Perbandingan Konsep Pemikiran Ritual Penguburan Tulang Pada Masyarakat Jepang Dan Batak Toba.

(1)

PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN RITUAL PENGUBURAN TULANG PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA NIHON SHAKAI TO BATAKU TOBA SHAKAI NO IKOTSU NO KAISOU

NO HIKAKU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

VIVI JUNI ASIH SIHOTANG NIM : 030708024

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D

NIP. 131422712 NIP. 131945676

Drs. Amin Sihombing

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN


(2)

PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN RITUAL

PENGUBURAN TULANG PADA MASYARAKAT JEPANG DAN

BATAK TOBA

NIHON SHAKAI TO BATAKU TOBA SHAKAI NO IKOTSU NO

KAISOU NO HIKAKU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu

syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

VIVI JUNI ASIH SIHOTANG

NIM : 030708024

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang selalu memberikan segala berkatNya kepada Penulis sehingga mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini berjudul “PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN RITUAL PENGUBURAN TULANG PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA (NIHON KAISHA TO BATAKU TOBA SHAKAI NO IKOTSU NO KASOU NO HIKAKU) “. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. oleh karena itu, Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para Pembaca.

Pada kesempatan ini juga, bagi beberapa pihak yang banyak memberikan dukungan, Penulis ingin mengucapkan ucapan terima kasih sebagai wujud penghargaan dan penghormatan yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin,M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang,M.S.,Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Fakultas Sumatera Utara dan juga sebagai Pembimbing I sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis.


(4)

4. Para Dosen dan Staff Pegawai Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya Jurusan Sastra Jepang S-1.

5. Bapak dan Ibunda tercinta serta Abang dan kedua adikku yang telah memberikan doa dan perhatian.

6. Keluarga besar Op.Juni dan Op.Handy yang juga memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materil kepada Penulis.

7. Semua sahabat-sahabatku di Jurusan Satra Jepang khususnya angkatan 2003. 8. Semua orang-orang terdekatku, khususnya Ibeth, Prass dan keluarga di

Bengkulu, yang banyak memberikan kritik dan semangat selama ini.

9. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah Yang Maha Kuasa memberikan berkat yang berlimpah serta membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada Penulis selama ini. Amin.

Medan, 21 Juni 2008 Penulis,

(Vivi JuniAsih Sihotang)


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI………....ii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1.Latar Belakang Masalah………. 1

1.2.Perumusan Masalah ………... 4

1.3.Ruang Lingkup Pembahasan……….. 6

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………. 7

1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 8

1.6.Metode Penelitian……….9

BAB II PENGUBURAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA………... 10

2.1. Penguburan Dalam Masyarakat Jepang………... 10

2.1.1. Sejarah………... 10

2.1.2. Sistem Penguburan Dalam MasyarakatJepang………... 14

2.2. Penguburan Dalam Masyarakat Batak Toba………... 27

2.2.1. Sejarah………... 27

2.2.2. Sistem Penguburan Dalam Masyarakat Batak Toba…… 30

BAB III : PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN RITUAL PENGUBURAN TULANG PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA ……… 45


(6)

3.1. Proses Penguburan Tulang Pada Masyarakat Jepang……... 45

3.1.1. Roh dan Penguburan Tulang……….. 49

3.2. Proses Penguburan Tulang Pada Masyarakat Batak Toba… 52 3.2.1. Roh dan Penguburan Tulang………... 57

3.3. Perbandingan ………. 60

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN……….. 65

4.1. Kesimpulan………... 65

4.2. Saran………. 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia mengalami proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Dalam perjalanan hidupnya, manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain untuk menjalin komunikasi dan interaksi.

Dalam kepercayaan masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba, hubungan fungsional terjadi diantara orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal. Orang yang masih hidup memiliki rasa hormat terhadap orang yang sudah meninggal. Roh orang yang sudah meninggal akan terus dihormati oleh para keturunannya, dengan harapan bahwa orang yang masih hidup akan mendapat berkah dari orang yang sudah meninggal.

Pusat dari kepercayaan dalam masyarakat Jepang adalah keluarga ie(家). Keluarga menjadi wadah utama dalam pemujaan roh leluhur masyarakat Jepang (Danandjaja, 1997). Anggota keluarga ie bukan hanya terdiri dari orang-orang yang masih hidup, tetapi juga orang-orang yang sudah meninggal. Anggota keluarga yang sudah meninggal dilambangkan sebagai karakter yang dapat memberkati dan menjaga anggota keluarga yang masih hidup.

Keluarga Jepang melakukan ritual-ritual yang menyangkut daur hidup setiap anggotanya sejak mulai lahir sampai meninggal. Ritual ataupun upacara yang


(8)

dilakukan setelah kematian merupakan pemujaan atau penyembahan terhadap leluhur. Ritual-ritual tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghapus kekotoran menuju kesucian. Hal ini terdapat dalam konsep kepercayaan Shinto bahwa yang dipandang sebagai kekotoran itu adalah darah dan mayat (Situmorang, 2000).

Masyarakat Jepang mengenal dua sistem penguburan mayat, yaitu dengan cara kashou(土葬) dan doshou (火葬). Doshou adalah penguburan jenazah di dalam tanah sedangkan kashou adalah penguburan dengan cara kremasi.

Apabila penguburan dilakukan dengan cara kremasi, maka tulang-belulang sisa pembakaran akan dikumpulkan dan ditempatkan dalam guci, yang disebut dengan kotsutsubo(骨壷). Kotsutsubo kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu dan dibungkus dengan kain putih untuk dibawa pulang, dan diletakkan di samping butsudan kira-kira selama 49 hari. Setelah 49 hari tulang-belulang itu lalu dibawa ke pemakaman keluarga. Acara penguburan tulang ini disebut dengan maikotsu. Setelah dimakamkan, keluarga membuat ihai untuk orang yang sudah meninggal tersebut. Ihai diletakkan di butsudan (仏壇)atau kamidana(神棚) dan ke ihailah diarahkan persembahan keluarga (Situmorang, 2005).

Dalam Situmorang 2006, Bagi orang Jepang, kematian adalah keadaan yang tercemar atau sesuatu yang dianggap kotor. Serangkaian upacara-upacara ditujukan bagi orang yang sudah meninggal hingga menjadi Hotoke (仏). Untuk meningkatkan status roh seseorang supaya jangan menjadi gaki (餓鬼) atau dunia kesusahan, maka


(9)

diperlukan pemberian kuyou (persembahan) dari keluarga yang masih hidup. Setelah roh tersebut dianggap suci dan stabil, kelompok keluarga tersebut menganggap bahwa roh itu sebagai pelindung keluarga.

Masyarakat Batak Toba mempercayai roh (tondi) ada dalam diri seseorang sejak Ia berada dalam rahim Ibunya. Apabila seseorang telah meninggal, maka tondinya telah meninggalkan raganya. Pada saat seseorang mengalami kematian, maka rohnya dipercayai sedang mengalami masa transisi. Tondi seseorang akan berubah menjadi Begu atau hantu. Supaya Begu seseorang tidak mengganggu kesejahteraan manusia yang masih hidup, maka diperlukan persembahan-persembahan dari keluarganya yang masih hidup. Penyembahan-penyembahan ini juga bertujuan untuk meningkatkan status roh seseorang yang sudah meninggal dari Begu menjadi Sumangot, kemudian menjadi Sombaon.

Pada masyarakat Batak Toba dikenal 8 tingkat kematian. Dari yang terendah: Pertama, Mate Tarposo (Mati dalam kandungan atau saat masih bayi). Kedua, Mate Poso (Mati kanak-kanak dan sebelum kawin). Ketiga, Mate Pupur (Mati tua tanpa pernah menikah). Keempat, Mate Punu (Mati sesudah menikah dan tidak punya anak). Kelima, Mate Mangkar (Mati setelah ada anak yang menikah, tetapi belum punya cucu). Keenam, Mate Sarimatua (Mati sudah punya cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah). Ketujuh, Mate Saurmatua (Mati setelah semua anak menikah dan mempunyai cucu). Kedelapan, Mate Mauli Bulung (Mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik serta tak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya). Mulai dari Mate Tarposo hingga Mate Punu dapat dikatakan tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu dianggap


(10)

belum lengkap kehidupan seseorang (Gultom, 1992). Setiap anggota kerabat yang meninggal sangat dihormati apalagi setelah berada di posisi Sarimatua, Saumatua dan Mauli Bulung. Pada tahap ini melepas mayat dilakukan dengan pesta besar, berhari- hari, lantunan musik dan lagu-lagu gembira, karena hidupnya telah dianggap sempurna.

Bagi masyarakat Batak Toba, salah satu adat yang paling terhormat untuk orang yang sudah meninggal adalah manuan ompu-ompu di kuburan yang memiliki makna almarhum sudah bercucu sewaktu meninggal. Kemudian setelah beberapa tahun, dilakukan satu upacara yang disebut dengan mangongkal holi (penggalian tulang-belulang orang yang sudah mati) dan akan dipindahkan ke tempat yang lebih terhormat yang disebut dengan Tugu.

Untuk lebih memahami bagaimana pandangan dan konsep pemikiran kedua masyarakat ini (masyarakat Jepang dan Batak Toba) dalam hal ritual penguburan tulang, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya dengan mengangkat judul penelitian “Perbandingan Konsep Pemikiran Masyarakat Jepang dan Batak Toba Dalam Ritual Penguburan Tulang”.

1.2 Perumusan Masalah

Menurut kepercayaan masyarakat Jepang, kematian adalah sesuatu yang dianggap kotor (tercemar). Sesuatu yang kotor dan tercemar tidak disukai oleh Tuhan (Danandjaja, 1997). Sederetan acara yang ditujukan bagi mereka yang sudah meninggal disebut dengan sougi (葬儀). Pada zaman sekarang, masyarakat Jepang


(11)

lebih sering melakukan sisem kasou(土葬) atau kremasi bagi anggota keluarga

mereka yang sudah meninggal. Setelah dikremasi, maka tulang-belulang ditempatkan dalam makam keluarga. Kemudian keluarga membuat ihai bagi keluarga yang sudah meninggal tersebut. Ihai adalah papan tempat menulis nama dan tanggal meninggal bagi orang yang dimakamkan. Setelah itu, di rumah dibuat butsudan (仏壇)dan kamidana (神棚) sebagai tempat menyembah roh-roh keluarga yang sudah meninggal. Ihai diletakkan di butsudan atau kami dan ke ihailah diarahkan persembahan keluarga (Situmorang, 2005).

Keluarga (ie) menjadi wadah utama dalam pemujaan roh dalam masyarakat Jepang. Dalam keluarga ie, yang menjadi penanggung jawab dalam hal pemujaan leluhur adalah anak pertama yang ddisebut dengan Chounan(長男) atau

Kachou(課長)yang disebut dengan kepala keluarga. Di dalam kuburan ie dimakamkan tulang belulang beberapa generasi anggota keluarga.

Masyarakat Batak Toba percaya bahwa roh sudah berada dalam diri seseorang semenjak berada dalam rahim Ibunya. Roh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan tondi. Tondi akan meninggalkan raganya apabila seseorang mengalami kematian. Kebahagian orang mati didapat jika rohnya dapat memasuki persekutuan dengan roh-roh leluhurnya dengan selamat.


(12)

diterimanya di dunia orang mati. Penghormatan ini sangat ditentukan oleh pelaksanaan penguburan secara upacara adat (agama leluhur) yang dilakukan oleh keturunannya yang hidup di dunia. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, status kehormatan yang dimiliki oleh suatu roh tidaklah bersifat statis. Status dan kehormatan dapat ditingkatkan lagi lebih keatas.

Peningkatan kemuliaan akan didapatkan oleh roh itu apabila dia memiliki status “sumangot”. Status sumangot akan dimilikinya apabila keturunannya telah membuatkan sebuah makam permanen yang dipahat dari batu atau dibuat dari semen

yang kemudian dihiasi dengan keramik dengan segala tambahannya. Pada tempat yang baru itu kemudian dimasukkan tulang belulang (saring-saring) dari orang yang

telah mati tadi. Tulang-belulang itu digali dari kuburannya di dalam tanah melalui upacara yang dinamakan “mangongkal holi”. Penaikan tulang-belulang dari dalam tanah kepada tempat yang tersedia di makam batu itu merupakan lambang pemberian penghormatan yang lebih tinggi kepada roh orang tua.

Dengan melihat adanya unsur persamaan dan perbedaan konsep pemikiran akan ritual penguburan tulang pada masyarakat Jepang dan Batak Toba, maka penulis ingin membahas dan menguraikan beberapa rumusn masalah, antara lain :

1. Bagaimanakah konsep pemikiran masyarakat Jepang dalam hal ritual penggalian tulang anggota keluarga yang telah meninggal

2. Bagaimanakah konsep pemikiran masyarakat Batak Toba dalam hal ritual penggalian tulang anggota keluarga yang telah meninggal

3. Bagaimanakah perbandingan kedua konsep pemikiran masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam hal ritual penggalian tulang


(13)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk menghindari ruang lingkup permasalahan yang terlalu luas, maka penulis membatasi masalah pada perbedaan konsep pemikiran dua masyarakat (Jepang dan batak Toba) yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dalam hal ritual penguburan tulang.

Sebelum membandingkannya, maka penulis terlebih dahulu akan menguraikan bagaimana proses upacara kematian pada kedua masyarakat ini, sampai pada tahap pemakaman yang kedua atau proses pengburan tulang. Dengan demikian, maka penulis dapat menjawab pokok permasalahan dalam penelitiannya.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Bagi masyarakat Jepang, roh berada dalam diri seseorang sejak lahir ke dunia dan akan meninggalkan tubuh manusia itu pada saat meninggal (Tsuboi Yasumi dalam Situmorang, 2005).

Pada zaman dahulu di Jepang tidak jelas batas antara mati dan masih hidup. Dalam manusia dipercayai tinggal satu roh. Apabila roh itu pergi, maka manusia itu dalam keadaan mati suri, namun apabila roh tersebut kembali, maka manusia itu akan kembali sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Inoguchi dqalam situmorang, 2005.

Gultom, 1992 mengatakan bahwa dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba roh atau tondi seseorang berada di dalam dirinya sejak Ia masih ada di dalam rahim Ibunya. Apabila tondi pergi, maka seseorang dianggap telah meninggal (Iawanda, 2004).


(14)

Pemujaan leluhur merupakan suatu bentuk pengabdian seseorang terhadap leluhurnya. Pemujaan leluhur menjadi suatu wujud terimakasih dan ucapan syukur atas semua berkat yang telah diterima. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi masyarakat Jepang terjaminnya kelanjutan kesinambungan pemujaan leluhur antara generasi ke generasi selanjutnya (Situmorang, 2006).

Gultom, 1992 mengatakan bahwa proses pemakaman yang kedua (mangongkal holi) yang ditujukan bagi orang yang meninggal saurmatua merupakan wujud dari rasa cinta dan sayang dari para keturunannya kepada Orangtua mereka yang telah meninggal.

2. Kerangka Teori

Dalam menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadp jalannya suatu penelitian (Bungin, 2001). Dengan melihat judul yang diangkat penulis, maka teori yang digunakan adalah analisis komparatif.

Dalam Ilmu sosial, penelitian komparatif adalah cara penelitian dengan membandingkan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, untuk mengetahui perbedaan dan persamaan, juga untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kondisi masyarakat terebut (Malo Manase, 1985). Selain menggunakan teori analisis komparatif, penulis juga menggunakan konsep religi dalam menjawab poko permasalahan penelitian.

Menurut Koentjaraningrat dalam Bungin 2001, konsep religi adalah sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan untuk mencari hubungan


(15)

antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan

1) Mendeskripsikan bagaimana ritual kematian dalam dua masyarakat yang berbeda (Jepang dan Batak toba)

2) Mendeskripsikan konsep pemikiran kedua masyarakat (Jepang dan Batak Toba) dalam hal ritual penguburan tulang

3) Membandingkan pandangan masyarakat Jepang dan Batak Toba akan ritual penguburan tulang

2. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca, agar pembaca dapat memahami konsep pemikiran kedua masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam hal ritual penguburan tulang.

1.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan suatu gejala sosial tertentu (Bungin, 2001). Dalam hal ini Penulis mencoba menggambarkan perbedaan ritual kematian


(16)

sampai pada tahap penguburan tulang pada masyarakat Jepang dan Batak Toba. Selain itu, Penulis juga menggunakan analisis komparatif, dengan membandingkan kedua konsep pemikiran masyarakat Jepang dan Batak Toba.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini, Penulis menggunakan studi kepustakaan. Penulis mengumpulkan data dari berbagai referensi dan literatur yang ada, yang isinya berhubungan dengan permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dari berbagai referensi atau literatur akan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan.


(17)

BAB II

PENGUBURAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

2.1 Penguburan Dalam Masyarakat Jepang 2.1.1 Sejarah

Kehidupan dapat diartikan sebagai wujud dari proses pergerakan dan pertumbuhan. Setiap orang pasti mengalami proses perjalanan dari mulai lahir, menjadi dewasa dan akhirnya meninggal. Dan pada saat hidupnya, bahkan sampai pada saat seseorang mengalami kematian, manusia membutuhkan orang lain karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial.

Kematian itu sendiri diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa, dan rohnya pergi meninggalkan raganya. Salah satu bentuk sarana sosialisasi yang dikenal masyarakat Jepang, terutama yang masih berpegang pada tradisi nenek moyang mereka ialah berupa upacara-upacara tradisional. Salah satu fungsi dari upacara tradisional ini ialah sebagai pengkokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku sejak lama (Ekayani, 2006).

Dari upacara-upacara tradisional yang diselenggarakan ini, jika diamati terlihat bahwa adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib di atas kekuasaan manusia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di muka bumi. Dan orientasi pusat religi yang ada di dunia ini ialah keyakinan akan kehidupan dan kematian yang dialami oleh manusia itu sendiri (Suryohadiprojo, 1982).

Upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan sturuktur sosial masyarakat berwujud sebagai gagasan kolektif. Gagasan kolektif


(18)

mengenai kematian yang ada pada setiap suku bangsa di dunia adalah gagasan bahwa kematian adalah suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial tertentu ke suatu kedudukan di alam roh.

Ada beberapa tingkat dari upacara kematian yang terdiri dari: yang pertama, pada saat meninggal, mayat diberi suatu sepulture provisore (pemakaman sementara). Kemudian ada periode intermediare yaitu masa dimana kerabat dekat orang yang meninggal tersebut memiliki beberapa pantangan dan syarat-syarat dalam melakukan sesuatu. Mereka berkewajiban untuk memelihara roh orang yang meninggal yang dianggap masih berada di sekitar tempat tinggal keluarga.roh tersebut belum lepas dari kehidupan sosialnya semasa hidupnya, sehingga diperlukan sesajen dan upacara yang bertujuan memperkuat roh untuk menempati kedudukannya yang baru di dunia baka. Kedudukan yang baru bagi orang yang meninggal dicapai pada saat ceremonyfinale yaitu proses penggalian tulang-belulang dan ditempatkan di tempat yang permanen (Koentjaraningrat).

Peristiwa kematian pada manusia merupakan suatu proses peralihan roh manusia kedalam kehidupan yang baru di alam baka. Roh manusia yang telah meninggal harus diintegrasikan kedalam kehidupan yang baru juga. Pandangan inilah yang melatarbelakangi masyarakat Jepang untuk mendirikan kuburan sebagai tempat bersemayamnya roh-roh manusia yang telah meninggal. Sehingga kuburan juga dijadikan sebagai tempat peringatan dan tempat berziarah bagi keluarga yang sudah meninggal.

Inoguchi dalam Situmorang mengatakan bahwa kematian diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa dan rohnya pergi meninggalkan


(19)

raganya. Dalam setiap tubuh seseorang, ada tinggal satu roh dan apabila roh itu keluar dari tubuh seseorang, maka manusia itu dinyatakan mati suri, tetapi apabila roh tersebut kembali ke dalam raganya maka manusia itu dinyatakan masih hidup dan sehat kembali. Jika rohnya selamanya tidak pernah kembali lagi, maka manusia itu dinyatakan telah meninggal Masyarakat tradisional Jepang mengenal suatu ritual yang disebut dengan tamayobai (霊よばい). Acara ini bertujuan untuk memastikan roh seseorang akan kembali lagi ke dalam raganya atau tidak. Biasanya mereka menyediakan makanan di samping jenazah lalu memanggil roh ke langit-langit rumah dan juga ke dalam sumur supaya roh tersebut kembali ke dalam raganya.

Pada zaman sekarang, hampir 90% orang Jepang dimakamkan dalam ritual agama Buddha (Kodansha dalam Danandjaja, 1997). Upacara dilaksanakan secara agama Buddha karena menurut agama Shinto, kematian adalah sesuatu yang tidak baik.

Dalam pandangan Shinto, kehidupan dianggap sebagai sesuatu yang baik dan kematian adalah sesuatu yang kotor. Mereka juga beranggapan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak normal atau tidak beruntung. Pandangan inilah yang menyebabkan para pendeta Shinto hanya mengabdikan dirinya untuk melayani Kami (神), dan melakukan sesuatu yang bersih, serta tidak melibatkan dirinya dalam

kegiatan upacara kematian atau pemakaman. Bagi mereka sendiri, pelaksanaan ritual keagamaan diluar memuja kami (神) adalah diluar tanggung jawab kuil dan pendeta.


(20)

penanggung jawab upacara kematian, walaupun ada juga diantara mereka yang mengkonsultasikan masalah kehidupannya kepada Obosan.

Upacara kematian menurut agama Buddha di Jepang sudah dijalankan oleh leluhur Jepang sejak masuknya agama Budha di Jepang kira-kira abad ke-6 dan diikuti dengan munculnya sekte-sekte dalam agama Budha seperti Jodoshu, Jodoshinshu, Nichirenshu dan lain-lain. Setelah sekte-sekte tersebut terbentuk, kuil dari sekte masing-masing pun terbentuk dan para pendeta mulai menetap di kuil tersebut. Para pendeta mulai menangani upacara kematian rakyat biasa yang diperkirakan mulai akhir tahun 1500.

Pada zaman Edo (1603-1868), untuk mencegah terjadinya Kristenisasi, agama Buddha dihidupkan kembali dan dibuatlah sistem danka (檀家), dimana setiap orang

harus menjadi jemaat dari suatu kuil tertentu dan kuil tersebut harus mengurusi jemaatnya sampai akhir hayatnya atau mengurusi kematiannya. Oleh karena itu, upacara kematian yang diselenggarakan secara agama Buddha dan pendeta Buddha yang sekarang melaksanakan upacara kematian, dapat diperkirakan telah dimulai sejak sistem danka (檀家) diberlakukan. Pada saat ini, kuil Shinto tidak berperan dalam upacara kematian atau dengan kata lain tidak mengurusi perihal urusan kematian dan ini terjadi sampai pada zaman Meiji (1868-1912), memicu terbentuknya pemahaman bahwa upacara kematian adalah tanggung jawab agama Budha.

Dalam ajaran Shinto, dipandang sebagai kegare (汚れ). Kematian yang disebut shie adalah sesuatu yang harus dihindari, maka jika terjadi kematian di


(21)

kalangan pengurus kuil, yang akan melaksanakan upacara kematian adalah kuil Shinto yang berafiliasi kepada tera yaitu kuil Buddha.

Upacara kematian secara Shinto diselenggarakan sebatas keluarga dari pengurus kuil, namun sejak akhir periode Taisho (1912-1989) sampai sekarang kuil Shinto bisa melayani upacara kematian. Pemikiran yang mendasari upacara kematian secara Shinto adalah mengantar arwah jenazah ke tempat Kami (神)berada.

2.1.2 Sistem Penguburan Dalam Masyarakat Jepang

Upacara kematian menurut agama Buddha sering disebut soushiki bukyou (賞式 仏教) atau sousai bukkyo. Sosai bukyo itu sendiri merupakan gabungan dari

soso dan saishi. Dalam bahasa Jepang zaman kuno yang disebut so dalam kata sosai adalah hafuru (派振る). Hafuru itu sendiri berkaitan dengan kata-kata yang

mengandung makna membuang seperti suteru, horu, hoki suru yang mengacu pada jasad orang yang meninggal (jenazah), dan proses penanganan jenazah itulah yang disebut dengan so. Secara keseluruhan, yang disebut dengan sosai adalah hal mengantar orang yang meninggal menuju dunia setelah mati, yang realitasnya yaitu ,mengantar sampai kuburan.

Inti dari upacara kematian menurut tata cara agama Budha (bukyo sogi), sesuai dengan makna sesungguhnya adalah untuk mengikuti supaya arwah orang yang meninggal itu tidak tersesat di perjalanan menuju akhirat . Pada saat itulah, Doshi (pendeta yang memanjatkan doa pada waktu upacara kematian) menggenggam


(22)

obor yang cahayanya berfungsi sebagai penerang jalan yang gelap ketika menuju ano yo atau dunia sana.

Konsep yang menyatakan bahwa upacara kematian merupakan simbol dari perjalanan menuju akhirat, ternyata sudah ada di Jepang dari sejak awal. Ketika agama Buddha khususnya sekte Jodoshu dengan ajarannya yaitu Jodokyo menjadi populer, orang yang meninggal dianggap sebagai seseorang yang menyusuri perjalanan jauh dari dunia ini atau Kono yo, yaitu menuju dunia dimana terdapat figur tempat tinggal sang Budha. Di negara Jepang, upacara kematian harus diselenggarakan pada hari baik (tomo biki), jika diadakan upacara kematian pada hari yang dianggap kurang baik, dikhawatirkan almarhum akan “membawa serta” anggota keluarga atau teman terdekatnya untuk menyertainya ke alam baka (Danandjaja, 1997).

Upacara kematian masyarakat Jepang dipimpin oleh pendeta Buddha. Setelah terjadi kematian, keluarga almarhum melakukan penyucian jenazah dengan meletakkan jenazah dalam posisi yang baik, yaitu dalam posisi terbujur. Kelopak mata ditutup rapat, wajah almarhum ditutup dengan kain putih, kedua lengan diletakkan di atas dada. Setelah itu, para keluarga dan kerabat terdekat memeberikan matsugo no mizu (air terakhir yang diberikan untuk jenazah). Matsugo no mizu (松後の水) dioleskan di bibir jenazah dengan menggunakan sumpit. Pengolesan ini

dilakukan oleh pihak keluarga almarhum. Jenazah kemudian dimandikan/ dibersihkan dengan air hangat (yukan).


(23)

Bila proses yukan telah selesai, dilanjutkan dengan proses mendandani jenazah. Tujannya untuk mempercantik dan memperindah sosok almarhum. Jenazah dikenakan pakaian putih-putih (kyokatabira) atau pakaian favoritnya, misalnya kimono. Setelah semuanya selesai, jenazah yang sudah dibersihkan diletakkan di depan butsudan (仏壇)atau altar Buddha. Pada waktu diletakkan, kepalanya menghadap Utara. Peletakan jenazah kearah Utara ini didasari atas posisi Buddha meninggal dimana kepalanya mengahadap ke Utara.

Pada saat jenazah ditangani, keluarga mengadakan tsuya (通夜), yaitu berjaga

sepanjang malam atau berjaga setengah malam yang disebut dengan hantsuya(半通夜) dengan menghabiskan waktu terakhir bersama almarhum sambil mendoakannya. Pada saat menghadiri tsuya (通夜), pakaian yang digunakan oleh pihak keluarga merupakan pakaian berkabung, biasanya berwarna hitam.

Seorang pendeta Buddha melantunkan ayat-ayat sutra di samping pembaringan jenazah. Di tengah-tengah pembacaan sutra, pembakaran dupa dilakukan. Upacara pembakaran dupa dalam upacara kematian menurut tata cara agama Budha dilakukan dua kali, yaitu pada saat upacara tsuya (通夜) upacara pada saat malam sebelum penguburan dimana keluarga yang ditinggalkan menghabiskan waktu terakhir bersama almarhum) dan sebelum upacara kremasi. Sama seperti dalam upacara tsuya, anggota keluarga yang lebih dulu mendapatkan giliran untuk


(24)

melakukan pembakaran dupa adalah anggota keluarga yang paling dekat hubungannya dengan almarhum.

Bila yang meninggal adalah kepala keluarga, yang pertama kali melakukannya adalah moshu (喪主) atau peminpin perkabungan. Setelah moshu

(喪主) dilanjutkan dengan anak almarhum yang belum menikah dan anak yang

sudah menikah. Kemudian diteruskan dengan kedua orang tua almarhum, cucu, saudara kandung almarhum, menantu, paman dan terakhir keponakan. Bila anggota keluarga dan sanak saudara terdekat selesai melakukannya, maka selanjutnya yaitu teman dekat, kenalan serta rekan kerja almarhum yang secara bergiliran melakukan pembakaran dupa. Keikutsertaan para pelayat dalam upacara pembakaran dupa, ini sangat berarti karena upacara pembakaran dupa sendiri mempunyai makna yaitu berdoa dengan hati yang khusuk dengan penyucian di hadapan hotoke (仏). Upacara

pembakaran dupa shoko(焼香 )itu sendiri merupakan salah satu dari enam jenis persembahan terhadap arwah orang meninggal.

Setelah upacara pembakaran dupa selesai, pihak petugas dari perusahaan pemakaman (kanri no sogisha) serta keluarga almarhum menurunkan peti jenazah dari altar kemudian dan membuka tutupnya. Pada saat itulah, pihak keluarga almarhum, sanak keluarga, serta kenalan dekat berkumpul dan mengelilingi peti jenazah tersebut untuk menatap wajah almarhum yang terakhir kalinya. Peti jenazah kemudian ditutup kembali.


(25)

Tahap akhir dari prosesi upacara kematian adalah upacara yang disebut sousai(葬祭) yaitu upacara penguburan. Pada awalnya di negara Jepang, apabila ada keluarganya yang meninggal, maka mayat tersebut dibuang ke Tanima Jigoku (lembah), dan untuk ketenangan rohnya maka keluarga selalu membuat persembahan-persembahan. Namun kemudian, karena ada perasaan kedekatan antara orang yang meninggal dengan keluarga yang masih hidup, misalnya perasaan cinta akan keluarganya maka jenazah anggota keluarga yang telah meninggal tidak lagi dibuang ke Tanima Jigoku (谷間地獄) tetapi dikuburkan. Ada beberapa cara yang dilakukan

masyarakat Jepang dalam memperlakukan keluarga mereka yang telah meninggal, antara lain :

1. Dosou (土葬) penguburan di tanah. Penguburan ini dilakukan dengan cara menggali lubang di tanah, kemudian jenazah dimasukkan serta dikubur di dalamnya. Lubang itu kemudian ditutup kembali dengan tanah dan dibentuk menyerupai bulatan penuh, seperti kue manju.

2. Kasou (火葬) penguburan di api. Penguburan ini dilakukan dengan cara membakarnya, dan kemudian tulang-belulang sisa pembakaran tersebut dibawa oleh keluarga.

Dosou dan kasou sudah mengakar sampai di pulau-pulau utama Jepang. Dilihat dari sisi sejarahnya, dosou lebih dahulu ada daripada kasou. Sedangkan kasou sendiri menurut sejarah agama di Jepang berada di wilayah dimana sekte Jodoshinshu


(26)

berkembang. Kasou (火葬) atau upacara kremasi ini awalnya diterima di Jepang berkat masuknya agama Buddha di Jepang.

Upacara kremasi dalam upacara kematian menurut tata cara agama Buddha di Jepang yang diadakan setelah pelepasan peti jenazah ini dihadiri oleh keluarga inti almarhum, kerabat dekat dan juga orang-orang yang mempunyai hubungan akrab dengan almarhum. Pada saat menuju tempat kremasi (krematorium), ada benda-benda yang tidak boleh terlupakan untuk dibawa karena sangat sibutuhkan di sana. Benda-benda tersebut adalah ihai, potret wajah almarhum, dan surat ijin untuk melakukan kremasi.

Ihai adalah papan kayu berwarna putih yang di bagian depannya bertuliskan kaimyo yaitu nama yang diberikan oleh pendeta Buddha kepada orang meninggal, dan di bagian belakangnya adalah nama asli almarhum semasa hidupnya beserta tahun kematiannya yang ditulis dalam ukuran kecil. Baik pada upacara tsuya maupun pada saat upacara pemakaman ihai diletakkan di saidan sampai pada akhir masa perkabungan yang disebut dengan imi ake (忌明け) dan biasanya perusahaan pemakaman atau sogisha sudah mempersiapkan ihai berserta kaimyo yang di tulis di ihai tersebut, atas permintaan keluarga almarhum. Yang menuliskan kaimyo, hari, tanggal dan tahun kematian almarhum adalah Soryo (総量)atau pendeta agama

Buddha. Ihai itu nantinya akan dibawa moshu (喪主) atau peminpin perkabungan ketika mengiringi almarhum menuju tempat kremasi. Sedangkan potret wajah


(27)

almarhum akan dibawa oleh wakil keluarga inti almarhum (anak atau pasangan yang ditinggalkan).

Begitu sampai di tempat kremasi, peti jenazah segera diambil oleh petugas krematorium dan petugas dari perusahaan pemakaman untuk dimasukkan ke dalam kamado. Sebelumnya karena meja kecil dan peralatan penting seperti makko(dupa yang berbentuk butiran dari daun dan kulit shikimi yang dikeringkan), koro (wadah pembakaran dupa), shokudai (tempat lilin) serta bunga sudah dipersiapkan untuk persembahan, moshu (喪主) dan izoku(遺族) (keluarga inti dari almarhum) tinggal

meletakkan ihai dan foto di meja tersebut bersama dengan benda-benda tadi. Upacara yang mereka lakukan dengan menggunakan peralatan- peralatan tadi disebut dengan osame no shiki (納めの式).

Setelah osame no shiki (納めの式)atau ritual pemakaman selesai, para keluarga, sanak saudara dan teman-teman almarhum mengatupkan kedua telapak tangan (berdoa), dan kemudian menuju ruang istirahat. Selama menunggu proses pembakaran jenazah dalam kamado yang akan memakan waktu kurang lebih satu jam, para keluarga beserta dengan teman-teman almarhum menunggu ruang istirahat sambil makan kue dan minum teh.

Setelah upacara kremasi selesai, petugas di ruang kremasi segera meminta kelurga almarhum untuk datang mengambil tulang belulang almarhum yang tersisa.


(28)

Dengan memakai hashi (sumpit) yang terbuat dari kayu dan bambu mereka melakukan hashi watashi(箸渡し)yaitu memindahkan tulang denagan menggunakan sumpit dan kemudian memasukkannya ke dalam kotsu tsubo (骨壷)

atau wadah yang berisi tulang-belulang hasil upacara kremasi.

Perbuatan memindahkan tulang dengan cara menjepitnya dengan sumpit ini bermakna supaya orang yang meninggal bisa menyebrangi Sanju no kawa (sungai Sanju) dengan selamat, dan bisa bepergian dari dunia ini menuju dunia pencerahan. Urutan orang-orang yang memungut tulang belulang itu sama dengan urutan ketika upacara pembakaran dupa yaitu mulai datri moshu (喪主) kemudian dilanjutkan dengan anak dan seterusnya. Kotsu tsubo yang berisi tulang belulang almarhum kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu berwarna putih dan dibungkus dengan kain putih. Kotak kayu tersebut lalu dibawa pulang ke rumah oleh sanak saudaranya. Sesampainya di rumah, Ihai, potret dan tulang-belulang almarhum diletakkan di altar beserta dengan benda-benda lain seperti bunga, tempat lilin, tempat pembakaran dupa dan juga kue dan buah-buahan. Semuanya itu sebagai persembahan bagi orang yang meninggal.

Ada satu lagi kebiasan yang dilakukan begitu sampai di halaman rumah yaitu shio harai(塩祓い) atau kiyome. Shio harai (塩祓い) adalah menyucikan diri setelah pulang dari tempat kremasi dengan menginjak garam. Kemudian garam tersebut ditaburkan ke bahu orang-orang yang baru saja kembali dari tempat kremasi.


(29)

Setelah prosesi penguburan selesai, upacara selanjutnya yang harus dilakukan adalah upacara pulang ke rumah yang disebut dengan istilah kikasai (帰家祭). Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah pengurus upacara melakukan pensucian di pintu gerbang dengan menebarkan garam di sekitar gerbang masuk halaman rumah, barulah anggota keluarga yang baru pulang dari prosesi upacara boleh masuk ke dalam rumah. Kemudian setelah duduk di depan altar, penanggung jawab upacara meletakkan abu jenazah di tengah altar dan mengumumkan bahwa upacara telah selesai. Sampai tiba waktunya, abu jenazah di simpan di makam, setiap hari diterangi lilin, meletakkan bunga, dan sakaki, beras yang sudah dicuci, garam, makanan kecil dan buah serta melakukan penghormatan pada pagi dan sore hari (http : //japan-guide.com).

Ritual selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah reisai(霊祭)yaitu upacara arwah yang merupakan salah satu ritual dalam tata cara Buddha yang dilakukan di depan makam atau di depan altar yang dipimpinoleh pengurus upacara. Para pelayat melakukan ritual tamagushi hoten (玉串奉奠) dimana ritual ini mirip

dengan persembahan dupa kepada jenazah yang dikenal denagan ritual shokou( 焼香 = dupa ) dalam upacara kematian secara Buddha, bila hari pengambilan (abu jenazah) telah ditentukan, kirimlah kartu undangan kepada kerabat dekat dan relasi jenazah.


(30)

Setelah itu, keesokan harinya setelah pemakaman selesai, diadakan yokujitsu sai(翌日祭). Yokujitsu sai adalah pemberitahuan kepada orang yang telah membantu proses pemakaman yang dilaksanakan tepat keesokan harinya sesudah upacara selesai. Yokijitsu sai akan diisi dengan kegiatan-kegiatan peringatan pada hari tertentu untuk mengenang dan mendoakan almarhum/almarhumah agar berbahagia di dunia sana.

Upacara ini akan diawali dengan pemberitahuan dari pihak keluarga kepada pihak kuil orang yang berperan sebagai pembuat tamagushi, keluarga terdekat, sahabat kerabat, para pelayat, dan orang-orang sekitarnya bahwa upacara kematian sudah selesai diselenggarakan. Pihak keluarga akan menyampaikan rasa terima kasihnya atas segala bantuan yang diberikan selama terselenggaranya upacara kematian tersebut. Dalam upacara ini pihak keluarga dekat akan menerangi altar dan menyiapkan sesajen, setelah itu berdoa bagi arwah baru (Danandjaja, 1997).

Bagi masyarakat Jepang, upacara kematian merupakan awal dari rangkaian upacara pemujaan terhadap leluhur. Setelah upacara kematian selesai, kemudian diikuti dengan upacara peringatan hari ke-7 (hatsunanoka); upacara hari ke-35 (sanjugonichi); sampai tiba pada hari ke-47 (shijukunichi) setelah kematian. Pada saat ini keluarga, kerabat dan teman-teman dari orang yang meninggal akan berkumpul di depan altar dimana ihai dan kotsutsubo (tempat abu orang yang meninggal) diletakkan. Pendeta akan dipanggil untuk membacakan sutra, lalu dupa dinyalakan dan makanan akan disajikan kepada semua orang yang hadir. Upacara seperti ini


(31)

disebut houji (法事)。 Sebelum hari ke-49 berlalu, keluarga dari almarhum akan menyampaikan rasa terima kasih kepada yang hadir dengan memberikan kodengaesi

(香典返し)。Pada masa itu pula kotsutsubo(骨壷)dikuburkan. Kadang-kadang

hoji dilakukan pada hari ke-100 (hyakanichi).

Setelah hari ke-49 akan diadakan upacara serupa pada peringatan ulang tahun kematian yang pertama (isshuki), acara 3 tahun (sankaiki), acara 7 tahun (nanakaiki), acara 13 tahun (jusankaiki), acara 17 tahun (junanakaiki), acara 23 tahun (nijusankaiki), acara 33 tahun (sanjusankaiki), dan acara yang ke-50 tahun (dalam konsep agama Shinto).

Kemudian setelah menjalani acara 33 tahun (konsep Budha) atau 50 tahun (konsep Shinto), maka seseorang itu menjadi suci dan disebut Hotoke (仏). Menurut Tsuboi Yayumi dalam Situmorang, 2001), menggambarkan bahwa jumlah rangkaian upacara yang dilakukan pada anak yang baru lahir hingga dewasa sama banyaknya dengan jumlah upacara yang dilaksanakan pada roh orang yang meninggal hingga menjadi suatu tahap tomurai age (弔い上げ)。

a. Upacara Tamurai Age (弔い上げ)

Tamurai Age (弔い上げ) adalah upacara peringatan ke-33 tahun (konsep


(32)

kematian terakhir. Orang jepang beranggapan bahw apada saat itu orang yang meninggal akan bergabung bersama para leluhur yang lain, Ihai orang yang meninggal dibakar, dibuang ke laut atau di simpan di kuil sambil menagatakan “Hotoke wa kami nari..” yang berarti arwah akan menjadi dewa.

Roh orang yang meninggal itu akan menjadi Shinbutsu (dewa ) pada tahun ke-33. Setelah menjadi Shinbutsu (神仏)dimasukkan ke dalam kelompok Sosendaidai (roh leluhur). Roh leluhur itu akan tinggal di gunung, dan keturunannya mempercayai bahwa dari situ Ia akan mengawasi anak cucunya. Roh leluhur yang sudah melewati masa pensucian, yaitu 33 tahun (Shinto), dan 50 tahun (Budha) dan telah menjadi Shinbutsu (dewa), wajib melindungi keluarganya dari mara bahaya. Dan para keturunannya percaya berkat yang mereka peroleh juga berasal dari nenek moyang mereka yang sudah meninggal.

b. Upacara Obon (お盆)

Uapacara obon (お盆) disebut juga upacara peringatan arwah yang berasal dari agama Buddha. Upacara ini biasanya diselenggarakan setiap tanggal 13 sampai pada tanggal 15 Juli atau Agustus tergantung pada perhitungan kalender bulan. Masyarakat Jepang percaya bahwa pada perayaan Obon ini, roh leluhur datang ke rumah anak cucunya. Sejak tanggal 1 Juli ada beberapa daerah yang mulai memasang bondoro (lentera) di dalam rumah. Di atas bukit juga biasanya akan dipasang lentera


(33)

tinggi sebagai ucapan selamat datang kepada arwah leluhur yang biasa disebut dengan mukaebi.

Pada waktu menjelang obon setiap keluarga berziarah ke makam keluarganya yang telah meninggal. Mereka juga membersihkan makam dari rumput-rumput yang telah menimbun, agar jaln dari makam ke desa menuju rumah mereka terlihat bersih dan rapi. Dan pada tanggal 13 dan 14 juli selama obon dilaksanakan, tari obon atau yang disebut dengan bon odori (盆踊り)yang dilakukan secara bersama-sama di kuil,

desa ataupun di tempat- tempat terbuka. Tarian ini dilakukan untuk menyambut roh leluhur yang akan datang.

Awal puncak peringatan arwah pada masa obon (お盆) adalah pada tanggal

13 Juli. Pada saat inilah dinyalakan lampu atau lentera. Roh leluhur akan diantar pulang pada tanggal 15 atau 16 dengan menyalakan api atau lampu okuribi. Tujuannya agar perjalanan arwah leluhur tidak tersesat. Pada tanggal 16 akan disajikan hidangan atau sesajen yang dibungkus atau dihanyutkan ke sungai, yang diletakkan dalam sampan atau perahu-perahu yang terbuat dari rami. Keluarga yang masih hidup akan membuat boneka kuda dan sapi yang terbuat dari sumpit, terong atau ketimun. Boneka ini melambangkan kendaraan yang akan digunakan para arwah.


(34)

Ritual ini ditujukan bagi suatu kelompok arwah dari suatu ie (家)。 Pada

perayaan ini disajikan sesajen berupa makanan di pagi hari atau malam hari yang diiringi dengan pembakaran hio (dupa) atau peketakan bunga di butsudan atau kamidana di rumah yang biasanya dilakukan oleh para ibu.

d. Upacara Pada saat Shogatsu (正月)

Shogatsu adalah perayaan tahun baru yang dilaksanakan pada tanggal 1-13 Januari yang ditandai dengan berkumpulnya seluruh anggota keluarga, mengunjungi kuil Buddha atau Shinto dan mengunjungi sanak saudara, sahabat atau kerabat. Pada saat obon dan shogatsu adalah saat dimana keluarga- keluarga Jepang menyambut datangnya arwah leluhur yang pulang kembali ke ie mereka masing-masing.

Upacara shogatsu (正月)dilakukan terutama untuk menyambut toshigami atau

dewa tahun baru. Rumah-rumah dibersihkan, dihiasi dengan shimenawa yang dipasang di pintu rumah sebagai tanda bahwa rumah tersebut merupakan tempat tinggal dewa. Hal ini dilakukan juga untuk mencegah roh-roh jahat masuk ke dalam rumah.

Pada saat shogatsu, keluarga-keluarga Jepang mengucapkan selamat datang kepada arwah leluhur yang berkunjung ke rumahnya. Para leluhur dihibur dengan doa-doa dan sesajen yang diletakkan di altar keluarga sampai mereka kembali pada akhir perayaan. Di pintu gerbang diletakkan kadomatsu (門松) atau rangkaian dari


(35)

tiga ranting daun cemara di bambu yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan di tahun yang akan datang.

e. Upacara Higan (悲願)

Upacara higan dilakukan untuk menolong arwah melewati dunia yang pnuh kekacauan menuju dunia pencerahan. Upacara higan (彼岸) sendiri merupakan

upacara penyambutan siang dan malam yang panjang waktunya sama yaitu pada saat matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa, yang dilakukan pada pertengahan musim semi dan gugur. Pada saat ini, orang-orang membersihkan dan mengunjungi makam-makam keluarga mereka, juga mengadakan upacara dengan mengundang pendeta untuk membacakan kitab sutra di depan butsudan (仏壇) . Sesajen berupa sake (酒) dan makanan dihidangkan , dupa dinyalakan di depan butsudan.

f. Upacara Segaki-e

Upacara segaki-e dilakukan antara tanggal 1-15 Juli dan juga menjadi bagian dari upacara obon, namun juga dapat dilakukan pada saat peringatan terjadinya kecelakaan ataupun bencana alam. Upacara ini juga merupakan upacara yang dilakukan untuk arwah leluhur, yaitu muen-botoke yang membahayakan manusia. Upacara Buddha ini dilakukan secara pribadi di altar rumah atau di kuil.


(36)

Upacara ini dilakukan pada malam hari tanpa lampu atau alunan musik. Kitab sutra yang dibacakan oleh pendeta juga dilakukan dengan suara yang rendah agar tidak mengganggu muen-botoke. Pada saat kitab sutra dibacakan para muen-botoke datang dan mengelilingi altar (Situmorang, 2005).

2.2 Penguburan Dalam Masyarakat Batak Toba 2.2.1 Sejarah

Kultur Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pangakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang (atas) merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Nabolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga (tengah) merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru (bawah) merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat.

Bagi masyarakat Batak Toba Mulajadi Na Bolon adalah Allah Pencipta alam dan segala isinya. Di samping itu, masyarsakat Batak Toba juga takut dan percaya kepada roh-roh orang yang sudah meninggal yang dipercayai dapat menimbulkan mara bahaya, penyakit dan penderitaan lainnya bila manusia tidak terhadap adat istiadat yang berlaku pada masyarakat Batak Toba.

Masyarakat Batak Toba juga percaya bahwa adat diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon. Hal ini sesuai dengan adanya umpasa (umpama) pada orang Batak yang


(37)

berbunyi “adat do ugari sinihatahon ni Mulajadi, siradatan manipat ari salaon disihulubalang ari”. Artinya adat adalah hukum yang diberikan Mulajadi Na Bolon setiap hari harus dipelihara. Mulajadi yang dimaksud bukanlah Mulajadi Na Bolon yang dikenal orang Batak sebagai Debata pencipta alam semesta. Mulajadi yang dimaksud adalah Mulajadi yang dianggap menciptakan adat istiadat dalam masyarakat Batak Toba, yang dalam hal ini adalah nenek moyang orang Batak. Agama leluhur mengajarkan bahwa manusia memiliki tubuh dan roh (tondi). Kehidupan seseorang sangat ditentukan oleh kondisi rohnya. Selama sang roh berdiam dalam tubuh, maka orang tersebut akan hidup. Apabila roh berada dalam keadaan lemah, maka orang itu akan menjadi sakit, demikian juga bila roh itu pergi meninggalkan tubuhnya dalam waktu terbatas.

Kematian akan terjadi apabila roh orang itu meninggalkan tubuhnya untuk selama-lamanya. Karena itu, orang Batak sangat mementingkan urusan pemeliharaan kondisi rohnya. Kondisi roh yang nyaman dan hangat merupakan syarat penting untuk menjalani kehidupan yang berbahagia. Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian merupakan titik perpindahan kehidupan seseorang dari kehidupan di alam fisik (dunia), menuju pada kehidupan di alam kematian atau di alam roh. Kematian merupakan pintu gerbang untuk memasuki kehidupan di alam roh. Seluruh roh, arwah (begu) dari orang yang telah mati berada di alam roh.

Dalam alam itu mereka hidup dengan membentuk suatu komunitas masyarakat roh, yang juga tersusun dalam struktur kekerabatan yang bersifat patrilinial berdasarkan marga dan prinsip Dalihan Natolu. Karena itu apabila


(38)

seseorang meninggal sering diakatakan: “na dialap Ompung na do I” (Dia dijemput oleh roh leluhur atau roh Kakeknya).

Persekutuan masyarakat Batak disusun berdasarkan asas Dalihan Natolu. Persekutuan ini menjalin ikatan antara seluruh anggota keluarga yang masih hidup, baik dari pihak hulahula, boru maupun dongan sabutuha. Selain itu, persekutuan orang Batak juga mencakup ikatan antara seluruh kerabatnya yang masih hidup di dunia, dengan seluruh roh-roh dari anggota keluarganya yang telah mati. Upacara adat yang berhubungan dengan kematian pada hakekatnya merupakan peneguhan ikatan antara seluruh orang Batak yang hidup, dengan seluruh roh-roh keluarga atau leluhurnya yang telah mati.

Keyakinan masyarakat Batak akan adanya hubungan antara orang yang hidup dengan roh orang mati, tercermin di dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati, seperti: manulangi (menyulangi orang yang akan mati), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dan

pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya upacara adat.

Upacara-upacara di atas pada hakekatnya merupakan upacara agama hasipelebeguon yang masih tetap dilakukan oleh kebanyakan orang-orang Kristen dalam masyarakat Batak sekarang. Sebagian dari mereka melakukannnya mungkin saja mengerti akan makna dari upacara tersebut. Namun sebagian besar mungkin tidak memiliki pengertian akan latar belakang dan tujuan upacara adat ( Gultom, 1992).


(39)

Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia, karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya (Harianja, Bulman, 2006). Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi, kecelakaan dan sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti.

2.2.2 Sistem Penguburan Dalam Masyarakat Batak Toba

Pada masyarakat Batak Toba dikenal 8 tingkat kematian. Kita dapat mengklasifikasikan tingkat kematiaan dari yang terendah, antara lain :

1. Mate Tarposo (Mati dalam kandungan atau saat masih bayi). 2. Mate Poso (Mati kanak-kanak dan sebelum kawin).

3. Mate Pupur (Mati tua tanpa pernah kawin).

4. Mate Punu (Mati sesudah kawin, tidak punya anak).

5. Mate Mangkar (Mati setelah ada anak yang kawin, tetapi belum punya cucu).

6. Mate Sarimatua (Mati sudah punya cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum kawin).


(40)

7. Mate Saurmatua (Mati setelah semua anak kawin dan mempunyai cucu).

8. Mate Mauli Bulung (Mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik serta tak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya).

Mulai dari Mate Tarposo hingga Mate Punu dapat dikatakan tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu dianggap hidupnya belumlah sempurna. Acara adat dilakukan dan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari jenis Mate Mangkar hingga kepada Mate Mauli Bulung. Setiap anggota kerabat yang meninggal sangat dihormati apalagi setelah berada di posisi Sarimatua, Saumatua dan Mauli Bulung.

Saurmatua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sarimatua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan.

Kematian seseorang dengan status mauli bulung menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis. Mereka boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul gondang


(41)

ogung sabangunan, musik tiup dan menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Dapat diprediksi, umur yang mauli Bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka. Dalam tradisi adat Batak, mayat orang yang sudah Mauli Bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat).

Masyarakat Batak Toba percaya apabila ada Orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini,maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut.

Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan di kampung tersebut). Acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulungnya, dengan harapan bahwa Orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh


(42)

umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar Orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya diberi nasehat-nasehat. Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari Orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama.

Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk Orangtua tadi dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat). Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah mereka memberikan ulos naganjang kepada Orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) Orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya Orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang. Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru berdoa dan menyuguhkan daging lengkap kepada pihak hula-hula.

Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya Orangtua yang saur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan diselimuti dengan kain batak (ulos). Selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya


(43)

mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Pihak famili mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (mangarapot).

Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha yang terdiri dari teman semarga, teman sahuta atau teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak Suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan (Harianja, Bulman).

Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak Suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan Orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu laki-laki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan. Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala.

Pihak Boru lainnya pergi mengundang Pargonsi (pemain musik gondang) dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta


(44)

dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saur matua. Pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan. Setelah keperluan upacara dipersiapkan barulah upacara kematian saur matua ini dapat dimulai.

Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas beberapa bagian yaitu:

1. Upacara di jabu (di dalam rumah ). Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur Dalihan Na Tolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur Dalihan Na Tolu sedang berlangsung diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis.

Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di Jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar). Setelah dijamu makan oleh pihak Suhut, maka para Pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk


(45)

istirahat. Dan pada malam hari tiba, Pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama. Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua.

Kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Na Tolu berdiri di tempatnya masing masing. Pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.

Pada saat Gondang kedua berbunyi, maka semua menari. Gondang Liat-liat (gondang ketiga), para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja. Gondang Simba-simba (gondang kelima) maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.Gondang yang terakhir, hasuhuton meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali (Hutasuhut, 1990). Jika


(46)

upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan manortor (menari) oleh semua unsur Dalihan Na Tolu.

Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan Dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah Dongan sabutuha saja. Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. Posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulos sampe, ulus panggabei.

Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda). Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalam dalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala.


(47)

Setelah ulos tujung diberikan, kemudian Tulang (Paman) dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya Maksud dari pemberian ulos ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara Tulang dengan Bere (kemenakannya). Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada Suhut, maka sekarang giliran pihak Suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak Boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.

Aktivitas selanjutnya adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak Suhut, Dongan sabutuha, Boru dan Ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah Orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan sore hari. Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada Orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Acara ini berlangsung sampai selesai ( pagi hari ).

2.Upacara di Jabu menuju Maralaman (halaman rumah).

Acara ini dimulai kira-kira pukul 10.00 pagi, tepat ketika hari penguburan akan dilakukan. Acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah). Setelah acara gereja selesai, maka pengurus gereja menyuruh pihak boru


(48)

untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati. Peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang.

Peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib Kristen yang bertuliskan nama Orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur Dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.

3. Upacara Maralaman (di halaman rumah).

Upacara ini dilakukan sebelum acara penguburan dilaksanakan. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang saur matua meninggal, maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan yang disebut Partuatna. Semua orang yang hadir mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah. Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.

Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa


(49)

berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhir dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu Pargonsi memainkan sitolu gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.

Setelah sitolu gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat dan sejahtera. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Selanjutnya, pengurus gereja meminta gondang marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. Pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Na Tolu satu persatu memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada Pargonsi, gondang hasahatan tu sitiotio. Semua unsur Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali. Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat, yang selanjutnya juga diikuti oleh pihak dongan sabutuha, pihak boru, hula-hula secara bergantian. kepada Pargonsi..

Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan.


(50)

Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menutup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Peti mayat diangkat oleh Hasuhutan dibantu dengan Boru dan Dongan sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.

4. Upacara setelah pemakaman.

Apabila semua pihak keluarga, termasuk unsur Dalihan Na Tolu tiba kembali di rumah duka, maka jamuan makan bersama boleh dihidangkan. Setiap bagian jambar akan diberikan sesuai dengan kedudukan masing-masing di dalam unsur Dalihan Na Tolu. Setelah pembagian jambar ini selesai maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso” yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya juga menurut kedudukan masing-masing.

Jika yang meninggal saur matua adalah seorang Ibu, maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari Ibu yang


(51)

meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari Ibu yang meninggal. Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “Borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat.

Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, Hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari Orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyediakan keperluan acara adalah pihak boru. Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua.

Penghormatan terhadap seorang leluhur yang berada di alam baka dapat kita lihat melalui bentuk kuburan yang ada. Bagi orang Batak Toba, kuburan terdiri dari tiga jenis :

1. Kuburan umum tempat pemakaman satu kampung (Huta).

2.Tambak berupa tanah yang ditinggikan di atas kuburan seorang yang mati dalam peringkat Sarimatua/Saurmatua. Tanah yang ditinggikan tersebut terdapat rumput manis, diletakkan secara terbalik, bertingkat tiga, lima, tujuh (Simanjuntak, 2000). Di atas tanah yang ditinggikan itu ditanam pohon Hariara/Beringin atau Bintatar sebagai pertanda. Dengan berbagai variasi yang berkembang kemudian, Tambak digunakan sebagai kuburan/pusara bagi keluarga atau marga dan biasanya


(52)

dibangun di kampung asal. Tugu sebagai monumen, pembangunannya berkembang secara besar-besaran setelah

3. Tugu sebagai monumen, pembangunannya berkembang secara besar-besaran setelah Tugu Raja Sisingamangaraja XII dibuat. Tugu biasanya dibangun untuk persatuan marga di bona pasogit (kampung asal) dan di dalamnya terdapat tulang- belulang leluhur.

Hamoraon, hasangapon, dan hagabeon (kekayaan, kemuliaan dan keberhasilan) merupakan hal-hal yang sangat diidam-idamkan orang Batak. Ketaatan melaksanakan berbagai upcara adat merupakan cara yang harus ditempuh untuk menjamin tercapainya tujuan yang dimaksud. Dengan melakukan pemujaan kepada roh dari para leluhurnya, maka roh-roh tersebut akan memberkati segala yang dikerjakannya.

Kemegahan tugu merupkan sarana untuk menunjukkan ketinggian gengsi sosial

(social prestige) terhadap marga-marga lainnya. Cara tersebut ditempuh sebagai salah satu jalan untuk memperoleh pengakuan dari marga lain akan kehebatan atau

kemuliaan marganya. Mereka sangat ingin menunjukkan bahwa dari keturunan marganya telah banyak yang memiliki pendidikan sangat tinggi, kekayaan yang banyak, jabatan tinggi, dan berbagai kehebatan lainnya. Bagi orang yang berada di perantauan, keikutsertaan mereka ke dalam acara pesta tugu itu, juga merupakan kesempatan


(53)

untuk memamerkan kehebatan dan keberhasilan mereka di perantauan, kepada kerabat marga mereka yang berada di bona pasogit (kampong halaman). Semangat melakukan “pameran gengsi sosial” ini telah menimbulkan perlombaan di tengah-tengah orang Batak untuk melaksanakan pesta pembuatan tugu marganya dengan sehebat mungkin (Tambunan, 1982). Semangat ini dipacu oleh penyakit buruk orang Batak yang lazim dikenal dengan akronim HOTEL (hosom, teal, elat dan late) atau istilah yang baru AIDS (angkuh, iri,dengki dan sombong).

Tugu leluhur dibangun tinggi menjulang dengan berbagai macam model sesuai dengan keinginan hati masing-masing marga. Pembangunan ini dilakukan dengan mengumpulkan dana (tumpak) dari seluruh keturunan marga, melalui “punguan marga” (perkumpulan marga) yang ada di berbagai kota maupun yang ada di desa, baik mereka yang ada di bona pasogit, maupun bagi mereka yang ada di perantauan. Dalam tugu itu mereka mempersiapkan tempat bagi tulang belulang (saringsaring) leluhur marganya.

Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, kemegahan dan besarnya biaya dari pesta tugu merupakan tanda dari banyaknya pasu-pasu atau berkat yang diterima oleh keturunan suatu marga dari roh leluhurnya. Seluruh berkat itu melambangkan kehebatan dan kebesaran dari sahala roh tersebut, sehingga sudah sepantasnya kepada roh tersebut diberikan tempat terhormat baginya, sebagai ungkapan terima kasih dari seluruh keturunannya (pinomparna).

Pada peresmian Tugu, dipanjatkan beberapa tonggo (doa) kepada Debata Mulajadi Nabolon, agar mendatangkan roh leluhur itu ke Tugunya, contohnya:


(54)

“Ditonggo asa diparo Mulajadi Nabolon, tondi ni ompu tu tuguna binahen saring-saring ni amanta on tu Tambak na guminjang tu ginjang ma parhorasan ba, tu ginjang ma panggabean patumpahon ni Ompunta martua Debata dohot tumpahon ni tondi ni angka raja di loloan”.

artinya:

“Dengan diletakkkannya tulang belulang Bapak ini ke kuburan atau Tugu yang tinggi kiranya meningkatlah kemakmuran, keberhasilan dan kesejahteraan,yang dikerjakan oleh Debata yang berbahagia, dan disokong oleh roh-roh para raja yang hadir disini”.

Pembangunan Tugu merupakan simbol baru dari pemujaan kepada roh leluhur yang dilakukan oleh orang Batak sekarang. Ketinggian Tugu mencerminkan tingginya harapan orang Batak akan berkat yang hendak dilimpahkan oleh roh bapa leluhurnya. Ketinggian tugu berarti juga besarnya harapan orang Batak agar generasi penerusnya (pomparan) memiliki “kehebatan” yang jauh lebih besar dari mereka. Inilah falsafah hidup orang Batak. Pengharapan untuk mendapatkan lebih banyak berkat dari leluhur inilah yang menyebabkan masih banyak dijumpai orang-orang yang meletakkan sirih ataupun makanan di bagian tertentu dari tugu itu. Peletakan itu diiringi dengan permohonan doa yang disampaikannya kepada roh leluhurnya. Banyak juga yang datang khusus untuk berdoa meminta berkat di depan tugu leluhur. Pesta Tugu juga merupakan sarana untuk meneguhkan kembali ikatan rohani atau persekutuan antara seluruh keturunan marga, menguatkankan rasa solidaritas marga. Perjumpaan antara sesama marga di Bona pasogit diharapkan akan mempererat ikatan yang sudah mulai longgar. Pesta itu merupakan tempat bagi orang


(55)

yang sudah hidup berjauhan selama ini untuk saling mengenal antara satu keturunan dengan keturunan lainnya. Ikatan dan rasa solidaritas marga pada orang Batak terkenal sangat kuat dan kekuatan ikatan itu sangat terlihat di dalam pertemuan teman semarga di daerah perantauan (Pasaribu, 1988).

Di samping itu, pesta Tugu bukan hanya menguatkan ikatan rohani di antara sesama marga, tetapi juga meneguhkan kembali ikatan persekutuan antara seluruh keturunan marga itu, dengan para roh leluhur marga mereka. Persekutuan masyarakat Batak dengan roh-roh leluhurnya yang telah mati, kemudian diteguhkan kembali dalam diri generasi yang hidup jauh di masa belakang. Peneguhan itu dilaksanakan dalam rangkaian acara adat yang ada di dalamnya. Pada saat seseorang terlibat dalam rangkaian acara adat itu, ikatan itu diteguhkan kembali. Ikatan inilah yang kemudian akan menimbulkan rasa solidaritas yang tinggi diantara sesama keturunan satu marga, dan memberikan kebanggaan terhadap marga yang mereka miliki.


(56)

BAB III

PERBANDINGAN KONSEP PEMIKIRAN RITUAL PENGUBURAN TULANG PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

3.1. Proses Penguburan Tulang Pada Masyarakat Jepang

Tahap akhir dari prosesi upacara kematian adalah upacara yang disebut sousai(葬祭) yaitu upacara pemakaman. Masyarakat Jepang mengenal 2 sistem penguburan, antara lain : dosou (土葬) danasou (火葬). Dosou merupakan proses penguburan jenazah dengan cara menggali lubang di permukaan tanah dan kemudian jenazah tersebut dimasukkan serta dikubur di dalamnya. Sedangkan kasou adalah sistem penguburan dengan cara kremasi atau dibakar. Pada zaman sekarang hampir 90 % di negara Jepang melakukan sistem penguburan dengan cara kremasi. Salah satu alasannya adalah karena faktor lahan yang sudah semakin sempit di Jepang, tidak memungkinkan untuk dilakukannya penguburan dengan cara dosou.

Dilihat dari sejarahnya, dosou memang lebih dulu ada daripada kasou. Kasou (火葬) sendiri menurut sejarah agama di Jepang berada di wilayah dimana sekte

Jodoshinshu berkembang. Kasou atau upacara kremasi ini awalnya diterima di Jepang berkat masuknya agama Buddha di Jepang.

Dalam shokunihongi yang merupakan salah satu dari enam kumpulan catatan sejarah Jepang yang dikumpulkan oleh keluarga kaisar pada zaman Nara dan Heian,


(57)

bukti mengenai adanya upacara kremasi di Jepang telah ditemukan pada seorang mantan pendeta Buddha pada zaman Asuka yang bernama Dosho (629-700). Sesuai dengan kata-kata yang ditinggalkan beliau setelah meninggal, Ia meminta upacara kematiannya dilakukan dengan cara kremasi. Kemudian kira-kira pada zaman Heian, upacara kremasi atau kasou secara umum mulai populer di kalangan rakyat dan di setiap daerah dilengkapi dengan tempat pembakaran jenazah (krematorium).

Upacara kremasi dalam upacara kematian diadakan setelah pelepasan peti jenazah ini dihadiri oleh keluarga almarhum, kerabat dekat, dan juga orang-orang yang mempunyai hubungan akrab dengan almarhum. Pada saat menuju tempat kremasi (krematorium), ada benda-benda yang tidak boleh lupa untuk dibawa karena sangat dibutuhkan di sana. Misalnya, ihai, potret wajah almarhum dan surat ijin untuk melakukan kremasi.

Ihai adalah papan kayu berwarna putih di bagian depannya bertuliskan kaimyo (nama yang diberikan Pendeta Buddha kepada orang yang meninggal ) dan di bagian belakangnya ada nama asli almarhum semasa hidupnya beserta tahun kematiannya yang ditulis dalam ukuran kecil. Pada upacara tsuya maupun pada saat upacara pemakaman ihai diletakkan di saidan sampai pada akhir masa perkabungan Yang disebut imi ake(忌明け)dan biasanya perusahaan pemakaman (sogisha) sudah mempersiapkan ihai beserta kaimyo atas permintaan keluarga almarhum Yang menuliskan kaimyo, hari, tanggal dan tahun kematian almarhum adalah Soryo (総量)atau pendeta agama Buddha. Ihai itu nantinya akan dibawa Moshu


(58)

(喪主)atau peminpin perkabungan ketika mengiringi almarhum menuju tempat kremasi. Sedangkan potret wajah almarhum akan dibawa oleh wakil keluarga inti almarhum (anak atau pasangan yang ditinggalkan).

Sebelum melakukan proses kremasi, para pelayat melakukan ritual chouzu (手水) yaitu proses menyucikan tangan dan mulut , lalu berbaris di depan peti

jenazah dan memberikan penghormatan kepada penanggung jawab upacara. Pengurus upacara menyiapkan sesajen, sedangkan kannushi akan membacakan doa dan para pelayat akan memberikan penghormatan terakhir pada jenazah.

Dalam proses upacara ini pun kannushi (神主) akan mempersembahkan

tamagushi (玉串) yang diikuti oleh para pelayat. Selanjutnya, sesajen dipindahkan

dan peti mati dimasukkan ke dalam kamado (oven pembakaran). Hal ini dilakukan oleh petugas dari perusahaan pemakaman. Sebelumnya, karena meja kecil dan peralatan penting seperti : makko (dupa yang berbentuk butiran dari daun sikimi yang dikeringkan), koro (wadah pembakaran dupa), shokudai (tempat lilin) serta bunga sudah dipersiapkan untuk persembahan. Sementara moshu (喪主) dan izoku (遺族) atau keluarga inti almarhum) tinggal meletakkan ihai dan foto di meja tersebut bersama dengan benda-benda tadi. Upacara yang mereka lakukan dengan menggunakan peralatan tadi disebut dengan osame no shiki (納めの式).


(59)

Setelah osame no shiki (納めの式) selesai, para keluarga, sanak saudara dan

teman-teman almarhum mengatupkan kedua telapak tangan (berdoa), dan kemudian menuju ruang istirahat. Selama menunggu proses pembakaran jenazah di dalam kamado (yang akan memakan waktu kurang lebih satu jam) para keluarga beserta dengan teman-teman almarhum menunggu di ruang istirahat sambil makan kue dan minum teh.

Apabila upacara kremasi telah selesai, petugas di ruang kremasi segera meminta keluarga almarhum untuk melakukan hashi watashi ( 箸渡し). Hashi watashi itu sendiri adalah prosesi pengambilan tulang-belulang almarhum yang tersisa. dengan memakai hashi atau sumpit yang terbuat dari kayu dan bambu, yang kemudian akan dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan (kotsutsubo). Ritual hashi watashi ini bertujuan agar arwah almarhum bisa menyebrangi sanzu no kawa (sungai sanzu) dengan selamat. Urutan orang-orang yang memindahkan tulang-belulang dengan sumpit (hashi watashi) dilakukan oleh orang-orang yang urutannya sama dengan urutan ketika pembakaran dupa dilakukan mulai dari moshu (喪主),

dilanjutkan dengan anak dan seterusnya. Kotsutsubo (骨壷) yang berisi tulang-belulang dan abu jenazah almarhum kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu berwarna putih dan dibungkus dengan kain putih. Kotak kayu tersebut lalu dibawa pulang ke rumah oleh moshu (喪主).


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Kematian adalah proses akhir dari perjalanan hidup manusia di dunia. Setelah manusia mati dan telah melewati masa penyucian roh hingga waktu tertentu, maka roh itu bisa disebut sebagai roh leluhur yang patut disembah. Dalam kepercayaan masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba, hubungan fungsional terjadi diantara orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal. Orang yang masih hidup memiliki rasa hormat terhadap orang yang sudah meninggal. roh orang yang sudah meninggal akan terus dihormati oleh para keturunannya, dengan harapan bahwa orang yang masih hidup akan mendapat berkah dari orang yang sudah meninggal (Tobing, 2006).

Setiap upacara kematian baik dalam masyarakat Jepang maupun dalam masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari unsur adat dan agama. Pendeta agama sangat berperan dalam mengatur ritual upacara kematian. Upacara kematian bagi masyarakat Jepang dilakukan dengan ritus Buddha, sedangkan dalam masyarakat Batak Toba dilakukan dengan tata ibadah Kristen.

Dalam pelaksanaannya, upacara kematian dalam masyarakat Jepang dilakukan secara bertahap, tidak dibedakan antara anak-anak dengan orang dewasa. Namun lain halnya pada masyarakat Batak Toba yang membedakan pelaksanaan upacara pada beberapa jenis kematian. Upacara adat secara bertahap dilakukan hanya pada orang yang telah meninggal sari matua atau saur matua (Harianja, 2006).


(2)

Masyarakat Jepang dan Batak Toba sama-sama mengenal proses penguburan tulang kembali. Bagi masyarakat Jepang sendiri, proses penguburan tulang ini dinamakan maikotsu.Maikotsu (埋骨) diadakan ketika upacara kremasi (pembakaran

mayat) selesasi dilaksanakan. Sisa hasil pembakaran jenazah, (tulang-belulang) kan diletakkan ke tempat permanen. Biasanya kuburan permanen ini telah dibangun khusus oleh pemerintah. Dalam kuburan ie(家) tersebut dimakamkan tulang-belulang

yang anggota keluarga yang sudah dikremasi.

Bagi masyarakat Batak Toba proses penguburan tulang ini disebut mangongkal holi. Namun tidak kepada semua almarhum dilakukan proses mangongkal holi. dat ini dilakukan hanya kepada almarhum yang saurmatua atau sarimatua. Mangongkal holi dilakukan setelah beberapa tahun almarhum dikuburkan di kuburan yang pertama. Proses kremasi tidak dikenal dalam masyarakat ini. Faktor materi sangat mendukung terjadinya mangongkal holi, karena dana yang dibutuhkan sangat besar. Selain dipergunakan untuk pembuatan kuburan permanen (Tugu), biaya ini juga dipergunakan untuk mengundang orang sekampung makan bersama. Seperti masyarakat Jepang, biasanya di dalam Tugu ini akan dikumpulkan tulang belulang anggota keluarga dari beberapa generasi.

Semua proses upacara kematian (dalam masyarakat Jepang dan Batak Toba) dari mulai upacara pemakaman yang pertama sampai pada proses pemakaman yang ke-dua yang dilakukan terhadap anggota keluarga yang telah meninggal adalah salah


(3)

satu wujud penghargaan dan rasa cinta terhadap anggota keluarga mereka yang telah tiada. Selain itu, pemujaan terhadap arwah leluhur juga menunjukkan suatu pengabdian seseorang terhadap leluhurnya.pemujaan leluhur merupakan suatu bentuk permohonan keselamatan, perlindungan bagi anggota keluarga yang masih hidup kehidupan sehari-hari agar terhindar dari gangguan dan malapetaka. Dengan demikian, sangat penting bagi mereka terjaminnya kesinambungan pemujaan leluhur antara generasi ke generasi.

4.2 Saran

Sebagai penutup dari isi karya tulis ini, maka Penulis mencoba memberikan beberap saran sebagai masukan kepada pembaca. Adapun saran-saran penulis sebagai berikut :

1. Upacara tradisional sebagai bentuk pelestarian budaya leluhur tetap kita jaga. namun di sisi lain perlu kita ingat, bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang beragama yang harus memandang dan menjalankan sesuatu berdasarkan agama yang kita yakini.

2. Pemujaan terhadap leluhur merupakan wujud dari ungkapan cinta dan hormat kepada leluhur ataupun Orangtua. Diharapkan kepada pembaca agar lebih menghargai Orangtua sekalipun Orangtua itu telah meninggal.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya : Universitas Airlangga.

Dananjaja, James. 1997. Foklor Jepang dilihat Dari Kacamata Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

Gultom Raja Marpodang, D.J. 1987. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. Medan : CV Armada.

Harianja, Bulman. “Sari Matua, Saur Matua & Mauli Bulung di Tengah Masyarakat Batak” SIB, 22 Agustus 2006.

Hutasuhut, Irwansyah. 1990. “Analisis Komperatif Bentuk (penggarapan) dan Tehnik Permainan dari SebuahGondang”.(Skripsi). Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi USU.

Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta : yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Lawanda, Ike Swara. 2004. Upacara Sosial Dalam Masyarakat Jepang, Jakarta :


(5)

Malo, Manase dkk. 1985. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Farunika Universitas Terbuka.

Nelson, Andrew. 2003. Kamus Kanji Modern (Jepang-Indonesia). Jakarta : Kesaint Blanc.

Panggabean, Emma. 1991. “Fungsi Gondang Sabangunan Dalam Upacara Kematian

Saurmatua Pada Masyarakat Batak Toba”.(Skripsi). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Antropologi USU.

Pasaribu, Rudolf. 1988. Agama Suku Dan Batakologi. Medan : Pieter.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia Dan Masyarakat Jepang Dalam Perjuangan

Hidup. Jakarta : Pustaka Bradjaguna.

Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan. Medan : Universitas Sumatera Utara.

__________________2005. Ilmu Kejepangan. Medan ; Universitas Sumatera Utara.

Siahaan, Bisuk. 2005. Kehidupan di Balik Tembok Bambu. Jakarta: Kemapala Foundation.

Tambunan, Emil. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba Dalam Kebudayaannya. Bandung : Tarsito.


(6)

Tobing, Ekayani. 2006. Keluarga Tradisional Jepang dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial. Jakarta : ILUNI KWJ.

http : // wikipediafoundation.org.