Maslahah Mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang

71 dalam bidang masing-masing yang akan mengembangkan wakaf. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf di atur syarat-syarat nazhir baik yang berbentuk perseorangan, organisasi atau badan hukum pada pasal 10 Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf 7 . Untuk lebih jelasnya, persyaratan nadzhir wakaf itu dapat diungkapkan sebagai berikut: 8 a. Syarat moral Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun perundang-undangan Negara RI Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf Tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual b. Syarat manajemen Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership Visioner Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual social dan pemberdayaan 7 Untuk lebih jelasnya lihat Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 10. 8 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia, h.52. 72 Professional dalam bidang pengelolaan harta Ada masa bakti nazhir Memiliki program kerja yang jelas c. Syarat Bisnis Mempunyai keinginan Mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan Punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur Dari persyaratan yang telah di kemukakan di atas menunjukkan bahwa nazhir menempati pada pos yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf, dan dengan dipenuhinya syarat-syarat yang di sebutkan di atas diharapkan nazhir wakaf yang selama ini tradisional mengarah pada nazhir professional yang direkrut berdasarkan keahlian dalam bidang masing-masing. 9 2. Adanya 2dua orang saksi wakaf dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf. Disamping nazhir wakaf, hal yang tidak banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh adalah mengenai masalah pentingnya saksi dalam wakaf dan pencatatan wakaf. Boleh jadi pertimbangan para ulama, memandang wakaf adalah ibadah tabarru’derma, yang tidak perlu disaksikan oleh orang banyak. Mengenai masalah pencatatan wakaf tidakbelum mendapat perhatian para 9 Ibid., h.53. 73 ulama fiqh terdahulu ini dapat dipahami karena problema hukum waktu itu tidak seperti kenyataan pada saat ini. 10 Kebiasaan masyarakat Indonesia sebelum adanya UU No. 5 tahun 1960, PP No. 28 tahun 1977, KHI buku III, dan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, dalam ikrar wakaf hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagaman yang bersifat lokal, umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafiiyah sebagaimana mereka mengikuti mazhabnya, menurut pandangan as-Syafi’i pernyataan lisan secara jelas sharih termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang sah, pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu, habastu atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang di barengi dengan niat wakaf secara tegas, sedang ulama fiqh yang lainnya tidak mensyaratkan pernyataan wakaf secara lisan. Namun dari pandangan as-Syafi’i tersebut kemudian ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja, namun bukan berarti orang yang hendak mewakafkan hartanya dengan tulisan wakafnya tidak syah justtru pernyataan tulisan mewakafkan sesuatu bisa menjadi bukti yang kuat bahwa si wakif telah melakukan wakafnya. 11 10 Didin Najmudin, Tinjauan Kaidah fiqhiyyah tentang konsep maslahat dalam Kompilasi hukum Islam di IndonesiaSkripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 200, h.74-75. 11 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia, h.38-39. 74 Dalam konteks kehidupan saat ini, suatu tindakan hukum seperti wakaf, apabila tidak dibuktikan dengan surat-surat atau akta otentik, akan membuka peluang yang lebih besar untuk disalah gunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, sudah seharusnya wakif memperhatikan upaya-upaya tertib hukum dan administrasi dalam rangka lebih mengoptimalkan niat dan pelaksanaan wakaf itu sendiri yang sudah diatur dalam Undang-Undang wakaf no. 41 tahun 2004 pada pasal 17 dan 21. Urgensi saksi ini, pada hakekatnya untuk mengatantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak yang terkait dalam masalah wakaf. 3. Peruntukan harta benda wakaf. Secara garis umum, pihak yang menerima wakaf adalah kebajikan umum dan tidak ditentukan secara lebih jelas oleh nash, begitu pula halnya dengan peruntukan harta wakaf, namun wakaf itu sendiri harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan oleh syariat. 12 Dalam kitab fiqih terdahulu tidak ada aturan mengenai peruntukan harta wakaf, harta wakaf hanya ditujukan untuk kebajikan. Pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk sarana ibadah seperti masjid, musholla, sekolah, ponpes, yatim piatu, makam dan sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi 12 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.58. 75 pihak-pihak yang memerlukan khususnya kaum fakir miskin. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal tersebut tanpa diimbangi dengan wakaf yang dikelola secara produktif, maka kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf, tidak akan dapat terealisasi dengan optimal, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf mengenai peruntukan harta wakaf. 13 Dapat terlihat dengan jelas dalam Undang-Undang ini bahwasanya peruntukan harta wakaf tidak hanya terbatas untuk sarana kegiatan ibadah saja, tetapi juga untuk yang lainnya, wakaf juga bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial untuk dikembangkan selama bisa dikelola secara optimal. Karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian sebagai penopang hidup dan harga diri bangsa. 14 4. Berkembangnya bentuk benda yang dapat diwakafkan, bolehnya wakaf uang dan sertifikat wakaf tunai, berbicara mengenai benda yang di wakafkan. Dalam prakteknya wakaf pada sebagian besar umat Islam baru terbatas pada perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan konsumtif, seperti tanah yang diperguanakan untuk bangunan 13 UU Wakaf No. 41 tahun 2004, pasal 22. 14 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,h.3. 76 masjid, tempat pendidikan, rumah sakit, dan lain-lain atau hasil tanah itu untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut. 15 Mereka mempunyai pendirian yang kuat bahwa benda wakaf itu haruslah benda yang tidak habis pakai, yang kekal abadi tidak hancur. Mereka berpendirian seperti itu karena sebagian besar umat Islam Indonesia berpegang pada mazhab Syafi’i, walaupun Ulama’ Syafi’iyah pada dasarnya memperbolehkan wakaf berupa benda bergerak dan tidak bergerak asal tidak cepat habis hancur jika digunakan. 16 Namun seiring dengan berkembangnya zaman saat ini sedang berkembang wacana wakaf bergerak, seperti wakaf uang, logam mulia, saham atau surat-surat berharga lainnya, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai ketentuan syariah, seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf. 17 Pada saat ini, obyek wakaf, baik itu berupa wakaf benda tetap atau benda tak tetap, sudah saatnya untuk lebih diberdayakan agar lebih produktif, misalnya wakaf yang berupa tanah atau rumah diberdayakan untuk disewakan, wakaf hewan untuk diternakkan, dan wakaf uang untuk modal investasi, sehingga diharapkan kelaknya dapat menciptakan kemaslahatan umat yang lebih luas jika disertai pengelolaan nazhir yang profesional. Hasilnya untuk dana 15 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.102. 16 Abu Zahra, Ushul Fiqh I, h.104. 17 UU Wakaf No. 41 tahun 2004, pasal 16 yat 1,2 dan 3 77 pembangunan seperti untuk pembangunan jalan-jalan, selokan, tempat ibadah, memajukan dunia pendidikan, dan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat. 18 Subtansi wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul, bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revatilisasi fiqh muamalah dalam perspektif maqâsid al-syarî’ah filosofi dan tujuan syarit yang dalam pandangan Umar Capra bermuara pada maslahah mursalah kemaslahatan universal termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan. 19 Wakaf dalam bentuk uang di kalangan ahli fiqih klasik merupakan persoalan ikhtilaf masih diperdebatkan. Perdebatan ini tidak terlepas dari kebiasaan yang lazim ditengah masyarakat. Ketika itu wakaf hanya menyangkut hartabenda yang tetap saja. Ibn Abidin 1994 mengungkapkan, berdasarkan kebiasaan yang lazim, sebahagian ulama masa silam merasa aneh saat mendengar Muhammad bin Abdullah al-Anshari berfatwa tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang tunai baik dalam bentuk dinar atau dirham. Bahkan dalam bentuk komiditas yang ditimbang atau ditakar seperti bahan sandang dan bahan pangan juga boleh diwakafkan. Lebih lanjut al-Anshari 18 Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporerkajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http:nurkholis77.staff.uii.ac.idantisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika- kontemporer 19 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.112. 78 menambahkan dana wakaf itu diinvestasikan dengan cara mudhârabah, dan labanya dishadaqahkan. Sedangkan komoditas dijual, dan harga penjualan yang diperoleh diinvestasikan dan hasilnya dishadaqahkan. 20 Disamping itu Ibnu Qudamah tt, menemukan pendapat yang tidak membuka peluang sama sekali untuk berwakaf dalam bentuk uang. Ibnu Qudamah mengemukakan, sebahagian besar ulama yang tidak membolehkan wakaf uang beralasan bahwa uang akan lenyap ketika dibayarkan. Sehingga tidak ada lagi wujud asli wakaf tersebut. Ibnu Qudamah juga mendapati alasan lain tidak dibolehkannya wakaf uang. Beliau mengemukakan dengan mempersewakan uang untuk ditarik manfaatnya sama halnya dengan merubah fungsi utama uang sebagai alat tukar. Sama pula halnya mewakafkan pohon untuk jemuran, padahal fungsi utama pohon bukan untuk tempat menjemur pakaian. 21 Mengenai kebolehan wakaf dalam bentuk uang ini diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah 2000 dalam karyanya berjudul Majmu’ al Fatawa. Ibnu Taimiyah mendapati ada satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang secara tegas membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Pendapat serupa ditemukan oleh Imam Bukhari 1994. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri wafat 124 H, salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al- 20 Suharwardi K Lubis, Wacana Wakaf Produktif dan Wakaf Uang. Artikel di akses pada 20 januari 2010 dari http:suhrawardilubis.multiply.comjournalitem19, h.1 21 Ibid., h.2 79 Hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha modal produktif kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham” 22 . Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI 2002 dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Anwar Ibrahim menjelaskan bahwa MUI Pusat telah mengesahkan wakaf uang berdasarkan keputusan Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002. dalam fatwanya dikemukakan bahwa wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum, dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Hukum wakaf dengan uang itu dibolehkan jaiz asalkan nilai pokok wakaf uang itu 22 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h.108- 109 80 tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan dan penggunaannya harus untuk hal-hal yang dibolehkan oleh syara’. 23 Selanjutnya dalam kaitan ini, bahkan M. Anwar Ibrahim lebih menekankan pemberdayaan wakaf dengan uang, karena manfaatnya lebih besar dari pada wakaf tradisional yang berupa benda tak bergerak atau benda bergerak. Di samping itu, wakaf dengan uang lebih banyak dapat dilakukan. Jika wakaf uang dapat dikelola secara profesional oleh nazhir sebagai lembaga pengelola wakaf, maka akan menjadi modal usaha yang besar. 24 Dengan demikian diaturnya benda wakaf bergerak seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 15-16 dan pengaturan wakaf uang pada pasal 28-31, diharapkan bisa menggerakkan seluruh potensi wakaf untuk kesejahteraan masyarakat luas. 5. Sertifikasi tanah wakaf pendaftaran tanah wakaf, pada mulanya syariat Islam tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pendaftaran tanah wakaf. Begitu juga dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, belum adanya aturan pemerintah untuk pendaftaran tanah wakaf. 23 Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporerkajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http:nurkholis77.staff.uii.ac.idantisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika- kontemporer 24 Sebagaimana dikutip Barmawi Mukri dari Tabloid Jumat yang terbit tanggal 4 April 2003, hlm. 4 dalam “Peranan Maslahah Mursalah dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia”, Jurnal UNISIA, No. 48XXVIII2003. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, h.208. 81 Sebelum adanya peraturan peundang-undang wakaf, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan secara sepihak oleh nazhirnya, hal ini disebabkan karena adanya beraneka ragam bentuk perwakafan, 25 dan tidak adanya keharusan mendaftarkan harta kepada pemerintah. Selain itu dalam kondisi dimana nilai dan penggunaan tanah semakin besar dan meningkat, maka tanah wakaf yang tidak memiliki surat-surat dan tidak jelas secara hukum, sering mengundang kerawanan dan peluang terjadinya penyimpangan dan hakikat dari tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran agama. 26 Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan zaman yang kian pesat dan atas dasar pertimbangan kemaslahatan, maka hukum perwakafan di Indonesia menuntut keharusan pendaftaran tanah wakaf. sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 32-39 , Pendaftaran tanah wakaf ini bertujuan untuk mewujudkan ketertiban administrasi perwakafan sehingga tanah-tanah wakaf tersebut memiliki status hukum yang jelas dan dapat menjadi bukti otentik yang bisa menguatkan secara adminstratif hukum apabila terjadi sengketa dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Pendaftaran tanah wakaf sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya praktik wakaf, karena untuk menjaga sesuatu yang tidak diinginkan 25 Beraneka ragam bentuk perwakafan yang dimaksud adalah:wakaf keluarga, dan wakaf umum. 26 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.90-91. 82 dikemudian hari, yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak yang bersengketa. 27 6. Perubahan status tanah wakaf, dalam hal ini pertukaran benda wakaf, mengenai boleh tidaknya pertukaran benda wakaf terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh” menukar harta wakaf yang terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian dari mereka ada yang “boleh” asal diganti dengan benda tak bergerak lainnya jika dirasakan bahwa benda itu sudah tidak bermanfaat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak, golongan Malikiyah “membolehkan”, sebab dengan adanya pertukaran maka benda wakaf itu tidaka akan sia-sia. 28 Imam Syafi’i berpendapat “tidak boleh” menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Tapi golongan Syafi’iyah berbeda pendapat tentang benda wakaf benda tak bergerak yang tidak memberikan manfaat sama sekali: sebagian menyatakan “boleh” ditukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya, dan sebagian lain menolaknya. 29 Sementara itu kalangan mazhab Hanbali memperbolehkan penukaran harta wakaf dalam kondisi yang sangat diperlukan. Yakni apabila hasil harta wakaf itu telah berkurang dan ada kemungkinan untuk ditukarkan dengan yang lain 27 Ibid., h.92. 28 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h.67. 29 Ibid .,h.67-68. 83 yang lebih bermanfaat dan produktif, tetapi tetap tidak boleh dijual. Dalam kondisi lain, mereka membolehkan menjual masjid yang tidak memenuhi kapasitas jumlah jamaah, sudah hancur, tidak dipergunakan lagi dan hasil penjualannya dipergunakan untuk membangun masjid yang lain yang lebih baik. 30 Sedangkan mazhab Hanafi memperbolehkan penukaran harta wakaf. Pendapat Imam Malik beserta pendukungnya dan Imam Syafi’i, nampaknya menyebabkan kurang fleksibelnya pandangan masyarakat Indonesia yang sampai saat ini banyak yang bersikukuh memeganginya. Akibatnya, banyak benda wakaf yang hanya dijaga eksistensinya tanpa pengelolaan yan baik, meskipun telah usang dimakan usia atau karena tidak strategis dan tidak memberi manfaat apa-apa kepada masyarakat. 31 Padahal kalau kita mau meninjau ulang terhadap maksud hadits Nabi s.a.w yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari ibn Umar bahwa “harta wakaf tidak boleh dijual atau ditukarkan, dihibbahkan dan diwariskan kepada orang lain ahli waris” adalah agar bagaimana harta yang telah disedekahkan diwakafkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan masyarakat banyak. Seperti pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang membolehkan menukar atau menjual harta wakaf yang sudah tidak memilki nilai manfaat. Sehingga memberikan peluang terhadap 30 Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, h.149-150 31 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,h.68 84 pemahaman baru, bahwa wakaf itu seharusnya lebih tepat disandarkan pada aspek kemanfaatannya untuk kebajikan umum dibandingkan hanya menjaga benda-benda tersebut tanpa memiliki kemanfaatan lebih nyata. 32 Mengamati sejumlah pendapat diatas, pada prinsipnya para ulama sependapat bahwa harta wakaf itu boleh ditukar atau di jual jika keadaan menghendakinya, hanya saja di antara mereka ada yang membatasi secara ketat yakni Imam Malik beserta pendukungnya dan juga kalangan Syafi’iyah, dan ulama yang membatasi secara longgar yaitu mazhab Hanbali, sedangkan kalangan Hanafiyah memberikan kelonggaran secara luas. 33 Menurut PP No. 28 Tahun 1977 Bab IV Bagian Pertama, Pasal 11 ayat 2 dan ditegaskan lagi dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari Mentri Agama RI dengan dua alasan yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan demi kepentingan umum. Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukar menukar. 34 Dan pada dasarnya kebolehan penukaran wakaf ini didasarkan pada prinsip kemaslahatan maslahah yaitu meninggalkan ketentuan sunnah yang 32 Ibid.,h.68-69. 33 Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, h.150-151. 34 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesi, h.99-100. 85 menegaskan larangan menjual, atau menukarkan, menghibahkan atau mewariskan, dan pengamalan prinsip-prinsip umum maqâsid al-syarî’ah yakni memperbolehkan menjual barang wakaf untuk kepentingan yang lain lebih manfaat, dan sesuai dengan situasi yang ada. At-Tuhfi dalam teori maslahahnya menegaskan bahwa, apabila nash atau ijma bertentangan dengan kepentingan masyarakat maslahah maka didahulukan maslahah dengan cara takhsis nash tersebut pengkhususan hukum dan bayan perincian dan penjelasan. 35 7. Lahirnya Lembaga Wakaf Indonesia BWI, jika selama ini wakaf hanya di kelola oleh nazhir baik perseorang atau badan hukum, kali ini pemerintah dalam hal ini yang tertuang dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 Wakaf, membuat suatu inovasi membentuk lembaga wakaf nasional yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia BWI yang telah diatur dalam Undang- Undang ini dari pasal 47-61. BWI yang diamanatkan Undang-Undang merupakan lembaga independen, yang akan berkedudukan di ibukota dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan atau kabupatenkota sesuai dengan kebutuhan. 36 Pembentukan BWI bertujuan untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan secara nasional untuk membina para Nazhir yang sudah ada agar lebih profesional, mengelola sendiri harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, 35 Hasbi, Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, h.151-152. 36 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia.h. 97. 86 dan promosi program yang diadakan oleh BWI dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam dan masyarakat. Sehingga BWI kelak akan menduduki peran kunci, selain Nazhir wakaf yang telah ada, dalam pengembangan wakaf di tanah air. 37 Dari kesemua reformulasi konsep wakaf, pengembangan dan pembaharuan yang telah dilakukan bukan berarti keluar dari koridor dan frame syariat. Reformulasi yang demikian kalau mengutip pendapatnya Tahir Mahmood disebut sebagai refurmulasi kategori extra doctrinal reform, yakni melakukan pengembangan dan pembaharuan hukum Islam yang beranjak dari fiqh Mazhab dengan mengutamakan prinsip al-maslahah al-mursalah kemaslahatan dan siyasah syar’iyah investasi negara. 38

C. Analisis Penulis

Salah satu poin dari keistimewaan hukum Islam adalah bahwa hukum Islam itu diterapkan berdasarkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun diakhirat. Penalaran ijtihad yang menggunakan corak maslahah mursalah atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui dan juga tidak di tolak keberadaannya ini banyak terjadi dalam masyarakat, sehingga seorang mujtahid dituntut untuk menyelesaikan persoalan sebagai upaya pengembangan hukum. Maslahah mursalah diakui jika berkaitan dengan maqâsid syarî’ah seperti syarat yang ditetapkan oleh imam al-Ghazali, bahwa harus ada kesesuaian antara keduanya, 37 Ibid., h.104-105 38 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, New Delhi: The Indian Law Institute, 1972. h. 267-269 lihat juga M. Atho Muadzar dan Khairuddin Nasution ed, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.h.208 87 dan maslahah itu harus logis dan bertujuan menghilangkan kesulitan umat manusia. Masyarakat berkembang selalui mengikuti perubahan zaman, karena itu untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat, Islam datang membawa ajaran dan prinsip dasar yang bisa ditafsirkan dan dikembangkan, agar hukum Islam mampu merespon dan memelihara kemaslahatan hidup masyarakat yang menjadi tujuan syariat Islam. Sebaliknya jika ajaran dan prinsip itu tidak bisa dikembangkan dan ditafsirkan pada perkembangan masyarakat, maka hukum Islam akan terkesan statis. Wakaf diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi, bukan taabbûdi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain. Oleh karenanya, ketika suatu hukum ajaran Islam yang masuk dalam wilayah ijtihâdi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik berorientasi pada masa depan. Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah. Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, terdapat banyak paradigma baru mengenai wakaf yang didasarkan kepada kemaslahatan, yang 88 mungkin dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur mengenai peraturannya dikarenakan belum berkembangnya, aspek wakaf itu sendiri. Sebagaimana telah disebutkan diawal pembahasan bab ini pada dasarnya hadirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf itu sendiri merupakan penerapan dari maslahah mursalah, oleh karena itu penulis ingin mencoba membahas beberapa kandungan maslahah mursalah dalam UU Wakaf ini yang didasarkan atas asas maslahah kemaslahatan. Adanya persyaratan nazhir. Seperti telah disebutkan sebelumnya nazhir wakaf merupakan pos yang sangat sentral dalam pengelolaan harta wakaf. oleh karena itu dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf hal tersebut diatur dan diperketat dengan persyaratan nazhir yang tercantum pada pasal 10 tentang Nazhir. Menurut penulis adanya nazhir serta persyaratannya merupakan ijtihâd ulama indonesia yang berlandaskan maslahah mursalah karena memang tidak terdapat dalam nash secara ekplisit yang mengatur hal tersebut. Sama halnya dengan persyaratan nadzir tidak ada nash atau hadits yang mengatur mengenai masalah pentingnya adanya 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf, serta tidak banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh. Namun Islam juga tidak melarang adanya peraturan tersebut, dalam Undang-Undang Wakaf ini diatur pada pasal 17 ayat 1 dan 2 dan pada pasal 21. Adanya aturan tersebut berlandaskan atas prinsip kemaslahatan, dan pada hakekatnya agar mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari 89 yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak yang terkait dalam wakaf. sehingga terjadinya tertib hukum dan administrasi dalam perwakafan Tidak jauh berbeda dengan syarat 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf Sertifikasi tanah wakaf, atau pendaftaran tanah wakaf dalam kitab-kitab fiqh terdahulu belum diatur. Kemungkinan besar, para ulama’ pada saat itu belum menganggap pendaftaran tanah wakaf itu penting dan bermanfaat. Di sisi lain, pendaftaran tanah wakaf tidak dilarang dalam Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban administrasi dan, kepastian hukum dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari yang pada gilirannya dapat merugikan semua pihak yang terkait dalam wakaf Dalam hal syarat 2 orang saksi dalam ikrar wakaf dan pencatatan ikrar wakaf, penulis berpendapat ini merupakan ijtihâd ulama agar terjadinya tertib hukum dalam perwakafan berlandaskan maslahah mursalah karena memang tidak terdapat dalam nash secara ekplisit yang mengatur hal tersebut. Peruntukan harta wakaf, berkembangnya objek wakaf membawa dampak pula bagi peruntukan harta wakaf, pada dasarnya tidak ada aturan secara jelas dalam fiqh tentang peruntukan harta wakaf, sebagaimana telah diuraikan pada point sebelumnya, dalam fiqh peruntukan harta wakaf selama untuk kebajikan dan tidak keluar dari koridor syariat Islam itu dibolehkan, akan tetapi karena objek wakaf dulu yang terkesan hanya berupa tanah atau bangunan benda tidak bergerak maka peruntukan harta wakaf hanya bisa digunakan untuk sarana