dan hasil negatif tidak secara substansial menyingkirkan kemungkinan TB. 1,2

Untuk menyingkirkan penyakit intratoraks lain dan mendukung diagnosa TB, foto toraks perlu dilakukan pada semua yang terbukti dan dicurigai menderita limfadenitis TB. Pada kasus-kasus yang masih meragukan (biopsi sesuai tapi biakan negatif) gambaran foto toraks yang menunjukan TB aktif atau bekas TB akan mendukung bukti etiologi TB. Teknik khusus dengan Polymerase Chain


(37)

Reaction (PCR) terhadap jaringan limfe untuk mengidentifikasi basil TB bisa dilakukan untuk memperkuat diagnosa. 1,2

Dalam mengevaluasi perkembangan infeksi HIV, perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan darah. Kadar normal CD4 dalam darah adalah 700-1.300 sel/mm3. Pada individu yang terinfeksi virus HIV akan terjadi penurunan kadar CD4 sekitar 40-80 sel/mm3 dalam satu tahun. Kebanyakan individu tidak menunjukkan gejala sampai kadar CD4 di bawah 500 sel/mm3, diagnosa AIDS ditegakkan bila kadar CD4 penderita <200 sel/mm3. Disamping itu perlu dilakukan pemeriksaan darah karena pada umumnya akan terjadi penurunan yang cukup besar komponen darah lainnya sebelum gejala HIV/AIDS muncul, dimana akan dapat ditemui leukopenia, trombositopenia dan perubahan kadar serum transaminase dan polyclonal activation dari sel-sel imun. 36

Dalam menegakkan diagnosa HIV, dilakukan beberapa pemeriksaan antara lain:

a. Antibodi anti-HIV

Pada pemeriksaan ini metode yang dilakukan adalah Enzyme–Linked Immunosorbent Assay (ELISA), yang akan mengukur antibodi terhadap virus HIV (anti-HIV). Hal ini memerlukan waktu sekitar 2-3 bulan untuk dapat mendeteksi serum dalam darah. Pemeriksaan serologi saat ini dapat dilakukan untuk mendeteksi virus HIV-1 dan HIV-2 dan sekarang pemeriksaan ini memiliki nilai sensitivitas dan spesivitas yang tinggi.


(38)

b. Status imunologi

Pada pemeriksaan status imunologi ini yang dilakukan adalah menghitung kadar CD4 dalam darah. Penilaian kadar CD4 ini sangat penting untuk menilai derajat beratnya infeksi HIV dan untuk memprediksi onset terjadinya infeksi oportunistik. Pemeriksaan kadar CD4 ini harus diulang setiap 3 bulan untuk menilai perkembangan penyakit dan dasar pertimbangan untuk tindakan profilaksis dan pengobatan. Berikut ini adalah tabel hubungan antara jumlah limfosit T, kadar CD4 dan tingkat gejala klinis penyakit.

Tabel 1. Hubungan Kondisi Klinis, Jumlah Limfosit T dan CD4. 38

c. Deteksi virus

Pemeriksaan viral load (VL) memberikan gambaran yang lebih akurat dalam hal fluktuasi jumlah virus dalam hal respon penderita HIV/AIDS terhadap pengobatan anti retroviral (ARV). Kadar viremia dalam plasma diukur dengan mendeteksi RNA HIV dengan teknik PCR dan hal ini menggambarkan aktvitas replikasi virus. 31,36,37,38

KONDISI KLINIS JUMLAH JUMLAH CD4 LIMFOSIT T (/mm3) (/mm3) Tanpa gejala > 2500 501 - 600 Gejala minor 1001 - 2500 351 - 500 Gejala mayor dan infeksi oportunistik 501 - 1000 200 - 350 AIDS < 500 < 200


(39)

2.4.1. Gambaran Klinis

Limfadenitis TB superfisial paling sering ditemukan di daerah servikal (91,5%), sedangkan di daerah aksila 12,7% di daerah inguinal 7,0% dan di daerah siku 1,4%. Berdasarkan lokasinya Yew dan Lee di Taiwan menganalisis 111 penderita limfadenitis TB servikal didapatkan 45% berada di sebelah kanan, 28% di sebelah kiri dan 27% bilateral, sedangkan 78% multiple dan 20% soliter. Frekuensi limfadenitis TB bersamaan dengan TB paru bervariasi antara 5% sampai 70%. 1,2

Timbulnya limfadenitis TB sering kali tidak disadari sampai penderita atau orang tua penderita mengeluh ada benjolan. Keluhan umum jarang ditemui kecuali terdapat penyakit TB di tempat lain. Limfadenitis TB biasanya tampak berupa benjolan yang tidak nyeri pada satu atau beberapa kelenjar. Pada awalnya kelenjar berbatas tegas, tidak melekat pada kulit. Selanjutnya sesuai perjalanan penyakit, kelenjar menjadi satu atau melekat dengan kulit kemudian melunak dan menjadi abses yang selanjutnya akan pecah menembus kulit. Pecahnya kelenjar akan membentuk sinus yang akan memperlambat penyembuhan. 23,26,30,31

Perjalanan alamiah infeksi HIV adalah sebagai berikut: a. Infeksi akut HIV

Antibodi terhadap antigen HIV timbul umumnya 6 minggu tetapi bisa sampai 3 bulan setelah infeksi. Pada saat ini terjadi uji HIV (seropositif) untuk pertama kali sejak infeksi. Penderita menderita demam bercak kemerahan, antralgia dan limfadenopati. 7


(40)

Pada orang dewasa terdapat periode laten yang lama sejak infeksi HIV hingga timbulnya HIV-related disease dan AIDS. Masa ini dapat berlangsung hingga 10 tahun atau lebih. 7

c. HIV-related disease dan AIDS

Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa (>12 tahun) dianggap menderita AIDS apabila menunjukan uji HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala-gejala ini dan bukan disebabkan kadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV:

Gejala mayor

• Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

• Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1bulan

• Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

• Penurunan kesadaran dan gangguan neorologik

• Dementia/HIV ensefalopati 7 Gejala minor

• Bentuk menetap lebih dari 1 bulan

• Dermatitis generalisata yang gatal

• Ada herpes zoster multisegmental dan atau berulang

• Kandidiasis orofaringeal

• Herpes simpleks kronik progresif

• Limfadenopati generalisata


(41)

Ditemukannya sarkoma kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa dan rekuren (pneumonia pnemocystis carinii) sudah cukup untuk menegakkan diagnosa AIDS untuk keperluan surveilans. 1,2

2.4.2. Gambaran Sitopatologi

Diagnostik limfadenitis TB dapat ditegakkan apabila memenuhi kreteria yaitu adanya histiosit dari tipe epiteloid yang membentuk kelompokan yang kohesif dan juga ditemukannya multinucleated giant cell tipe foreign body atau tipe Langhans. 10,11

Sel-sel epiteloid merupakan tanda yang khas dari sediaan biopsi aspirasi. Sel epiteloid dengan inti berbentuk elongated, yang dideskripsikan sebagai bentuk seperti tapak sepatu. Kromatin inti bergranul halus dan sitoplasma pucat dengan pinggir sel yang tidak jelas. 10,11

Sel-sel epiteloid pada limfadenitis TB membentuk gumpalan kohesif, berukuran kecil maupun berukuran besar yang dapat mirip granuloma yang terdapat pada sediaan histopatologi. Dijumpai nekrosis sentral pada kelompokan yang berukuran besar, adanya fibrinoid atau kaseosa. Materi keseosa bergranul dan eosinofilik dapat dijumpai pada sediaan aspirat. 10,11

Limfadenitis TB secara sitologi tidak sulit didiagnosa bila aspirat menunjukkan sel-sel epiteloid dan multinucleated giant cell tipe Langhans. Tetapi jika kedua jenis sel ini tidak tampak pada aspirat, maka akan sulit mendiagnosa apakah ini merupakan limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB supuratif. 12


(42)

Lubis et al, pada studi diagnostik menemukan adanya gambaran lain dari aspirat limfadenopati dan non limfoid (servikal, axillary, inguinal, breast, skin/soft tisssue, intraabdominal dan testis) yaitu berupa bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik. 12

Iyengar dan Basu melaporkan adanya 5 kasus limfadenitis TB pada penderita AIDS dimana dengan pewarnaan rutin May Grunwald Giemsa (MGG) dapat melihat mycobacterium berupa struktur berbentuk batang yang tidak terwarnai dengan latar belakang histiosit. Dan ini dapat dikonfirmasi dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. 39

Gambar 5. Perbandingan tampilan dark specks (tanda panah) pada limfadenitis supuratif TB (A) dengan limfadenitis akut supuratif( B). 12

Gambar 4. Granuloma-loose aggregates dari histiosit epiteloid. 10


(43)

2.4.3. Imunositokimia

Gambaran klinis dan histologi terkadang dapat memberikan gambaran yang kurang spesifik. Saat ini dengan pemeriksaan imunohistokimia mikobakterial antigen MPT64 dapat mendeteksi keberadaan M. Tuberculosis dengan pasti dalam waktu yang lebih singkat. Selain itu karena spesivitas dan sensitivitas yang tinggi dapat menyingkirkan dugaan apabila ada keraguan dan kecurigaan disertai dengan adanya infeksi M. bovis. M. africanum atau M. microti, atau bakteri lain yang memberikan gambaran menyerupai TB, terutama pada kasus TB ekstra pulmoner atau penderita disertai dengan HIV positif. 14

Penelitian yang dilakukan oleh Purohit et al, yang bertujuan untuk melihat potensiasi diagnostik dengan pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi MPT64 dengan sampel yang besar dari populasi yang berbeda dari berbagai tempat. Sediaan difiksasi dengan menggunakan formalin dan dan dilakukan blok parafin dari hasil biopsi TB abdomen dan limfadenitis TB servikalis. Kemudian dilakukan pemeriksaan dengan melihat tampilan antibodi MPT64 yang dibandingkan dengan antibodi BCG. 13

Purohit et al, menyimpulkan bahwa teknik ini memiliki spesivitas dan sensitivitas yang tinggi untuk mendiagnosa TB ekstra pulmoner dengan hasil sensitivitas 92%, spesivitas 97% dan positive dan negative predictive values 98% dan 85%. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan menggunakan antibodi BCG yaitu sentivitas 88%, spesivitas 85% dan positive dan negative predictive values 92% dan 78%. 13


(44)

Goel dan Budhwar melakukan penelitian dengan menggunakan imunositokimia MTSS (Mycobacterium Tuberculosis Species-Specific) sebagai diagnostik tambahan dibandingkan dengan pewarnaan konvensional Ziehl-Neelsen (ZN) pada sediaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) dari penderita limfadenitis tuberkulosis. Goel menyimpulkan bahwa MTSS dapat digunakan sebagai diagnostik tambahan yang spesifik untuk mendeteksi limfadenitis tuberkulosis dengan hasil negatif palsu hingga 0%. 40

2.4.3.1. Mycobacterium Tuberculosis Antibody (ab905)

Infeksi primer M. Tuberculosis dimulai dengan inhalasi 1 sampai 10 basil aerosol. Patogenisitas organisme ditentukan oleh kemampuannya untuk menghindari respon imun host serta menimbulkan delayed hypersensitivity. Makrofag alveolar menelan sel penyerang namun tidak mampu untuk membangun pertahanan yang efektif. Beberapa faktor virulensi bertanggung jawab atas kegagalan ini, terutama pada dinding sel mycobakterium seperti cord factor, lipoarabinomannan, dan 65 kD heat shock protein (HSP65). 17

Heat-shock protein (HSP) merupakan sekelompok protein dimana ekspresinya meningkat bila sel-sel terpapar dengan temperatur tinggi. Berbagai keluarga HSPs seperti HSP90, HSP70, HSP65 dan HSP10 diketahui telah membangkitkan respon imun yang kuat tanggapan pada host selama infeksi TB. Diantara HSP ini, satu antigen tertentu yakni HSP 65Kd (Rv0440) ditemukan dalam berbagai spesies M. Tuberculosis dan immunodominant yang memunculkan respon imun selular dan humoral. Protein dihasilkan sebagai respon terhadap


(45)

reaksi host selama infeksi, istilah yang lebih umum adalah stres protein, telah diaplikasikan untuk kelas protein ini. HSP 65 kD memainkan peran ganda dalam sel, terutama sebagai molecular chaperones dan juga sebagai antigen immunodominant pada infeksi host. 17

Satu penelitian menunjukkan bahwa kadar protein M. Tuberculosis ini meningkat hingga 1%-10% di bawah kondisi stres yang kemungkinan akan terjadi selama infeksi TB. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dan McWilliam et al, menyimpulkan bahwa ab905 muncul untuk mengikat antigen manusia pada sinovium yang meradang, dengan hipotesisnya bahwa ab905 merupakan heat-shock protein. 17

2.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan limfadenitis TB, prinsip dan regimen obatnya sama dengan tuberkulosis paru. Kemoterapi adalah dasar penatalaksanaan. Pada kasus-kasus yang terbukti atau sangat condong sutu limfadenitis TB, pengobatan harus tepat dan sedini mungkin. Perlu diperhatikan bahwa kita tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi pada kelenjar limfe ketika kita mengobatinya. 1

Sekitar 25% penderita kelenjarnya makin membesar selama pengobatan, bahkan bisa timbul kelenjar baru dan sekitar 20% timbul abses dan kadang-kadang membentuk sinus. Bila ini terjadi, janganlah mengubah pengobatan, karena kelenjar akan mengecil jika pengobatan masih kita lanjutkan. Sekitar 5-10% penderita masih akan teraba kelenjarnya pada akhir pengobatan, tetapi biasanya tidak membuat masalah lebih lanjut. Tidak perlu pemberian kortikosteroid, tetapi


(46)

bila terjadi fluktuasi abses yang luas, kortikosteroid dapat mencegah timbulnya sinus dan membantu memperkecil abses tanpa memerlukan tindakan bedah. 1

Berdasarkan beberapa pedoman pengobatan TB, terdapat perbedaan pemberian regimen. Pedoman internasional dan nasional menurut WHO memasukan limfadenitis TB dalam kategori III dan merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan dengan regimen 2HRZ/4RH atau 2HRZ/4H3R3 atau 2HRZ/6HE. American Thoracic society (ATS) merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan sampai 9 bulan sedangkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke dalam TB diluar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society Research Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH. 1,5,31,41

Menurut WHO pengobatan TB dengan HIV positif sama saja dengan pengobatan TB pada umumnya, penderita dengan HIV positif kecuali tidak boleh diberikan thiacetazon pada penderita TB dengan HIV positif. Sejumlah peneliti menganjurkan terapi yang lebih lama, yaitu 9 bulan, pada penderita dengan HIV walaupun respon pengobatan awal baik. Communicable Disease Control (CDC) dan ATS menganjurkan pengobatan 6 bulan untuk TB dengan HIV, namun pengobatan lebih lama pada penderita dengan respon klinik dan bakteriologik yang lambat. Untuk pengobatan diluar paru selama 12 bulan. Bila pirazinamid tidak dapat diberikan, maka terapi dengan INH, Rifampisin, Ethambutol diberikan selama 9 bulan. Resistensi terhadap OAT merupakan hal yang perlu dipertimbangkan pada penderita TB dengan HIV. Resiko resistensi OAT lebih


(47)

tinggi pada penderita dengan HIV baik tunggal maupun ganda (Multidrug Resistance=MDR). 1,2,5,31,41

Penelitian di Zaire menunjukkan angka relaps pada penderita TB dengan infeksi HIV dua kali lebih banyak dibandingkan penderita TB tanpa HIV. Perriens et al, menganjurkan perpanjangan terapi dari 6 bulan menjadi 12 bulan karena dapat mengurangi angka kekambuhan walau tak memperbaiki lamanya ketahanan hidup penderita. Namun penelitian Sterling et al, menunjukan tak ada perbedaan yang bermakna antara relaps pada penderita TB dengan HIV seropositif dan HIV seronegatif oleh karena itu Sterling menganjurkan bahwa terapi pada penderita TB dengan HIV positif sama dengan HIV negatif dalam menyelesaikan pengobatan. Bila infeksi TB timbul kembali maka ada 2 kemungkinan yaitu kambuh atau infeksi baru. 1

Van Loenhout-Rooyackers et al, membandingkan beberapa penelitian yang menggunakan paduan obat yang berbeda, yang diambil dari database Medline sejak tahun 1978-1997 dan mendapatkan bukti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna diantara beberapa paduan obat tersebut. 1

Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa kesembuhan penderita dipengaruhi oleh kepatuhan, dana, edukasi dan kesabaran dalam mengkonsumsi obat, serta dengan pengobatan yang efektifpun respon penyakit ini lebih lambat daripada TB paru. 1

Obat anti retroviral yang banyak dipakai sampai saat ini ialah protease inhibitors seperti saquinavir, indiavir, ritonavir dan nelfinafir dan dari jenis non-nucleoside reverse transcriptase inhibuitors (NNRTIs) seperti neviravine,


(48)

delavirdine dan efavirenz. Telah diketahui protease inhibitors dan NNRTIs berinteraksi dengan rifamycin seperti rifampin, rifabutin dan rifapentine yang biasanya dipakai sebagai tuberkulostatika. 2

Interaksi ini disebabkan oleh karena terjadi perubahan metabolisme dari anti retroviral dan rifamycin karena yang dikenal sebagai CYP450. Rifamycin akan meningatkan CYP450 sehingga obat-obatan yang metabolismenya dilakukan oleh CYP450 akan menurun kadarnya dalam plasma darah. Dan anti retroviral golongan protease inhibitor termasuk yang dimetabolisme oleh CYP450, akibatnya kadar anti retroviral ini akan menurun dalam plasma, sehingga aktivitasnya sebagai anti retroviral akan berkurang. 2

Sebaliknya bila ritonavir yang merupakan inhibitor kuat CYP450 diberikan bersamaan dengan rifabutin, maka kadar rifabutin dalam darah akan meningkat tinggi, akibatnya kemungkinan akan terjadinya keracunan terhadap rifabutin akan meningkat pula. Diantara golongan rifamycin, rifampin adalah perangsang yang paling kuat dari CYP450, sedangkan rifabutin yang paling lemah dan rifapentine berada diantaranya. 2

Protease inhibitor merupakan penghambat CYP450, dimana ritonavir yang paling kuat dan saquinavir yang paling lemah, yang lain berada diantaranya. 2

Dari tiga obat golongan NNRTIs yang sudah disetujui mempunyai efek yang berbeda-beda terhadap CYP450, dimana nevirapine adalah perangsang CYP450, delavirdine merupakan penghambat dan efavirenz merupakan gabungan sebagai penghambat dan perangsang CYP450. 2


(49)

Golongan anti retroviral lainnya yang disebut nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) seperti zidovudine, didanosine, zalcitabine, stavudine dan lamivudine dimetabolisme tidak melalui sistem CYP450, karena itu golongan NRTIs ini dapat diberikan bersama dengan rifamycin.2

Tuberkulostatika lainnya seperti INH, pyrazinamide, ethambutol, streptomycin dimetabolisme juga tidak melalui sistem CYP450, karena itu dapat diberikan bersamaan dengan obat anti retoviral. 2

Penggunaan rifampin untuk pengobatan standard TB tidak dianjurkan pada penderita yang terinfeksi HIV dan sedang dalam pengobatan dengan anti retroviral golongan protease inhibitors dan atau NNRTIs. Sebagai gantinya untuk penderita tersebut dapat dipakai ributin atau tuberkulostatika yang tanpa rifamycin. Rifampin dapat digunakan pada penderita menggunakan anti retroviral yang tidak memakai golongan protease inhibitors maupun NNRTIs, yaitu memakai NRTIs saja. 2

Pembedahan pada limfadenitis TB saat ini tidak perlu lagi, karena dengan kemoterapi bisa mengobati penyakit ini. Satu-satunya alasan untuk melakukan pembedahan adalah bila diagnosanya sangat meragukan. Untuk alasan kosmetik, pembedahan bisa dipertimbangkan, tetapi dilakukan minimal setelah 1 atau 2 minggu dimulainya pengobatan. 2

Walaupun pengobatan penderita TB aktif merupakan prioritas utama dalam pemberantasan penyait TB, pencegahan TB pada penderita HIV juga perlu dilakukan, terutama penderita HIV yang juga mengidap infeksi laten dengan


(50)

kuman TB. Untuk itu biasanya digunakan INH setiap hari selama 9-12 bulan dengan dosis minimal 270 dosis. 2

2.6. Kerangka Konsepsional

HIV/AIDS

Penurunan Kadar CD4: Kadar CD4 < 200 Kadar CD4 201-350 Kadar CD4 351-500

Infeksi Oportunistik

Limfadenitis Tuberkulosis dengan HIV/AIDS

Bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik

Sitologi:

- Sel epiteloid - Giant Cell

- Material Nekrotik - Limfosit


(51)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Sentra Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara bekerja sama dengan Rumah Sakit Haji Medan, rumah sakit swasta dan laboratorium Patologi Anatomi swasta di Medan.

3.1.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan September 2009 sampai dengan Oktober 2010 yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, penelitian dan penulisan hasil penelitian.

3.2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian berupa analitik dengan pendekatan secara cross sectional. Pengamatan, pemeriksaan dan pengukuran dilakukan secara bersamaan, yaitu dilakukan satu kali pengamatan tanpa perlakuan. Pengambilan sampel dengan metoda non random sampling dengan teknik consecutive sampling.


(52)

2.4. Kerangka Operasional

2.5. Subjek Penelitian 3.4.1. Populasi

Penderita limfadenitis tuberkulosis dengan HIV/AIDS yang ada di kota Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Penderita HIV/AIDS dengan Limfadenopati

servikalis

Eksklusi:

- Data CD4 > 3 bulan sebelum biopsi - Penderita tidak

kooperatif Penderita HIV/AIDS

Dengan Limfadenitis TB

- Bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik

granular eosinofilik

- Gambaran klasik limfadenitis TB

Pewarnaan MGG Pewarnaan ab905

FNAB


(53)

3.4.2. Sampel

Sampel adalah penderita limfadenitis tuberkulosis yang disertai HIV/AIDS yang dilakukan biopsi aspirasi di instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit Haji Medan, rumah sakit swasta dan praktek swasta perorangan.

3.5. Jumlah Sampel

Besar sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus di bawah ini :

Dimana :

n= besar sampel

Z α= nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan pada α = 0,05 maka Z α = 1,960

Z ß = nilai baku normal dari tabel Z yang nilainya tergantung pada nilai ß yang ditentukan untuk ß 0,15 maka Zß = 1,036

α = tingkat keyakinan

Po = proporsi penderita TB dengan HIV/AIDS sebelumnya, nilainya adalah 4%, dalam angka desimal adalah 0,04

Qo = 1- Po = 1- 0,04 = 0,96

n = {Zα √ Po . Qo + Zß √ Pa . Qa}2 ( Pa – Po )2


(54)

Pa = proporsi penderita TB dengan HIV/AIDS sekarang, nilainya adalah 13%, dalam angka desimal 0,13

Qa = 1 – Pa = 1 – 0,13 = 0,87

Pa – Po adalah selisih proporsi yang diinginkan oleh peneliti, diambil nilainya adalah 15 %, dalam angka desimal adalah 0,15

n = {1,96√(0,04) (0,96) + 1,036 √ (0,13) (0,87)}2 (0,15)2

n = 0,53636699 = 23,8385 ≈ 24 0,0225

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 24 orang.

3.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.6.1. Kriteria Inklusi:

Kriteria Inklusi :

a. Penderita limdadenitis TB dengan HIV/AIDS. b. Bersedia ikut dalam penelitian.

3.6.2. Kriteria Eksklusi:

Kriteria Ekslusi:

a. Penderita yang tidak kooperatif.

b. Data CD4 > 3 bulan sebelum dilakukan biopsi aspirasi.


(55)

• Variabel bebas adalah kadar CD4.

Variasi tergantung adalah gambaran bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik.

3.8. Definisi Operasional

1. Penderita limfadenitis TB adalah individu yang didiagnosa dengan limfadenitis TB berdasarkan pemeriksaan sitopatologi dengan pewarnaan imunositokimia ab905 pada sediaan aspirat biopsi aspirasi dari limfadenopati servikalis penderita HIV/AIDS.

2. Penderita HIV/AIDS adalah individu yang didiagnosa sebagai penderita HIV/AIDS berdasarkan pemeriksaan standar yang dilakukan di Posyansus RSUP H. Adam Malik Medan atau rumah sakit lain yang memiliki fasilitas pemeriksaan HIV/AIDS.

3. Kadar CD4 adalah jumlah CD4 dalam tubuh penderita HIV/AIDS yang merupakan hasil pemeriksaan CD4 dalam kurun waktu 3 bulan.

4. Gambaran bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik adalah gambaran pada sediaan biopsi aspirasi pada limfadenitis servikalis yang menunjukkan sel-sel radang atau sel-sel lain yang mengalami lisis oleh karena proses karyorhexis, hampir tidak mengandung sel dan biasanya dapat ditemukan serabut fibrin. Dalam material nekrotik ini terdapat bercak-bercak yang berwarna gelap. Warna bercak-bercak ini tampak kontras dengan latar belakang


(56)

material nekrotik yang berbentuk granular eosinofilik. Densitas pada pusat bercak lebih kuat dan semakin memudar ke arah tepi.

5. Imunositokimia (immunocytochemistry = ICC) adalah suatu pemeriksaan laboratorium praktis yang menggunakan antibodi sebagai target reseptor antigen.

6. Mycobacterium Tuberculosis Antibody (ab905) adalah heat-shock protein yang merupakan sekelompok protein dimana ekspresinya meningkat bila sel-sel terpapar dengan temperatur tinggi.

7. Hasil pulasan imunositokimia ab905 adalah tampilan pulasan warna coklat pada sel epiteloid, material nekrotik , giant cells maupun pada dark specks yang dinyatakan dengan:

a. Negatif (-): bila tidak berhasil menampilkan warna coklat, dimana pada saat proses yang sama kontrol (+) menampilkan warna coklat dengan pewarnaan kromogen DAB.

b. Posiif (+): bila terdapat tampilan pulasan warna coklat pada, sel epiteloid, material nekrotik, giant cells maupun pada Dark specks dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x pada 5 lokasi lapangan pandang dan pada saat yang sama kontrol (+) juga menampilkan warna yang sama.

8. Kriteria diagnostik limfadenitis TB klasik yang mungkin dapat ditemukan pada sediaan biopsi aspirasi dalam penelitian ini meliputi: a. Sel radang limfosit


(57)

c. Multinucleated giant cell tipe foreign body atau tipe Langhans d. Material nekrotik

9. Biopsi aspirasi jarum halus adalah suatu teknik pengambilan sediaan pada benjolan yang teraba pada saat melakukan palpasi, dengan menggunakan dengan menggunakan alat pistolet dan spuit 3 cc.

10. Kelenjar getah bening adalah suatu jaringan yang berperan penting dalam mengatur mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur limfatik.

3.9. Analisa Data

1. Untuk melihat hubungan gambaran bercak-bercak gelap (dark specks)

pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik pada penderita limfadenitis tuberkulosis yang disertai HIV/AIDS dengan kadar CD4 di- gunakan Exact Fisher Test.

2. Untuk melihat gambaran klasik limfadenitis TB pada biopsi aspirasi data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dan dilakukan analisis.

3.10. Prosedur dan Tehnik Pelaksanaan

3.10.1. Lokasi Pengambilan Sampel Sitologi

Lokasi pengambilan sampel sitologi adalah lesi pada leher yang dapat diraba.


(58)

1. Jarum Halus

Jarum disposible terbuat dari plastik, berukuran 23-22 gauge (0,6 - 0,7 mm) yang merupakan jarum halus dengan panjang 30-50 mm.

3. Tabung suntik

Tabung suntik terbuat dari plastik (disposible syringe) berukuran 3 ml, rigid dan mampu menghasilkan tekanan negatif ataupun ruangan di dalam tabung suntik.

3. Pemegang tabung suntik

Alat pemegang tabung suntik/pistolet Comeco Swedia, terbuat dari metal dengan design sedemikian rupa sehingga tabung suntik melekat erat pada pemegang tersebut.

4. Peralatan lainnya

Alat tambahan terdiri dari kaca obyek, bahan fiksatif alkohol 70-90%, disenfektan alkohol, kapas dan plester penutup tempat insersi jarum.

3.10.3. Prosedur dan Pengambilan Sediaan Sitologi

1. Nodul atau lesi difiksasi diantara jari tangan, sambil kulit di atasnya direnggangkan. Pada posisi piston jarum dibagian distal, jarum diinsersikan ke dalam material tumor.


(59)

2. Apabila jarum sudah berada didalam material tumor, piston ditarik kearah proksimal dan tekanan didalam tabung menjadi negatif.

3. Pada posisi tersebut diatas, jarum digerakan maju mundur, sehingga aspirat yang mengandung sejulah sel tumor masuk kedalam lumen jarum atau tabung suntik.

Menurut Thompson, dengan gerakan maju mundur dari ujung jarum, terjadi selective sampling yang merupakan mekanisme biopsi aspirasi untuk memperoleh sediaan aspirat yang representatif. Tetapi apabila sediaan masih kurang representatif, biosi aspirasi dapat diulang pada bagian lainnya (multiple hole). Pada waktu melakukan aspirasi, muara jarum (needle hub) harus diamati. Apabila aspirat sudah kelihatan pada muara jarum, pegangan piston dilepaskan untuk dikeluarkan. 4. Sebelum jarum suntik dikeluarkan, piston di dalam tabung

suntik dikembalikan ketempat semula dengan melepaskan pegangan piston, sehingga tekanan didalam tabung kembali seperti semula. Tujuannya untuk mencegah masuknya aspirat yang berad diluar dicabut, yang dapat mengacaukan pemeriksaan sitologi aspirat tumor.

5. Untuk mengeluarkan aspirat, jarum dibebaskan dari jarum suntik, piston ditarik kearah proksimal kemudian jarum disatukan kembali dengan tabung. Tekanan didalam tabung


(60)

menjadi positif. Lalu ujung jarum diletakkna diatas kaca obyek, piston didorong dan aspiat diletakkan diatas kaca obyek, dibuat sediaan apus dan difiksasi dengan alkohol.

6. Dalam membuat sediaan apus, tekanan pada tangan tidak boleh terlalu pelan, karena akan menghasilkan sediaan apus yang terlalu tebal sehingga sulit untuk diwarnai. Tekanan juga tidak boleh terlalu kuat karena akan menyebabkan sebagian besar dari populasi sel mengalami distorsi dan sulit diinterprestasikan.

3.10.4. Prosedur Pewarnaan Sitologi dengan Diff-Quik Stain

1. Celupkan sediaan ke dalam larutan fiksatif selama 5 detik(5 kali celup masing-masing satu detik). Kelebihannya

biarkan mengalir.

2. Celupkan sediaan kedalam larutan I selama 5 detik (5 kali celup masing-masing 1 detik). Kelebihannya biarkan mengalir.

3. Celupkan sediaan kedalam larutan II selama 5 detik (5 kalai celup masing masing satu detik). Kelebihannya biarkan mengalir.

4. Cuci sediaan dengan air destilasi atau air diionisasi. 5. Keringkan dan siap untuk dibaca.


(61)

3.10.5. Prosedur Pewarnaan Immunositokimia ab905 pada Sediaan Hapus

1. Buat sediaan hapus, fiksasi dalam metanol absolut. 2. Cuci dalam air mengalir selama 5 menit.

3. Bloking endogen peroksida (metanol + H2O2) selama 30 menit 4. Cuci dalam air mengalir selama 5 menit.

5. Cuci dalam PBS pH 7,4 sebanyak 3x, masing-masing selama 5 menit.

6. Tandai populasi sel dengan Pap pen.

7. Teteskan antibodi primer ab905 dengan pengenceran 1: 500, diamkan selama 1 jam.

8. Cuci dengan PBS pH 7,4 selama 5 menit atau sampai bersih. 9. Teteskan envision plus, diamkan selama 30-40 menit.

10. Cuci dengan PBs pH 7,4 + Twin 20 menit atau sampai bersih. 11. Teteskan kromogen DAB, diamkan selama 10 menit.

12. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit.

13. Counterstain dengan Hematoxylin Mayers selama 5-10 menit. 14. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit.

15. Masukan ke dalam larutan litium karbonat jenuh (5% dalam akuades).

16. Birukan dalam air mengalir.

17. Dehidrasi (alkohol 80%, alkohol 96%, alkohol absolut, alkohol absolut) masing-masing selama 5 menit.


(62)

18. Clearing ( xylol I, xylol II, xylol III) masing-masing selama 5 menit.

19. Mounting, tutup dengan entelan. 20. Sediaan siap untuk di baca.

3.11. Alat dan Bahan Penelitian

3.11.1. Alat-alat Penelitian

Alat-alat yng diperluakan untuk penelitian ini adalah staining jar, rak object glass, rak inkubasi, pap pen, pipet mikro, timbangan bahan kimia, kertas saring, pengukur waktu, gelas Erlemeyer, gelas beker, tabung sentrufuge 15 ml, microwave, spin master, object glass, kaca penutup, entelan dan mikroskop cahaya.

3.11.2. Bahan Penelitian

Diff-Quik Stain Larutan Diff-Quik Stain. Larutan fiksatif

- Tryarylmethane dye, 100% PDC

- Methyl alcohol, dalam konsentrasi 0,002 g/liter Larutan I

- Xanthene dye, 100% PDC - Buffer


(63)

Larutan II

- Thiazine dye mixture, 100% - Buffer, dalam konsentrasi 1,25 %

Penelitian ini menggunakan EnVision + Dual Link System-HRP (DAB+) 284 dari Dako Cytomation, terdiri dari:

• 1 x 15 mL : Dual Endogenous Enzyme Block.

• 1 x 15 mL : Labelled Polymer-HRP.

• 1 x 18 mL : DAB + Substrate Buffer.

• 1 x 1 mL : DAB + Cromogen

• Antibodi ab905 Larutan PBS pH 7,4

- Natrium Klorida / NaCl : 80 gram - Kalium klorida : 2 gram - Na2HPO4 : 11 gram - KH2PO4 : 2 gram - Tambahkan akuades add: 1 liter Larutan litium karbonas

50 gram litium karbonas add akuades 1000 ml Larutan Tris HCL buffer (0,05 M pH 7,6) - NaCl : 8,765 gram

- Tris : 6,1gram (Tris-hydoxy Methylamino Methane) - HCL pekat : 3 cc dan tambahkan akuades 1 liter


(64)

Larutan TRIS EDTA (0,01 M 9) - Tris : 2,422 gram - EDTA : 0,744 gram - Tambahkan akuades 1 ilter


(65)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Pada penelitian ini dibutuhkan 24 sampel yaitu penderita limfadenitis tuberkulosis yang disertai HIV/AIDS yang dilakukan tindakan biopsi aspirasi jarum halus di Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan selama bulan Nopember 2009 hingga September 2010. Hasil penelitian tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram sebagai berikut:

4.1.1 Karakteristik Penderita

Diagram 4.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, dijumpai penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan, yaitu: laki-laki 20 orang (83,3%) dan perempuan 4 orang (16,7%).

4

2 0

JENIS KELAMIN PENDERITA

PEREMPUAN LAKI-LAKI


(1)

23.Mycobacterium tuberculosis. 2007 [cited on 2009, October 28]. Available download from: http://www/microbiologybyte.com

24.Matee M, Mtei L, Lounasvaara T, Wieland-Alter W, Waddell R, Lyimo J et al. Sputum microscopy for the diagnosa of HIV-assosiated pulmonary tuberculosis in Tanzania. BMC Public Health; 2008(8): 6-8.

25.Smith R, Yew K, Berkowitz KA, Aranda CP. Factor affecting the yield of acid-fast sputum smears in patients with HIV and tuberculosis. Chest. 1994; 106: 684-86.

26.Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Acquired immune

deficiency syndrome in Robbins basic pathology. Philadelphia; Saunders Elsevier; 2007(8): 155-65.

27.HIV & TB-The Dual Epidemic. 2007 [cited on 2009, September 18]. Available download from:

http://www.cipladoc.com/publicacion/aidswatch/hivtb.htm#reference 28.Chandrasoma P, Taylor CR. Acquired immune deficiency syndrome. In:

Concise pathology. USA; Appleton & Lange; 2001(3): 98-103.

29.Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS). In: Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.

Philadelphia; Elsevier Saunders; 2005(7): 245-58.

30.World Health Organization (WHO). TB/HIV, a clinical manual; 2004(2). 31.Rubin E, Strayer DS. Farber, Human immunodeficiency virus and

acquired Immunodeficiency syndrome. In: Rubin’s Pathology: Clinicopathologyc Fondation of Medicine. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 1999(5): 131-36.

32.Fishman JA. HIV infection and opportunistic pulmonary infections in AIDS. In: Elian JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM eds, Fisman’s Pulmonary Disease and Disorder. USA; McGraw-Hill; 1998(3): 2103-15.

33.Isa M. Imunopatologi tuberkulosis. Dalam: Isa M, Sofyani A, Juwono O, Budiyarti LY eds. Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Samarinda; Pusat Studi Tuberkulosis FK Universitas Lambung Mangkurat/RSUD Ulin; 2003: 29-37.

34.Mitchell RN, Kumar V. Penyakit imunitas. Dalam: Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins Buku Ajar Patologi, Vol.1. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007(7): 164-77.


(2)

35.Pilot project for TB-HIV co-ordination, Pune. TB-HIV training manual for medical officer. Developed by State TB Control Society in colaboration with Avert Society; 2007.

36.Orlando Regional Healthcare, Education & Development, HIV/AIDS self learning packet. 2005 [cited 0n 2009, September 18]. Available download from: http://www.cdc.gov/pub/brochur.htm

37.Ministry of Health Government of Pakistan, Clinical management of HIV/AIDS The National Guidelines. Joint UN Programme on HIV/AIDS National Institute of Health (UNAIDS) Pakistan, 2001.

38.Update in Tuberculosis. 2008 [cited on 2009, October 17]. Available download from: http://www.redorbit.com/news/health/424108 39.Iyengar KR, Basu D. Negative images in the fine needle aspiration

cytologic diagnosa of mycobacterial infection. Malaysian J Pathol 2001; 23(2): 89-92.

40.Goel MM, Budhwar P. Species-Specific Immunocytochemical Localization of Mycobacterium tuberculosis Complex in Fine Needle Aspirates of Tuberculous Lymphadenitis Using Antibody to 38 kDa Immunodominant Protein Antigen. Acta Cytologica. The Journal of Clinical Cytology and Cytopathology, July-August 2008(52;4): 424-33. 41.Guideline for Management of TB in HIV infected. 2007 [cited on 2009,

October 17]. Available download from: http://www.ourjeet.com/general1/guideasp#


(3)

62 Lampiran 2

FOTO-FOTO SAMPEL

Keterangan Gambar:

A. Tampilan negatif dengan pewarnaan immunositokimia ab905 B. Tampilan positif lemah dengan pewarnaan immunositokimia ab905 C. Tampilan Positif sedang dengan pewarnaan immunositokimia ab905 D. Tampilan positif kuat dengan pewarnaan immunositokimia ab905

yang dengan pewarnaan MGG tampak sebagai dark specks

A B


(4)

63 Lampiran 3


(5)

64 Lampiran 4

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( “INFORMED CONCENT” )

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ………..

Umur : ……… Tahun Jenis Kelamin : ………..

Alamat : ………...………..

Selaku pasien / keluarga terdekat pasien (ayah / ibu / istri / suami / anak / lain-lain sebutkan: ……….……..) dari pasien:

Nama : ………..

Umur : ……… Tahun Jenis Kelamin : ………..

Alamat : ………...………..

Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan Saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini. Bila Saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut saya akan bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.

Medan, .../.../ 2009

Peneliti, Peserta Penelitian,


(6)

TABEL INDUK

NO N A M A NO SEDIAAN SEX UMUR CD 4 SITOLOGI D. SPECKS ISC ab905 KETERANGAN

1 Meinardi A/2707/09 1 32 26 4 0 3

2 Nuraida A/5699/09 2 26 249 3 0 0

3 Robi Sembiring A/5390/09 1 27 13 4 0 3

4 Fredy A/5399/09 1 39 180 3 0 1

5 Hitler A/5861/09 1 25 18 3 1 3

6 Afriandi A/5865/09 1 25 180 2 0 3

7 Andi Tarigan A/5955/09 1 49 25 3 1 1

8 Wilianto A/6089/09 1 25 75 3 0 0

9 Eka Tarigan A/6197/09 1 31 10 3 0 3

10 Wulandari A/82/10 2 22 760 2 0 0

11 Heny Pustika A/164/10 2 23 215 3 0 1

12 Jimmi Sutanto A/169/10 1 21 88 3 0 3

13 Selamat A/179/10 1 23 8 3 1 3

14 Ahmad Irfan A/221/10 1 25 21 3 0 3

15 Choky Nainggolan A/812/10 1 20 87 3 0 0

16 Sulaiman A/1298/10 1 27 179 2 0 2

17 Andi Sembiring A/1767/10 1 27 199 4 0 2

18 Pujiwati A/2190/10 2 23 117 3 0 0

19 Barington Lumbanbatu A/2189/10 1 24 73 3 1 3

20 Apridan A/2621/10 1 38 64 3 0 3

21 Aprilla Panggabean A/2559/10 1 24 42 3 0 2

22 Bangkit A/2863/10 1 30 342 3 0 1

23 Pindo Lubis A/2785/10 1 26 233 3 0 0

24 Dedi A/3245/10 1 25 231 4 0 2

KETERANGAN:

Sex: Sitologi: Dark Specks: ISC ab905:

1: Laki-laki 1. Giant Cell, Epiteloid, Nekrotik, Limfosit 0: Positif 0: Negatif 2. Perempuan 2. Epiteloid, Nekrotik, Limfosit 1: Negatif 1: (+) Lemah

3. Nekrotik, Limfosit 2: (+) Sedang