Kedudukan tanah wakaf yang di daftarkan sebelum diberikan uu no.41 Tahun 2004 tentang wakaf

(1)

( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh AHMAD PATONI NIM: 104044101387

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431/2010 M


(2)

(3)

munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Progranm Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.

Jakarta, 31 Agustus 2010-09-21

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM NIP. 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP.19500306 197603 1 001

Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (...) NIP.19720224 199803 1 003

Pembimbing : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (...)

NIP.150050917

Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP.19500306 197603 1 001

Penguji II : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (...) NIP.19550505 198203 1 012


(4)

(Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh Ahmad Patoni NIM:104044101387

Di Bawah Bimbingan

Prof.Dr.H.Hasanudin AF, MA NIP: 1 5 0 0 5 0 9 1 7

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431/2010 M


(5)

Oleh :

RAHMAT HIDAYAT NIM : 203046101755

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A

Nomor : Istimewa Jakarta, 06 januari


(6)

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI………... i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI………... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… .. 7

D. Metode Penelitian dan tehnik penulisan……….. .. 8

E. Sistematika Penulisan………... . 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Wakaf………. .. 12

B. Dasar hukum wakaf……….... 20

C. Rukun dan Syarat wakaf………. ... 27

D. Tujuan dan Hikmah Wakaf………. ... 33

BAB III GAMBARAN UMUM PONPES DAAR EL-HIKAM A. Sejarah Berdirinya……….. 34

B. Tujuan, Visi, dan Misi……….... 38

C. Struktur Yayasan……….... 40


(8)

BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM TAHUN 2004

A. Kondisi dan Situasi Perwakafan Tanah di Indonesia …... . 43 B. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan UU No. 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf ……….. . 50 C. Kedudukan Tanah Wakaf Yang didaftarkan Sebelum Tahun

2004……….... 61 D. Analisa Penulis………... 67 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………. 75

B. Saran-Saran……… .... . 77 DAFTAR PUSTAKA


(9)

PENGHIMPUNAN DAN PEMBERDAYAAN WAKAF UANG

TUNAI MODEL DOMPET DHUAFA REPUBLIKA SEBELUM

DAN SESUDAH BERLAKU UU NO.41 TAHUN 2004 TENTANG

WAKAF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SYAIFUL AMRI NIM: 106044101442

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431/2010


(10)

PENGHIMPUNAN DAN PEMBERDAYAAN WAKAF UANG

TUNAI MODEL DOMPET DHUAFA REPUBLIKA SEBELUM

DAN SESUDAH BERLAKU UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG

WAKAF

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi PersyaratanMemperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Syaiful Amri NIM : 106044101442 Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505 198203 1 012

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431/2010


(11)

A. Pendahuluan

Allah SWT menurunkan Agama Islam ke Dunia ini melalui rasulnya yang mulia yaitu Muhammad SAW, sebagai Agama yang rahmatan lil alamin, dalam artian islam berlaku bagi seluruh alam tak terkecuali manusia itu sendiri yang notabene telah Allah jadikan sebagai khalifah fil ardh.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, sudah barang tentu menyentuh seluruh dimensi-dimensi kehidupan manusia yang sangat kompleks. Islam juga mengatur aspek-aspek kehidupan manusia yang kadang manusia itu sendiri tidak memahaminya bahwa aspek tesebut sangat penting bagi manusia itu sendiri. Dari urusan-urusan yang bernilai kecil sampai yang bernilai besar, dari urusan bangun tidur hingga ingin tidur kembali, semuanya diatur oleh islam. Pokoknya tiada satu hal pun yang terabaikan dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak diatur oleh Islam. Makanya tidak bertentangan dengan fakta dan logika, jika Islam adalah agama yang sempurna, kaffah, dan agama paripurna bagi agama sebelumnya.

Sebagai agama yang mengatur urusan dunia dan akhirat sudah pastinya semua perbuatan itu tak terlepas dari perbuatan yang bernilai ibadah, baik itu ibadah yang bersifat mahdhoh ataupun yang bersifat ghoiru mahdhoh. Atau dengan kata lain ibadah yang bersifat vertikal, antara si hamba dengan penciptanya, yang dalam


(12)

terminologi islam biasa disebut dengan hablum minallah, Maupun ibadah yang bersifat horizontal yaitu antara si hamba dengan sesama mahluk ciptaan sang Khalik.

Berbicara mengenai ibadah, maka sudah pastinya ibadah tersebut mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap keadaan. Dengan demikian seseorang akan mencapai derajat tertinggi di akhirat. Sedangkan tujuan tambahan ibadah adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik.1

Seperti dijelaskan diatas dalam agama Islam ada ibadah yang berimplikasi personal dan ada juga ibadah yang berimplikasi sosial, ibadah yang tergolong berimplikasi personal seperti, shalat, dzikir, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah yang berimplikasi sosial diantaranya adalah wakaf, dan ibadah yang terakhir ini implikasinya adalah jika kita melakukannya, selain untuk kemaslahatan personal orang yang melakukannya juga berimplikasi bagi kemaslahatan masyarakat yang menerima dan membutuhkannya dan pesan sosialnya jelas terasa.

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah wakaf. Wakaf merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum islam, ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ilahiyah ubudiyah, Ia juga berfungsi sosial kemasyarakatan, ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan

1


(13)

seseorang yang mantap dan rasa sosialitas yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “ hablum minallah wa hablum minannas”, hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama manusia.2

Berbicara mengenai wakaf, banyak sekali term atau definisi tentang wakaf yang diungkapkan oleh para ulama, Undang-undang, baik yang terdapat dalam kitab klasik, kontemporer, maupun buku[buku. Dalam kitab hasyiyah baijuri, wakaf arti wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan), Sedangkan secara istilah adalah menahan harta yang tertentu, yang menerima pemindahan dimana memungkinkan pengambilan manfaat dari harta tersebut.yang mana harta itu tetap utuh dan tidak berkurang sedikitpun dan adanya kepastian mendayagunakan harta itu pada jalan kebaikan karena semata-mata beribadah kepada Allah SWT.3

Sedang dalam kitab fathul mu’in definisi wakaf diartikan secara lughoh atau bahasa adalah menahan, sedang secara istilah adalah menahan harta yang memungkinkan pengambilan manfaat dan hartanya tetap utuh dengan kepastian mendayagunakan atas pendayagunaan yang dibolehkan.4

2

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press.2005) hal 3

3

Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, (Semarang Toha Putra) hal.42

4

Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in (Daar Ihya al-Kutub al- Arabiyyah, Indonesia) hal.87


(14)

Dalam perkembangan selanjutnya praktek wakaf yang dilakukan di Indonesia masih sangat bersifat tradisionalis, ini bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat muslim indonesia yang dalam berwakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini wakaf, masih menggunakan tradisi lisan, yang mana atas dasar saling kepercayaan semata kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif. Dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat, apalagi mengambilnya tanpa seijin Allah SWT. Tradisi wakaf tersebut memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan perwakafan di indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak, bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain. 5

Dalam masalah perwakafan banyak sekali ditemui kasus-kasus sengketa tanah wakaf, baik itu sengketa intern maupun ekstern. Misalnya dalam sengketa intern adalah karena adanya suatu kepentingan ahli waris si wakif menarik kembali tanah yang telah di wakafkan. Sehingga menimbulkan sengketa antara ahli waris dengan pihak pengelola yaitu nazhir. Kalau kita fahami mengapa kasus-kasus seperti diatas banyak terjadi, benang merahnya adalah karena ketiadaan sertifikat wakaf, sehingga

5

Paradigma baru wakaf di Indonesia, ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam: 2006 ) hal 98.


(15)

pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melihat ini sebagai sebuah peluang untuk merebut tanah wakaf yang belum atau tidak mempunyai sertifikat wakaf.

Berbicara mengenai sertifikat wakaf sudah tentunya takkan terlepas dari peraturan perundang undangan yang mengaturnya, di indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur tentang masalah wakaf, baik berbentuk PP, Inpres dan UU bermula dari PP no.7 tahun 1977, Inpres no.21 tahun 1991 dan yang terbaru UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya Undang-undang yang baru tersebut semakin memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf. Tersebab adanya jaminan kepastian hukum karena ada UU yang memayunginya. Yang jadi permasalahan sekarang adalah bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf ? mungkin untuk tanah wakaf yang didaftarkan sesudah berlakunya UU ini tak jadi masalah, apakah masih terikat dengan peraturan lama, atau mengikut pada UU yang baru? apakah UU yang baru dalam hal ini UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf mengakomodasi permasalahan ini?

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, penulis berpikir sungguh sangat menarik mengkaji masalah ini lebih lanjut ke dalam sebuah penelitian dan menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul: “KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF ( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat )


(16)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti, batasan masalah ini berguna untuk identifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian.

Selanjutnya dalam penelitian ini, mengingat objek yang akan diteliti cakupannya sangat luas, maka penulis memberi batasan hanya pada kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersirat pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya. Perumusan masalah merupakan identifikasi dari masalah dan pembatasan masalah, dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti yang didasarkan atas identifikasi masalah dan pembatasan masalah.

Yang menjadi permasalahan disini adalah dalam UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dinyatakan bahwa tanah wakaf yang dilakukan sebelum berlakunya UU ini dinyatakan sah sebagai tanah wakaf dengan catatan harus didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 tahun sejak UU ini diundangkan, dalam kenyataannya ponpes Daar el-Hikam sudah lebih dari 5 tahun sejak UU ini berlaku, tidak


(17)

melakukan ketentuan sebagaimana yang diharuskan dalam pasal 69 UU ini. Inilah yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini.

Selanjutnya untuk mempermudah dalam penyusunannya maka perlu dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini yang mana tertuang dalam pernyataan sebagai berikut

1. Bagaimana konsep wakaf dalam Islam ?

2. Bagaimana konsep hukum positip mengenai tanah wakaf ?

3. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum diberlakukan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf ?

4. Bagaimana sertifikasi tanah wakaf ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjelaskan konsep wakaf dalam Islam

2. Untuk menjelaskan konsep wakaf menurut hukum Positip

3. Untuk menjelaskan kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU tentang wakaf

4. untuk mengetahui sertifikasi tanah wakaf

Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis memberikan pemahaman tentang ilmu yang telah didapatkan kepada masyarakat khususnya tentang keperdataan Islam.


(18)

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam masalah perwakafan di Indonesia.

3. Secara praktis diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan wawasan dan pengertian tentang konsep tanah wakaf dan tanah wakaf yang kembali disengketakan serta prosedur sertifikasi tanah wakaf.

4. Melengkapi khazanah keilmuan tentang Wakaf. D. Metode penelitian dan Tehnik Penulisan

1. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis metode deskriptif, sebuah metode untuk mengungkapkan masalah dengan cara memaparkan atau menggambarkan situasi atau peristiwa dari penelitian. 2. Subjek dan Objek Penelitian

Adapun yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf sedangkan objek dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Daar el- Hikam Pondok Ranji Ciputat

3. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan menggunakan data yang terdiri dari :


(19)

a. Primer

Adalah data lapangan yang didapat dari sumber utama, misalnya hasil wawancara, dan pengamatan. Dalam data primer ini penulis melakukan sendiri pengamatan di lapangan.

b. Data Sekunder

Adalah data yang berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Seperti Al-quran, Hadits, kitab-kitab klasik atau kontemporer, Undang-undang, PP, Inpres, Buku-buku, dan bahan-bahan informasi lainnya yang memiliki relevensi atau kaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam tehnik pengumpulan data dengan cara field research ini penulis menggunakan 3 instrumen pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data di mana peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala subjek yang diteliti.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses dalam mencari keterangan untuk tujuan penelitian dengan jalan tanya jawab secara tatap muka antara penanya dan nara sumber, yang mana dengan wawancara tersebut dapat memberikan informasi yang akurat sehubungan dengan topik penelitian.


(20)

c. Dokumentasi

Agar data-data yang telah penulis peroleh menjadi lengkap, penulis melakukan penelitian dokumentasi dengan jalan meneliti berbagai macam literatur yang terkait baik itu berupa Dokumen-dokumen tentang wakaf, buku, UU dan lain sebagainya.

5. Tehnik Analisa Data

Untuk mengolah data yang telah diperoleh penulis menggunakan metode deskriptif analaisis, yaitu dimana penulis mendekripsikan semua data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan untuk kemudian dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang selanjutnya disajikan dalam sebuah laporan ilmiah.


(21)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Membahas tentang landasan teori mengenai wakaf yang meliputi : dasar hukum wakaf, rukun dan syarat wakaf, tujuan dan hikmah wakaf.

BAB III PROFIL PONPES DAAR EL HIKAM

Membahas tentang gambaran umum Ponpes Daar el-Hikam, yang menyangkut : Sejarah berdirinya, tujuan, visi, dan misi, struktur ponpes, dan program kegiatan.

BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM TAHUN 2004

Membahas mengenai: kondisi dan situasi perwakafan tanah Indonesia, tanah wakaf yang tanpa sertifikat menurut hukum Islam dan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan tahun 2004, dan analisa.

BAB V PENUTUP

Merupakan bab akhir dari skripsi ini yang berupa kesimpulan dan Saran-saran.


(22)

BAB II

A. Pengertian Wakaf

Berbicara mengenai wakaf banyak sekali term atau definisi yang membahas, mengungkap, mengupas mengenai wakaf baik secara terminologis (bahasa) ataupun secara etimologis (istilah). Baik itu yang terdapat dalam kitab-kitab klasik, kontemporer, buku-buku terjemahan dan lain sebagainya. Berikut ini akan dijelaskan pengertian wakaf menurut Fikih dan Undang-undang yang berlaku.

1. Pengertian Wakaf Menurut Fikih a. Wakaf Secara Bahasa

Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu-waqfan yang berarti

berhenti, berdiri, mencegah, atau menahan.1 Sedangkan wakaf dalam bahasa arab

berarti ”al-habsu” yan berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan yang berarti

menahan atau memenjarakan. Kemudian berkembang menjadi “habbasa” yang

berarti mewakafkan harta karena Allah.2

Hal yang serupa dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang mana mengartikan wakaf dengan al-habsu yang berarti menahan.3 Pengertian yang sama juga bisa kita dapatkan dalam kitab klasik atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning di mana di

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 ) cet. Ke 25, hal. 1576

2

Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 25

3

Sayyid Sabiq, Fiqhu Al-Sunnah, ( Daar al-Kitab al-Arabi, tanpa tahun ) juz 2, hal. 515


(23)

katakana wakaf artinya al-habsu yang berarti menahan, sebagaimana yang dikatakan

dalam hasyiyah Al-Baijuri wakaf diartikan dengan al-habsu yang berarti menahan.4

Hal senada juga diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili dimana kata waqaf dan tahbis

adalah mempunyai makna yang satu yaitu menahan 5

Kalau kita perhatikan dari uraian diatas kata waqafa identik dengan kata

habasa, hal ini dikarenakan para ahli fikih dalam mengartikan wakaf secara

terminologi mereka menggunakan dua kata yaitu habas dan waqaf.6 Dalam kamus al-wasith dikatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan

al- imsak ( menahan ), hal yang senada juga diungkapkan oleh Az-Zubaidi dalam

kamus Taj Al-Arus sebagaimana dikutip oleh DR. Mundzir Qahaf dimana kata Al-

habsu artinya al- man’u dan al-imsak yang berarti menahan. 7

Kesimpulannya baik kata al-habsu maupun al-waqfu sama sama mengandung

makna al-imsak ( menahan ), al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan at-tamakkust

( diam ). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Sedangkan dikatakan menahan

4

Syaikh Ibrahim Al- Baajuri, Hasyiyah Al-Baijuri, (Semarang : Toha Putra, tanpa tahun) hal. 42

5

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7599

6

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta : Khalifa, 2004 ) hal. 44

7


(24)

karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut.8

b. Wakaf Secara Istilah

Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum). Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan perbedaan mazhab yang mereka anut. Ketika mendefinisikan wakaf para ulama merujuk kepada para imam mazhab. Seperti Abu Hanifah, Syafi’i, Malik, Ahmad, dan para imam-imam lainnya.9

Definisi wakaf yang dibuat oleh para ahli fikih pada umumnya memasukkan syarat-syarat wakaf sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Al-Minawi misalnya

mendefinisikan wakaf dengan “menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan

manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiaannya yang berasal

dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata

karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”. 10

Sementara itu Al-Kabisi mendefiniskan wakaf dengan “menahan benda

dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang

miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya“.

8

Ibid. hal. 45

9

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 53

10

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta : Khalifa, 2004 ) hal. 46


(25)

Dari dua definisi diatas Al-Minawi yang bermazhab Syafi’i dalam definisinya

mempertegas makna “keabadian” sebagimana dalam mazhab Syafi’i. sedangkan

Al-Kabisi yang bermazhab Hanafi mempertegas makna “masih berlanjutnya kepemilikan

wakif ”, sebagaimana pendapat yang dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah.11

Sementara menurut pendapat mazhab Maliki menyebutkan wakaf adalah

“memberikan manfaat sesuatu ketika sesuatu itu ada dan bersifat lazim dalam

kepemilikan pemberinya meskipun hanya bersifat simbolis”.12

Menurut Muhammad ibn Ismail as-san’aniy wakaf adalah menahan harta yang

mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya)

dan digunakan untuk kebaikan.13

Beberapa istilah wakaf menurut istilah yang diuraikan oleh para imam mazhab.

1. Menurut Mazhab Syafi’i

Para ulama mazhab syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi, sebagai berikut :

a. Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I, mendefinisikan wakaf dengan :

menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

11

Ibid. hal. 47

12

. Ibid. hal. 48

13

Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Editor Hasan M.Noer dan Musyafa-Ullah, ( Jakarta : Permadani, 2004 ) cet. Ke 1, hal. 127


(26)

b. Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli Al-Kabir mendefinikan wakaf dengan : Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal-hal yang dibolehkan.

c. Ibn Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah mendefinisikannya dengan :

menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal yang di bolehkan.

d. Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi mendefinisikannya dengan : Menahan harta

untuk dimanfaatkan dalam hal yang dibolehkan, dengan menjaga keutuhan harta tersebut.14

2. Menurut mazhab Hanafi

a. Imam Al-Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan : Menahan harta dari jangkauan ( kepemilikan )orang lain.

b. Al-Murghinani memberikan definisi wakaf menurut imam Abu Hanifah Sebagai berikut : Menahan harta dibawah tangan pemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai sedekah.

14

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 41


(27)

c. Sedang alauddin Al-Ashfaqy, pengarang kitab Al-Dur Al-Mukhtar wakaf adalah : penahanan harta dengan memberikan legalitas hukum milik pada si wakif dan mendermakan manfaat harta tersebut meskipun tidak terperinci.

3. Menurut Mazhab Maliki

Menurut mazhab Maliki wakaf adalah penahanan benda wakaf dari penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan. Dengan kata lain wakaf tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si wakif namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya terhadap harta tersebut. misalnya menjual harta wakaf tersebut.15

4. Menurut Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah

Ulama Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf sebagai berikut:

a. Menurut ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah, wakaf adalah menahan

yang asal dan memberikan hasilnya.16

b. Syamsudin Al-Maqdisy dari kalangan Hanabilah juga mendefinisikan wakaf

dengan menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.17

15

Depag, Fiqih Wakaf, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006 )cet ke.4, hal. 2

16

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al- Muqni, ( Daar ‘Aalim Al-Kutub ) Juz ke 6, hal. 361

17

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 59


(28)

c. Al-Muhaqiq Al-Huly dari kalangan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf dengan akad yang hasilnya adalah menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.18 2. Pengertian wakaf menurut hukum Positif Indonesia

Ada beberapa pengertian tentang wakaf yang dirumuskan oleh hukum positif yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, baik itu berupa UU, PP, maupun Kompilasi hukum islam atau KHI.

a. Menurut PP No. 28 tahun 1977 pasal 1 (1)

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.19

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI )

Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.20

18

Ibid, hal. 59

19

Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 26

20

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 2007 ) cet.ke 1, hal. 165


(29)

c. Menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna kepentingan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.21 Kalau kita cermati dari pengertian-pengertian mengenai wakaf yang diuraikan oleh hukum positif Indonesia yang mengatur masalah wakaf khususnya, sepertinya redaksional dari pengertian wakaf itu tidak jauh berbeda, baik itu yang ada di PP, Inpres, KHI, maupun UU no.41 tahun 2004 itu sendiri, baik itu dari segi makna dan tujuan dari wakaf itu sendiri.

Hal ini terjadi dikarenakan sumber pengambilan rujukan mengenai wakaf memang berasal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama mazhab, dan memang semua peraturan mengenai perwakafan yang ada di Indonesia sumber pengambilan rujukannya bersumber dari hukum Islam yang terpetakan dalam berbagai mazhab fikih.

Dapat disimpulkan dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang sama yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda itu masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh di jual, di wariskan, di hibahkan.

21

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 150


(30)

B. Dasar Hukum Wakaf

Berbicara mengenai dalil atau dasar hukum tentang wakaf memang tidak ada nash al-Qur’an yang secara tersurat di temui di dalam al-Qur’an .Hal ini bisa diteliti dari tidak adanya satupun ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung kata “ wakaf “ Karena dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Qur’an dan juga as-Sunnah.22

Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama disyariatkannya ajaran ini adalah lebih dipahami berdasarkan konteks ayat al-Qur’an,

sebagai sebuah amal kebajikan.23 Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang

dipahami dan dijadikan hujjah mengenai penetapan dan pensyariatan dalam ibadah wakaf ini, ayat-ayat tersebut tidak khusus membahas mengenai masalah wakaf, melainkan dapat mencakup masalah wakaf, begitu menurut kebanyakan para ulama. Ayat-ayat yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana berikut :

“Wahai orang-orang yang beriman ruku dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung”(QS: al-Hajj:77)

22

Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 59

23


(31)

Selanjutnya dalam surat Ali-Imran ayat 92 :

“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS: Ali-Imran:92)

Kata (al-birr) pada mulanya adalah keluasan dalam kebajikan. Dan dari akar

kata yang sama daratan dinamai dengan al-barr, karena luasnya. Dan karena luasnya,

kebajikan mencakup segala bidang, termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah, dan tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah SWT sebagaimana dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177.24

Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang contoh kebajikan sempurna antara lain berupa kesediaan memberikan/mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain. Dimana seseorang tidak akan sampai pada kebaikan amal dari Allah SWT dengan memperoleh rahmat, karunia dan ridhoNya sebelum memberikan harta yang terbaik dan yang paling ia cintai yaitu dengan jalan mewakafkan sebagian harta yang

dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan.25

24

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ) hal. 152

25

Syekh Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, ( Bandung: CV Rosda Karya, 1987 ) juz 3, hal. 275


(32)

Selanjutnya Allah SWT juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261 dan 267 sebagai berikut :

☺⌧

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui “ (QS: Al-Baqarah :261)

☺ ☺

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS: Al-Baqarah: 267)


(33)

Selain ayat-ayat al-Qur’an, dalil mengenai pensyariatan ibadah wakaf juga terdapat dalam beberapa hadis nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Wahbah Zuhaili mengatakan dalam kitabnya bahwa ada dua hadis yang dijadikan sebagai dasar pensyariatan wakaf, yaitu hadis umar yang terdahulu, “jika kau kehendaki tahanlah olehmu asalnya dan sedekahkan olehmu hasilnya dan sabda Nabi “jika meninggal anak adam maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. 26

Berikut redaksional dari hadis yang dimaksud :

ﷲا

ﻰﱠﺻ

ﷲا

لﻮ ر

ﱠنأ

،

ﷲا

ﻰﺿر

ةﺮ ﺮه

ﺑأ

لﺎ

ﱠ و

:

اذإ

ثﺎ ﺛ

ﱠﻻإ

ﻄ إ

مدﺁ

ﺑا

ت

:

ﺔ ﺪﺻ

ﻮ ﺪ

ﺢ ﺎﺻ

ﺪ ووأ

، ﺑ

وأ

،ﺔ رﺎﺟ

)

اور

(

27

“ Dari Abu hurairah ra,. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “ Apabila anak adam (manusia) meningal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim).

Dalam kitab Nailul Authar di jelaskan bahwa maksud dari shadaqah jariyah tersebut adalah apa yang dikenal saat ini dengan nama wakaf, dan ibnu hajar berkata dalam fathul bari bahwa hadis umar ini adalah asal mula disyariatkannya wakaf.28

26

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr: 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7603

27

Al-Hafidz ibnu Hajar al-‘Asqalani, Buluughul Maraam fii Adillatil Ahkam, ( Maktabah Daar Ihya al-Kutub )tt, hadis ke 951, hal. 191

28

Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-hadis Hukum, Penerjemah Mu’ammal Hamidi, Imran A.M, Umar Fanani, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001) Jilid ke 5, cet ke 3, hal. 2004


(34)

Sedangkan dalam kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, dijelaskan bahwa shadaqah jariyah adalah rumah, kebun, tanah, atu apa saja yang dapat digunakan oleh manusia sebagai wakaf, inilah yang dinamakan shadaqah jariyah, shadaqah yang berjalan terus menerus oleh sebab ini adalah amalnya sendiri maka ia mendapat ganjarannya selama benda yang ia wakafkan itu masih ada.29

Selain hadis diatas ada hadis yang secara tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang berada di khaibar. 30

لﺎ

ﷲا

ﺿر

ﺑا

:

ﱠ ا

ﺮ ﺨﺑ

ﺎًﺿرأ

بﺎﺻأ

ﱠنا

ﱠ و

ﷲا

ﱠﻰ ﺻ

لﺎ

ﺎﻬ

ﺮ ﺄ

:

ﺎًﺿرأ

ﺻا

إ

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

ﺮ ﺄ

ىﺪ

ﻔ أ

ﱞﻂ

ﻻﺎ

ﺻأ

ﺮ ﺨﺑ

:

ﷲا

لﻮ ر

ﱠﺪ و

ﺎﻬ ﺻأ

ﺌﺷ

نإ

،

ﱠ و

ﷲا

ﱠﻰ ﺻ

ﺎﻬﺑ

قﱠﺪ

ﺎﻬﺑ

لﺎ

،

ثرﻮ

ﻻو

هﻮ

ﻻو

عﺎ

ﺎﻬﱠأ

:

ءاﺮ ﻔ ا

ﺎﻬﺑ

قﱠﺪ و

حﺎ ﺟ

ﱠ او

،

ﱠ ا

ﺑاو

ﷲا

و

بﺎ ﺮ او

ﻰﺑﺮ ا

يوذو

نأ

ﺎﻬ و

لﻮ

ﺮ ﻏ

ﻄ و

فوﺮ ﺎﺑ

ﺎﻬ

آﺄ

)

اور

(

31

Artinya :

“Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Umar Khattab mendapat bagian sebidang kebun di khaibar. Lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta nasehat tentang harta itu. Ia berkata: “ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah

29

Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Bulughul Maram, terj. oleh A. Hassan, ( Bandung: CV Diponegoro, 2006 ) cet ke 27, hal. 411

30

Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 19

31


(35)

di khaibar yang belum aku pernah aku peroleh tanah seperti itu, apakah nasehat engkau kepadaku tentang tanah itu? Rasulullah menjawab : “jika kamu menginginkan, tahanlah aslinya dan shadakahkan hasilnya. Maka bershadakahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan dan menshadakahkan kepada orang-orang fakir;, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (Nazir) memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan asal tidak bermaksud mencari kekayaan”. (H.R Muslim)

Mengenai hukum wakaf ini, para sahabat sepakat bahwa hukum wakaf sangat dianjurkan dalam Islam dan tidak satu-pun diantara para sahabat yang menafikan wakaf. Sedangkan mengenai hukum wakaf menurut shahibul mazhab ( Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal ) tidak terdapat perbedaan yang signifikan.32

Menurut mereka kecuali ulama Hanafiyah, hukum wakaf adalah mandub (sunah) sedang menurut Ulama Hanafiyah hukum wakaf adalah mubah (boleh). Sebab wakaf dari non muslim pun hukumnya sah.

Semua Imam mazhab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan benda, yaitu menyedekahkan manfaat dari harta yang diwakafkan itu merupakan amal saleh yang institusinya terdapat dalam syariat islam. Mereka sependapat bahwa perbuatan itu mempunyai efek keagamaan, yaitu pahala yang terus menerus selama benda yang diwakafkan itu masih diambil manfaatnya (sebagai amal jariah). 33

42

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal.35

33

Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara dan Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, 1992 ) hal. 241


(36)

1. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Positif

Mengenai masalah wakaf, ada beberapa peraturan dan Undang-undang yang melandasi atau menjadi pijakan legal atas praktek wakaf yang terjadi di Indonesia. a. Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang wakaf

Dalam undang-undang ini dapat dijelaskan dalam beberapa substansi di bawah ini :

1. wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan / atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.

2. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan ketentuan ini merupakan paying hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh dicabut kembali atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alas an apapun.

3. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali

potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan ibadah serta untuk memajukan kesejahteraan umum.

b. Undang-undang pokok agraria (UUPA)

Dalam undang-undang pokok agrarian (UUPA) masalah perwakafan dapat diketahui pada pasal 5 dan pasal 14 ayat 91 dan pasal 49. dimana dalam pasal UUPA dinyatakan bahwa hokum adatlah yang menjadi dasar hokum agraria Indonesia, yaitu


(37)

hokum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan republic Indonesia yang disana-sini mengandung unsure agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.

Dalam rumusan pasal 14 UUPA terkandung perintah kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membuat skala prioritas penyedian, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibentuk oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya

Sedangkan dalam pasal 49 UUPA meyatakan bahwa hak milik tanah-tanah badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan social, diakuai dan dilindungi. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah dan pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnyadalam hokum aagraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.

c. Peraturan pemerintah no 28 tahun 1977

Maksud dikeluarkannya PP No 28 tahun 1977 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Sehingga berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat dikurangi.

C. Rukun dan Syarat Wakaf 1. Rukun Wakaf


(38)

Secara terminologi rukun adalah sisi yang terkuat, sedang secara etimologi

rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, dimana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri.34 Menurut Abu Hanifah yang dimaksud dengan rukun adalah bagian dari sesuatu yang mana sesuatu itu tidak akan

terealisasi kecuali dengan bagian itu.35 Sedangkan menurut Jumhur ulama yang

dimaksud dengan rukun adalah tidaklah sempurna sesuatu kecuali dengan sesuatu tersebut.36

Di dalam literature kitab-kitab fikih klasik, kita dapat menemukan bahwa rukun wakaf itu ada empat. Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Dimana rukun wakaf itu ada empat : 37

a. Wakif ( orang yang mewakafkan )

b. Mauquf bih ( harta yang diwakafkan )

c. Mauquf alaih ( pihak yang di beri wakaf / peruntukan wakaf )

d. Shighat ( ikrar wakaf )

Hal senada juga dikatakan oleh Rachmadi Usman dalam bukunya, dimana beliau mengatakan rukun atau unsu-unsur wakaf ada 4 yaitu

34

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 87

35

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7605

36

Ibid, hal. 7606

37

Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal. 21


(39)

a. adanya orng yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) (wakif)

b. adanya benda yang diwakafkan (maukuf bih) (sebagai objek wakaf)

c. adanya penerima wakaf (sebagai subjek wakaf) (nadzir)

d. adanya ‘aqad atau lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan

wakif kepada orang atau tempat berwakaf (si mauquf alaih)

Lebih lanjut lagi dikatakan dalam bukunya beliau, menurut jumhur, mazhab Syafii, Maliki, dan Hambali dikatakan bahwa rukun wakaf itu ada 4 sebagaimana disebutkan diatas.38

Di dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, pada pasal 6, disebutkan bahwa wakaf dapat dilaksanakan jika memenuhi unsur wakaf sebagai berikut : 39

a. Wakif

b. Nazhir

c. Harta benda wakaf

d. Ikrar wakaf

e. Peruntukan harta benda wakaf

f. Jangka waktu wakaf

Selain harus memenuhi rukun-rukun seperti yang disebutkan diatas, sahnya wakaf juga ditentukan oleh memenuhi syarat atau tidaknya rukun wakaf tersebut. Dalam UU wakaf yang baru, disebutkan syarat sahnya wakaf.

38

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal. 59

39

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 5


(40)

Dalam fikih dan UU positip yang berlaku di Indonesia khususnya yang mengatur tentang wakaf tidak ditemukan sesuatu yang bertentangan mengenai syarat-syarat wakaf hal ini dikarenakan sumber rujukan dari UU tersebut bersumber dari kitab-kitab fikih klasik karya para ulama terdahulu. Seperti dalam UU No.41 tahun 2004 yang mengatur tentang wakaf disebutkan secara terperinci mengenai syarat-syarat sahnya wakif sebagai berikut:40

1. Wakif

Didalam UU ini pada pasal 7 disebutkan bahwa wakif terdiri dari tiga bentuk:

a.) perseorangan

b.) organisasi

c.) badan hukum

Didalam kitab-kitab fikih klasik tidak dikenal wakif selain wakif perseorangan. Pada pasal 8 dijelaskan wakif peseorangan harus memiliki kriteria :

a.) dewasa

b.) berakal sehat

c.) tidak terhalang dalam melakukan pebuatan hukum

d.) pemilik sah harta benda wakaf

Syarat dalam UU tersebut sedikit berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab fikih klasik, dimana dalam UU tidak diharuskan wakif harus merdeka, sedangkan

40


(41)

syarat yang senada dengan kitab-kitab fikih klasik adalah seperti yang terdapat dalam buku fiqih wakaf terbitan Depag, dimana disebutkan syarat wakif itu ada empat : 41

a.) merdeka

b.) berakal sehat

c.) dewasa (baligh)

d.) tidak berada dalam pengampuan

2. Nazhir

Yang dimaksud dengan nazhir adalah pengelola wakaf yang dapat berbentuk

pengelola perseorangan, organisasi atau badan hukum.42 Mengenai nazhir

perseorangan dalam pasal 10 UU wakaf disebutkan harus memenuhi syarat sebagai berikut :43

a.) warga negara Indonesia

b.) beragama Islam

c.) dewasa

d.) amanah

e.) mampu secara rohani dan jasmani

f.) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

41

Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal . 22

42

CSRC UIN Jakarta dan Ford Foundation, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan (Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosal di Indonesia), ( Jakarta: CSRC UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, 2006 ) hal. 96

43

Departemen Agama RI, Peraraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 7


(42)

c. Harta Benda Wakaf

Dalam pasal 15 disebutkan harta benda wakaf dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai wakif secara sah. Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan harta benda wakaf terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak.44 Sedangkan dalam fikih dijelaskan syarat harta wakaf harus : 45

a.) harus mutaqawwam

b.) diketahui dengan yakin ketika diwakafkan (tidak ada sengketa)

c.) milik sempurna wakif

d.) terpisah, bukan milik bersama

d. Ikrar Wakaf

Ikrar dalam bahasa fikih dikenal dengan shighat, yaitu segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya.46 Dalam hal ini (wakaf) berarti keinginan atau kehendak mewakafkan sesuatu yang keluar dari si wakif. Status shighat sendiri termasu kedalam rukun wakaf.

Dalam UU wakaf, masalah ikrar diatur dalam pasal 17, dimana dinyatakan bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW dengan

44

Ibid, hal. 9

45

Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal. 27

46


(43)

disaksikan oleh dua orang saksi (ayat 1). Dalam ayat 2 dijelaskan ikrar bisa berupa lisan dan tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

e. Peruntukan Harta Benda Wakaf

Dalam pasal 22 UU wakaf tahun 2004 dijelaskan dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi dari wakaf itu sendiri, maka peruntukan harta benda wakaf hanya untuk : 47

a.) sarana dan kegiatan ibadah

b.) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

c.) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;

d.) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat

e.) kemajuan dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan

dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

D. TUJUAN DAN HIKMAH WAKAF

Setiap mukallaf yang melakkan suatu perbuatan pasti mempunyai tujuan dan maksud tertentu, begitu juga dengan wakaf, ia juga mempunya tujuan dan hikmah. Mengenai masalah tujuan dari wakaf telah dibahas dalam pasal 22 UU tentang wakaf.

Setiap perbuatan yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada mahluknya baik berupa perintah ataupun larangan, pasti mempunyai hikmah dan manfaat bagi kehidupan manusia khususnya bagi umat Islam. Ibadah wakaf yang tergolong pada

47

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 13


(44)

perbuatan sunnah ini banyak sekali hikmah yang terkandung di dalam ibadah wakaf ini, antara lain:48

a.) Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin

kelangsungannya, tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan, karena barang wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwairskan.

b.) pahala dan keuntungan akan tetap mengalir bagi si wakif, walaupu ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu ada dan masih bisa dimanfaatkan.

c.) penopang dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatnumat Islam, baik

aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya yang tidak bertentanan dengan syariat Islam.

d.) wakaf merupakan salah satu ssumber dana yang sangat penting manfaatnya

bagi kehidupan dan umat. Antara lain untuk pembangunan mental, spiritual, dan pembangunan dari segi fisik, selain itu selain mempunyai fungsi ibadah juga mempunyai fungsi sosial. Dimana diharapkan dengan wakaf jurang antara si miskin dan si kaya akan semakin menipis. 49

e.) selain itu wakaf juga mempunyai fungsi sosial yaitu wakaf merupakan aset

yang sangat bernilai bagi pembangunan sosial yang tidak memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi orang yang mewakafkan.

48

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Ciputat : Ciputat Press, 2005 ) hal. 40

49

Ibid, hal 41


(45)

f.) selain itu dengan dana wakaf dapat menyantuni fakir miskin dan dapat

dibangun berbagai lembaga-lembaga sosial, rumah-rumah sakit, dan panti-panti asuhan.50

50

Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006 ) hal. 80


(46)

A. Pendahuluan

Allah SWT menurunkan Agama Islam ke Dunia ini melalui rasulnya yang mulia yaitu Muhammad SAW, sebagai Agama yang rahmatan lil alamin, dalam artian islam berlaku bagi seluruh alam tak terkecuali manusia itu sendiri yang notabene telah Allah jadikan sebagai khalifah fil ardh.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, sudah barang tentu menyentuh seluruh dimensi-dimensi kehidupan manusia yang sangat kompleks. Islam juga mengatur aspek-aspek kehidupan manusia yang kadang manusia itu sendiri tidak memahaminya bahwa aspek tesebut sangat penting bagi manusia itu sendiri. Dari urusan-urusan yang bernilai kecil sampai yang bernilai besar, dari urusan bangun tidur hingga ingin tidur kembali, semuanya diatur oleh islam. Pokoknya tiada satu hal pun yang terabaikan dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak diatur oleh Islam. Makanya tidak bertentangan dengan fakta dan logika, jika Islam adalah agama yang sempurna, kaffah, dan agama paripurna bagi agama sebelumnya.

Sebagai agama yang mengatur urusan dunia dan akhirat sudah pastinya semua perbuatan itu tak terlepas dari perbuatan yang bernilai ibadah, baik itu ibadah yang bersifat mahdhoh ataupun yang bersifat ghoiru mahdhoh. Atau dengan kata lain ibadah yang bersifat vertikal, antara si hamba dengan penciptanya, yang dalam


(47)

tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap keadaan. Dengan demikian seseorang akan mencapai derajat tertinggi di akhirat. Sedangkan tujuan tambahan ibadah adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik.1

Seperti dijelaskan diatas dalam agama Islam ada ibadah yang berimplikasi personal dan ada juga ibadah yang berimplikasi sosial, ibadah yang tergolong berimplikasi personal seperti, shalat, dzikir, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah yang berimplikasi sosial diantaranya adalah wakaf, dan ibadah yang terakhir ini implikasinya adalah jika kita melakukannya, selain untuk kemaslahatan personal orang yang melakukannya juga berimplikasi bagi kemaslahatan masyarakat yang menerima dan membutuhkannya dan pesan sosialnya jelas terasa.

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah wakaf. Wakaf merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum islam, ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ilahiyah ubudiyah, Ia juga berfungsi sosial kemasyarakatan, ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan

1


(48)

manusia.2

Berbicara mengenai wakaf, banyak sekali term atau definisi tentang wakaf yang diungkapkan oleh para ulama, Undang-undang, baik yang terdapat dalam kitab klasik, kontemporer, maupun buku[buku. Dalam kitab hasyiyah baijuri, wakaf arti wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan), Sedangkan secara istilah adalah menahan harta yang tertentu, yang menerima pemindahan dimana memungkinkan pengambilan manfaat dari harta tersebut.yang mana harta itu tetap utuh dan tidak berkurang sedikitpun dan adanya kepastian mendayagunakan harta itu pada jalan kebaikan karena semata-mata beribadah kepada Allah SWT.3

Sedang dalam kitab fathul mu’in definisi wakaf diartikan secara lughoh atau bahasa adalah menahan, sedang secara istilah adalah menahan harta yang memungkinkan pengambilan manfaat dan hartanya tetap utuh dengan kepastian

mendayagunakan atas pendayagunaan yang dibolehkan.4

2

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press.2005) hal 3

3

Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, (Semarang Toha Putra) hal.42

4

Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in (Daar Ihya al-Kutub al- Arabiyyah, Indonesia) hal.87


(49)

ini berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah5 : a. Mazhab Hanafi

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif, dalam rangka mempergunakan manfaatnya guna untuk kebajikan. Berdasarkan definisi tersebut maka kepemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali bahkan menjualnya, dan jika si wakif meninggal dunia harta tersebut menjadi harta warisan untuk ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf adalah menyumbangkan manfaat, oleh karenanya mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf dengan:

adalah tidak melakukan tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial) baik sekarang ataupun akan datang.

b. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si wakif. Namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannyaatas harta tersebut kepada yang lain, dan wakif berkewajiban mnyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali manfaatnya.

5


(50)

tidak boleh melakukan apapun terhadap harta yang diwakafkan. Jika si wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisioleh ahli warisnya. Oleh karenya mazhab Syafii mendefinisikan wakaf dengan : tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan ( sosial ).

Kemudian dalam Undang-undang hukum positif di Indonesia ada beberapa peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah wakaf seperti :

a. PP no. 28 tahun 1977 (pasal 1b)

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya.6

b.UU no.41 tahun 2004 Tentang Wakaf

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau

6


(51)

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna keperluan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam. 8

Dalam perkembangan selanjutnya praktek wakaf yang dilakukan di Indonesia masih sangat bersifat tradisionalis, ini bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat muslim indonesia yang dalam berwakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini wakaf, masih menggunakan tradisi lisan, yang mana atas dasar saling kepercayaan semata kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif. Dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat, apalagi mengambilnya tanpa seijin Allah SWT. Tradisi wakaf tersebut memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan perwakafan di indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak, bahkan banyak benda wakaf

7

Ibid, hal. 2

8

Depag RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf .(Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam. Jakarta 2006) hal. 38


(52)

wakaf, baik itu sengketa intern maupun ekstern. Misalnya dalam sengketa intern adalah karena adanya suatu kepentingan ahli waris si wakif menarik kembali tanah yang telah di wakafkan. Sehingga menimbulkan sengketa antara ahli waris dengan pihak pengelola yaitu nazhir. Kalau kita fahami mengapa kasus-kasus seperti diatas banyak terjadi, benang merahnya adalah karena ketiadaan sertifikat wakaf, sehingga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melihat ini sebagai sebuah peluang untuk merebut tanah wakaf yang belum atau tidak mempunyai sertifikat wakaf.

Berbicara mengenai sertifikat wakaf sudah tentunya takkan terlepas dari peraturan perundang undangan yang mengaturnya, di indonesia ada beberapa peraturan yang mengatur tentang masalah wakaf, baik berbentuk PP, Inpres dan UU bermula dari PP no.7 tahun 1977, Inpres no.21 tahun 1991 dan yang terbaru UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya Undang-undang yang baru tersebut semakin memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf. Tersebab adanya jaminan kepastian hukum karena ada UU yang memayunginya. Yang jadi permasalahan sekarang adalah bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf ? mungkin untuk tanah wakaf yang didaftarkan sesudah berlakunya UU ini tak jadi masalah, apakah masih terikat dengan

9

Paradigma baru wakaf di Indonesia, ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam: 2006 ) hal 98.


(53)

sangat menarik mengkaji masalah ini lebih lanjut ke dalam sebuah penelitian dan

menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul: “KEDUDUKAN TANAH

WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF ( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat )

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti, batasan masalah ini berguna untuk identifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian.

Selanjutnya dalam penelitian ini, mengingat objek yang akan diteliti cakupannya sangat luas, maka penulis memberi batasan hanya pada kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersirat pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya. Perumusan masalah merupakan identifikasi dari masalah dan pembatasan masalah, dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci


(54)

dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini yang mana tertuang dalam pernyataan sebagai berikut

1. Bagaimana konsep wakaf dalam Islam ?

2. Bagaimana konsep hukum positip mengenai tanah wakaf ?

3. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU

No.41 Tahun 2004 tentang wakaf ? 4. Bagaimana sertifikasi tanah wakaf ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjelaskan tentang konsep wakaf dalam Islam

2. Untuk menjelaskan konsep wakaf menurut hukum Positip

3. Untuk menjelaskan kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum

berlakunya UU tentang wakaf


(55)

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam masalah perwakafan di Indonesia.

3. Secara praktis diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan

wawasan dan pengertian tentang konsep tanah wakaf dan tanah wakaf yang kembali disengketakan serta prosedur sertifikasi tanah wakaf.

4. Melengkapi khazanah keilmuan tentang Wakaf.

D. Metode penelitian dan Tehnik Penulisan

1. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis metode deskriptif, sebuah metode untuk mengungkapkan masalah dengan cara memaparkan atau menggambarkan situasi atau peristiwa dari penelitian. 2. Subjek dan Objek Penelitian

Adapun yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf sedangkan objek dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Daar el- Hikam Pondok Ranji Ciputat


(56)

a. Primer

Adalah data lapangan yang didapat dari sumber utama, misalnya hasil wawancara, dan pengamatan. Dalam data primer ini penulis melakukan sendiri pengamatan di lapangan.

b. Data Sekunder

Adalah data yang berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Seperti Al-quran, Hadits, kitab-kitab klasik atau kontemporer, Undang-undang, PP, Inpres, Buku-buku, dan bahan-bahan informasi lainnya yang memiliki relevensi atau kaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam tehnik pengumpulan data dengan cara field research ini penulis menggunakan 3 instrumen pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data di mana peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala subjek yang diteliti.


(57)

mana dengan wawancara tersebut dapat memberikan informasi yang akurat sehubungan dengan topik penelitian.

c. Dokumentasi

Agar data-data yang telah penulis peroleh menjadi lengkap, penulis melakukan penelitian dokumentasi dengan jalan meneliti berbagai macam literatur yang terkait baik itu berupa Dokumen-dokumen tentang wakaf, buku, UU dan lain sebagainya.

5. Tehnik Analisa Data

Untuk mengolah data yang telah diperoleh penulis menggunakan metode deskriptif analaisis, yaitu dimana penulis mendekripsikan semua data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan untuk kemudian dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang selanjutnya disajikan dalam sebuah laporan ilmiah.


(58)

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Membahas tentang landasan teori mengenai wakaf yang meliputi : dasar hukum wakaf, rukun dan syarat wakaf, tujuan dan hikmah wakaf.

BAB IIIPROFIL PONPES DAAR EL HIKAM

Membahas tentang gambaran umum Ponpes Daar el-Hikam, yang menyangkut : Sejarah berdirinya, tujuan, visi, dan misi, struktur ponpes, dan program kegiatan.

BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM TAHUN 2004

Membahas mengenai: kondisi dan situasi perwakafan tanah Indonesia, tanah wakaf yang tanpa sertifikat menurut hukum Islam dan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan tahun 2004, dan analisa.

BAB V PENUTUP

Merupakan bab akhir dari skripsi ini yang berupa kesimpulan dan Saran-saran.


(59)

Berbicara mengenai wakaf banyak sekali term atau definisi yang membahas, mengungkap, mengupas mengenai wakaf baik secara terminologis (bahasa) ataupun secara etimologis (istilah). Baik itu yang terdapat dalam kitab-kitab klasik, kontemporer, buku-buku terjemahan dan lain sebagainya. Berikut ini akan dijelaskan pengertian wakaf menurut Fikih dan Undang-undang yang berlaku.

1. Pengertian Wakaf Menurut Fikih a. Wakaf Secara Bahasa

Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu-waqfan yang berarti berhenti, berdiri, mencegah, atau menahan.10 Sedangkan wakaf dalam bahasa arab berarti ”al-habsu” yan berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan yang berarti

menahan atau memenjarakan. Kemudian berkembang menjadi “habbasa” yang

berarti mewakafkan harta karena Allah.11

Hal yang serupa dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang mana mengartikan wakaf dengan al-habsu yang berarti menahan.12 Pengertian yang sama juga bisa kita dapatkan dalam kitab klasik atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning di mana di

10

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997 ) cet. Ke 25, hal. 1576

11

Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 25

12


(60)

adalah mempunyai makna yang satu yaitu menahan 14

Kalau kita perhatikan dari uraian diatas kata waqafa identik dengan kata

habasa, hal ini dikarenakan para ahli fikih dalam mengartikan wakaf secara

terminologi mereka menggunakan dua kata yaitu habas dan waqaf.15 Dalam kamus al-wasith dikatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan

al- imsak ( menahan ), hal yang senada juga diungkapkan oleh Az-Zubaidi dalam

kamus Taj Al-Arus sebagaimana dikutip oleh DR. Mundzir Qahaf dimana kata Al-

habsu artinya al- man’u dan al-imsak yang berarti menahan. 16

Kesimpulannya baik kata al-habsu maupun al-waqfu sama sama mengandung

makna al-imsak ( menahan ), al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan at-tamakkust

( diam ). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Sedangkan dikatakan menahan

13

Syaikh Ibrahim Al- Baajuri, Hasyiyah Al-Baijuri, (Semarang : Toha Putra, tanpa tahun) hal. 42

14

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10, hal. 7599

15

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta : Khalifa, 2004 ) hal. 44

16


(61)

Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum). Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan perbedaan mazhab yang mereka anut. Ketika mendefinisikan wakaf para ulama merujuk kepada para imam mazhab. Seperti Abu Hanifah, Syafi’i, Malik, Ahmad, dan para imam-imam lainnya.18

Definisi wakaf yang dibuat oleh para ahli fikih pada umumnya memasukkan syarat-syarat wakaf sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Al-Minawi misalnya

mendefinisikan wakaf dengan “menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan

manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiaannya yang berasal

dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata

karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”. 19

Sementara itu Al-Kabisi mendefiniskan wakaf dengan “menahan benda

dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang

miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya“.

17

Ibid. hal. 45

18

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 53

19

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta : Khalifa, 2004 ) hal. 46


(62)

wakif ”, sebagaimana pendapat yang dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah.20

Sementara menurut pendapat mazhab Maliki menyebutkan wakaf adalah

“memberikan manfaat sesuatu ketika sesuatu itu ada dan bersifat lazim dalam

kepemilikan pemberinya meskipun hanya bersifat simbolis”.21

Menurut Muhammad ibn Ismail as-san’aniy wakaf adalah menahan harta yang

mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya)

dan digunakan untuk kebaikan.22

Beberapa istilah wakaf menurut istilah yang diuraikan oleh para imam mazhab.

1. Menurut Mazhab Syafi’i

Para ulama mazhab syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi, sebagai berikut :

a. Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I, mendefinisikan wakaf dengan :

menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

20

Ibid. hal. 47

21

. Ibid. hal. 48

22

Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Editor Hasan M.Noer dan Musyafa-Ullah, ( Jakarta : Permadani, 2004 ) cet. Ke 1, hal. 127


(63)

untuk hal-hal yang dibolehkan.

c. Ibn Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah mendefinisikannya dengan :

menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal yang di bolehkan.

d. Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi mendefinisikannya dengan : Menahan harta

untuk dimanfaatkan dalam hal yang dibolehkan, dengan menjaga keutuhan harta tersebut.23

2. Menurut mazhab Hanafi

a. Imam Al-Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan : Menahan harta dari jangkauan ( kepemilikan )orang lain.

b. Al-Murghinani memberikan definisi wakaf menurut imam Abu Hanifah Sebagai berikut : Menahan harta dibawah tangan pemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai sedekah.

23

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 41


(64)

3. Menurut Mazhab Maliki

Menurut mazhab Maliki wakaf adalah penahanan benda wakaf dari penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan. Dengan kata lain wakaf tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si wakif namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya terhadap harta tersebut. misalnya menjual harta wakaf tersebut.24

4. Menurut Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah

Ulama Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf sebagai berikut:

a. Menurut ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah, wakaf adalah menahan

yang asal dan memberikan hasilnya.25

b. Syamsudin Al-Maqdisy dari kalangan Hanabilah juga mendefinisikan wakaf

dengan menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.26

24

Depag, Fiqih Wakaf, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006 )cet ke.4, hal. 2

25

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al- Muqni, ( Daar ‘Aalim Al-Kutub ) Juz ke 6, hal. 361

26

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 59


(65)

Ada beberapa pengertian tentang wakaf yang dirumuskan oleh hukum positif yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, baik itu berupa UU, PP, maupun Kompilasi hukum islam atau KHI.

a. Menurut PP No. 28 tahun 1977 pasal 1 (1)

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.28

b. Menurut Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 menyatakan :

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.29

27

Ibid, hal. 59

28

Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 26

29

Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran Hukum, dan Perkembngannya, ( Bandung : Yayasan Piara, 1995 ) hal. 7


(66)

selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.30

d. Menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna kepentingan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.31 Kalau kita cermati dari pengertian-pengertian mengenai wakaf yang diuraikan oleh hukum positif Indonesia yang mengatur masalah wakaf khususnya, sepertinya redaksional dari pengertian wakaf itu tidak jauh berbeda, baik itu yang ada di PP, Inpres, KHI, maupun UU no.41 tahun 2004 itu sendiri, baik itu dari segi makna dan tujuan dari wakaf itu sendiri.

Hal ini terjadi dikarenakan sumber pengambilan rujukan mengenai wakaf memang berasal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama mazhab, dan memang semua peraturan mengenai perwakafan yang ada di Indonesia sumber pengambilan

30

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 2007 ) cet.ke 1, hal. 165

31

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 150


(67)

yang sama yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda itu masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh di jual, di wariskan, di hibahkan.

B. Dasar Hukum Wakaf

Berbicara mengenai dalil atau dasar hukum tentang wakaf memang tidak ada nash al-Qur’an yang secara tersurat di temui di dalam al-Qur’an .Hal ini bisa diteliti dari tidak adanya satupun ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung kata “ wakaf “ Karena dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Qur’an dan juga as-Sunnah.32

Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama disyariatkannya ajaran ini adalah lebih dipahami berdasarkan konteks ayat al-Qur’an,

sebagai sebuah amal kebajikan.33 Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang

dipahami dan dijadikan hujjah mengenai penetapan dan pensyariatan dalam ibadah wakaf ini, ayat-ayat tersebut tidak khusus membahas mengenai masalah wakaf, melainkan dapat mencakup masalah wakaf, begitu menurut kebanyakan para ulama. Ayat-ayat yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana berikut :

32

Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 59

33


(1)

79

Departemen Agama RI, UU RI no 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, Dirjen Bimas Islam. Jakarta : 2004.

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, Dirjen Bimas Islam. Jakarta : 2006

Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta : 2006.

Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, Dirjen Bimas Islam. Jakarta : 2006.

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Jakarta: 2006.

Departemen Agama RI, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf. Jakarta: 2004.

Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Jakarta: 2006.

Djunaidi, Achmad dan Al-asyhar, Thobieb. Menuju era Wakaf Produktif,Sebuah Upaya Progresif untuk kesejahteraan umat. Jakarta: Mitra abadi Press, 2006. Muhammad Syah dkk, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara dan

Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, 1992 Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997.

Muslim, Imam, Shahih Muslim, Maktabah Daar Ihya al-Kutub, tt.

Qahaf, DR Mundzir. Manajemen wakaf Produktif, penerjemah, Muhyiddin Mas Rida. Jakarta : Khalifa, 2004.

Sabiq, Sayyid, Fiqhu Al-sunnah, Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, tt, Juz 2

Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

S. Praja, Juhaya, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran Hukum, dan Perkembangannya, Bandung : Yayasan Piara, 1995

Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, Semarang: Toha Putra, tt.


(2)

Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in Daar Ihya al-Kutub al- Arabiyyah, Indonesia, tt.

Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-hadis Hukum, Penerjemah Mu’ammal Hamidi, Imran A.M, Umar Fanani, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001.

Usman, Suparman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darululum Press, 1999. Wajdy Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat ( Filantrofi Islam yang

Hampir Terlupakan ). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007.

Zainuddin, A. Rahman Ritonga, Fiqih Ibadah, Jakarta : Gaya Media Pratama

Zuhaili, Dr.Wahbah, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Daar el-Fikr, Juz 10, Beirut: 2007/1428 H.


(3)

QUESTION LIST

Pewawancara : Ahmad Patoni

Yang diwawancara : Afkar Bakarudin S.Pdi Jabatan : Penghulu/Bagian Perwakafan Tanggal : 31 Mei 2010

Tempat : KUA Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten

1. Bagaimana mekanisme dalam pensertifikasian tanah wakaf ?

Jawab : secara global mekanismenya adalah pertama wakif mendatangi KUA setempat sambil membawa persyaratan administrasi yang diperlukan, setelah itu pihak KUA mengecek kelengkapannya setelah dinyatakan lengkap maka pihak KUA meneruskannya ke pihak Kantor Kementrian Kabupaten, setelah itu diteruskan ke pihak BPN, dimana pihak BPN akan mengecek tanah wakaf tersebut apakah sudah layak atau tidak diterbitkannya sertifikat wakaf.

2. Syarat apa saja yang diperlukan dalam pensertifikasian tanah wakaf ?

Jawab : syarat yang diperlukan adalah AIW, surat bukti kepemilikan tanah yang asli (SHM), surat pajak, surat keterangan tanah dari Lurah dan Camat yang menerangkan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa, foto kopi KTP wakif, nadzir dan saksi-saksi, surat keterangan ahli waris jika wakif telah meninggal dunia, dan akta notaris jika yang mewakafkan adalah berbentuk yayasan .

3. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dan biaya yang diperlukan dalam pensertifikasian ini ?


(4)

pihak wakif.disamping itu pihak BPN juga tidak hanya mengurusi masalah tanah wakaf saja. Mengenai biaya, ada dana hibah dari Pemda atau Bupati.

4. Apakah tanah wakaf yang sudah terdaftar wajib disertifikasi ?

Jawab : ya, wajib. Agar tanah wakaf tersebut memiliki kekuatan hukum jika suatu saat nanti ada sengketa mengenai tanah wakaf tersebut.

5 Apakah manfaat dari pensertifikasian tanah wakaf ?

Jawab : pertama tanah wakaf tersebut sudah memiliki kekuatan hukum, kedua tanah wakaf tersebut bebas dari pajak, dan terjamin dari segala macam bentuk sengketa mengenai tanah wakaf tersebut.

6. Upaya apa saja yang telah dilakukan oleh KUA kecamatan Ciputat terhadap tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat tanah wakaf ?

Jawab : Himbauan kepada masyarakat untuk segera didaftarkan tanah wakaf yang belum diikrarkan atau yang belum bersertifikat melalui PAH (penyuluh agama Honorer) dan pertemuan-pertemuan baik dalam kegiatan-kegiatan para amil (penghulu), rapat-rapat tingkat kecamatan serta pengajian MUI tingkat Kecamatan.

7. Kendala apa saja yang ditemukan dilapangan berkaitan dengan upaya ini ?

Jawab : kendala utamanya adalah tidak adanya bukti otentik mengenai kepemilika tanah wakaf tersebut dan adanya perselisihan antara nadzir dengan ahli waris dari pihak wakif.


(5)

QUESTION LIST

Pewawancara : Ahmad Patoni Nara Sumber : KH. Bahrudin S.Ag

Jabatan : Ketua Ponpes Daar el-Hikam Tanggal : 28 Mei 2010

Alamat : Jl. Menjangan Raya No.27 Pondok Ranji Ciputat

1. Bagaimana sejarah terjadinya tanah wakaf Ponpes ini ?

Jawab : sejarah teradinya tanah wakaf ponpes ini bermula ketika H. sulaiman bin H.Jaih berniat ingin mewakafkan tanahnya untuk pondok pesantren kepada anaknya yang bernama H. Rasyid. Lalu sepeninggal H. Sulaiman, H. Rasyid sebagai anak tertua mengadakan musyawarah keluarga pada sekitar awal 2002 untuk merealisasikan niat dari bapak mereka yaitu ingin mewakafkan tanahnya untuk sebuah pondok pesantren. Hingga pada hari jumat tanggal 1 Muharam bertepatan dengan 15 maret 2002 terbitlah AIW dengan No. W3/366/16 tahun 2002.

2. Dalam UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ada ketentuan bahwa tanah wakaf yang terjadi sebelum terbitnya UU tersebut maka tanah wakaf tersebut harus didaftarkan ulang setelah UU ini terbit, apakah tanah wakaf ponpes ini telah didaftarkan Ulang ?

Jawab : belum, 3. Kenapa ?

Jawab : karena tidak tahu adanya ketentuan tersebut disamping itu saya juga tidak tahu adanya Undang-Undang yang baru yang mengatur mengenai wakaf tersebut.


(6)

5 Kenapa ?

Jawab : pertama malas mengurusnya dan kita di sini bersikaf pasif artinya bersikap menunggu.

6. Apakah pernah mencoba mengurusnya ?

Jawab : Dulu pernah mengurusnya akan tetapi dikarenakan birokrasi yang berbelit-belit akhirnya dibiarkan sajalah seperti ini.

7. Apakah Pak Kiayi tahu akibat tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat wakaf ? Jawab : setahu saya tanah wakaf tersebut masih harus dikenakan kewajiban membayar pajak atas tanah tersebut.