Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba. (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir).

(1)

NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH

ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH

MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

(Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula,

Sagala, Kabupaten. Samosir)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi

Disusun Oleh :

MELDA E. S

060905026

DEPARTEMENT ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:

Nama : Melda E. S.

Nim : 060905026.

Judul : Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba.

(Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir).

Medan, 11 April, 2011 Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Drs. Yance, MSi) ( Dr. Fikarwin Zuska ) Nip. 19580315 198803 1 003 Nip. 19621220 198903 1 005


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan panitia penguji Departemen Antropologi Sosial Pada :

Hari :

Tanggal : Pukul :

Tim Penguji : Ketua : Penguji I : Penguji II :


(4)

ABSTRAK

Melda Elysah Simanjuntak, 2010. Judul: “NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA” (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir). Skripsi ini terdiri dari 5 Bab + 112 halaman + 4 daftar tabel + 27 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau untuk mencari tahu penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas, dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja. Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya masih pemikiran masyarakat tradisional.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, untuk mengumpulkan data tentang arti dari rumah Adat dan gorganya di suku Batak yang berada di Hutaurat dan Hutabalian. Juga untuk mengumpulkan data tentang sejauh apa kebiasaan, kebiasaan, ekonomi, dan sistem mata pencaharian, pesta tahunan untuk menyambut perantau, pola pikir penduduk dan sistem kekerabatan yang mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian, sehingga rumah Adat dan rumah panggung tidak dibangun lagi, yang dibangun rumah sederhana yang berbahan modern.

Hutaurat dan Hutabalian terkenal dengan nama desa “Sianjur Mula-mula”, dimana rumah Adat dan asal-muasal nenek moyang suku Batak berada disana. Rumah Adat adalah salah satu simbol identitas dari suku Batak, dimana jumlahnya semakin lama semakin berkurang. Seiring dengan berjalannya waktu, rumah Adat tidak dibangun lagi, digantikan dengan rumah panggung dan rumah modern. Hasil penelitian di lapangan, rumah panggung juga tidak dibangun lagi pada tahun 1950, karena keadaan ekonomi penduduk sangat susah. Rumah sederhana mulai banyak bermunculan pada tahun 1960, akan tetapi pemkaian bahan-bahan modern pada rumah, mulai berkembang pada tahu 1990. Pada aplikasi rumah Adat pada rumah modern, nilai/makna bentuk dan fungsi rumah adat juga berubah. Sesuai dengan keinginan si pemilik rumah. Ruangan pada rumah Adat Batak yang diaplikasikan pada rumah modern telah dirubah memiliki ruang privat (pribadi).


(5)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Adapun judul skripsi ini adalah :

Nilai/Makna Bentuk Dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten Samosir).

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang penulis cintai, mereka adalah : Orang tua saya, F. Simanjuntak/ T. Matanari yang telah merawat dan membesarkan saya, juga telah memberikan dana untuk penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : Prof. Dr. Badarrudin, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Dr. Fikarwin Zuska, sebagai ketua Departemen Antopologi FISIP USU, Drs. Agustrisno, MSP sebagai sekretaris Departemen Antopologi FISIP USU. Drs. Yance sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama mengerjakan skripsi ini. Drs. Lister Berutu, MA selaku ketua penguji pada saat penulis ujian komprehensif dan sebagai dosen Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini. Seluruh dosen-dosen antropologi yang telah mendidik dan mengajar penulis dalam perkuliahan. Juga teman-teman stambuk 2006, Eni, Ruli, Gaby, Aros, dan lain-lain. Serta adik-adik stambuk 2007, 2008, 2009, penulis ucapkan terimakasih atas bantuannya selama ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Prof. Basuki Wirjosentono. MS PHD, Ibu Mei Jusna Arsil, DR. Datten, Ibu Harlem, dan terutama kepada pelatih dansa penulis kakak Marisa citra dan Asti yang cerewet


(6)

juga teman-teman lainnya, terima kasih karena secara tidak langsung telah menguatkan mental penulis dan menjauhkan penulis dari rasa bosan dan penyakit stres dan depresi dalam proses pembuatan skripsi ini.

Akhir kata, penulis banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang telah banyak membantu penulis selama ini. Seseorang-orang pernah mengatakan kepada penulis : “Tiada guna menyesali masa lalu,tiada guna sibuk mencemaskan masa depan, berhasillah dan nikmatilah kehidupan dalam kedamaian masa kini, karena waktu tidak akan pernah terulang dan kembali”. Kata-kata tersebut berdesir sejuk bagai bara panas yang tersiram air dingin, dan membuat hati penulis terasa ringan. Penulis memulai berfikir positif dari sejak itu. Masalah bukan masalah jika tidak ada solusinya, karena susah itu tidak ada gunanya. Penulis berterimakasih kepada seseorang yang entah siapa namanya, sehingga dalam masa kesusahan penulis masih dapat menegakkan kepala dan menghiasi wajah penulis dengan seulas senyuman. Terkadang, seseorang lupa untuk tersenyum. Jangan pernah berharap untuk mendapatkan kasih sayang, sebelum kamu memulainya terlebih dahulu.


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Melda Elysah. Simanjuntak, lahir di

Medan 6 Oktober 1986, pada usia 1-3 tahun tinggal di Aceh Selatan, 3-4 tahun tinggal di Parapat. Pada usia 4,5 tahun sekolah di Tk. Santa Maria di Sibolga, SD. Negeri di Sibolga Baru, Sibolga, SMP.Negeri 1 di Sibolga, dan SMA. GKPI PAMEN di Medan. Lulus SMA (Jurusan IPA1) pada tahun 2004, dan bekerja di toko Rivaldo ponsel.

Pada tahun 2005, kuliah Diploma1 di AMIK TRIGUNA DHARMA sambil bekerja. Pada tahun 2006, kuliah di UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU), Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP), Jurusan Antropologi Sosial. Selama menjadi Mahasiswi Antropologi, lalu mengambil keputusan untuk berhenti bekerja karena sedang menyelesaikan Tugas Akhir Diploma1, dan lulus pada September/2006 dan juga sedang menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

Adapun kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti selama menjadi mahasiswi Antropologi, FISIP/USU adalah :

1. Tari Tradisional di Lembaga Kemahasiswaan (LK) USU, bimbingan dari Pembantu Rektor (PR III), bagian kemahasiswaan (Beni), periode (2006-2008).

2. Ketua Club Dansa USU di Lembaga Kemahasiswaan (LK) USU, bimbingan dari : Prof. Basuki Widosensono di Jurusan KIMIA/MIPA dan Ketua IODI (Ikatan Olahraga Dansa Indonesia), periode (2008-2010). 3. Anggota tidak tetap KOMPAS USU, Volly USU dan UKM. Taekwondo


(8)

KATA PENGANTAR

Rumah adat sering disebut dengan ”ruma gorga” atau juga sering disebut dengan ”ruma bolon”, yaitu : rumah besar yang memiliki penuh ukiran-ukiran dan makna-makna simbolik. Pada posisi rumah, terdapat kepercayaan akan : banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah/bumi), dan banua toru (dunia bawah/dunia para makhluk halus). Pada konsep tradisional, sebuah rumah tidak hanya memiliki dimensi fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk tertentu menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis yang mendalam.

Rumah bolon selain sebagai rumah adat dan simbol status sosial, juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang bersifat religius. Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi tersebut juga berubah. Perubahan tersebut menyebabkan rumah Adat tidak dibangun lagi. Pada satu sisi, sumber daya manusia untuk membangun rumah Adat itu sudah mulai berkurang, di sasi lain bahan sulit di dapat, bila di dapatkan maka harganya akan jauh lebih mahal, sehingga penduduk memilih membangun rumah yang sederhana dengan bahan-bahan yang terjangkau harga dan kualitasnya lumayan (bahan-bahan-bahan-bahan modern).

Kata nilai adalah kata benda abstrak yang berarti ”keberhargaan”. Nilai memiliki bobot kebaikan, kebenaran, dan keindahan, sehingga nilai dapat dipandang secara positif dan negatif dengan tidak terlepas dari sumber daya yang tersedia. Nilai berbeda corak sesuai dengan tempat dan sosiokultural lingkungan tertentu. Makna berkaitan dengan suatu objek atau lingkungan. Kadang kala, makna juga berkaitan dengan kualitas emosional si pengamat yang dirasakan berkenaan dengan objek atau lingkungan tertentu. Imaji, simbol dan tanda (image, symbol ,dan sign).

Salah satu objek yang memiliki bentuk dan memenuhi fungsi dan kegunaannya adalah ”rumah”. Setiap kebudayaan mempunyai identitas. Bagi yang jelas identitasnya hal ini tidak akan menjadi masalah. Orang akan dapat lebih


(9)

berubah. Pada umumnya orang yang mengenal betul identitas serta kebudayaannya akan merancang dan membangun rumahnya sesuai dengan kaidah-kaidah kearifan lokal masyarakat setempat.

Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan, apabila ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Akhir kata penulis sampaikan sekian dan terimakasih.

Medan, April 2011 Hormat saya,


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN ORGINALITAS

ABSTRAK i

UCAPAN TERIMAKASIH ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR FOTO xi BAB I PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH 1

B. PERUMUSAN MASALAH 6

C. LOKASI PENELITIAN 10

D. TUJUAN PENELITIAN 11

E. MANFAAT PENELITIAN 13

F. TINJAUAN PUSTAKA 13

G.METODE PENELITIAN 16

H.ANALISA DATA 17

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18

A. SEJARAH TERJADINYA HUTAURAT DAN HUTABALIAN DI SIANJUR MULA-MULA 18

B. LOKASI DAN KEADAAN ALAM 23

C. KEADAAN PENDUDUK 24

1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin 24

2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa 25

3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama 26

4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan 26

5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian 27

D. SARANA DAN PRASARANA 28

1. Pola Pemukiman 28

2. Sarana Pemerintahan 31

3. Sarana Organisasi Masyarakat 32

4. Sarana Peribadatan 34

5. Sarana Transportasi 35

6. Sarana Pendidikan 35


(11)

9. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi 38

10.Sarana Umum 39

E. SISTEM KEMASYARAKATAN 39

BAB III RUMAH ADAT BATAK TOBA 41

A. SEJARAH RUMAH ADAT

DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 41 B. NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI

RUMAH ADAT DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 43

1. Penggolongan ”Gorga” 44

2. Jenis-Jenis Ornamen Pada Anatomi Rumah 63

3. Rumah Adat 64

BAB IV APLIKASI RUMAH ADAT PADA RUMAH MODERN

PADA MASYARAKAT BATAK TOBA 77

A. PENGERTIAN NILAI DAN MAKNA 77

1. Nilai 77

2. Makna 77

B. BENTUK DAN FUNGSI 78

C. PENGERTIAN RUMAH 79

D. PERKEMBANGAN BENTUK RUMAH

DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 83

E. ADAT PADA PROSES MEMBANGUN RUMAH 88

1. Tahap Perencanaan Bangunan (Denah Rumah Modern) 90

2. Pondasi/Peletakan Batu Pertama 92

3. Dinding 93 F. NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSIRUMAH ADAT

YANG DI APLIKASIKAN PADA RUMAH MODERN 94

1. Falsafah Masyarakat Batak Toba Tentang Rumah 94 2. Fungsi dan Makna Rumah 95 3. Fungsi Makna Rumah Menurut Agama Kristen 103 G. UNSUR KEMODERNISASIAN

PADA APLIKASI RUMAH ADAT BATAK TOBA

PADA RUMAH MODERN 104

BAB V PENUTUP 109

A. KESIMPULAN 109 B. SARAN 112

LAMPIRAN :

Daftar Pustaka

Daftar Istilah

Interview guide (Instrument Penelitian)

Daftar Informan

Peta


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 (Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ) 25 Tabel. 2 (Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan) 27 Tabel. 3 (Pengkategorian rumah berdasarkan jenisnya) 30 Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan dari Kepala Tukang


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gorga Iran-iran (Tidak terdapat pada lokasi) 47

Gambar 2. Gorga Gaja Dompak (Tidak terdapat pada lokasi) 52

Gambar 3. Gorga Hariara Sudung Di Langit (Tidak terdapat pada lokasi) 55

Gambar 4. Gorga Sitompi 58

Gambar 5.Gorga Simeol-eol (Tidak terdapat pada lokasi) 58

Gambar 6.Gorga Simeol-eol Marsialoan 59

Gambar 7.Gorga Simata Ni Ari 61

Gambar 8.Gorga Sijongging (Tidak terdapat pada lokasi) 62

Gambar 9.Gorga Hoda-hoda (Tidak terdapat pada lokasi) 62

Gambar 10. Penyambungan lantai dengan tiang (bagian bawah) 71

Gambar 11. Pembagian ruang pada rumah adat Batak Toba 75


(14)

DAFTAR FOTO

Foto 1. Gorga Dalihan Na Tolu 45

Foto 2. Gorga Sitangan 46

Foto 3. Gorga Simarogung-ogung 48

Foto 4. Gorga Silintong 49

Foto 5. Gorga Jengger atau Jorngom 50

Foto 6. Gorga Ulu Paung 51

Foto 7. Gorga Singa – Singa 53

Foto 8. Gorga Desa Na Ualu 56

Foto 9. Gorga Boraspati 57

Foto 10. Gorga Susu 57

Foto 11. Gorga Ipon-ipon 60

Foto 12. Anatomi Rumah Adat Batak toba 67

Foto 13. Tempat Pargocci 70

Foto 14. Pintu rumah adat Batak Toba 72


(15)

ABSTRAK

Melda Elysah Simanjuntak, 2010. Judul: “NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA” (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir). Skripsi ini terdiri dari 5 Bab + 112 halaman + 4 daftar tabel + 27 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau untuk mencari tahu penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas, dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja. Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya masih pemikiran masyarakat tradisional.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, untuk mengumpulkan data tentang arti dari rumah Adat dan gorganya di suku Batak yang berada di Hutaurat dan Hutabalian. Juga untuk mengumpulkan data tentang sejauh apa kebiasaan, kebiasaan, ekonomi, dan sistem mata pencaharian, pesta tahunan untuk menyambut perantau, pola pikir penduduk dan sistem kekerabatan yang mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian, sehingga rumah Adat dan rumah panggung tidak dibangun lagi, yang dibangun rumah sederhana yang berbahan modern.

Hutaurat dan Hutabalian terkenal dengan nama desa “Sianjur Mula-mula”, dimana rumah Adat dan asal-muasal nenek moyang suku Batak berada disana. Rumah Adat adalah salah satu simbol identitas dari suku Batak, dimana jumlahnya semakin lama semakin berkurang. Seiring dengan berjalannya waktu, rumah Adat tidak dibangun lagi, digantikan dengan rumah panggung dan rumah modern. Hasil penelitian di lapangan, rumah panggung juga tidak dibangun lagi pada tahun 1950, karena keadaan ekonomi penduduk sangat susah. Rumah sederhana mulai banyak bermunculan pada tahun 1960, akan tetapi pemkaian bahan-bahan modern pada rumah, mulai berkembang pada tahu 1990. Pada aplikasi rumah Adat pada rumah modern, nilai/makna bentuk dan fungsi rumah adat juga berubah. Sesuai dengan keinginan si pemilik rumah. Ruangan pada rumah Adat Batak yang diaplikasikan pada rumah modern telah dirubah memiliki ruang privat (pribadi).


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A.MASALAH DAN LATAR BELAKANG.

Kehidupan kelompok masyarakat tidak bisa terlepas dari kebudayaannya, sebab kebudayaan ada karena masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari kebudayaan adalah adat-istiadat, sedangkan upacara adalah wujud nyata aktifitas adat-istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Pada masyarakat tradisional, kegiatan untuk mengaktifkan kebudayaan itu memang menjadi sarana sosialisasi bagi kebutuhan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi, dalam arti lain kebudayaan adalah : “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 2002). Menurut Malinowski, Kebudayaan dan organisasi sosial juga adalah : “respons-respons terhadap kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis” (Saifuddin, 2005).

Kebudayaan menandakan ciri etnisitas, dimana etnisitas sebagai unsur identitas. Etnisitas menunjuk kepada pemisahan antara kami dan mereka. Salah satu faktor utamanya adalah manusia sebagai pembentuk kebudayaan. Selain itu, terdapat faktor penting lainnya yang turut mempengaruhi terbentuknya kebudayaan adalah :


(17)

2. Kontak antara bangsa sebagai akibat migrasi, dan 3. Keyakinan atau kepercayaan yang telah berurat akar.

Unsur-unsur kebudayaan juga sangat berpengaruh atas terbentuknya kebudayaan. Adapun unsur-unsur tersebut adalah :

1. Bahasa,

2. Sistem Pengetahuan, 3. Organisasi sosial,

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem matapencaharian hidup, 6. Sistem religi, dan

7. Sistem kesenian.

Pemikiran ini bertitik tolak pada pemahaman tentang kepribadian. Dalam banyak hal karya budaya manusia akan dipertanyakan perihal identitas (tanda pribadi), kalau identitas itu ditunjukkan pada manusianya, maka dapat segera dijawab tentang nama, asal-usul (keturunan), kebangsaan dan ciri khas yang dimilikinya. Berarti dalam karya budaya yang tidak lain adalah karya manusia itu sendiri, dimana selalu berkaitan dengan ”Bentuk dan Karya seni”, disatu sisi bentuk atau karya seni dianggap sebagai Arsitektur.

Menurut Van Romondt, Arsitektur adalah : ”Ruang tempat hidup manusia dengan bahagia” (Laporan Seminar Tatalingkungan Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1985).

(Pengklasifikasian unsur kebudaya berdasarkan tiga wujud kebudayaan : sistem budaya, sistem sosial, dan


(18)

Arsitektur sering dikaitkan dengan bahasa, kepercayaan, ekonomi, keilmuan dan profesi (keprofesionalan). Pada zaman dahulu hingga zaman sekarang ini, arsitektur tidak terlepas dari makna, manfaat, dan kepentingan-kepentingan manusia sebagai penciptanya.

Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak masukan baru yang berasal dari kebudayaan asing yang sekiranya dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia (Ronald, 2005). Dapat dicatat beberapa hal penting dari pernyataan itu, bahwa kebudayaan itu tidak ”statis”, yang berarti berkembang dengan tidak menolak pengaruh kebudayaan yang datang dari luar.

Salah satu dari sekian banyak peninggalan budaya adalah ”Rumah Adat”. Adapun rumah adat yang ingin diteliti adalah rumah adat Batak Toba, khususnya di desa Hutaurat dan Hutabalian, di Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Sagala, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Indonesia.

Kebudayaan adalah pola bagi kelakuan, artinya kebudayaan mengatur manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya dapat bertindak, berbuat, menentukan sikap bagaimana berhubungan dengan orang lain. Adanya kebudayaan, terwujud suatu kelakuan untuk memahami dan mentafsirkan lingkungan yang dihadapi. Kelakuan ini menghasilkan benda-benda kebudayaan yang bisa disebut juga sebagai karya arsitektur.


(19)

Rumah adat pada masyarakat Batak Toba adalah salah satu dari banyak karya arsitektur. Adapun arsitek disebut sebagai orang yang merancang dan membangun suatu bangunan pada zaman modern ini, sedangkan pada zaman dahulu di Hutaurat dan Hutabalian orang yang memiliki kemampuan seperti arsitek ini disebut sebagai ”orang pande”. Perbedaannya, gelar arsitek pada zaman sekarang diperoleh dengan belajar di perguruan tinggi, sedangkan ”orang pande” keahliannya diperoleh dari hasil berhubungan dengan orang lain dan

pengalaman pribadi orang tersebut. Adapun ”orang pande”, dia tidak pernah bekerja sendiri dalam membangun rumah adat. Selalu saja bekerja sama dengan ”datu” (orang yang mengerti kehidupan gaib dan spritual yang dipercaya oleh masyarakat), juga ”tokoh bius/raja bius” (tokoh adat/raja adat), juga para pengetua kampung (orang-orang tua yang mengerti tentang rumah adat).

Pada penelitian yang akan dilakukan ini, bukan meneliti bagaimana desain rumah adat Batak Toba yang sebenarnya, akan tetapi lebih mengarah pada penjelasan apa yang melatarbelakangi pola fikir masyarakat suku Batak Toba, sehingga membangun rumah dengan bentuk dan ukiran seperti yang terdapat pada rumah adat Batak Toba. Selain dari pada itu, rumah adat-rumah adat di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kepercayaan, demikian juga rumah adat Batak Toba. Agama, adat-istiadat, dan aturan-aturan pada masyarakat suku Batak Toba selalu saling melengkapi satu sama lain, sehingga terwujud suatu keseimbangan didalam kehidupan bermasyarakat.


(20)

Ruma/Jabu (rumah) pada suku Batak Toba berbeda-beda nama dan penyebutannya. Rumah juga dibedakan berdasarkan :

1. Berdasarkan Bentuknya.

Ruma dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu : 1.1 Ruma Gorga (Jabu Batara Guru).

1.2 Ruma Tanpa Gorga (Jabu Batara Siang).

1.3 Ruma Berukuran Kecil dan sederhana (Sibaba Ni Amporik/masyarakat tidak mampu).

2. Berdasarkan Besar/kecilnya. 2.1 Ruma Besar (Ruma Bolon).

2.2 Ruma Kecil (Jabu Parbale-balean).

3. Ruma Adat (Jabu Sibaganding Tua, Jabu Batara Guru, Jabu Sari Munggu : Ruma Gorga yang penuh ukiran dan makna).

4. Ruma yang tidak sesuai dengan adat dan norma 4.1 Jabu Ereng : Rumah tak berukiran.

4.2 Jabu Bontean : dindingnya dari tepas. 5. Ruma Sekeluarga (“Ruma Parsantiang”).

Bangunan ini didirikan oleh satu keluarga dan diwariskan ke pada anak paling bungsu (Adat Balige). Sedangkan menurut Adat di Sianjur Mula-Mula diwariskan ke pada anak sulung.

Berdasarkan keterangan tersebut, hal yang menjadi latar belakang masalah adalah situasi ataupun keadaan yang menuntut suatu perubahan. Situasi ataupun keadaan


(21)

yang sudah mempunyai keterbatasan dalam menyediakan sumber daya alam, dan bentuk-bentuk Interaksi yang membuat perubahan rumah adat dalam aplikasinya ke dalam rumah modern, sehingga terbentuklah rumah modern yang memiliki nilai-nilai budaya.

B. PERUMUSAN MASALAH.

Hutaurat dan Hutabalian adalah salah satu desa yang mengalami perubahan secara perlahan. Perubahan itu terjadi disebabkan proses Interaksi, dimana keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah salah satu penyebabnya. Adapun kebutuhan hidup tersebut adalah : pangan, sandang, dan papan. Bilamana ketiganya harus diuraiakan, maka semuanya akan selalu mempunyai pengertian jasmani dan rohani, material maupun spritual dan nyata maupun hanya dalam bentuk lambang (simbolik).

Berdasarkan penjelasan di atas, rumah juga adalah salah satu kebutuhan hidup. Selain sebagai tempat tinggal, tempat untuk berteduh, juga sebagai tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan seharí-hari. Rumah juga dipakai sebagai tempat untuk melakukan setiap upacara-upacara adat, ini biasanya disebut dengan rumah adat. Rumah adat biasanya memiliki nilai keindahan spritual, dimana terdapat lambang bentuk ukiran-ukiran yang memiliki nilai/makna yang memiliki arti religius dan biasanya dijadikan sebagai simbol identitas.

Adapun yang menjadi pertanyaan adalah :

1. Bagaimana Hubungan Pandangan Hidup Orang Batak Toba di Hutaurat dan Hutabalian pada zaman dahulu dan rumahnya, serta perubahannya dimasa sekarang?


(22)

2. Bagaimana Hubungan Kepribadian Orang Batak Toba dengan Arsitektur Rumah Adat pada zaman dahulu yang diaplikasikan ke dalam Rumah Modern dimasa sekarang?

3. Faktor mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian dimasa sekarang?

Faktor-faktor yang menjadi sebab-sebab perubahan, yaitu : 1) Faktor Sumber Daya Manusia.

Sumber daya manusia sangat berperan penting dalam mempengaruhi variabel-variabel terjadinya perubahan. Pola fikir masyarakat dan kepribadian yang mengalami perubahan secara perlahan dan keinginan untuk selalu memenuhi kebutuhan hidup, menjadikan sumber daya manusia selalu berkembang. Oleh karena itu, rumah adat terbentuk. Pada zaman modern Sekarang ini, manusia di satu sisi ingin mengikuti perkembangan zaman, di sisi lain juga ingin melestarikan budaya mereka. Sehigga, adaya keinginan untuk menjadikan rumah modern bernuansa tradisional dengan cara mengaplikasikan rumah adat pada rumah modern atau rumah adat yang dibangun secara modern.

2) Faktor Psikologi.

Faktor psikologi adalah salah satu penyebab terjadinya perubahan. Tingkah laku dan gaya hidup yang semakin lama semakin berubah, menyebabkan pengetahuan tradisional yang telah diwariskan mulai


(23)

dilakukan. Hal ini berhubungan dengan pola pengasuhan anak dan lingkungan sosial yang perlahan mulai berubah. Selain itu, kebiasaan merantau dan kembali ke kampungnya, menyebabkan pola fikir, cara pandang, arah tujuan kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang dipegang oleh orang-orang zaman dahulu mulai berubah perlahan ke arah yang lebih modern.

3) Faktor Ekonomi.

Kemampuan untuk membangun rumah adat tersebut disertai juga dengan kemampuan untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membangun rumah adat. Pada zaman dahulu, bahan-bahan di peroleh dari hutan tidak sepenuhnya secara gratis, asalkan “harus melakukan syarat-syarat secara ritual adat dalam poses pengambilan kayunya ke hutan”. Suatu penjelasan bahwa, ada harga (tidak secara tunai dan tidak secara langsung yang harus dibayar kepada raja huta).

Pada zaman sekarang, bahan-bahan sangat sulit diperoleh, apabila dapat diperoleh bahan-bahan tersebut, harganya lebih mahal dari pada kayu biasa. Hal inilah yang menjadikan rumah modern selalu dipilih, karena memiliki bahan-bahan yang mudah dicari dan biaya lebih terjangkau dari pada membangun kembali rumah adat. Waktu dan proses lama pembangunan rumah modern tersebut berdasarkan si pemilik dan kepala tukangnya, biasanya antara 3- 7 bulan.


(24)

4) Faktor Religi (kepercayaan).

Kepercayaan penduduk pada zaman dahulu adalah “Kepercayaan Parmalim” (menyembah leluhur-leluhur batak) dan kepercayaan kepada ilmu-ilmu gaib. Seiring perubahan yang terjadi, penduduk beralih kepada agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Oleh karena itu, rumah bolon “ruma gorga” sudah tidak lagi dibangun seiring dengan peralihan agama yang dilakukan oleh penduduk di lokasi penelitian.

5) Faktor Teknologi.

Adapun faktor teknologi adalah disesuaikan dengan iklim dan keadaan alam, kebiasaan atau cara hidup masyarakat, sumber daya alam, peralatan yang digunakan, ilmu pengetahuan dan akal manusia.

“Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba”, adalah judul penelitian yang tercermin dari keinginan untuk meneliti segala permasalahan yang muncul. Salah satu diantaranya adalah keinginan untuk meneliti bagaimana orang Batak Toba memenuhi rasa keindahan, status sosial, identitas, dan lain-lain. Terutama untuk melestarikan budaya yang ada, karena budaya adalah salah satu hal yang unik, berbeda-beda dan dipakai sebagai identitas apabila berinteraksi dengan orang asing (suku atau bangsa lain).


(25)

C. LOKASI PENELITIAN.

Penelitian dilakukan di kecamatan Sianjur Mula-Mula, Hutaurat dan Hutabalian. Transportasi yang ada ke daerah tersebut hanya dua saja dari Medan. Mobil angkutan kecil SAMPRI dan PSN, SAMPRI tidak selamanya diturunkan ke tempat lokasi langsung, sedangkan dengan menaiki PSN kita akan diturunkan langsung ke tempat tersebut. Ada sekitar 6 jam dari Medan ke daerah lokasi penelitian. Jumlah penduduk di Hutaurat dan Hutabalian adalah 148 Kepala Keluarga (KK), agamanya mayoritas Kristen Protestan 147 KK dan 1 KK beragama Katolik. Gereja ada 3 di lokasi, 2 Gereja GKPI dan 1 Gereja HKBP. Sedangkan Gereja Katolik ada di Hutabagas. Matapencaharian adalah bertani. Hasil utama daerah tersebut adalah beras siboru tambun, bawang merah, kopi, dan kacang.

Alasan memilih lokasi ini adalah Hutaurat dan Hutabalian (balian galung) masih memiliki sisa-sisa peninggalan kebudayaan suku Batak Toba, terutama rumah adatnya. Adapun daerah Sianjur Mula-Mula ini terkenal dengan pusat spritual suku Batak Toba, dimana terkenal juga sebagai sejarah asal-muasal suku Batak Toba. Hal yang menarik lagi, hewan ternak seperti kerbau pada pagi hari di lepas di Pusuk Buhit (perbukitan yang ditumbuhi rerumputan dan pohon-pohon yang tidak terlalu besar, seperti : pohon pinus) dengan begitu saja, karena kerbau akan mencari makanannya sendiri di Pucuk Buhit dan pada sore harinya, anak-anak pengembala kerbau mendaki Pusuk Buhit untuk membawa kerbaunya kembali kekandangnya. Biasanya setelah dibawa kerbau dimandikan di sungai yang berada di bawah Pusuk Buhit, lalu dimasukkan di kandang.


(26)

Lokasi penelitian ini sangat unik, karena desa dapat dilihat langsung apabila kita mendaki Pucuk Buhit (perbukitan), dimana bentuknya seperti kuali. Desa yang dikelilingi oleh Pucuk Buhit ini, memiliki seni bangunan yang religius. Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan seni ukir dan seni hias yang terdapat pada bangunan rumah dan tugu-tugu yang ada disana. Udara dan air sungai yang bersih dapat memberikan ketenangan bagi orang kota yang berkunjung ke sana.

D. TUJUAN PENELITIAN.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui atau untuk mencari tahu penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas, dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja, penulis mengetahui dari berbagai sumber tulisan-tulisan tentang rumah adat Batak Toba dan membaca sekilas mengenai rumah adat tersebut (toba.com, 6 Juni-2010), dan penulis tertarik untuk mengetahui keterkaitan antara rumah adat dan pengaplikasiannya pada rumah modern.

Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya masih pemikiran masyarakat tradisional. Budaya masyarakat modern adalah :


(27)

1. Susunan dan corak masyarakat Heterogen.

2. Sangat ketergantungan terhadap alam sekitar, akan tetapi kurangnya kepedulian terhadap alam.

3. Interaksi sempit, cenderung untuk bersifat individualis, egois dan kompetitip.

4. Kehidupan rumah tangganya tertutup, mementingkan privacy.

5. Kecenderungan mengagungkan kebendaan dan Ketergantungan pada peralatan yang sophisticated yang bersifat instan dan cepat.

6. Kemampuan berfikir relatif tinggi, menggunakan ratio dan logika. 7. Cepat menerima pengaruh dari luar.

8. Cenderung mencari nilai-nilai yang baru, dan lain-lain. Adapun budaya masyarakat tradisional adalah :

1. Susunan dan corak masyarakat homogen. 2. Menghargai dan akrab dengan alam sekitarnya. 3. Interaksi luas, selalu bekerja sama (gotong-royong). 4. Dipengaruhi kepercayaan religius dan mystis. 5. Sangat menikmati suasana kebersamaan. 6. Banyak menggunakan tenaga fisik. 7. Kebutuhan yang relatif sederhana.

8. Membuat jarak dengan pengaruh dari luar.

9. Kemampuan berfikir mulai ditingkatkan,dan lain sebagainya. (Mahasiswa Arsitektur Teknik Universitas Indonesia, 1985).


(28)

E. MANFAAT PENELITIAN.

Manfaat penelitian adalah sebagai sumber pengetahuan budaya dan bahan pustaka untuk penduduk generasi muda di daerah tersebut, dimana kebanyakan penduduk usia muda di lokasi penelitian tersebut sudah tidak banyak (kurang mengetahui) tentang asal usul daerah, perbedaan bentuk rumah, tradisi, konflik masa lampau, dan lain-lain.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengembalikan semangat dan rasa kecintaan melestarikan budaya Indonesia, terutama budaya asal bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Juga sebagai bahan pertimbangan bagi penduduk untuk membangun rumah sesuai dengan kondisi alam setempat dengan tidak meninggalkan budaya mereka. Hal yang paling penting adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat proyek pembangunan sesuai dengan khasanah budaya masyarakat lokal.

F. TINJAUAN PUSTAKA.

Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Dalam kenyataan hidup bermasyarakat, kebudayaan mempunyai arti yang penting dalam mempengaruhi perilaku dan cara berfikir para anggota kelompoknya. Kebudayaan menurut Suparlan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang di hadapinya serta untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Mintargo, 2000). Sikap pada dasarnya berada pada diri seorang individu, namun meskipun


(29)

demikian sikap biasanya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tersebut (Koentjaraningrat, 1981).

Menurut Clifford Geertz (Saifuddin, 2005) mengemukakan suatu defenisi kebudayaan sebagai berikut:

1. Suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka;

2. Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan;

3. Suatu peralatan simbolik bagi mengontrol prilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan

4. Oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan di interpretasikan.

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberikan makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga berkomuniasi dengan mempergunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak gerik, postur tubuh, perhiasan pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat


(30)

memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek, yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi.

Salah satu karya tulis yang berhubungan dengan tulisan ini adalah, ”Perspektif Kultural dan Gejala Urbanisasi” karya : Irwan. Dimana, proses Urbanisasi yang dilakukan oleh pemuda-pemudi di Hutaurat dan Hutabalian dan sekembalinya mereka (pulang kampung) dari kota, sedikit banyak mengubah pemikiran penduduk Hutaurat dan Hutabalian mengenai kebiasaan hidup mereka. Menurut Philip M. Hauser, Urbanisasi merupakan proses yang membawa transformasi besar dalam pandangan hidup manusia, dalam hal ini yang dimasud adalah pergeseran dari rural ke urban (Irwan, 1982).

Menurut Bruner, pada daerah pedesaan sikap patuh adat dijaga sangat ketat, namun di kota sikap itu menjadi berkurang, dalam kasus orang Batak Toba di Medan, Bruner berpendapat bahwa orang Batak Toba, malah sangat patuh kepada adat, yang menurut kesimpulan yang diambilnya disebabkan karena di Medan, persaingan antara suku-bangsa (yaitu : antara orang Batak Toba, dengan Batak Karo, Minangkabau, Melayu, Cina, dan lain-lain), untuk meraih kesempatan-kesempatan ekonomi, politik, dan pendidikan yang terbatas, orang Batak Toba perlu memperkuat rasa solidaritas dan identitas kekerabatan maupun suku-bangsa. (Koentjaraningrat, 1981a).

Menurut Krober, bahwa setiap unsur peradaban mengalami proses perubahan yang berbeda-beda dalam kebudayaan induknya masing-masing. Tiap-tiap unsur itu berkembang, jaya, atau mundur dalam zaman dan keadaan yang


(31)

berlainan dan adakalanya terdorong oleh kekuatan dari dalam, namun adakalanya karena pengaruh peradaban dari luar dan lain sebagainya (Koenjaraningrat, 1981a).

G. METODE PENELITIAN.

Metodologi dalam arti luas menunjuk ke pada proses, prinsip, serta prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban atas masalah tersebut (Bogdan & Taylor, 1992).

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang mengumpulkan data kualitatif yang merupakan data utama untuk menjelaskan permasalahan yang akan dibahas nantinya. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data kuantitatif. Menurut Whitney, bahwa penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam Masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam Masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung serta pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Arikunto, 1998).

Data kualitatif diperoleh dari hasil pencatatan deskriptif yang dibuat berdasarkan atas hasil observasi, pengamatan dan wawancara (pemilihan informan kunci, informan biasa, informan pokok dan informan pangkal). Data kuantitatif dalam hal ini, merupakan data pendukung yang diperoleh sebagai pengembangan analisa (seperti : dokumentasi-dokumentasi dan informasi dari informan).


(32)

H. ANALISA DATA.

Data yang diperoleh di lapangan akan disajikan secara kualitatif dan dianalisis secara taxonomi kebudayaan (klasifikasi). Data yang dikumpulkan melalui kuesioner, pengamatan dan wawancara akan disusun sesuai dengan kategori-kategori tertentu. Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari setiap bagian telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya.

Deskripsi dilakukan secara holistik yaitu semua data yang diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan aspek geografis, sosial dan budaya, dan juga secara aspek ekonomis. Setelah itu, akan dianalisis aspek-aspek tersebut secara mendalam sesuai dengan data yang diperoleh. Data diperoleh sesuai situasi dan kondisi di lapangan. Peneliti akan menganalisis data sesuai dengan pendekatan ke arah pemikiran penduduk dan cara pandang penduduk tentang konsep ”rumah tradisional, pelestarian dan kondisi alam daerah setempat”. Hal ini, penulis akan berusaha menuliskan dari sudut pandang pemikiran masyarakat yang di teliti.


(33)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.ASAL-USUL DAN SEJARAH TERJADINYA HUTAURAT DAN HUTABALIAN DI SIANJUR MULA-MULA.

Berdasarkan cerita leluhur, Sianjur mula-mula adalah tempat pertama sekali leluhur Suku Batak bermukim. Sejarah si raja Batak, yaitu leluhur Suku Batak, Sangat rumit untuk dibahas. Mengapa membahas si raja Batak?, karena pertama sekali si raja Batak bermukim itu di Hutaurat dan Hutabalian, kecamatan Sianjur Mula-mula.

Adapun kawasan Hutaurat adalah kawasan dusun 1 (Batu-batu; Lingkungan kode/lingga tonga; Siattar-attar; Parhobon; Sok-sok, dan Sitabo-tabo), dusun 2 (Hutalobu; Lumban ganda dan Simanampang), sedangkan Hutabalian adalah dusun 3 (Balian galung; Banjar; dan Bagas limbong). Sebenarnya ada 3 cerita yang dituliskan tentang si raja Batak. Akan tetapi, cerita ini yang sangat dipercayai oleh masyarakat di Sianjur mula-mula.

Sejarah si raja Batak ini, menurut tokoh bius (bius adalah pada zaman dahulu disebut sebagai kepala desanya/kepala kampung, sedangkan pada zaman sekarang disebut kepala adat atau tokoh masyarakat) Buhit Sagala (55 tahun) yang sekarang dianggap tokoh bius di Hutaurat dan Hutabalian dan keturunan Bius Tahe Sagala (63 tahun) tokoh adat Batak yang berada di Jakarta, mengatakan bahwa :


(34)

Sejarah si raja Batak itu sangat panjang. Secara detail (keseluruhan) menceritakannya bisa sampai berbulan-bulan, dan kalau dituliskan bisa sampai puluhan buku tebal yang dihasilkan.

Secara singkat, sejarah si raja Batak dapat dijelaskan dalam skema garis keturunan berikut ini :

RAJA ODAP-ODAP / SIBORU DEAK PARUJAR ↓

RAJA IHAT / SIBORU ITAM

PATUNDAL BEGU AJULAPAS / R.MIOK-MIOK

RAJA ENGBANUA / (istri nya tak diketahui)

R. UJUNG R. JAU R.BONAGIG-BONAGIG

R. TANTAN DEBATA

RAJA BATAK


(35)

Guru Tatea Bulan adalah leluhur dari marga Sagala yang berada dikawasan Sagala, kecamatan. Sianjur mula-mula, dimana Guru Tatea Bulan ini memiliki anak sepuluh orang. Masing-masing kembar sepasang (laki-laki dan perempuan, dimana masing-masing memiliki kemampuan dan keahlian). Mereka tinggal di ”Simanampang” salah satu nama lokasi di Hutaurat. Pada cerita sejarah ini, perempuan tidak terlalu diceritakan, karena garis keturunan berasal dari laki-laki.

Mereka adalah :

1. Raja buneleng atau dikenal dengan nama raja uti atau raja bias-bias kembar dengan Biding laut yang pergi ke laut pantai selatan, Jawa. 2. Saribu raja kembar dengan Si boro pareme.

3. Limbong mulana kembar dengan Si pinta haomason. 4. Sagala raja kembar dengan Si anting sabungan.

5. Silau raja atau Malau raja kembar dengan Natinjo Nabolon “Banci”.

Sejarah Hutaurat dan Hutabalian ini berawal dari Sagala raja, “mengapa demikian?”, karena Raja Buneleng yang dikenal ilmunya paling sakti, seharusnya sebagai pewaris harta kekayaan keluarga yang paling banyak, karena dia anak sulung (pertama), tiba-tiba menghilang dan kabar keberadaannyapun sampai saat ini tidak jelas. Saribu raja yang seharusnya menggantikan Raja buneleng untuk mengelola harta keluarga, dia mengawini saudara kembarnya sendiri, oleh karena itu dirinya diusir oleh Limbong mulana dan Sagala raja. Adapun Limbong mulana dikabarkan memilih tinggal di tanah yang lain (masih di tanah Sagala). Oleh


(36)

sebab itu, maka tanah yang ditempati menjadi milik Sagala raja (rumah keluarga beserta tanahnya), karena saudara-saudaranya lebih memilih daerah lain sebab mereka merasa sudah betah hidup di perantauan mereka.

Adapun Sagala raja dikabarkan mempunyai dua istri, masyarakat tidak jelas mengetahui siapa istri-istri dari Sagala raja. Sagala raja dikabarkan dulunya susah mempunyai keturunan, oleh karena itu dia menikah lagi. Anak pertamanya lahir dari istri ke dua, yang bernama “Hutaruar” (yang artinya : anak dari istri ke dua yang diambil dari luar), anak ke dua lahir dari istri pertama, anak tersebut bernama “Hutabagas” (yang artinya : masih di “bagas”/dalam perut ibunya). Masyarakat tidak mengetahui dengan jelas umur berapa “Hutaruar” ketika “Hutabagas” dilahirkan. Menurut ke dua sumber ini, yaitu ”Buhit Sagala” (Bius/raja adat/raja kampung) dan Tahe Sagala (tokoh adat Batak di Jakarta yang juga keturunan Bius di Sianjur mula-mula) mengatakan bahwa, sebelum ”Hutabagas” dilahirkan (ketika masih di dalam kandungan). Nama anak ke tiga sudah diberikan, yaitu ”Hutaurat” (yang artinya : masih di urat nadi ayahnya). Hal ini dilakukan, karena Sagala raja yang juga salah seorang yang mempunyai ilmu mistik/meramal yang tinggi, sudah meramalkan anak laki-lakinya kelak hanya 3 orang saja.

Singkat cerita, ketiga anak dari Sagala raja sudah besar, terjadi perebutan tanah oleh anak pertama dan kedua. Sebenarnya rumah dan tanah, menurut adat diberikan kepada anak pertama dari istri pertama, akan tetapi ”Hutabagas” mengalah sama abangnya ”Hutaruar”. Sehingga, sebagian besar tanah


(37)

dari ”Hutaruar” yang suka berjudi dan menjual tanah sebagai taruhannya dengan diam-diam, ”Hutabagas” membeli (Balian Galung, Banjar dan Bagas Limbong) tanah keluarganya sendiri yang diwakili oleh orang lain untuk membeli tanah keluarganya dari abangnya ”Hutaruar”. Akhirnya, tanah tersebut menjadi milik ”Hutabagas”. Sedangkan ”Hutaruar” karena tingkah laku buruknya dia di usir dari kampung tersebut ”Simanampang”.

Adapun ”Hutaurat”, setelah menikah dia memilih tinggal di Simanampang lalu dia sempat pindah ke Simaibang dekat Hutabagas , lalu kembali menetap di tanah abangnya ”Hutabagas”, yaitu ”Hutalobu”. Secara singkat, dia meminta pembagian tanah kepada abangnya. Lalu ”Hutabagas” memberikan syarat kepada adiknya. ”Hutaurat” akan diberikan tanah seperti : Batu-batu, Lingkungan Kode, Siatar-atar, Parhobon, Hutalobu, Lumban Ganda, dan Simanampang, yang akan menjadi milik ”Hutaurat”, apabila dia berhasil mengusir ”Burung pemakan manusia” yang bertempat di sekitar sumber mata air ”Sungai Bintangor”. Maka tanah yang dijanjikan tersebut akan menjadi miliknya.

”Hutabagas” melakukan perjanjian tersebut dengan alasan karena burung tersebut sudah banyak memakan korban manusia. Singkat cerita, ”Hutaurat” berhasil membunuh burung tersebut atas bantuan ”Guru Natinanda” (Guru yang dikenal), yaitu : Guru Tahandangan dan si Boro. Setelah berhasil, ”Hutabagas” menepati janjinya, lalu dia pindah dari ”Simanampang” ke Balian Galung yang berada didekat sungai ”Bintangor”, karena pada zaman dahulu sumber mata air sangat penting. Makanya dia tidak mau melepaskan tanah yang memiliki sumber


(38)

mata air kepada adiknya. Tanah tersebut adalah (Balian galung, Banjar, dan Bagas Limbong).

Akhirnya, keturunan mereka hidup ditanah masing-masing yang sesuai dengan perjanjian yang mereka buat. Adapun nama ”Hutaurat” dan ”Hutabagas” diberikan oleh keturunan mereka ”yang bermarga Sagala”. Tujuannya untuk menghormati nama leluhur mereka. Desa Hutabagas adalah tanah si Hutabagas yang berada di dekat ”Simanampang”. Adapun ”Hutabalian” dinamakan karena tanah tersebut dibeli dari ”Hutaruar” dan nama itu diambil dari nama salah satu anak laki-laki Hutabagas yaitu ”Hutabalian”.

B. LOKASI DAN KEADAAN ALAM.

Secara geografis desa Sianjur mula-mula (Samosir) terletak pada koordinat 2°24’-2°45’LU dan 98°21’- 99°55’BT (Defri Elias Simatupang, Berkala Arkeologi “SANGKHAKALA”, Vol. XI No. 22, Oktober 2008, hal : 34). Desa Sianjur mula-mula berbatasan dengan dengan desa-desa disekitarnya yaitu :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Limbong/Pangururan. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Pucuk Buhit.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Boho/desa Tanjung bunga dekat kawasan Hutan Dairi.

4. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Ginolat dan HutaBagas.

Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang disebut dengan desa Sianjur mula-mula, yang berada di kawasan Kecamatan Sianjur mula-mula, Sagala,


(39)

kemarau dan berangin kencang, sedangkan pada bulan agustus-desember angin kencang tersebut terkadang disertai hujan deras. Adapun sejarahnya mengapa dinamakan desa Sianjur mula-mula sama dengan nama kecamatannya adalah karena Hutaurat dulu adalah kampung asal mula orang Batak pertama (kampung pertama si raja Batak). Mengapa “Sagala”?, karena “Sagala” adalah cucu si raja Batak dari Ompu Guru Tatea Bulan. Mengapa Hutaurat dan Hutabalian?, karena nama itu diambil dari nama-nama anak “Sagala”. Hutabagas adalah nama anak yang ke-2 dari istri pertama, sedangkan Hutaurat adalah nama anak yang ke-3 dari istri yang pertama, sedangkan anak pertama bernama Hutaruar dari istri kedua.

Pemberian nama desa ”Hutabalian” oleh keturunannya diberikan berdasarkan sejarah, yaitu ”Hutabalian” diberikan karena ”Hutabagas” membeli tanah tersebut (Balian galung, Banjar, dan Bagas Limbong) dari ”Hutaruar”, lalu menamainya dengan nama salah satu nama anak laki-lakinya. Sedangkan ”Hutaurat”, karena desa tersebut diberikan ke pada ”Hutaurat” oleh ”Hutabagas”. Pemberian nama ini di buat pada tahun 1930. Sedangkan penyatuan kedua desa/daerah menjadi desa Sianjurmula-mula yaitu sekitar tahun 1957.

C. KEADAAN PENDUDUK.

1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin.

Penduduk yang masih menetap/tinggal di “Hutaurat” dan “Hutabalian” berjumlah ±622 Jiwa (Sumber : Buku Catatan Sekretaris Desa tahun 2010). Adapun data yang diperoleh dari sensus penduduk (penduduk yang menetap dan tidak menetap, tetapi masih terdaftar menjadi warga desa tetap dihitung


(40)

jumlahnya) berjumlah ±1500 jiwa (Sumber : Berdasarkan Foto copy Kartu Keluarga di Kepala Desa dan Polindes yang ditinjau oleh tim sensus penduduk 2010).

Adapun Jumlah penduduk berdasarkan Umur dan jenis kelamin, yaitu :

Umur Laki – Laki/Jiwa Perempuan/Jiwa Jumlah 0 - 10 tahun 45 Jiwa 55 Jiwa 100 Jiwa

11 - 20 tahun 60 75 135

21 – 30 tahun 98 65 163

+ 31 tahun 124 100 224

Jumlah 327 Jiwa 295 Jiwa ± 622 Jiwa

Tabel 1. Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”, 15-9/2010)

2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa.

Penduduk di Hutaurat dan Hutabalian adalah mayoritas suku Batak Toba. Dapat dikatakan bahwa Hutaurat dan Hutabalian adalah masyarakat “homogen” (hanya satu suku saja, yaitu : Batak Toba). Hal ini dihitung berdasarkan penduduk yang tinggal/menetap di Hutaurat dan Hutabalian. Adapun suku luar, seperti : “suku Jawa” yang menikah dengan salah satu warga masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian, kebanyakan dari mereka tinggal di kota, seperti : Jakarta, Medan, Bandung, dan lain-lain. Biasanya “wanita” dari suku luar dijadikan menjadi satu marga dengan ibu pengantin


(41)

laki-laki (pemberian marga kepada orang luar, dimana syarat untuk menjadi satu kelompok/satu identitas)

Penduduk yang berjumlah 148 KK, dimana mereka (“suku luar yang sudah diberi marga”) yang menetap/tinggal di Hutaurat dan di Hutabalian ada 3 orang saja. Satu orang tinggal di Balian galung (suku Jawa menjadi boru Sagala), ada juga yang tinggal di Simanampang (kata masyarakat setempat, dia berasal dari suku Bugis menjadi boru Sihotang), dan satu lagi tinggal di Banjar (suku Madura menjadi boru Situkkir).

3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama.

Mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan, yaitu 147 Kepala Keluarga (KK) dan 1 KK beragama Khatolik, dimana ada ±50 KK menjadi warga jemaat Gereja HKBP dan 80 KK menjadi warga jemaat di 2 Gereja GKPI yang berbeda, 1 KK beragama Khatolik, dan lainnya adalah Menjadi warga jemaat Gereja Pentakosta.

4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.

Penduduk yang menetap di Hutaurat dan Hutabalian pada umumnya tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebenarnya, penduduk asli Hutaurat dan Hutabalian (Penduduk Perantauan), mayoritas tamatan Diploma dan Sarjana. Akan tetapi, tidak menetap/tinggal di desa tersebut. Bila warga perantauan juga dihitung jumlahnya, mayoritas penduduk asli Hutaurat dan Hutabalian tamatan Diploma dan Sarjana.


(42)

Hal ini disebabkan oleh karena sakitnya dan jauhnya sekolah dari desa. Terutama sekolah SMP dan SMA, dimana siswa/siswi harus berjalan jauh dan mendaki bukit untuk dapat berangkat ke sekolah. Pada zaman dahulu hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki, akan tetapi pada zaman sekarang siswa/siswi yang mampu (orang tuanya berkecukupan), pergi ke sekolah dengan menggunakan Sepeda Motor, karena jalan sudah ada walaupun tidak semulus jalan raya yang berada di kota.

Adapun distribusi penduduk berdasarkan pendidikan adalah :

Tabel 2. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan. (Sumber : Sekretaris Desa, 15-9/2010).

5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.

Mayoritas Mata pencaharian penduduk adalah bertani, berladang, juga berdagang. Adapun orang-orang pendatang pada umumnya bekerja sebagai tukang bangunan, guru, bidan, dan lain-lain.

Menurut Kepala Desa di Hutaurat dan Hutabalian, penduduk mayoritas yang memiliki tanah ada 75% (40% mengerjai sawahnya sendiri dan 35 % menyewa petani upahan), 20% petani upahan (memiliki tanah tapi tidak punya

Nama :

Desa Sianjur Mula-mula

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

Diploma dan Sarjana Hutaurat/Jiwa 12 Jiwa 55 Jiwa 150 Jiwa 40 Jiwa Hutabalian/Jiwa 5 Jiwa 40 Jiwa 100 Jiwa 25 Jiwa


(43)

membuka warung kopi dan kedai, juga pekerjaan lain seperti Guru, PNS, tukang bangunan, dan lain-lain.

D. SARANA DAN PRASARANA. 1. Pola Pemukiman.

Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang dikelilingi perbukitan dan terletak di bawah kaki gunung Pucuk Buhit. Pola pemukiman penduduk adalah mengelompok. Dimana, pintu depan saling berhadap-hadapan dan memiliki halaman yang luas. Adapun beberapa rumah yang tidak “mengelompok” adalah rumah yang rata-rata baru dibangun. Halaman pada penduduk Hutaurat dan Hutabalian berfungsi sebagai tempat pesta. Apabila ada pesta pernikahan atau pesta adat, biasanya dibuat tenda dan tikar di halaman untuk tempat duduk para tamu undangan dan kerabat lainnya.

Adapun batas kampung biasanya ditandai oleh pohon bambu dan kalau tidak ada, biasanya dibuat bentuknya seperti jembatan kecil dipinggir jalan. Adapun bambu ditanam di perbatasan kampung, hal itu tidak sembarangan, karena selain berfungsi sebagai pembatas kampung, juga sebagai penahan angin yang kencang, supaya rumah-rumah disana tidak cepat roboh (Hancur) di terbangkan angin, bambu juga pada zaman dahulu berfungsi sebagai senjata bagi penduduk, apabila diserang oleh penduduk kampung sebelah. Sedangkan jembatan kecil dibangun di perbatasan kampung berfungsi juga sebagai tempat duduk bagi orang luar (orang kota yang kesasar), supaya mengetahui


(44)

bahwa tempat duduk yang terbuat dari batu bata, pasir dan semen yang seperti jembatan kecil itulah perbatasan antara dua kampung.

Biasanya, ladang mereka berada di belakang atau di samping kiri atau kanan rumah. Parit-parit dibangun juga sebagai pembatas antara kampung (di belakang rumah). Rumah-rumah penduduk mayoritas tidak memiliki kamar mandi dan tempat buang kotoran, karena mereka memiliki tempat permandian umum (pancuran) yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk mandi, mencuci dan juga sebagai tempat buang kotoran. Adapun aliran pembuangannya dialirkan melalui parit-parit menuju persawahan, dimana sawah penduduk juga ada ikan lele di dalamnya. Pancuran ini tidak jauh letaknya dari setiap kampung. Biasanya, setiap kampung memiliki Pancuran atau tempat permandian umum masing-masing.

Adapun sungai Bintangor memang airnya bersih, akan tetapi penduduk menggunakannya sebagai tempat untuk memandikan ternak dan terkadang para laki-laki yang pulang dari sawah, langsung mandi di sungai Bintangor tersebut.

Pada setiap dusun di Hutaurat dan Hutabalian, pembagian penduduknya tidak merata jumlahnya. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan rumah yang tidak sama jumlahnya antara tempat yang satu dan lainnya, terutama di Sok-sok, hanya ada 3 rumah yang berada dikawasan tersebut, akan tetapi hanya terhitung 1 Kepala keluarga saja, karena ketiga rumah tersebut dimiliki oleh satu orang saja. Berdasarkan penelitian di


(45)

lapangan, pengkategorian rumah pada setiap dusun dapat dilihat dengan jelas pada tabel berikut :

Tabel 3. Pengkategorian rumah berdasarkan jenisnya. (Sumber : Penelitian langsung ke lapangan). NAMA DUSUN JENIS RUMAH ADAT/RUMAH RUMAH MODERN/RUMAH Hutaurat/ Dusun 1 Rumah bergorga Rumah tanpa gorga Rumah adat yang di perbaharui Rumah yang mayoritas terbuat dari kayu Rumah Modern

Batu-batu - 2 4 1 1

Lingkungan kode/lingga tonga

- - - 4 3

Siattar-attar - 2 3 3 1

Parhobon - - 4 4 3

Sok-sok - - - 4 -

Sitabo-tabo - 1 - 8 -

Hutaurat/ Dusun 2

Hutalobu 1 - 3 6 1

Lumban ganda

1 - 3 5 -

Simanampang - - - 7 3

Hutabalian/ Dusun 3

Balian galung - 3 1 5 4

Banjar 1 5 6 8 1

Bagas limbong

- 5 4 12 2


(46)

Rumah di Hutaurat dan Hutabalian dihuni oleh kebanyakan keluarga inti. Sebagian penduduk juga ada yang satu rumah dengan orang tuanya. Biasanya yang memilih tinggal bersama orang tuanya adalah anak laki-laki, terutama anak laki-laki yang pertama atau satu-satunya, karena pada akhirnya peninggalan orang tuanya akan diberikan kepadanya. Apabila anak laki-lakinya tidak berniat tinggal dikampung, karena pekerjaannya sudah bagus di kota, maka diberikan pada saudara laki-lakinya yang lain, kalau tidak ada lagi maka orang tuanya dan rumahnya diserahkan kepada saudara perempuan. Kebanyakan rumah adat yang pewarisnya tinggal di kota, akan mencarikan seseorang (masih keluarga) untuk mengurus rumah tersebut dan diberikan upah dan biaya perawatan rumah kepada si pengurus (Biasanya setahun sekali). Beberapa orang ada juga yang membiarkan rumah tidak terurus, salah satu alasannya karena tidak memiliki biaya untuk mengurusnya. Sampai pada akhirnya rusak perlahan (rumah panggung yang mayoritas dari kayu).

2. Sistem Pemerintahan.

Adapun sarana pemerintahan di Hutaurat dan Hutabalian pada tahun 2010 adalah :

Kepala Desa : Pardingotan Sagala.

Sekretaris Desa : J. Sihotang.

Perangkat Desa (kaur) ada 3, yaitu :

1. Kaur Pemerintahan : Sagala.


(47)

Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) ada 5, yaitu 1. Ramli Sagala.

2. Oloan Sagala.

3. Manganar Sigalingging. 4. Robinson Sagala. 5. Jahunta Sagala. Kepala Dusun :

Dusun 1 : Poldiner Sagala.

Dusun 2 : Kesman Sagala.

Dusun 3 : Josmen Sagala.

Sistem pemerintahan di atas, dipilih setiap 5 tahun sekali, dimana masyarakat mengadakan musyawarah dan pemilihan kepala desa berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan para bawahannya dipilih berdasarkan kesepakatan bersama.

3. Sarana Organisasi Masyarakat.

Organisasi masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian, di bedakan berdasarkan kepentingannya. Secara umum, kegiatan gotong-royong dinamakan ”marrodi”. Adapun organisasi yang ada disana adalah :

a. Organisasi Marga.

Organisasi marga adalah organisasi orang-orang yang satu keturunan/satu nenek moyang, garis keturunan berdasarkan Patrilineal. Organisasi tergantung marganya apa, misalkan dia marga Sagala, maka dia termasuk organisasi marga keturunan Ompu Guru


(48)

Tatea Ni Bulan. Organisasi marga ini terdiri dari beberapa marga. Misalnya, Limbong, Situkkir, dan lain-lain.

Adapun marga, pada zaman dahulu adalah nama dari nenek moyang itu sendiri. Biasanya marga masih dibagi lagi berdasarkan penggolongan-penggolongannya dan nomornya. Tidak semua marga memiliki nomor. Biasanya nomor berguna untuk tanda panggilan bagi diri seseorang.

b. Serikat Tolong Menolong.

Organisasi ini adalah organisasi oleh karena satu lingkungan (dongan sabutuha). Organisasi ini berfungsi untuk membantu tetangga-tetangga yang sedang membutuhkan pertolongan. Misalnya, pada ada yang kemalangan (anggota keluarganya ada yang meninggal), atau dalam acara pesta pernikahan, juga dalam pesta adat, dan lain sebagainya.

c. Organisasi Tani.

Organisasi tani ada beberapa macam, yaitu : 1. Saunduran (sama ke atas, sama ke bawah). 2. Dosroha (satu hati).

3. Berdikari. 4. Karya.


(49)

d. Organisasi Gereja.

Kumpulan-Kumpulan Koor Ama (koor Bapak-bapak), koor Ina( koor ibu-ibu dan Naposobulung (pemuda-pemudi dan remaja gereja). Kumpulan ini biasanya berfungsi untuk menyatukan hati seluruh anggota satu gereja. Misalnya ada yang kemalangan, anggota satu gereja wajib turut serta dalam berpartisipasi untuk membantu anggota yang kemalangan tersebut, apabila ada anggota gereja yang mengadakan syukuran, pesta adat, dan lain sebagainya. Para anggota jemaat satu gereja wajib turut serta menghadirinya.

Kumpulan ini (koor Ama dan koor Ina), biasanya dua minggu sekali mengadakan partamiangan (kebaktian di rumah anggota jemaat). Naposobulung biasanya mengadakan kebaktian sekali seminggu di gereja pada malam minggu.

4. Sarana Peribadatan.

Tempat peribadatan yang terletak di Hutaurat dan Hutabalian ada 3, yaitu :

Gereja : 2 bangunan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), 1 bangunan di dekat Batu-Batu (dusun1; Hutaurat),

dan 1 bangunan lagi berada di pinggir jalan arah ke Bagas Limbong (dusun 3; Hutabalian).

1 bangunan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Letaknya berada di pinggir jalan arah ke Balian galung (dusun 3; Hutabalian).


(50)

Musola/Mesjid : - Wihara/Klenteng : -

Pura : -

5. Sarana Transportasi.

Penduduk di Hutaurat dan Hutabalian, pada zaman dahulu biasanya memakai kerbau, sapi, atau kuda sebagai alat transportasi. Setelah jalan mulai dibangun, perlahan-lahan sapi tidak digunakan lagi, sehingga sudah tidak ada lagi di temui, sedangkan kuda, hanya beberapa orang saja yang memilikinya. Adapun kerbau, masih bisa kita temui di lokasi tersebut, akan tetapi jumlahnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya.

Pada zaman sekarang, penduduk mayoritas menggunakan transportasi sepeda motor ke berbagai tempat. Adapun PSN dan SAMPRI adalah mobil angkutan umum menuju kota, misalnya : Medan, Sidikalang, Berastagi, dan lain-lain. Sedangkan ke Pangururan (Onan/Pajak besar yang di langsungkan 1 kali seminggu, yaitu setiap hari rabu), ada mobil angkutan KOPJ yang berwarna biru yang selalu datang setiap hari rabu pagi ke Hutaurat dan Hutabalian. Ada juga mobil Truk yang datang ke Hutaurat dan Hutabalian untuk mengangkut bahan bangunan dari Pangururan atau dari kota lain, apabila ada penduduk yang sedang membangun rumah atau ada proyek pemerintah (seperti : membangun jalan) yang sedang berlangsung di Hutsaurat dan Hutabalian tersebut.


(51)

6. Sarana Pendidikan.

Sarana pendidikan yang terdapat di Hutaurat dan Hutabalian adalah SD. Negeri : No. 173786 Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten. Samosir. Adapun sekolah SMP Negeri dan SMA Negeri Sianjur Mula-mula, berada di atas (arah menuju ke Limbong), di dekat Batu Hobon dan Tugu si raja Batak. Menuju ke sana harus berjalan jauh dan mendaki bukit, apabila berjalan kaki. Selama 40 menit, bila menggunakan sepeda motor hanya 10 menit saja, kalau angkutan umum tidak ada.

7. Sarana Kesehatan Masyarakat.

Sarana kesehatan masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian adalah : Polindes, yang dikelola oleh Bidan E. Friska Naibaho.

Dahulu bertempat di Siattar-attar (dusun 1; Hutaurat), tetapi sekarang pindah ke Banjar (dusun 3; Hutabalian). Ada juga pengobatan tradisional (dukun patah) yang berada di Simanampang (dusun 2; Hutaurat). Penduduk di Hutaurat dan Hutabalian yang sakit parah biasanya dibawa oleh polindes langsung ke puskesmas yang berada di Pangururan, dari sana akan di rujuk ke rumah sakit Pangururan atau rumah sakit besar yang berada di kota, misalnya di rumah sakit Adam Malik, Medan.

8. Sarana Informasi dan Komunikasi.

Sarana Informasi dan Komunikasi yang berada di Hutaurat dan Hutabalian adalah :

Warung Telephone (WARTEL) : ada di rumah kepala desa.


(52)

Adapun koran di peroleh dari PSN atau Sampri (pemilik warung kopi meminta pertolongan kepada supir untuk membelikannya di tengah jalan). Terkadang, pemilik kopi atau penduduk pergi ke Pangururan untuk membeli koran atau majalah tentang pertanian dengan mengendarai sepeda motor. Perjalanan ke Pangururan memakan waktu selama ± 1jam dengan mengendarai sepeda motor.

Penduduk rata-rata menggunakan Handphone (HP) untuk berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di luar kota. Penduduk juga menggunakan radio sebagai alat untuk mendengarkan musik dan berita. Biasanya siarannya berasal dari radio yang berada di Sidikalang atau Pangururan. Penduduk menggunakan Parabola atau alat digital untuk dapat menonton siaran Televisi dari luar kota dan luar negeri, tanpa alat ini televisi tidak dapat menerima siaran televisi dari manapun. Biasanya Parabola atau alat digital ini juga dapat menangkap siaran radio dari kota manapun. Oleh sebab itu, penduduk tidak ketinggalan berita dan informasi.

Beberapa rumah, juga ada yang menggunakan komputer atau laptop. Jaringan Telkomunikasi yang didapat sangat cepat di Hutaurat dan Hutabalian adalah jaringan Telkomsel seperti Simpati, As, dan Fleksi. Adapun jaringan Indosat atau Xl sangat susah untuk mendapatkan jaringannya. Kita harus keluar dan cari tempat yang tinggi untuk dapat jaringan telekomunikasi tersebut. Warung Internet juga tidak ada di desa ini. Adapun yang memakai Internet itu hanya milik pribadi saja seperti modem, tetapi hanya produk


(53)

9. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi.

Sarana Olahraga tidak terdapat didesa ini. Hanya kebiasaan-kebiasaan orang-orang di desa ini mendaki gunung, berenang di sungai, main sepak bola, dan lari. Adapun bidang kesenian didesa ini adalah : “Menottor”.

“Menottor” adalah menari tarian “Tor-tor” (tarian Batak Toba), dimana sekali setahun ada perlombaan “Tor-tor” yang diselenggarakan antara desa, apabila menang akan diikut sertakan di kecamatan dan seterusnya. Bupati dan bidang dinas pariwisata dan kebudayaan yang menyelenggarakannya. Biasanya para kepala desa sangat berambisius untuk menang, karena dapat mengangkat citra desanya di hadapan desa-desa lain, oleh karena itu pemuda-pemudi yang mengikuti perlombaan ini di tangani oleh kepala desanya langsung untuk dilatih. Biasanya perlombaan ini diadakan pada bulan November.

Rekreasi di desa ini adalah rumah si raja Batak dan Aek Bintatar (mata air bintatar). Biasanya orang kota dan turis yang datang ke tempat ini. Adapun Batu Hobon dan Tugu si raja Batak ada di perbatasan antara Sianjur mula-mula dan Limbong.

Rumah si raja Batak adalah rumah pertama sekali si raja Batak membangun rumahnya di Hutaurat (pertama sekali kampung berdiri). Adapun Aek Bintatar adalah Sumber Mata Air yang di buat dengan menggunakan ilmu-ilmu mistik, dimana terdapat pohon beringin yang kerdil setinggi tongkat dan ada ular besar penjaganya. Akan tetapi, pohon beringin sudah dimatikan dengan sengaja oleh masyarakat karena dianggap di sana bersarang banyak


(54)

ular dan sangat mengganggu masyarakat. Penduduk tidak seorangpun yang pernah melihat langsung ular penjaga Aek Bintatar tersebut, akan tetapi ada seorang dukun yang dipanggil pada saat mematikan pohon beringin tersebut melihat mata ular penjaga yang besar itu secara langsung dari lobang sumber mata air Aek Bintatar.

10.Sarana Umum.

Sarana Umum seperti Listrik baru dibangun pada tahun 1990. Cara pembayarannya, ada seseorang yang datang mengutip ke setiap rumah di desa tersebut. Pembayarannya berdasarkan pemakaian perbulan ditambah ongkos sebesar Rp. 4500 untuk ke Pangururan pada setiap rumah.

Adapun air (Pancuran, kamarmandi, dan tempat permandian umum lainnya) dibangun pada tahun 2005 oleh masyarakat. Sumber airnya berasal dari Puncak Gunung Pucuk Buhit, dan tidak ada pungutan/biaya (gratis) untuk air tersebut.

E. SISTEM KEMASYARAKATAN.

Sistem kemasyarakatan di suku Batak Toba adalah sistem “Dalihan Na

Tolu”. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti “Tiga Tungku” (Dalihan =

tungku, Na= yang, Tolu = tiga), yang dalam arti bahasa Indonesia disebut Tungku yang Tiga. Adanya tiga kelompok kekerabatan yaitu : dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Dongan sabutuha adalah teman satu kampung, Hula-hula adalah marga pemberi gadis, dan boru adalah anak perempuan dari keluarga Laki-laki.


(55)

yakni setiap anggota dalam masyarakat itu, termasuk ke dalan sesuatu “marga” dari garis keturunan laki-laki. Oleh sebab itu, perkawinan dalam lingkungan sesama marga dilarang, sehingga perkawinan terjadi dengan orang yang termasuk lingkungan marga lain (exogami).

Adapun pengertian dari Dalihan Na Tolu adalah : Masyarakat Batak Toba di pandang sebagai sebuah kuali (balanga) sedang Dalihan Na Tolu adalah tiga batu tungku yang mendukung kuali tersebut, sehingga padanya terdapat keseimbangan. Setiap tungku harus menjaga dan memelihara keseimbangan dari pada kuali agar tetap berdiri kokoh. Untuk dapat mencapai keseimbangan itu, ketiganya harus bekerjasama dan saling tolong-menolong.

Dalam masyarakat Batak Toba kuali (belanga) melambangkan wadah dan tempat bagi anggota-anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama, misalnya pesta dan upacara-upacara bersama. Sedangkan masing-masing tungku melambangkan dongan sabutuha, hula-hula, dan boru.


(56)

BAB III

RUMAH ADAT BATAK TOBA

A. SEJARAH RUMAH ADAT DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN.

Rumah adat di Hutaurat dan Hutabalian sudah ada sejak dari dahulu. Rumah adat ini selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yaitu kepada putera tertua. Adapun rumah adat sering disebut dengan ”ruma gorga” atau juga sering disebut dengan ”ruma bolon”, yaitu : rumah besar yang memiliki penuh ukiran-ukiran dan makna-makna simbolik. Sebelum berbicara mengenai aplikasi rumah adat terhadap rumah modern di Hutaurat dan Hutabalian, hendaklah terlebih dahulu diketahui bagaimana rumah adat Batak Toba yang berada di Hutaurat dan Hutabalian.

Adapun sejarah dari ”ruma gorga” itu sendiri adalah : kembali lagi membahas sejarah marga Batak, istilah ”gorga” dikenal sejak orang Batak Toba menyadari akan keberadaan banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah/bumi), dan banua toru (dunia bawah/dunia para makhluk halus). Hal tersebut adalah salah satu pandangan hidup suku Batak yang ada di Sianjurmula-mula pada zaman dahulu, yakni menyadari akan adanya kekuatan lain di luar batas akal pikiran mereka sendiri.

Bermula dari mitos,yang menceritakan si Boru deak parujar (putri yang turun dari dunia atas) dianggap sebagai ibu manusia pertama di Toba dan mempunyai kisah cinta dengan pemuda khayangan yaitu : si Tuan ruma uhir/si


(57)

kenyataannya si Tuan ruma gorga berwajah buruk rupa seperti kadal, oleh karena itu sedikit banyak mengganggu kelanggengan antara keduanya, tetapi itu tidak berlangsung lama, sebab si Tuan batara guru yang sakti berupaya merubah penempilan fisik si Tuan ruma uhir, sehingga si Tuan ruma uhir berubah menjadi gagah tiada bandingnya. Alkisah, keduanya menjadi suami dan istri.

Pada pernikahan tersebut menghasilkan dua orang anak, si Boru adalah ahli tenun dan si Tuan adalah ahli Gorga (ahli ukir), dimana keluarga tersebut menetap di Simanampang, dusun 1 Hutaurat dan dari sanalah berasal ”ruma gorga”, sedangkan perkembangan rumah gorga itu sendiri berada di kawasan desa-desa pinggiran danau toba, seperti tomok.

Selain dari keterangan di atas, asal-usul gorga dapat dipahami dari suatu cerita pengobatan. Bermula seorang raja yang kaya mencari dukun untuk mengobati anak kesayangannya. Sudah banyak dukun yang mencoba mengobati, tetapi tidak ada yang berhasil. Pada suatu saat, datanglah seorang orang tua memberikan tafsiran berupa kaji diri, bahwa penyakit anak itu akan sembuh kalau roh jahat yang menguasai anak yang sakit itu diusir. Untuk mengusir roh jahat tersebut, maka dibawalah anak itu ke halaman rumah.

Mula-mula diatas tanah dibuat gambar raksasa berbentuk manusia. Kemudian seekor ayam dipotong, untuk mengambil darahnya, lalu dengan mengikuti garis-garis tanah berbentuk raksasa tadi darah ayam diteteskan hingga seluruh garis tertutupi/terkena tumpahan darah. Setelah itu, tibalah saatnya membacakan mantera untuk mengusir roh jahat dari tubuh si anak dan ternyata sembuhlah penyakit si anak raja tersebut.


(58)

Atas permintaan raja maka dipanggillah tukang ukir untuk memahat gambar raksasa berbentuk manusia tadi di atas pintu rumahnya. Gambar raksasa tersebut dinamai jenggar atau jorngom dan pahatan itu disebut dengan ”gorga”. Demikian pada kurun masa berikutnya, pahatan tidak saja ada di pintu rumah, tetapi hampir disetiap bagian papan/balok pada rumah Batak Toba dihiasi dengan gorga.

B. NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DI

HUTAURAT DAN HUTABALIAN.

Rumah adat Batak Toba sering disebut dengan ”ruma gorga” atau ”ruma bolon”. Ruma bolon memiliki ciri khas tersendiri dengan bentuk yang unik. Pada bangunannya terdapat simbol yang memiliki arti tertentu, antara lain dapat dilihat dari letak posisi rumah dan ragam hias dengan ukiran yang beraneka ragam pada hampir setiap bangunan rumahnya. Ragam hias ini biasanya disebut dengan istilah ”ornamen”. Peletakan ukiran (ornamen) tidak boleh sembarangan, karena masing-masing memiliki makna dan fungsi tersendiri.

Ornamen yang terdapat pada rumah adat dapat dibedakan berdasarkan pemberian warnanya, yaitu gorga silinggom dan gorga sipalang (sigara ni api). Gorga silinggom adalah gadu-gadunya (warna dasar), yang didominasi oleh warna hitam. Sedangkan warna merah dan putih, sering dipakai sebagai garis ukir. Adapun gorga sipalang, warna dasarnya adalah didominasi oleh warna merah, sedangkan garis ukirnya sering dipakai warna putih (warna pelengkap). Tiga macam warna tersebut sering di sebutkan dengan istilah (tolu bolit). Warna hitam


(59)

merah sering diartikan sebagai simbol pemelihara dan kemakmuran, dan juga warna putih sering dilambangkan sebagai pekerja yang baik. (Sumber : Tahe Sagala).

Pada konsep tradisional, sebuah rumah tidak hanya memiliki dimensi fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk tertentu menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis yang mendalam. Rumah bolon selain sebagai rumah adat dan simbol status sosial, juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang bersifat religius.

Rumah-rumah di desa Sianjur mula-mula, khususnya di Hutaurat dan Hutabalian adalah mayoritas tidak memiliki ”ornamen” atau ”gorga”. Ada beberapa rumah yang memiliki ”ornamen”. Adapun nama-nama keseluruhan ”ornamen” yang dan terdapat pada rumah adat Batak Toba di Hutaurat dan Hutabalian adalah :

1. Penggolongan ”Gorga”.

1.1Gorga Uhir (Ukir).

Gorga ukir adalah gorga yang dipahat, sehingga pada permukaan papan yang dipahat menjadi relief berupa gambar atau pola yang mempunyai makna. Adapun yang termasuk gorga ukir adalah :

a. Gorga Dalihan Na Tolu.

Gorga ini ditempatkan pada dorpi Jolo (dinding rumah bagian depan). Gorga ini menggambarkan hubungan kemasyarakatan yang diatur oleh adat. Hal ini terlihat jelas pada reliefnya. Gorga ini lahir dari keadaan Dalihan (Tungku) yang sebenarnya. Gorga ini


(60)

menggambarkan filosofis sistem kemasyarakatan masyarakat Batak yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Gunanya untuk menjaga keseimbangan. Masyarakat dalam hal ini dianggap sebagai batu penompang tungku, apabila keseimbangan tidak terjaga maka akan timbullah masalah. 3 buah batu tersebut adalah Hula-hula, Boru, dan dongan Tubu. Gorga ini memiliki beberapa bentuk, akan tetapi makna dan fungsinya sama, bentuk gorga dicirikan berdasarkan desa tersebut.

Foto 1. Gorga Dalihan Na Tolu Lokasi : Hutaurat dan Hutabalian

Sumber : Koleksi Pribadi Peneliti (17 September-2010)

b. Gorga Sitagan.

Tagan berarti kotak kecil untuk menyimpan rokok atau sirih dan barang-barang kecil keperluan lain agar tidak mudah hilang. Rokok dan sirih adalah dua materi yang masing-masing menciptakan aktivitas tersendiri. Rokok biasanya dihisap oleh kaum laki-laki dan sirih dikunyah oleh kaum perempuan, walaupun terkadang ada laki-laki yang mengunyah sirih dan terkadang ada perempuan yang


(61)

Rokok dan sirih adalah pelengkap utama dalam mengisi waktu luang. Apabila kedatangan tamu, maka rokok dan sirih ini selalu saja disodorkan (dipersilahkan untuk dicicipi tamu). Apabila tidak, maka hal itu adalah keteledoran, sehingga tamu mengganggap kehadirannya tidak diharapkan si tuan rumah.

Tangan, dikatakan adalah tempat untuk menyimpan atau dengan kata lain sebagai wahana pelindung sesuatu yang penting. Dalam pengertian yang paling konseptual, tangan tersebut adalah media kotrol berupa norma yang dapat memperbolehkan dan tidak memperbolehkan tindakan apa yang dilakukan dalam suatu pertemuan ramah tamah.

Foto 2. Gorga Sitangan

Lokasi : Hutaurat dan Hutabalian

Sumber : Koleksi Pribadi Peneliti (17 September-2010)

c. Gorga Iran-iran.

Iran adalah sejenis pemanis muka manusia agar nampak lebih cantik dan berwibawa. Sesuai dengan namanya, gorga iran ditempatkan pada bagian depan dinding rumah. Motif gorga ini juga


(62)

sering dipakai pada tongkat, gagang pisau, atau hiasan tepi kain adat (ulos).

Dalam kehidupan duniawi, masyarakat Batak Toba membagi dirinya dalam dua kategori yang berjalan seiring, yaitu parrohaon (psikologi) dan pardagingon (fisiologi). Kehidupan psikologi menyangkut berbagai norma, aturan-aturan dan hukum-hukum, untuk menjamin kelangsungan hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang dalam psikologis ingin hidup layak, aman, tentram,baik itu dikaitkan langsung dengan hakekat adat-istiadat maupun didalam praktek normal kehidupan sehari-hari.

Sementara itu kehidupan fisiologi sering dikaitkan dengan segala keberadaan fisik lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Seringkali pula keberadaan itu diikuti lagi dengan berbagai penilaian yang kelak akan mendukung atau bahkan menolak keberadaan suatu wujud fisiologi. Demikian kecantikan, yang dari satu sisi dapat dipandang sebagai kebutuhan fisiologi, apabila diberikan penilaian akan menimbulkan persepsi umum walaupun pada dasarnya kecantikan itu sendiri adalah sesuatu yang relatif.


(63)

d. Gorga Simarogung-ogung.

Ogung artinya gong, yaitu salah satu jenis alat musik Batak Toba. Gorga ini terdapat pada dorpi jolo dan dorpi sande-sande dinding samping rumah adat. Gorga ini melambangkan kemakmuran hidup, kegembiraan dan hiburan, dimana akan dinyatakan melalui penyelenggaraan sebuah pesta.

Foto 3. Gorga Simarogung-ogung Lokasi : Hutaurat dan Hutabalian

Sumber : Koleksi Pribadi Peneliti (17 September-2010)

e. Gorga Silintong.

Lintong berarti gerakan air dan putaran air. Gerakan air dianggap sebagai gerakan garis yang indah. Seorang raja yang berilmu dan sekaligus berkedudukan sebagai datu, biasanya memiliki air suci (sakti) yang disimpan dalam tempayan, air ini disebut pagar silintong. Air ini konon dapat memberikan tanda kepada pemiliknya tentang kejadian buruk (bahaya) yang akan muncul. Oleh karena itu, hanya pemilik pagar silintong yang berhak membuat gorga silintong pada


(64)

rumah adatnya. Gorga silintong dapat ditempatkan dimana saja, akan tetapi biasanya ditempatkan di dorpi jolo dan dinding samping rumah.

Gerakan air Putaran air

Foto 4. Gorga Silintong Lokasi : Hutaurat dan Hutabalian

Sumber : Koleksi Pribadi Peneliti (17 September-2010)

f. Gorga Jengger atau Jorngom.

Gorga jengger atau jorngom adalah hiasan berbentuk raksasa yang biasa terdapat pada bagian halang gordang dan santung-santung penutup langit-langit rumah pada latar depan. Bentuk dasarnya adalah deformasi antara binatang dan manusia. Jengger dan Jorngom disatukan berkaitan dengan arti dan fungsi keduanya yang sama, hanya saja penyebutannya berbeda-beda berdasarkan tempat dimana gorga tersebut diletakkan. Gorga yang ditempatkan pada songsong boltok diatas pintu rumah disebut jorngom dan gorga yang ditempatkan di halang gordang disebut jengger. Gerak ukir pada jorngom disengaja meniru gerakan mengawasi, waspada terhadap setiap yang akan masuk


(65)

sedemikian rupa hingga seakan-akan mengawasi setiap peristiwa yang terjadi di halaman rumah agar bebas dari gangguan begu (hantu).

Foto 5. Gorga Jengger atau Jorngom Lokasi : Hutaurat dan Hutabalian

Sumber : Koleksi Pribadi Peneliti (17 September-2010)

g. Gorga Ulu Paung.

Ulu paung termasuk hiasan raksasa, yaitu setengah manusia dan setengah hewan. Bila diperhatikan dengan seksama ulu paung itu kepala manusia berbentuk kerbau. Ulu paung biasanya berada di puncak bubungan rumah. Gorga ini bermakna sebagai simbol pemelihara keamanan. Selain itu, ciri khas yang paling menonjol pada gorga ukiran ini adalah tanduk dan jambul. Tanduk dalam bahasa Batak toba disebut sitingko, yang artinya sepasang tanduk yang kokoh dan tangkas untuk berlaga. Inspirasi perlambangan ini dimulai dari situasi lingkungan sosial dan lingkungan alam mereka. Pada saat kekuasaan fisik masih mengungguli setiap aspek kehidupan, maka akal pikiran dan budi pekerti tentu saja masih dibelakang, karena kekuatan


(66)

fisik pada zaman dahulu dianggap segala-galanya dalam hal untuk bertahan hidup menghadapi ancaman lingkungan alam.

Pada bagian jambul (sijagaron) sebaai tanda banyak keturunan (hagabeon parhorasan). Jadi, akumulasi kekuatan fisik dianggap hanya akan tercapai melalui anak yang banyak.

Foto 6. Gorga Ulu Paung Lokasi : Hutaurat dan Hutabalian

Sumber : Koleksi Pribadi Peneliti (17 September-2010)

h. Gorga Gaja Dompak.

Bentuknya seperti jorngom, hanya saja berbeda dalam posisi pemakaian. Gaja dompak tergantung diujung dilapaung, sedangkan jorngom diletakkan di atas bidang taboman adop-adop. Kadang-kadan gorga gaja dompak dibuat pada Parhongkom sebagai pengganti hiasan susu.


(67)

Memproyeksikan ketentraman hidup dari segi lain berupa kebenaran hidup dan keadilan. Gaja Dompak adalah simbol kebenaran bagi orang Batak Toba.

Gambar 2. Gorga Gaja Dompak (Tidak terdapat pada lokasi) Sumber : (Ornamen/Ragam Hias Rumah Batak Toba, hal : 79; Drs. Hasanuddin, Dra. Samaria Ginting, Lisna budi setiati, BA)

i. Gorga Singa-Singa.

Singa dalam hal ini berarti ”berwibawa”. Jadi, gorga singa-singa berarti hiasan raksasa yang menyiratkan kewibawaan. Gorga ini biasanya diletakkan di ujung kiri dan kanan rumah adat. Singa sebagai wujud dari kewibawaan dan kharisma, dibuat sebagai perangsang mekanisme pelaksanaan hukum, kebenaran dan keadilan.


(1)

(2)

J a la n K e B a tu H o b o n

Jalan ke Tug u si raja Bat

ak

= Rumah Penduduk. = Kedai Kopi.

= Tempat Pariwisata Ruma Si Raja Batak.. = Kantor Camat..

= Sekolah SD Negeri. = Pohon. = Area Persawahan. = Kampung / Huta.

= Jembatan. = Jalan Ga bernama. = Pancuran. Keterangan Denah Desa Sianjur Mula-mula.

= Semak-semak dan Jurang.

K e b u n J a g u n g . = Pancuran. = Pancuran.


(3)

FOTO-FOTO LOKASI PENELITIAN

(SEPTEMBER 2010)

1. FOTO-FOTO RUMAH-RUMAH PENDUDUK DI SIANJUR

MULA-MULA.

Foto Rumah Adat Batak Toba Bergorga. Foto Rumah Adat Batak Toba Tanpa Gorga.

Foto Perpaduan Rumah Adat Batak Toba dengan Rumah Bagas Godang

Foto Rumah Adat Batak Toba yang Foto Rumah Sekertaris Desa.

Pada Bagian Belakang Rumah di Tambahkan Bangunan Modern.


(4)

Foto Rumah Penduduk yang di Bangun Pada Tahun (+1900).

Foto Rumah Penduduk yang di Bangun Pada Tahun (+2000).

Foto Rumah Penduduk yang di Bangun Pada Tahun (+2010).


(5)

2. FOTO-FOTO OBJEK WISATA DI LOKASI PENELITIAN.

Lokasi : Objek Pariwisata Rumah si Raja Batak (Hutaurat/Sianjur Mula-mula).

Lokasi : Objek Pariwisata Rumah si Raja Batak (Hutaurat/Sianjur Mula-mula).

Lokasi : Objek Pariwisata Rumah si Raja Batak (Hutaurat/Sianjur Mula-mula).


(6)

3. FOTO-FOTO KEADAAN ALAM DI LOKASI PENELITIAN.

Foto Lokasi Penelitian (Persawahan Penduduk dari Hutaurat Menuju ke Hutabalian).

Foto Lokasi Penelitian (Persawahan Penduduk dan Kerbau sedang di lepaskan di Perbukitan).

Foto Balai Desa. Foto Sungai Bintatar.

Foto Gereja GKPI. Foto Sekolah SD (Balian Galung) Hutabalian ( di Foto dari