Objek Maslahah Mursalah MASLAHAH MURSALAH

43 menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat. 52 Selanjutnya jika kita bisa memperhatikan produk-produk hukum ulama-ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa MUI, misalnya; fatwanya tentang keharusan “sertifikat halal” bagi produk makanan, minuman dan kosmetik. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat manusia khususnya umat Islam dari makanan, minuman dan obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak lagi yang lainnya. 53 Contoh lainnya dari penerapan maslahah mursalah dalam problematika kontemporer yang belum ditunjukkan hukumnya oleh nas al-Qur’an dan al- Sunnah, yakni mengenai pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fiqh, tentang pencatatan perkawinan tidak termasuk syarat sahnya perkawinan. Kemungkinan besar, para ulama’ pada saat itu belum menganggap pencatatan perkawinan itu penting dan bermanfaat. Di sisi lain, pencatatan perkawinan tidak dilarang dalam Islam, bahkan mendatangkan maslahat yang banyak seperti untuk ketertiban, kepastian hukum, dan mencegah terjadinya perkawinan monogami atau poligami 52 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 222. 53 Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h. 46- 47. 44 yang liar. Oleh karena dengan pertimbangan maslahah mengharuskan adanya pencatatan perkawinan seperti tersebut dalam UU No. 1 tahun 1974, Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 5 ayat 1 KHI. Dalam Pasal 5 ayat 1 KHI jelas-jelas disebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. 54 Bila di perhatikan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh para sahabat, tabiin dan ulama-ulama itu, semuanya adalah merupakan hasil ijtihâd dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut. 55 54 Nur Kholis, Antisipasi Hukum Islam dalam Menjawab Problematika Kontemporerkajian terhadap pemikiran maslahah mursalah al-ghazali h. 4 artikel diakses pada tanggal 27 Feb 2010 07:35:39 http:nurkholis77.staff.uii.ac.idantisipasi-hukum-islam-dalam-menjawab-problematika- kontemporer 55 Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum Syara’, h. 49. 45

BAB III WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf

Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata “waqafa-yaqifu-waqfan” sama artinya dengan “habasa-yahbisu- tahbisan”. 1 Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara’ para ahli fiqh dalam tataran pengertian wakaf yang lebih rinci terdapat beragam pengertian, di antaranya yaitu: 1. Menurut Abu Hanifah Abu Hanifah mendefinisikan, “wakaf adalah menahan materi harta yang tetap menjadi milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya untuk tujuan-tujuan kebaikan pada waktu seketika atau pada waktu yang akan datang”. 2 2. Menurut Imam Malik Wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak mauquf alaih dalam 1 Sayyid Sabiq. alih bahasa oleh kamaluddin A., Marzuki, dkk Fikih Sunnah, Bandung:Al- Ma’arif,1996, Jilid ke-14, cet. ke-8.h.148. 2 Ismail Muhammad Syah, dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 1992, cet. ke-2, h.243-244. 46 bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan wakif. 3. Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal Definisi wakaf menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. 3 4. Menurut Mazhab Imamiyyah Definisi wakaf menurut mazhab ini hampir sama dengan definisi wakaf menurut Imam Syafi’I dan Ahmad bin Hambal, namun mereka berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf a’laih yang diberi wakaf, meskipun mauquf a’laih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya. 4 Selain definisi yang terdapat menurut fiqh klasik, khusus di Negara kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf menurut hukum positif diuraikan sebagai berikut: Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria Bagian XI pasal 49 ayat 3 telah disebutkan bahwa: “ perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah”. 3 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Para Digma Baru Wakaf di Indonesia,Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006, h.3. 4 Ibid ., h.3-4. 47 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik telah dicantumkan dalam Bab I pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa, “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah mililk dan melembagakannya untuk selama- lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam”. Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada Bab I Pasal 215 ayat 1 disebutkan bahwa, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan definisi wakaf menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat1. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan danatau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya guna keperluan ibadah danatau kesejahteraan umum menurut syariah. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf melalui rapat komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 mei 2002, bahwa wakaf adalah: “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap 48 benda tersebut menjual, memberikan, atau mewariskannya, untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang mubah tidak haram yang ada”. 5 Dari definisi diatas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda tersebut masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikanya berakhir, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, serta harta tersebut dipersembahkan oleh si wakif orang yang mewakafkan untuk tujuan amal saleh guna mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dengan melepaskan harta wakaf itu menjadi milik Allah SWT sehingga tidak dapat dimiliki atau dipindah tangankan kepada siapapun dan dengan cara bagaimanapun juga. Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahanman teks ayat al-Qur’an dan juga Sunnah. Tidak ada dalam ayat al- Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Namun yang ada adalah pemahaman konteks terhadap ayat al-Qur’an yang dikategorikan sebagai amal kebaikan. Ayat-ayat yang dijadikan landasan hukum adanya wakaf adalah sebagai berikut: 6 ﻮﺤﻠﹾﻔﺗ ﻢﹸﻜﹶﻠﻌﹶﻟ ﺮﻴﺨﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻠﻌﹾﻓﹺﻭ ﻢﹸﻜﺑﺭ ﺍﻭﺪﺒﻋﺍﻭ ﺍﻭﺪﺠﺳﺍﻭ ﺍﻮﻌﹶﻛﺭﺍ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﹾﺍ ﺎﻬﻳ ﹶﺄﻳ ﹶﻥ ﺞﳊﺍ ۲۲ : ۷۷ 5 Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, perkembangan pengelolaan Wakaf di Indonesia,Jakarta:Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006, h.163 6 Ibid., h. 23-24