Penerapan konsep maslahah mursalah dalam wakaf (tinjauan terhadap UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf)

(1)

PENERAPAN KONSEP MASLAHAH MURSALAH DALAM WAKAF

(TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 2004

TENTANG WAKAF)

Skripsi

Di ajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Hadiratush Sholihah NIM: 105043101274

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N M A Z H A B F I Q I H PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

WAKAF (TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih.

Jakarta, 15 Maret 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

NIP.195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua :Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (...) NIP. 195703120985031003

2. Sekretaris :Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (...) NIP. 196511191998031002


(3)

NIP. 195003061976031001

4. Pembimbing II :Drs. H. Hamid Farihi, MA. (...) NIP. 195811191986031001

5. Penguji I :Dr. H. Fuad Thohari, M. Ag. (...) NIP. 197003232000031001

6. Penguji II :Nahrowi, SH, MH. (...) NIP. 197302151999031002


(4)

(5)

(6)

(7)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 Maret 2010


(8)

Maha kuasa, Zat yang menjadi sandaran vertikal bagi setiap insan yang mengharapkan ridlo-Nya.

Shalawat teriring salam senantiasa tercurah keharibaan rasul-Nya tercinta, Muhammad saw, sosok manusia paripurna yang menjadi standar moral bagi manusia dalam mengarungi bahtera kehidupannya.

Setelah sekian lama penulis berusaha menyelesaikan penulisan skripsi ini, hanya syukur yang dapat penulis untaikan melalui tulisan ini, karena atas hidayah dan inayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Ini berarti sebagian dari syarat-syarat dan tugas untuk mencapai gelar sarjana pada jurusan Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat terpenuhi.

Sehubungan dengan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, M. Ag dan Bapak Drs. H. Hamid Farihi, Ma., selaku Dosen pembimbing skripsi, yang telah memberikan pengarahan, petunjuk,


(9)

serta bimbingan dalam menyelesaiikan penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, Ma dan bapak Dr. H . Muhammad Taufiki, M. Ag., selaku ketua dan sekretaris jurusan Perbandingan Mazhab Hukum, yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan akademik dan administrasi di Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Seluruh staf Dosen Fakultas Syariah dan hukum yang telah mendidik dan membimbing penulis dalam menuntut ilmu selama menjadi mahasiswi dikampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh staf perpustakaan Utama, dan staf perpustakaan Syariah yang telah membantu penulis dalam melayani peminjaman buku-buku, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua Orang Tua saya, Bapak H. Muhammad Nalim dan Ibu Hj. Sarwati yang telah mendidik dan membesarkan sang putri, dan juga tidak pernah lelah membantu memberikan motivasi dan juga do’anya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.


(10)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian ... 11

E. Review Studi Terdahulu ... 13

F. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II MASLAHAH MURSALAH ... 17

A. Pengertian Maslahah Mursalah dan Dasar Hukumnya ... 15

B. Macam-Macam Maslahah ... 26

C. Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah ... 32

D. Metode Analisa Maslahah Mursalah ... 36

E. Objek dan Contoh Penggunaan Maslahah Mursalah ... 40

BAB III WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ... 45

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ... 45


(11)

v

C. Macam-Macam, Fungsi dan Tujuan Wakaf ... 57

D. Sejarah Singkat Lahirnya Undang-Undang Wakaf No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf ... 61

BAB IV KANDUNGAN MASLAHAH MURSALAH ... 67

A. Orientasi Maslahah ... 67

B. Maslahah Mursalah dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ... 68

C. Analisis Penulis ... 86

BAB V PENUTUP ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94


(12)

1

A.Latar Belakang Masalah.

Komitmen bangsa dan negara Indonesia dalam membina hukum nasional yang menjadi bagian garapan pembangunannya menempatkan hukum Islam memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu bahan pokok yang sangat diperlukan dalam membina hukum Nasional.

Hukum Islam sejak kedatangannya di bumi nusantara Indonesia hingga saat ini tergolong hukum yang hidup (Living Law) dan dinamis di dalam masyarakat Indonesia,1hukum Islam adalah suatu peraturan (syariat) yang diturunkan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia agar dapat hidup tenang, damai, tentram dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT dengan rahmat-Nya tidak meninggalkan manusia dalam kegelapan. Dia mengutus para Rasul-Nya di berbagai bangsa dan sepanjang waktu untuk menjelaskan dan menunjukan kepada umat jalan yang ma’ruf dan jalan yang mungkar, yang benar dan yang salah. Semua ajaran secara bertahap dibawa oleh para Rasul-Nya saling memperkuat hingga ajaran terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Ajaran-ajaran tersebut berupa aturan dan ketentuan yang akan dipedomani dan diamalkan oleh manusia dalam mencari kebahagiaan. Ajaran itulah yang akan

1Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam di


(13)

2

membimbing manusia kejalan yang benar menuju kepuasan hakiki yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua upaya dan cara untuk mencapai kepuasan itu adalah maslahah, mempertahankan, memelihara dan meningkatkan mutunya juga merupakan maslahah. Oleh karena itu, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang berupa syariat Islam adalah agama yang berorientasi pada kemaslahatan.2

Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu ilahi itu adalah termasuk hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama secara keseluruhan. Sungguhpun demikian manusia dengan segala kondisinya senantiasa berubah seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi. Dalam hal seperti ini ajaran Islam termasuk aspek hukum di dalamnya, tentunya mampu merespons segala perubahan yang terjadi, karena kesempurnaan agama Islam yang ditegaskan dalam al-Qur’an menjadikan ajaran Islam dan segala aspeknya selalu sesuai dengan kondisi zaman dan tempat dimana umat manusia berada. Begitu pula sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun”Hal ihwal umat manusia, adat kebiasaan dan peradabannya tidaklah pada suatu gerak dan kekuatan yang tetap, melainkan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan”.3

2Siti Musrifah, “Konsep Maslahah mursalah dalam Dunia Bisnis dengan Sistem Franchise:

Waralaba”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.2.

3Sobhi Mahmasani, alih bahasa Ahmad Sudjono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1976), h.214.


(14)

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada dasarnya hukum Islam itu hanya bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Namun, setelah Islam semakin berkembang, maka timbullah berbagai macam istilah-istilah dalam penggalian hukum Islam (metode istinbath) yang dimunculkan oleh para mujtahid, sehingga dikenallah istilah sebagai hukum primer dan hukum sekunder. Hukum primer yaitu hukum-hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan

Qiyâs), dan sumber hukum sekunder, yaitu sumber-sumber hukum yang masih diperselisihkan pemakaiannya dalam menetapkan hukum Islam oleh para ulama (al-Istihsân, al-Maslahah al-Mursalah, al-Urf, al-Istishâb, Madzâhib Sahâbi, dan

al-Syar’u man qablanâ).4

Salah satu dari sumber hukum sekunder dalam Islam akan dibahas secara lebih detail, yaitu maslahah mursalah. Secara umum maslahah mursalah adalah hukum yang ditetapkan karena tuntutan maslahat yang tidak didukung maupun diabaikan oleh dalil khusus, tetapi masih sesuai dengan Maqâsid Syarî’ah al-‘Ammah (tujuan umum hukum Islam)5

Maslahah mursalah merupakan jalan yang ditempuh hukum Islam untuk menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-Nya terhadap peristiwa baru yang tidak ada nashnya. Disamping itu maslahah mursalah juga menjadi jalan dalam menetapkan aturan yang harus ada dalam perjalanan hidup umat manusia agar

4Wahidul Kahar, “Efektifitas Mashlahah Mursalah dalam Penetapan Hukum Syara’”, (Tesis Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), h.5.


(15)

4

sesuai dengan Maqâsid al-Syarî’ah al-‘Ammah, dalam rangka menarik kemaslahatan, menolak kemafsadatan dan menegakkan, kehidupan sesempurna mungkin.6 Konsep maslahah mursalah tidak hanya terbatas pada masalah ibadah tetapi juga masalah muamalah. Dan kali ini penulis berusaha menyoroti konsep

maslahah mursalah dari sisi muamalah, dalam hal ini lebih ditekankan pada kegiatan perwakafan khususnya mengenai Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

Dalam sejarah Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam dan juga merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama.7

Di Indonesia, legalisasi wakaf mengalami perkembangan cukup penting, perwakafan pernah diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta wakaf. Dalam pasal 49 ayat 3 dikatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur menurut peraturan pemerintah yakni Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, lalu terbitnya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

6Musthafa Ahmad al-Dzarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa: Ade Dedi Rohaya, ( Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 33

7

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,

perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,(Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006) h. 1


(16)

Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur subtansi dan teknis perwakafan, kemudian hadirnya intruksi presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf, pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dan prinsip pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah miik. Perkembangan terakhir adalah dengan disahkanya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pada tanggal 20 Oktober 2004 serta Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap lembaga wakaf serta mensiratkan kesungguhan pemerintah untuk memperkokoh lembaga hukum Islam menjadi hukum nasional dalam bentuk transformasi hukum.8

Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf ini mungkin terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum sekaligus. Selain bermaksud untuk mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa berkembangnya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat Islam. Karenanya, tidaklah mengherankan pemerintah, diwakili oleh Departemen Agama, memainkan peranan yang

8

Tuti A. Najib, Ridwaan al-Makassary, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perpektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Center for the Study of religion and Culture (CSRC), 2006, Cet. Pertama, h. 86-89


(17)

6

signifikan dalam memfasilitasi lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.9

Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan merupakan atas dasar kepentingan kemaslahatan (al-Maslahah al-Mursalah). Karena hal tersebut sudah menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak) jika tidak akan menimbulkan ketidaktertiban, sesuai kaidah fiqhiyah “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan.”10

Sebagai hukum Islam yang bercorak khas Indonesia, sudah tentu kaidah hukum maupun pola pikir yang mendasari Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf akan menunjukan beberapa perbedaan dengan hukum Islam yang diberlakukan di negara-negara lain, sekalipun sifat dasar dan subtansi hukumnya tetap sama bersumber pada al-Qur’an dan sunnah. karena pada dasarnya fleksibelitas ajaran Islam terletak pada nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam sumber ajarannya. Begitu pula sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam usul fiqhnya bahwa nash telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kullî yang tidak terbatas terhadap suatu cabang undang-undang,

9 Ibid., h. 84

10

Abdul Salam, Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, artikel diakses pada 20 Desember 2009 dari http://www.pkesinteraktif.com/content/view/2330/36/lang,ar/.


(18)

Qur’an membatasi diri untuk menerangkan dasar-dasar yang menjadi sendi bagi tiap-tiap undang-undang agar membuahkan hukum.11

Keluesan dan keelastisan hukum nash-nash al-Qur’an itu merupakan koleksi membentuk undang-undang yang terdiri dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang membantu ahli undang-undang dalam usaha mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat disetiap masa dan tidak bertentangan dengan setiap undang-undang yang adil yaitu mewujudkan kemaslahatan masyarakat.12

Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan itu pada dasarnya dilandasi oleh asas kemaslahatan, begitu halnya Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf juga dilandasi oleh kemaslahatan yang sesuai dengan sosio kultural umat Islam Indonesia. dengan demikian materi hukum yang ada dalam Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf mengandung hal-hal yang dianggap “ketentuan baru” yang tidak didapat dalam rumusan para ulama fiqh terdahulu, dengan kata lain banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh didasarkan kepada maslahah mursalah.

Pada dasarnya peraturan-peraturan mengenai wakaf sudah cukup berkembang. Namun dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat berbagai macam aturan yang tidak didapati dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1999 Buku III sehingga dalam

11

Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah ). (Jakarta: Pt Raja Grapindo Persada, 1996), h.103.


(19)

8

Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdapat banyak paradigma baru wakaf agar praktek wakaf semakin berkembang, oleh karenanya perlulah dilakukan peninjauan dalam hal tersebut.

Mengingat hal di atas, perlulah kiranya tinjauan secara khusus terhadap materi-materi dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang aplikasinya didasarkan atas maslahat berdasarkan kaidah-kaidah hukum Islam. Sebagaimana telah diketahui, bahwa tujuan utama pensyariatan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, adalah demi kemaslahatan umat manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Anbiyaa’ (21):107

ﻦﻴﻤﹶﻠﻌﹾﻠﱢﻟ ﹰﺔﻤﺣﺭ ﱠﻻﹺﺇ ﻚﻨﹾﻠﺳﺭﹶﺃ ﺂﻣﻭ

)

ﺀﺎﻴﺒﻧﻷﺍ

/

٢١

:

١٠۷

(

Artinya :” Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”

Dengan latar belakang permasalahan ini, penulis merasa tertarik dan perlu membahas secara spesifik tentang bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah yang terdapat dalam materi undang Wakaf yakni Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Atas dasar itu, penulis menyusun skripsi ini dengan judul : “Penerapan Konsep Maslahah Mursalah dalam Wakaf


(20)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan Skripsi ini berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis membatasi permasalahan hanya pada penerapan konsep

maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan tidak keluar dari pokok pembahasan, disamping karena terbatasnya wawasan dan pengetahuan penulis sendiri.

2. Perumusan Masalah

Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf yang dilandasi oleh kemaslahatan mengandung hal-hal yang dianggap “ketentuan baru” yang tidak didapat dalam rumusan para ulama fiqh terdahulu, dengan kata lain banyak dimasuki unsur siyâsah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh didasarkan kepada maslahah mursalah. Dengan demikian perlu kiranya peninjauan bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, penulis menentukan rumusan permasalahan sebagai berikut :

a. Apa yang dimaksud dengan konsep maslahah mursalah dan bagaimana kedudukannya dalam syariat Islam

b. Bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf


(21)

10

c. Bagaimana implementasi Maslahah Mursalah dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu objek penelitian. Menemukan berarti mendapatkan dan melahirkan suatu hal baru yang sebelumnya tidak ada, mengembangkan berarti memperluas atau mngkaji lebih dalam yang sudah ada sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terdapat keraguan terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep maslahah mursalah dan

bagaimana kedudukan dalam syariat Islam.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

3. Mencoba memberikan dukungan normatif atas implementasi maslahah mursalah dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Adapun manfaat dari penelitian ini bagi penulis secara umum adalah menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah serta melatih kepekaan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-masalah yang berkembang dilingkungan sekitar, sedangkan lebih khusus lagi pentingnya melakukan penelitian ini adalah untuk:


(22)

1. Kegunaan teoritis, dapat menambah khazanah keilmuan di bidang hukum perdata khususnya dalam lingkup perwakafan. Memberi informasi lebih tentang maslahah mursalah dalam ushul fiqh yang dapat menjadi hujjah dalam penyelesaian masalah-masalah mua’malah khususnya masalah wakaf. 2. Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan

pelajar, mahasiswa, akademis lainnya dan terutama para pelaku yang terkait dengan penelitian ini.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis Penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan yaitu mencari data-data yang diperoleh dari literatur-literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul Skripsi diatas. Referensi diambil dari al-Qur’an dan Hadits, juga kitab-kitab Fiqh klasik dan kontemporer yang berkaitan dengan materi Penelitian, kemudian buku-buku ushul fiqh baik yang langsung maupun tidak langsung membahas mengenai

maslahah mursalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan Wakaf, Undang-Undang diantaranya Undang-Undang-Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pemerintah mengenai Wakaf, serta bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi ini.


(23)

12

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penyusunan Penelitian, Penulis menggunakan Metode Normatif yaitu pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan informasi yang berbentuk sebuah peraturan-peraturan atau undang-undang, buku-buku yang berkaitan dengan judul Penelitian, serta dokumen-dokumen yang penulis anggap penting sebagai landasan penulisan Penelitian.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan terdiri dari dua sumber yakni:

a) Sumber Primer, yaitu berupa dokumen-dokumen, buku-buku yang menyangkut mengenai Maslahah Mursalah, Wakaf serta Undang-undang No. 41 tahun 2004.

b) Sumber Sekunder, yakni memberikan penjelasan dan menguatkan data primer yang mencakup karya tulis berupa Makalah, Koran, Majalah, dan lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan pembahasan Skripsi ini.

4. Tekhnik Pengolahan Data

Dalam Penelitian yang menggunakan Metode Library Research ini dalam pengolahan data digunakan Metode Kualitatif, yakni dengan cara pengumpulan data sebanyak-banyaknya kemudian diolah menjadi satukesatuan data untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan lalu di


(24)

komparasikan. Yaitu berupa dokumen-dokumen, buku-buku ushul fiqh yang membahas mengenai Maslahah mursalah, wakaf, serta Undang-undang wakaf yaitu Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf serta peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah mengenai wakaf.

5. Tehnik Analisa Data

Metode Analisis data dalam Skripsi ini adalah Kualitatif Normatif, yakni pengumpulan data dari berbagai dokumen-dokumen, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dalam Skripsi ini.

Selain itu dalam penulisan Skripsi ini, penulis juga menggunakan Metode Analisis Induktif, yaitu dengan cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik pada kesimpulan umum. 6. Penulisan Skripsi

Dalam penulisan Skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan Skripsi tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

E.Review Studi Terdahulu

Dalam kajian ini penulis, membahas tentang konsep maslahah secara umum, secara lebih spesifik membahas kandungan maslahah mursalah serta aplikasinya di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini khususnya Peraturan Perundang-undangan No.41 tahun 2004 tentang Wakaf yang akan dibahas dalam kajian ini.


(25)

14

Dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf ini banyak didapati paradigma baru dalam praktik wakaf yang tidak ada dalam aturan fiqh terdahulu, sehingga dengan kata lain Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf ini banyak dimasuki unsur siyasah syar’iyah yang dalam kajian ushul fiqh didasarkan kepada maslahah mursalah

Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan fakultas syariah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, namun ada beberapa judul tesis dan skripsi yang mendekati permasalahan bahasan penulis.

Diantaranya adalah tesis wahidul kahhar (UIN Syarif Hidayatullah. 2003), dengan judul “Efektifitas al-Mashlahah al-Mursalah dalam Penetapan Hukum Syara’”. Skripsi Didin Najmudin (UIN Syarif Hidayatullah. Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2000 SJAS), dengan judul “Tinjauan Kaidah Fiqhiyyah Tentang Konsep Maslahat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”

Selain itu penulis juga meriview kajian tentang wakaf, yaitu skripsi dari Fikri Amin Hulaifi (UIN Syarif Hidayatullah. Fakultas Sayriah dan Hukum tahun 2009 SJAS), dengan judul “ Politik Hukum Filantropi Islam di Indonesia Studi Tentang Paradigma Wakaf Dalam PP No.28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, KHI,dan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Dari beberapa judul karya ilmiah tersebut, belum ada yang menjelajahi tema yang penulis angkat dalam skripsi ini. Yaitu Penerapan Konsep Maslahah


(26)

Mursalah dalam Wakaf, Tinjauan terhadap Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan materi dalam bagian-bagian atau bab-bab dan sub-sub bab dengan menguraikan pembahasan setiap bab secukupnya.

Adapun secara garis besar isi dari setiap bab adalah sebagai berikut.

BAB I : Merupakan bab pendahuluan dari skripsi ini. Dalam pendahuluan ini penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu serta sistematika dalam penulisan skripsi ini.

BAB II : Merupakan isi dari skripsi ini berisi tentang tinjauan umum mengenai maslahah mursalah yang meliputi pengertian maslahah mursalah dan dasar hukumnya, macam-macam maslahah, syarat berhujjah dengan maslahah mursalah, metode analisa maslahah mursalah serta objek dan contoh penggunaan maslahah mursalah

BAB III : Merupakan isi dari skripsi ini, berisi tentang sekilas mengenai Wakaf dan Undang-undang No. 41 tahun 2004 yang meliputi ruang lingkup wakaf yang berisi pengertian, dasar hukum, rukun, syarat,macam-macam, fungsi dan tujuan wakaf menurut hukum Islam dan Undang-Undang Wakaf No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, sejarah singkat lahirnya Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf.


(27)

16

BAB IV : Juga merupakan isi skripsi ini, berisi tentang kandungan maslahah mursalah, yang meliputi orientasi maslahah, penerapan konsep Maslahah mursalah yang terdapat di dalam materi pasal-pasal Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf serta analisis penulis mengenai penerapan konsep maslahah mursalah dalam Undang-undang Wakaf.

BAB V : Merupakan penutup dari skripsi ini. Dalam bab ini penulis membaginya dalam dua sub bab, yaitu kesimpulan dan saran


(28)

(29)

17

BAB II

MASLAHAH MURSALAH

A. Pengertian Maslahah Mursalah dan Dasar Hukumnya

Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu diketahui makna dalam kajian ushul fiqh. Secara etimologis term ”maslahah mursalah” terdiri atas dua suku kata, yaitu maslahah dan mursalah

Secara etimologi, kata maslahah berasal dari kata ‘salaha’ atau ‘saluha’

yang berarti baik. Kata ini adalah antonim dari kata ‘fasada’ yang berarti rusak. Dengan demikian kata maslahah adalah kebalikan dari kata mafsadah

(kerusakan).

Kata maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata masalih. Pengarang kamus”Lisan al-Arab” menjelaskan pengertian maslahat dari dua arah, yaitu maslahah yang mempunyai arti ‘al-shalah’ dan maslahah sebagai bentuk tunggal (mufrad) dari kata ‘al-mashalih’ semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan.1

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah

mempunyai arti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna”


(30)

sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat kepentingan.2 Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan dan ketenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Sehingga setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah.

Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata : arsala-yursilu-irsal yang artinya: ‘adam al-taqyid (tidak terikat); atau yang berarti juga:

al-mutlaqah (bebas atau lepas)3

Kemudian pengertian maslahah secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghazali misalnya, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’4

Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek

2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai Pustaka, 1996), cet. ke-2 h.634.

3Ahmad Mukri Aji, Pandangan al-Ghazali Tentang Maslahah Mursalah, Jurnal Ahkam, IV, 08, (Jakarta:2002), h.38.

4

Ma’ruf Amin,fatwa dalam sistem hukum islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2008), cet. ke-1,h.152.


(31)

19

tujuan syara’ tersebut maka dinamakan maslahah, dan upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan maslahah.5

Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syâthibi mengatakan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ termasuk kedalam konsep maslahah. Dengan demikian, menurut al-Syâthibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan diakhirat6

Sedangkan definisi maslahah menurut said Ramadhan al-Buthi adalah:

ﹸﺔﺤﹶﻠﺼﹶﳌﺍ

:

ﻢﹺﻬﺳﻮﹸﻔﻧ ﻭ ﻢﹺﻬﹺﻨﻳﺩ ﻆﹾﻔﺣ ﻦﻣ ﻩﺩﹶﺎﺒﻌﻟ ﻢﻴﻜﹶﳊﺍ ﻉﹺﺭﺎﺸﻟﺍ ﹶﺎﻫﺪﺼﹶﻗ ﻲﺘّﹶﻟﹶﺍ ﹸﺔﻌﹶﻔﻨﹶﳌﺍ

ﹶﺎﻬﻨﻴﺑ ﹶﺎﻤﻴﻓ ﹴﺐﻴﺗﺮﺗ ﻖﺒﹶﻃ ﻢﹺﻬﻟﺍﻮﻣﹶﺍﻭ ﻢﹺﻬﻠﺴﺗﻭ ﻢﹺﻬﻟﻮﹸﻘﻋﻭ

٧

Artinya:”al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan&harta mereka sesuai dengan ukuran tertentu diantaranya.”

Dari definisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang

5

Ibid., h.153.

6

Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syâtibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah,

(t,t:Dar ibn Affan, 1997) cet, ke-1 jilid 2,h. 17-18. Lihat juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum Islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2008),cet. ke-1,h.153.

7

Said Ramadhan al-Buthi, Dwabit al-Maslahah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah.(Beirut:Muassah al-Risalah,1990),cet. Ke-3, h.27.


(32)

ditetapkan syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok (kulliyat al-Khamsah), semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.8

Sifat dasar dari maqâsid al-syari’ah adalah pasti, dan kepastian disisni merujuk pada otoritas maqâsid al-syari’ah itu sendiri. Dengan demikian eksistensi maqâsid al-syari’ah pada setiap ketentuan hukum syariat menjadi hal yang tidak terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib ataupun larangan.9

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa al-Ghazali mengajukan teori maqâsid al-syari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syariah pada

kulliat al-khamsah. Konsep pemeliharaan tersebut dapat diimplementasikan dalam dua metode: pertama, metode konstruktif (bersifat membangun) dan kedua, metode preventif (bersifat mencegah). Dalam metode konstruktif, kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktifitas sunat yang baik dilakukan dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut bertujuan mengukuhkan elemen maqâsid al-syari’ah sebagai jalan menuju kemaslahatan

8

Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensi,

(Jakarta:Zikrul Hakim,2004). Cet, ke-1, h.81.


(33)

21

Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan kerusakan pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.10

Sedangkan secara terminologi Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:

1. Al-Ghazali merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut: “ Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nas tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”11

2. Abdul Wahab Khalaf memberi rumusan berikut :

Maslahah Mursalah ialah maslahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.”12

3. Muhammad Abu Zahra memberi definisi :

Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”13

10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. ke- 4, h.325.

11 Al-Ghazali, al-mustashfa, (Beirut:Dar- al-Fikr,tt.), h.286. 12

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Gema Risalah Press, 1996), cet. 7,h. 142.


(34)

Dalam kaitannya dengan ini Wahbah Zuhaili14 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan tindakan dengan tujuan syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu dari syara yang membenarkan atau menggugurkan, dan dengan ditetapkan hukum padanya akan tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari padanya, sejalan dengan hal ini Ahmad Munif Suratmaputra15 juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

maslahah mursalah adalah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ dan tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkanya.

Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut, sebagai berikut:

a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia

b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum

c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang mengakuinya.16

13Muhammad Abu Zahrah penerjemah Saefullah Ma’sum dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008), cet.ke-11, h.427.

14Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al Islam, (Bairut:Dar al-Fikr,1986), h.757

15Ahmad Munif Suramaputra, filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah &

Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- 1, h.71 16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.334


(35)

23

Pada perkembangan selanjutnya penggunaan term maslahah mursalah telah terjadi perbedaan dikalangan ulama Ushul Fiqh. Sebagian ulama ada yang menyebutkan dengan istilah: munâsib mursal, istidlâl mursal, al-Qiyâs al-Maslahi, sedangkan Imam al-Ghazali menyebutnya dengan nama” al-istislâh”.17

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah

dapat dijadikan sebagai dalil hukum dalam menetapkan hukum. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Adapun mengenai maslahah mursalah

pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya mereka berbeda pendapat.18

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah mursalah

sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukakan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illât (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut digunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Misal jenis sifat yang dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah, dalam sebuah Hadits diterangkan (“Rasulullah saw Melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota

17Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, h.118.

18

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos Publishing House, 1996), cet I, h.120, lihat juga Ma’ruf Amin,fatwa dalam sistem hukum islam, h.160


(36)

dengan maksud untuk membeli barang mereka, sebelum para petani itu memasuki pasar”). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari”kemudharatan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli barang petani tersebut dibatas kota, dan menolak kemudharatan itu meruapakan konsep al-maslahah al-mursalah.19

Dengan demikian ulama Hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash dan ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Dan penerapan konsep maslahah al-mursalah dikalangan Hanafiyah terlihat secara luas dalam metode istihsân.20

Ulama Malikiyah dan Hanabillah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyâs. Bahkan Imam Syâthibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qat’i), sekalipun dalam penerapannya bersifat zanni (relatif).21

Begitu halnya dengan ulama golongan Syafi’iyyah pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’, akan tetapi Imam al-Syafi’I

19Ibid., h. 121.

20

Ibid., h.120-121.


(37)

25

memasukkannya kedalam qiyâs, namun salah satu pengikut mazhab ini Imam al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan maslahah mursalah, walaupun beliau menyebutnya dengan istilah

al-istislâh. Dengan demikian, jumhur ulama sebenarnya menerima maslahah mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbathkan hukum Islam.22

Adapun penggunaan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum oleh jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut: 1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum

mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:

ﻦﻴﻤﹶﻠﻌﹾﻠﱢﻟ ﹰﺔﻤﺣﺭ ﱠﻻﹺﺇ ﻚﻨﹾﻠﺳﺭﹶﺃ ﺂﻣﻭ

)

ﺀﺎﻴﺒﻧﻷﺍ

/

٢١

:

١٠۷

(

Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (QS. Al-Anbiya 21:107)

Ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.

2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.


(38)

3. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Abu Bakar mengumpulkan Qur’an atas saran ‘Umar bin al-Khatab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu bahasa di zaman ‘Utsman bin‘Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.23

B. Macam-Macam Maslahah

Para pakar ushul fiqh membagi maslahah dalam beberapa bagian, antara lain adalah :

1. Dari segi eksistensinya/ keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada tiga macam, yaitu:24

a. Maslahah Mu’tabarah

Maslahah Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya, dengan kata lain kemaslahatan yang diakui syar’i secara tegas dengan dalil yang khusus baik langsung maupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada adanya

maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Contohnya untuk memelihara kelangsungan hidup manusia, disyariatkanlah hukum qisas

terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja. Untuk memelihara kehormatan manusia, disyariatkanlah hukum dera bagi penuduh dan pelaku

23

Ma’ruf Amin. fatwa dalam sistem hukum islam, h.164-165.

24Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 1999), cet. ke-1, h.162.


(39)

27

zina. Untuk memelihara harta benda, disyariatkanlah hukum potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan

b. Maslahah Mulgâh

Maslahah Mulgâh, yaitu kemaslahatan yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, kemaslahatan yang tertolak karena ada dalil yang menunjukan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas.

Contoh dari maslahah mulgâh ialah menyamakan pembagian seorang anak perempuan dengan bagian anak laki-laki dalam hal harta warisan, penyamaan pembagian “jatah” harta waris antara anak perempuan dengan bagian anak laki-laki secara sepintas memang terlihat ada kemaslahatanya, tetapi berlawanan dengan ketentuan dalil nash yang jelas dan rinci, sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran surat an-Nisaa/4:1125

ﻢﹸﻜﻴﺻ ﻮﻳ

ﹺﺮﹶﻛّﹶﺬﻠﻟ ﻢﹸﻛﺪﹶﻟﻭﹶﺃ ﻰﻓ ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﹺﻦﻴﻴﹶﺜﻧُﻷﹾﺍ ﱢﻆﺣ ﹸﻞﹾﺜﻣ

)

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

/

٤

:

١١

(

Artinya:”Allah telah menetapkan bagi kamu(tentang pembagian harta pusaka) untuk anak-anak kamu, yaitu bagi seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”(Q.S.an-Nisaa/4:11)

c. Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah, yang juga biasa disebut dengan istishlâh, yaitu maslahah yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya. Secara lebih tegas maslahah


(40)

mursalah ini termasuk jenis maslahat yang didiamkan oleh nash. Diakui dalam kenyataannya maslahat jenis ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.26

Dan istishlâh atau maslahah mursalah inilah yang akan menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini.

2. Maslahah ditinjau dari segi esensi dan kualitasnya

Ditinjau dari segi esensi dan kualitasnya, maslahah terdiri dari tiga macam, yaitu maslahah darûriyyah, maslahah hâjiyyah, dan maslahah tahsîniyyah.27 a. Maslahah Darûriyah

Maslahah darûriyyah adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat, yakni kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusi artinya, kehidupan manusia tidak ada apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat darûri.28

Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima pokok tersebut adalah

26Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h.164. 27

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h.327-328. 28 Ibid, h.327.


(41)

29

buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat darûri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara Agama; melarang membunuh untuk memelihara jiwa; melarang minum minuman keras untuk memelihara akal; melarang berzina untuk memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk memelihara harta.29

b. Maslahah Hâjiyyah

Maslahah hâjiyyah adalah kemaslahatan yang tingkat hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkatan darûri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (darûri), tetapi secara tidak langsung menuju kearah sana, seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Sehingga dapat diartikan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.30

Seperti dalam bidang ibadah, orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan jauh (musafir) dalam bulan ramadhan, diberi keringanan atau

rukhsah oleh syariat untuk tidak berpuasa dengan kewajiban mengganti

29Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Studi Historis Metodologis), (Jakarta:Gaung Persada Press, 2008), h. 20.


(42)

puasa yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain setelah ia sembuh atau setelah kembali dari perjalananya.

Firman Allah dalam al-Quran surat Al-baqarah/2:184:

...

ﹴﻡﺎﻳﹶﺃ ﻦﻣ ﹲﺓ ﺪﻌﹶﻓ ﺮﹶﻔﺳ ﻰﹶﻠﻋ ﻭﹶﺃ ﺎﻀﻳﹺﺮﻣ ﻢﹸﻜﻨﻣ ﹶﻥﹶﺎﻛ ﻦﻤﹶﻓ

ﺮﺧﹸﺃ

)...

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

/

۲

:

١۸٤

(

Artinya:“…Dan siapa saja diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan(musafir) hendaklah ia berpuasa di hari-hari yang lain…”

Demikian pula dalam bidang muamalah diperbolehkannya berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan (bay’ al-salâm), kerjasama dalam pertanian (muzâra’ah) dan perkebunan (musaqah). Semuanya disyariatkan oleh Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-Maslahah al-Khamsah diatas.

c. Maslahah Tahsîniyah

Maslahah tahsîniyah adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat darûri, juga tidak sampai tingkat hâjîy, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahah dalam bentuk

tahsînî tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.31 Tiga bentuk maslahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatanya, yang kuat adalah maslahah darûriyah, kemudian maslahah hâjiyah dan berikutnya maslahah tahsîniyah. Darûriyah

yang lima juga ada berbeda tingkat kekuatannya, yang secara berurutan


(43)

31

adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perbedaan tingkat kekuatan ini terlihat bila terjadi perbenturan kepentingan antara sesamanya, dalam hal ini harus didahulukan darûri atas hâjiy dan didahulukan hâjiy atas tahsîni.32 3. maslahah ditinjau dari segi kandunganya

dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membagi

maslahah kepada: a. Maslahah al-Ammah

Mashlahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat.

Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak. b. Maslahah al-Khasah

Maslahah al-Khasah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud)33

Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum

32

Ibid., h.328-329.


(44)

bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan pribadi.

4. Maslahah diinjau dari segi berubah atau tidaknya.

Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, ada dua bentuk, yaitu:34 a. al-Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap tidak

berubah sampai akhir zaman. Misalnya, kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.

b. al-Maslahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mua’malah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini, dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.

C. Syarat berhujjah dengan Maslahah Mursalah

Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai hujjah sangat berhati-hati dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat, karena dikwatirkan akan menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan dalam mepergunakannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:

34

Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h156, Lihat juga:Nasrun Haroen, Ushul Fiq , h.117.


(45)

33

1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau menolak

madarat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah

yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan. Contoh maslahah ini ialah

maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan.

2. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini yaitu, agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan manfaat kepada umat manusia, atau dapat menolak madarat dari mereka, dan bukan hanya memberikan manfaat kepada seseorang atau beberapa orang saja. Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat disyariatkan sebagai sebuah hukum.

3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa

maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu sejalan dengan tujuan syara’ serta tidak berbenturan dengan dalil-dalil syara’ yang telah ada.


(46)

4. Diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.35

Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah

sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakanya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat. Syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan

2. Maslahah itu haruslah bersifat semesta, yakni kemaslahatan kaum muslim secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan tertentu.

3. Maslahah tersebut harus bersifat qath’î (pasti) atau mendekati itu.36

Sedangkan Imam Syatibi tidak mengharuskan hal-hal yang disyaratkan oleh Imam Ghazali, tetapi mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam ketika memutuskan hukum berdasarkan maslahah mursalah, yaitu:

1. Harus masuk akal, sehingga ketika disampaikan kepada akal, akal dapat menerimanya. Namun tidak boleh menyangkut hal-hal ibadah.

35Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqhh. 145-146, Lihat Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh, h.337, Lihat juga: Mukri Aji, Jurnal Ahkam, h.41-42, dan Lihat: Romli, Muqaranah mazahib, h.165-166.

36

Yusuf Qardhawi. Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam: Dalam Menghadapi Perubahan Zaman (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), cet I, h.24.


(47)

35

2. Secara keseluruhan, harus sesuai dengan tujuan-tujuan syariat, yang mana tidak menghilangkan satu dasarpun dari dasar-dasar agama, dan satu dalilpun dari dalil-dalil yang qath’i. Tetapi ia harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang menjadi tujuan dari syariat, meskipun tidak ditemukan dalil khusus yang menerangkannya.

3. Maslahah mursalah harus selalu mengacu kepada pemeliharaan hal-hal yang bersifat vital atau menghilangkan kesulitan dan hal-hal yang memberatkan di dalam agama.37

Selanjutnya Imam Malik, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakanya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat, syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Adanya kesesuaian antara mashlahat yang diperhatikan dengan maqasid al-syariah, dimana maslahat tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan dalil syara’ meskipun hanya satu.

2. Mashlahat tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat (rasional), yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap maslahat, sehingga tidak ada tempat untuk maslahat dalam maslahah ta’abbudiyah dan perkara-perkara syara’ yang sepertinya.

37

Yusuf Qardhawi alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih .(Jakarta: Pustaka al-Kautsar , 2001), cet. I h.91.


(48)

3. hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan tehadap perkara yang darûri (primer) menurut syara’ dan meniadakan kesempitan dalam agama.38

Bila kita perhatikan syarat-syarat maslahah mursalah diatas terlihat bahwa ulama yang memakai dan menggunakan maslahah mursalah dalam berhujjah cukup hati-hati dalam menggunakannya. Karena bagaimanapun juga apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapakan suatu hukum dalam hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.39

D. Metode Analisa Maslahah Mursalah

Sebagaimana halnya metode analisa yang lain, maslahah juga merupakan metode pendekatan istinbath (penetapan hukum) yang persoalannya tidak diatur secara ekplisit dalam al-Qur’an dan Hadits. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Maslahah mursalah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk suatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekplisit dalam al-Qur’an, akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang diungkapkan secara induktif oleh al-Qur’an dalam suatu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, ayat al-Qur’an tidak berperan sebagai dalail yang menunjukkan norma hukum tertentu, tapi menjadi saksi atas kebenaran

38Wahidul Kahar,” Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’”, (Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ,Jakarta: 2003), h.35-36.


(49)

37

fatwa hukumnya tersebut. Dengan demikian, sistem analisa tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kecendrungan syara dalam penetapan hukumnya.40

Pendekatan maslahah mursalah dalam metode kajian hukum dimulai dengan perumusan kaidah-kaidahnya yang dilakukan melalui sistem analisa induktif terhadap dalil-dalil hukum suatu perbuatan yang berbeda satu sama lain namun memperlihatkan subtansi ajaran yang sama. Kesamaan pada dimensi subtansinya itulah yang dijadikan premis-premis dalam perumusan kesimpulan induktifnya, sehingga dapat dirumuskan menjadi kaidah-kaidah maslahah mursalah yang merupakan kaidah kulli.41

Husein Hamid Hasan menyimpulkan, bahwa sistem analisa maslahah mursalah tiada lain adalah aplikasi makna kulli terhadap furu’ yang juz’î. Dengan demikian, sistem analisanya sama dengan sistem analisa qiyâs, bahkan lebih kuat dari qiyâs, karena pola qiyâs adalah menganalogikan furu’ pada asal yang hanya didukung oleh satu ayat atau nash. Sedangkan pada sistem analisa maslahah mursalah hukum asalnya didukung oleh beberapa ayat atau nash akan tetapi nash atau ayat tersebut bukan dijadikan sebagai dalil terhadap ketetapan hukumnya namun dijadikan sebagai saksi atas kebenaran fatwa hukum tersebut. Selain diambil makna subtansi ajarannya sebagai premis-premis dalam pengambilan

40

Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007) h.113. 41 Ibid., h. 115


(50)

kesimpulan induktifnya untuk merumuskan kaidah-kaidah kulliyah tentang maslahah mursalah tersebut.42

Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqh menerima pendekatan maslahah dalam metode kajian hukumnya43. Namun pendekatan ini cendrung telah menjadi identitas fiqh mazhab maliki, dimana fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan senantiasa beranjak dari pertimbangan kemaslahatan. Ada beberapa argumentsi yang dikemukakan para ulama Malikiyah tentang penggunaan pendekatan

maslahah dalam metode kajian hukumnya, yaitu:44

1) Bahwa para sahabat Nabi saw. Memperlihatkan sikap orientasi kemaslahatan dalam berbagai tindakan dan perbuatan keagamaannya, seperti menghimpun dan menulis kembali ayat-ayat al-Qur’an secara utuh kedalam mushaf-mushaf, serta meyebarluaskannya pada masyarakat.

2) Bahwa selama maslahah berjalan selaras dengan maksud syar’I dalam penetapan hukum, maka ia akan sesuai pula dengan kehendak syar’I terhadap para mukallaf. Dengan demikian, mengabaikan kemalahatan sama artinya mengabaikan kehendak syar’I.

3) Jika penetapan hukum tidak mempertimbangkan aspek kemalahatan, maka setiap mukallaf akan menghadapi berbagai kesukaran dalam kehidupannya.

42

Dede Rosyada, metode kajian hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta:Logos, 1999) cet. I, h. 71

43 Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami wa Najmu al-Din al-Thufi, kaherah, dar al-Fikr al-Arabi, 1964 hal. 48


(51)

39

Mustafa Zaid mengemukakan beberapa argumentasi penggunaan maslahah mursalah dalam kajian hukum, sebagai berikut:45

1) Bahwa tujuan diturunkannya Syariat adalah agar para mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya, karena jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan dihadapkan pada mafsadat (kerusakan).

2) Para ulama sepakat bahwa dalam setiap perbuatan dan tindakan selalu terdapat aspek maslahat atau mafsadat. Memelihara atau mewujudkan aspek maslahat merupakan bagian terpenting untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat.

3) Kebanyakan maslahat atau mafsadat di pengaruhi oleh perkembangan kondisional. Oleh karena itu, kajian maslahah harus dilakukan secara kontinyu dengan senantiasa memperhatikan perkembangan kondisi masyarakat.

Sedangkan menurut Imam Syatibi, sebagaimana dikutif oleh Husein Hamid Hasan, ada beberapa kaidah yang bisa digunakan oleh para ulama dalam melakukan analisa maslahah mursalah,46 yaitu:

1) Hukum perbuatan sama dengan hukum musababnya. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ketentuan hukum, antara lain Allah SWT mengharamkan setiap mukallaf untuk mendekati zina (khalwat). Kedudukan hukum khalwat yang merupakan penyebab terjadinya perzinaan, dalam

45

Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, h. 50

46Husein Hamid Hasan, Nazariyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Beirut, Dar al-Nahdah al-arabiyah, 197), h.65-92, lihat juga Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, h.115-116


(52)

konteks ini, sama dengan hukum perbuatan zina itu sendiri yang merupakan musabab dari khalwat.

2) Mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan khusus. Kaidah ini dirumuskan dengan memperhatikan beberapa norma hukum antara lain, larangan terhadap orang kota untuk membeli barang produk-produk orang desa di desa mereka, jika orang desa tersebut tidak mengetahui perkembangan harga pasar.

3) Menghindari kemudharatan yang lebih besar. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ayat atau nash yang memerintahkan uamat islam untuk berjihad di jalan Allah, meskipun harus melalui peperangan.

4) Memelihara jiwa. Kaidah ini di rumuskan setelah memperhatikan berbagai norma hukum yang mewajibkan orang islam membayar zakat untuk didistribusikan pada fakir miskin. Secara subtansial kaidah tersebut merefleksikan semangat ajaran Islam untuk memelihara jiwa dan kehidupan. 5) Menutup peluang-peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Kaidah ini

dirumuskan sebagai implikasi dari kaidah-kaidah maslahah mursalah yang telah dirumuskan diatas.

E. Objek Maslahah Mursalah

Tidak seorangpun yang menyangkal bahwa syari’at Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia. Syari’at itu membawa manusia kepada kebaikan dan kebahagian serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.


(53)

41

Pokok dan prinsip kemaslahatan itu sudah digariskan dalam teks syari’at dengan lengkap dan telah berakhir sejak wafat Nabi Muhammad saw. Alat dan cara untuk memperoleh kemaslahatan itu berkembang dan beraneka ragam, seirama dengan perkembangan sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Kemaslahatan hidup manusia yang ada hubungannya dengan situasi dan kondissi di zaman Nabi, langsung mendapat pengakuan dan pengesahan teks syari’at kalau itu dibenarkan dan dibatalkan kalau tidak dibenarkan. Maslahat yang dibatalkan berarti tidak dianggap sebagai maslahat oleh syariat.47

Yang menjadi masalah ialah kemaslahatan yang dirasakan atau dialami orang setelah Nabi wafat, sedang teks sayari’at tidak pernah menyinggung masalah yang seperti itu. Inilah objek atau lapangan penggunaan maslahah mursalah yaitu kemaslahatan hidup manusia menurut yang dilami dan dirasakan oleh manusia itu sendiri yang tidak dapat di qiyaskan pada maslahat yang pernah dibenarkan atau dibatalkan oleh teks syari’at (nash).48

Objek atau ruang lingkup penerapan maslahah mursalah menurut ulama yang menggunakannya itu menetapkan batas wilayah dan penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah seperti mua’malah dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali maslahah tidak dapat dipergunakan secara keseluruhan. Alasannya karena maslahah itu didasarkan pada pertimbangan akal

47 Chatib Muardi. Maslahah Mursalah Sebagai Pertimbangan Ijtihad Mengembangkan

Hukum yang Relevan dengan Kebutuhan Masa Kini. (Disertasi, Pascasarjana IAIN Jakarta, 1994), h.366.


(54)

tentang baik buruk suatu maslahah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.49

Segala bentuk perbuatan ibadah ta’abudî dan tawqîfî, yang mempunyai pengertian kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan pertunjukan syar’I dalam nash. Dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian, misalnya mengenai shalat dzuhur 4 rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.50Sedangkan segala bentuk perbuatan diluar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqqulî

(rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal, umpamanya minum khamr itu adalah buruk karena merusak akal, penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tingkat kekerasan.51

Contoh penggunaan maslahah mursalah antara lain: Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Qur’an kedalam beberapa mushaf, padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah saw. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan-pengumpulan itu tidak lain semata-mata maslahat, yaitu

49

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h.340. 50 Ibid., h. 340.

51

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 ,h. 340- 341, lihat pula Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 154; Departemem Agama RI, Ushul Fiqh I (t.th) h,. 149.


(55)

43

menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.52

Selanjutnya jika kita bisa memperhatikan produk-produk hukum ulama-ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa MUI, misalnya; fatwanya tentang keharusan “sertifikat halal” bagi produk makanan, minuman dan kosmetik. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat manusia (khususnya umat Islam) dari makanan, minuman dan obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak lagi yang lainnya.53

Contoh lainnya dari penerapan maslahah mursalah dalam problematika kontemporer yang belum ditunjukkan hukumnya oleh nas Qur’an dan al-Sunnah, yakni mengenai pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fiqh, tentang pencatatan perkawinan tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Kemungkinan besar, para ulama’ pada saat itu belum menganggap pencatatan perkawinan itu penting dan bermanfaat. Di sisi lain, pencatatan perkawinan tidak dilarang dalam Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban, kepastian hukum, dan mencegah terjadinya perkawinan monogami atau poligami

52

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 222.

53Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h. 46-47.


(56)

yang liar. Oleh karena dengan pertimbangan maslahah mengharuskan adanya pencatatan perkawinan seperti tersebut dalam UU No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) KHI. Dalam Pasal 5 ayat (1) KHI jelas-jelas disebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.54

Bila di perhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para sahabat, tabiin dan ulama-ulama itu, semuanya adalah merupakan hasil ijtihâd dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.55

54Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian

terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali) h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika-kontemporer/


(57)

45

BAB III

WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf

Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “ habasa-yahbisu-tahbisan”.1

Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara’ para ahli fiqh dalam tataran pengertian wakaf yang lebih rinci terdapat beragam pengertian, di antaranya yaitu: 1. Menurut Abu Hanifah

Abu Hanifah mendefinisikan, “wakaf adalah menahan materi harta yang tetap menjadi milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya untuk tujuan-tujuan kebaikan pada waktu seketika atau pada waktu yang akan datang”.2

2. Menurut Imam Malik

Wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak (mauquf alaih) dalam

1Sayyid Sabiq. alih bahasa oleh kamaluddin A., Marzuki, dkk Fikih Sunnah, (Bandung:Al-Ma’arif,1996), Jilid ke-14, cet. ke-8.h.148.

2

Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), cet. ke-2, h.243-244.


(58)

bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan (wakif).

3. Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal

Definisi wakaf menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.3

4. Menurut Mazhab Imamiyyah

Definisi wakaf menurut mazhab ini hampir sama dengan definisi wakaf menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal, namun mereka berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf a’laih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf a’laih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.4

Selain definisi yang terdapat menurut fiqh klasik, khusus di Negara kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf menurut hukum positif diuraikan sebagai berikut:

Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Bagian XI pasal 49 ayat 3 telah disebutkan bahwa:

“ perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah”.

3Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para

Digma Baru Wakaf di Indonesia,(Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), h.3.


(59)

47

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik telah dicantumkan dalam Bab I pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa, “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah mililk dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam”.

Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada Bab I Pasal 215 ayat 1 disebutkan bahwa, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam.

Sedangkan definisi wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat(1). Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Selain itu, Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf melalui rapat komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 mei 2002, bahwa wakaf adalah: “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap


(1)

karena itu, kepada para perumus Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, baik Mahkamah Agung, Pemerintah c.q. Departemen Agama, maupun para ulama yang terlibat dalam perumusan Undang-Undang ini, seyogyanya dapat meninjau kembali materi (pasal-pasal) dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf secara keseluruhan, serta merevisinya jika memang dianggap perlu dan mungkin untuk dilaksanakan demi kesempurnaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta kemaslahatan umat Islam Indonesia.

2. Kepada para hakim Pengadilan Agama, hendaknya dapat semaksimal mungkin menjadikan UU Wakaf sebagai rujukan dalam perkara yang menjadi kewenangannya (perwakafan), hal ini penting agar demi terciptanya unifikasi dan terciptanya kepastian hukum.

3. Kepada selutuh civitas akademika, khususnya Fakultas Syari’ah baik UIN maupun perguruan tinggi swasta, hendaknya lebih concern terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, melalui seminar maupun kajian-kajian lainnya demi mendapatkan metode yang efektif dalam mensosialisasikan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf di tengah masyarakat Islam Indonesia.

4. Diperlukan evaluasi secara intensif keefektifan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf oleh Departemen Agama khususnya dan umat Islam umumnya.


(2)

96

5. Perlu adanya sosialisasi mengenai Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf kepada masyarakat, baik dari media elektronik maupun cetak, ataupun melalui seminar-seminar dan penyuluhan, karena sampai saat ini belum banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui adanya peraturan Perundang-undangan ini.


(3)

97 2008.

Aji, Ahmad Mukri. Pandangan al-Ghazali Tentang Maslahah Mursalah, Jurnal Ahkam, IV,No. 08, (Jakarta:2002): h 37-45

al-Albani, Muhammad Nashirudin. Mukhtasar Shahih Muslim. Beirut: Maktab al-Islami,t.t

al-Buthi, Said Ramadhan. Dwabit al-Maslahah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Muassah al-Risalah,1997. Cet. III.

al-Ghazali, al-Mustashfa, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1998. Cet. II

Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta:Paramuda Advertising, 2008. Cet. I.

Daly, Peunoh dan Shihab,Quaraisy, (ed), Ushul Fiqh, Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad(Metode Penggalian Hukum Islam). Jakarta:Dirjen Bimas Islam Depag, 1986

Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : Depag, 1985

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka, 1996. Cet. II.

Djazuli, A. kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta : Kencana, 2007. Cet. II

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI. Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI ,2006

---, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Jakarta: Depag RI, 2006


(4)

98

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,

Para Digma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006

---, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 Dzarqa, Al-, Musthafa Ahmad Alih Bahasa: Ade Dedi Rohaya . Hukum Islam dan

Perubahan Sosial, Jakarta: Riora Cipta, 2000

Fathi, Osman, Mohamed. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006, Firdaus. Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta:Zikrul Hakim,2004. .

Cet. I

Hasan, Bisri, Cik. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Ciputat: Logos Publishing House, 1996. Cet. I. Hijaj, al-,Imam Abu al-Husain Muslim. Shahih Muslim, Mesir: Dar Hadits

al-Qahirah, 1994, jilid 6. Cet.I.

Kahar,Wahidul, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’”, Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah ,Jakarta: 2003

Kahlani, Imam Muhammad Ismail. Subulus Salam, Bandung: Dahlan, 1982, jilid 3 Khabisi, al-,Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer

Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta, Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf diterjemahkan dari Hikam Waqf Fi Al-Syari’ah Islamiyah. Jakarta:IIMaN, 2004, Cet. I.

Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press, 1996. Cet. VII.

Kholis, Nur. Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporer(kajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali)

Artikel diakses pada 30 Oktober 2009 dari

http://nurkholis77.staff.uii.ac.id/antisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika-kontemporer/


(5)

Mahmasani, Sobhi. alih bahasa:Ahmad Sudjono Filsafat Hukum dalam Islam. Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1976

Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Munawar, Said Agil Husin Al-. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penamadani, 2004. Cet. I

Najib,Tuti A. dan al-Makassary, Ridwaan. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perpektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Center for the Study of religion and Culture (CSRC), 2006.

Praja, Juhaya S. Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara, 1995.

Qardhawi, Yusuf alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih . Jakarta: Pustaka Al-Kutsar , 2001. Cet. I Qardhawi, Yusuf. Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam: Dalam Menghadapi

Perubahan Zaman. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Cet I Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Wijaya, 1954

Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet.I Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, alih bahasa oleh kamaluddin A., Marzuki, dkk.

Bandung : Al-Ma’arif, 1996. Jilid ke-14. Cet. VIII Sabiq, Sayyid. Fiqhu as-sunnah, Lebanon : Dar al-Arabi,1971

Suramaputra, Ahmad Munif. filsafat Hukum Islam al-Ghazali Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.

Syah, Ismail Muhammad, dkk. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Cet. II

al-Syatibi, Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Dar ibn Affan, 1997, jilid 2.


(6)

100

Umar, Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Pers ,2007. Cet. I Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah

dan fiqhiyah). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996

Usman, Rachmadi, Hukum Perwakafan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara Kritik atas Politik Hukum Islam

di Indonesia. Jakarta : LKIS, 2001

Zahra, Muhammad Abu Penerjemah Saefullah Ma’shum, dkk.. Ushul Fiqh. Penerjemah Saefullah Ma’shum, dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008. Cet, XI.