Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004

64 Menko Kesra, PBNU, PP Muhamadiyah dan MUI Pusat. Setelah semua konsep RUU Wakaf dirumuskan ulang dan dikirim kembali ke Presiden RI, Presiden kemudian mengeluarkan amanatnya berdasarkan surat nomor: R.16PUVII2004 tertanggal 9 Juli 2004 yang ditunjukan kepada Depag RI, dan menugaskan Mentri Agama RI, Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al- Munawar, MA. Guna mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Wakaf di DPR RI. 24 Proses Pembahasan dan Pengesahan di DPR RI DPR RI, dalam hal ini panitia kerja panja dari komisi VI 25 yang ditugaskan menggodok RUU Wakaf, melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Rapat Dengar Pendapat Umum RDPU dengan Ormas Islam; MUI Pusat, NU, Muhammadiyah, Persis, dan Al-Washliyah, tanggal 26 agustus 2004. 2. Rapat Dengar Pendapat umum RDPU dengan BAZNASLAZNAS; BAZNAS, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Al-Falah, LAZ Pos Keadilan Peduli Umat PKPU. 3. Rapat Kerja dengan Menag RI, tanggal 6 September 2004. 26 Pembahasan di Tingkat Panja Komisi VI DPR RI Peserta pembahasan RUU wakaf terdiri dari tiga unsur: 1 Anggota Panja Komisi VI DPR RI; 2 Pihak pemerintah adalah Depag RI, dalam hal ini adalah 24 Ibid.,h.79-83 25 Salah satu komisi di DPR RI periode 1999-2004 yang membidangi keagamaan, pendidikan,social kemasyarakatan, dan olah raga. 26 Ibid.,h.85-99. 65 Direktorat Jendral Pengembangan Zakat dan Wakaf Bangzawa, dan Kepala subdit Direktorat Pemberdayaan Wakaf; 3 Tim pendamping pemerintah; NU, Muhammadiyah, MUI Pusat, Universitas Indonesia, Depkeh HAM, Bank Indonesia, Badan pertanahan Nasional, notaries, dan ahli bahasa. 27 Dalam setiap pembahasan dipimpin oleh salah seorang dari unsur pimpinan komisi VI, yaitu: H. Taufiqurrahman saleh, SH Ketua Komisi, Prof. Dr. H. Anwar Arifin, Dra. Hj. Soepami, dan Dra. Hj. Khadijah Saleh Wakil Ketua. Mekanismenya adalah pimpinan rapat membacakan pasal perpasal dan ayat per ayat untuk kemudian memberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk berpendapat atau memberikan usulan. Namun, jika dalam proses perdebatan fraksi-fraksi mengalami perselisihan yang membutuhkan penjelasan, maka pimpinan sidang mempersilahkan wakil pemerintah untuk menguraikan maksud dan subtansi yang dimaksud. 28 Berikut beberapa isu yang menjadi perdebatan diantara para anggota fraksi: a. Posisi pemerintah yang tidak boleh berperan terlalu besar; b. Wakaf ahlidzurri dan Wakaf khairi; c. Syarat-syarat nazhir yang berbentuk organisasi; d. Benda wakaf bergerak berupa uang dan selain uang; e. Peran LKS; f. Peran notaries; g. Hak istimewa BWI; 27 Untuk lebih rinci lagi lihat ibid.,h.116-117. 28 Ibid.,h.117-118 66 h. Pembinaan dan pegawasan; i. Ketentuan pidana Rapat Paripurna DPR RI dalam Pengambilan Keputusan RUU Wakaf Berikut penulis lampiran pandangan berbagai fraksi dalam rapat paripurna DPR RI terhadap RUU Wakaf; Fraksi-fraksi yang setuju RUU Wakaf menjadi UU, adalah: Fraksi Partai GolkarFPG, Fraksi Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan FPDIP, Faraksi Partai Persatuan Pembanguna FPP, Fraksi Reformasi FR, Fraksi Partai Bulan Bintang FPBB, Fraksi TNIPOLRI, Fraksi Persatuan Daulat Umat FPDU, Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia FKKI. Adapun Fraksi Kebangkitan Bangsa FKB menyatakan setuju, dengan beberapa catatan. 29 Pengundang Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf ini disahkan oleh Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 27 Oktober 2004 dan diundangkan oleh Mensesneg, Prof. Dr. Yusril Ihza mahendra yang dicatat dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor kepemimpinan,159. 30 Undang-Undang ini selama proses penyusunan, penyempurnaan, pengajuan, pembahasan di DPR RI, dan pengesahan oleh Presiden RI memakan waktu selama satu setengah tahun dengan proses pembahasan sebanyak 48 kali. 29 Catatan dari FKB:1 Masalah pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf harus mendapatkan perhatian yang serius;2 semua pihak yang terelibat dan berkompeten dengan urusan wakaf , dapat meneysuaikan diri dengan ketenyuan yang baru;3Pemerintah segera mensosialisasikan UU ini; 4 Diperlukan keterlibatan dan partisipasi dari semua pihak kalangan professional. Ibid.,h.196- 197. 30 Ibid., h.217. 67 67

BAB IV KANDUNGAN MASLAHAH MURSALAH

A. Orientasi Maslahah

Sebagaimana telah di kemukakan dalam pendahuluan skripsi ini, bahwa materi dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf banyak mengandung unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan istislâh metode maslahah mursalah, hal mana Undang-Undang wakaf ini memuat aturan-aturan yang tidak secara tegas di tunjukan oleh nash, baik al-Qur’an maupun sunnah, juga tidak didapati dalam literatur fiqh. Secara materil pasal-pasal tersebut hanya didasarkan pada pertimbangan dalam rangka mewujudkan dan memelihara kemaslahatan semata. Setelah penulis mempelajari dan menganalisa pasal-pasal dalam Undang- Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, maka penulis mendapatkan beberapa pasal yang berorientasi kepada maslahat tersebut, yaitu: 1. Penentuan persyaratan nazhir pasal 10 2. Persyaratan dua orang saksi dalam ikrar wakaf pasal 17 ayat 1 Pencatatan ikrar wakaf pasal 17 ayat 2 dan pada pasal 21 3. Peruntukan harta benda wakaf pasal 22 4. Bentuk benda yang dapat diwakafkan pasal 16 Wakaf uang dan sertifikat wakaf uang pasal 28 dan pasal 29 5. Sertifikasi tanah wakaf pendaftaran tanah wakaf pada pasal 32 68 6. Perubahan Status Tanah Wakaf pasal 41 7. Lahirnya lembaga wakaf BWI Badan Wakaf Indonesia pasal 47

B. Maslahah Mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang

Wakaf Secara konsepsi ajaran, wakaf di lihat dari beberapa ayat al-Quran dan Sunnah Nabi tidak ada secara eksplisit menyebut tentang ajaran wakaf. Jika ada bersifat umum. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihâdi, bukan taâbbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain. 1 Meskipun demikian, ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum ijtihâd mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihâd, dengan menggunakan metode ijtihâd seperti qiyâs, maslahah mursalah dan lain-lain. 2 Oleh karenanya, ketika suatu hukum ajaran Islam yang masuk dalam wilayah ijtihâdi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap 1 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia,Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006, h.26. 2 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006, h.63. 69 penafsiran-penafsiran baru, dinamis, futuristik berorientasi pada masa depan. Sehingga dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari mua’malah yang memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah. 3 Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan dalam bentuk perundang-undangan yakni Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf adalah merupakan keniscayaan atas dasar kepentingan kemaslahatan al- maslahah al-mursalah. Karena hal tersebut sudah menyangkut kepentingan umum masyarakat banyak jika tidak akan menimbulkan ketidaktertiban, ini sesuai dengan kaidah fiqih “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan.” begitu pula materi dalam Undang- Undang ini yang banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyyah yang berlandaskan istislâh maslahah mursalah yang akan dibahas lebih lanjut. 4 Sebagaimana telah disebutkan bahwa orientasi maslahat dalam Undang- Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf meliputi: 1. Adanya persyaratan nazhir. Kehadiran nadzhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf sangatlah penting. Walaupun pada 3 Ibid., h.63-64. 4 Abdul Salam, Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, artikel diakses pada 20 Desember 2009 dari http:www.pkesinteraktif.comcontentview233036lang,ar 70 umumnya, kitab-kitab fiqh tidak mencantumkan nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena wakaf adalah ibadah tabarru’ perbuatan derma, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf, baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan badan hukum 5 Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk itu sebagai instrument penting dalam perwakafan, nazhir harus memenuhi syarat- syarat yang memungkinkan, agar wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya. 6 Dalam kitab al-fiqh al-Islâmî wa a’dillâtuhû, Wahbah Zuhaili mengemukakan syarat-syarat nazhir adalah:adil, cakap mampu melakukan perbuatan hukum dan Islam. Sedangkan menurut al-Khatib as-Sarbini dalam kitabnya fathul mu’în syarat-syarat nazhir wakaf itu adalah: adil, dan mampu. Memang mengenai syarat nazhir sudah dibahas oleh ulama fiqih terdahu Namun syarat-syarat yang disebutkan oleh ulama fiqh terdahulu jika mengacu pada konteks kekinian kurang relevan karena jika syarat nazhir hanya itu tanpa dibekali dengan kemampuan yang cukup maka belum mencukupi agar nazhir wakaf bisa menjadi nazhir professional yang direkrut berdasarkan keahlian 5 Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia., h.50. 6 Ibid., h.50