Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

15

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pasar modal Indonesia dalam perkembangannya telah menunjukkan sebagai bagian dari instrumen perekonomian, dimana indikasi yang dihasilkannya banyak dipicu oleh para peneliti maupun praktisi dalam melihat gambaran perekonomian Indonesia. Oleh karena itu komitmen pemerintah Indonesia terhadap peran Pasar Modal tercermin di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, dimana dinyatakan bahwa Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional, sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Sebagai salah satu instrumen perekonomian, maka Pasar Modal tidak terlepas dari pengaruh yang berkembang di lingkungannya, baik yang terjadi di lingkungan ekonomi mikro yaitu peristiwa atau keadaan para emiten, seperti laporan kinerja, pembagian deviden, perubahan strategi perusahaan atau keputusan strategis dalam Rapat Umum Pemegang Saham akan menjadi informasi yang menarik bagi para investor di Pasar Modal. Disamping lingkungan ekonomi mikro, perubahan dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi makro seperti nilai tukar rupiah terhadap dollar, inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga maupun regulasi pemerintah yang akan mempengaruhi gejolak di Pasar Modal. 16 Variabel-variabel ekonomi makro seperti nilai tukar rupiah terhadap dollar, SBI, inflasi dan PDB mengalami perubahan yang cukup tajam. Jika diamati secara seksama melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: spekulasi para pedagang valuta asing valas, jatuh tempo pembayaran utang luar negeri baik swasta maupun pemerintah, kurang percayanya masyarakat terhadap rupiah, dan tidak kalah pentingnya adalah lemahnya dasar fondasi perekonomian Indonesia. Ekonom senior Djojohadikusumo 1999 menyatakan bahwa lemahnya fondasi perekonomian Indonesia yang menyebabkan krisis moneter di Indonesia berakibat lebih parah dan lebih lama dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Kelemahan fundamental ekonomi terlihat dari tingginya utang luar negeri yang mencapai 140 miliar dolar Amerika atau dua pertiga dari GDP Gross Domestic Brutto Indonesia. Dari jumlah itu, sebesar 23 miliar dolar Amerika merupakan hutang jangka pendek Kompas, 1998a. Oleh karena itu diperlukan dana segar untuk membeli dolar guna pelunasan hutang tersebut. Tidak seimbangnya antara jumlah permintaan dan penawaran dolar Amerika dalam jumlah yang relatif besar, akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terus melemah. Keadaan tersebut diperparah lagi pada akhir tahun 1997 dengan adanya penutupan 38 bank yang tentunya sangat mempengaruhi pasar modal. Hermanto 1999 menyatakan bahwa dampak dari penutupan bank ini adalah sangat besar karena bank sebagai sektor tersendiri dalam pasar modal dan proporsi nilai yang disumbangkan perbankan terhadap indeks saham cukup besar. Selain itu, penutupan bank juga 17 mempengaruhi money supply, bukan hanya disebabkan oleh kredit macet saja tetapi juga kesempatan peredaran uang. Untuk meredam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pemerintah menaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI yang pada bulan Juli1998 menyentuh angka 70,81 per tahun, bahkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank PUAB pada bulan Agustus 1998 menyentuh angka 81,01 per tahun, demikian juga bunga deposito berjangka menunjukan peningkatan. Suku bunga deposito per bulan pada tahun 1993 sebesar 13,37; tahun 1994 sebesar 12,42; tahun 1995 sebesar 16,72; tahun 1996 sebesar 16,92; tahun 1997 sebesar 23,01 dan akhir Juni 1998 sebesar 52,92 Bank Indonesia : 1999. Jika suku bunga terus meningkat, maka ada kecenderungan pemilik modal akan mengalihkan portofolionya ke deposito dan tentunya berakibat negatif terhadap pasar modal. Investor tidak tertarik menanamkan modalnya di pasar modal, karena pengembalian return saham yang diterima lebih kecil dibandingkan dengan pengembalian return dari bunga deposito. Hal ini menyebabkan harga saham di pasar modal mengalami penurunan yang sangat drastis, bahkan ada saham yang harganya hanya 25 per lembar Kompas, 1998b. Keadaan ini diperburuk lagi oleh kenyataan bahwa sekitar 90 emiten secara teknis sudah bangkrut karena ekuitasnya minus akibat kerugian selisih kurs dan menurunnya penjualan Nazarudin: 1998. Hal ini terlihat dari Indeks Harga Gabungan IHSG yang terus menurun Inflasi dapat didefinisikan sebagai kenaikan harga secara umum, atau penurunan nilai rupiah di Indonesia. Jika ada kenaikan harga barang-barang 18 dan jasa, maka sejumlah rupiah tertentu tidak dapat dibelikan sebanyak barang dan jasa yang dibeli sebelumnya. Dengan kata lain, nilai rupiah sekarang mengalami penurunan daya beli, atau nilai nominalnya mengalami penyesuaian terhadap tingkat inflasi sekarang. Analisis keuangan sering memandang saham biasa merupakan salah satu sekuritas yang berfungsi menghindari risiko inflasi. Suatu definisi yang dipegang secara luas, tentang saham biasa sebagai inflation hedge adalah jika sekuritas tersebut memiliki return rill yang independen terhadap tingkat inflasi Fama dan Mcbeth :1974. Pandangan umum ini sejalan dengan hipotesis Fisher, yang menyatakan bahwa tingkat bunga nominal itu merefleksikan secara penuh informasi yang berhubungan dengan tingkat inflasi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Oleh karena itu jika saham biasa berfungsi sebagai inflation hedge, semestinya return rillnya independen terhadap inflasi dan return nominalnya berhubungan positif dengan inflasi. Hubungan kausal antara tingkat inflasi dan return saham masih sebagai suatu puzzle. Pernyataan ini didasarkan pada literatur, baik teoritis maupun empiris yang menunjukan perbedaan pandangan mengenai keterkaitan antara return saham dan inflasi. Independensi return saham rill terhadap inflasi, atau hubungan positif antara return saham nominal dan inflasi harapan, seperti dinyatakan dalam hipotesis Fisher, banyak ditolak dalam pengujian empiris di pasar-pasar besar dunia, seperti U.S, U.K dan pasar lainnya. Kebanyakan studi justru menemukan hubungan negatif antara return saham rill dan inflasi 19 harapan. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa hubungan return saham dan inflasi masih merupkan fenomena yang perlu diteliti lebih lanjut. Menurut I Sutopo dan Sudarto : 1999 inflasi berpengaruh terhadap pergerakan harga saham melalui return saham. Hal ini menunjukan bahwa secara agregatif naiknya inflasi akan menurunkan return pasar. Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menyebabkan inflasi yang tinggi. Hal ini mendorong pemerintah untuk menarik rupiah yang ada di masyarakat dengan cara menaikan tingkat suku bunga. Tingginya tingkat suku bunga menyebabkan berkurangnya investasi dan hal tersebut mendorong turunnya IHSG di bursa saham Pancaka : 2000 Sedangkan variabel makro selanjutnya adalah pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan pendapatan nasional bersih. Pendapatan nasional bersih merupakan ukuran kemampuan ekonomi nasional yang sesungguhnya. Perkembangan pendapatan nasional bersih dihitung berdasarkan Produk Nasional Bruto PDB rill. Peningkatan PDB merupakan indikasi terjadinya pertumbuhan nasional. PDB adalah nilai keluaran yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi yang berlokasi di dalam negeri. PDB dapat dihitung dengan dua cara. Pertama dengan menjumlahkan pengeluaran untuk mendapatkan semua barang akhir selama satu periode tertentu. Perhitungan itu disebut pendekatan pengeluaran. Kedua, dengan menjumlahkan pendapatan gaji, sewa, bunga, dan laba yang diterima oleh semua faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi barang-barang akhir.Perhitungan itu disebut pendekatan pendapatan. Jika 20 melihat kondisi pertumbuhan ekonomi PDB Indonesia, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik BPS, PDB Indonesia dari tahun 2003 hingga 2008 mengalami kenaikan yang cukup tajam, hal tersebut menarik untuk ditinjau kembali, apakah kenaikan PDB tersebut mempengaruhi terhadap return saham. Beberapa hasil penelitian tentang pasar modal di Indonesia menunjukan tingkat pengembalian investasi saham yang dihitung dari pendapatan deviden dan selisih harga ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh variabel makro daripada variabel mikro. Penelitian di Bursa Efek Indonesia tentang faktor-faktor penentu tingkat resiko yang diukur dari nilai variabilitas tingkat pendapatan saham menunjukan hasil bahwa tingkat resiko dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi dan kurs valuta asing Hidayat, 2003. Perkembangan pasar modal syariah menunjukkan kemajuan seiring dengan meningkatnya indeks yang ditunjukkan dalam Jakarta Islamic Index. JII. Peningkatan indeks pada JII walaupun nilainya tidak sebesar pada Indeks Harga Saham Gabungan IHSG tetapi kenaikan secara prosentase indeks pada JII lebih besar dari IHSG. Hal ini dikarenakan adanya konsep halal, berkah dan bertambah pada pasar modal syariah yang memperdagangkan saham syariah. Pasar modal syariah menggunakan prinsip, prosedur, asumsi, instrumentasi, dan aplikasi bersumber dari nilai epistemologi Islam. Perdagangan beberapa jenis sekuritas, baik pada pasar modal konvensional maupun pasar modal syariah mempunyai tingkat return dan 21 risiko yang berbeda. Saham merupakan salah satu sekuritas diantara sekuritas- sekuritas lainnya yang mempunyai tingkat risiko yang tinggi. Risiko tinggi tercermin dari ketidakpastian return yang akan diterima oleh investor di masa datang. Hal ini sejalan dengan definisi investasi menurut Sharpe bahwa investasi merupakan komitmen dana dengan jumlah yang pasti untuk mendapatkan return yang tidak pasti di masa depan. Dengan demikian, ada dua aspek yang melekat dalam suatu investasi, yaitu return yang diharapkan dan risiko tidak tercapainya return yang diharapkan. Return dan risiko secara teoritis pada berbagai sekuritas mempunyai hubungan yang positif. Semakin besar return yang diharapkan diterima, maka semakin besar risiko yang akan diperoleh, begitu pula sebaliknya. Return dan risiko yang tinggi pada saham berhubungan dengan kondisi karakteristik perusahaan, industri dan ekonomi makro. Penelitian dengan obyek pasar modal syariah khususnya di Indonesia tidak banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian dengan obyek pasar modal syariah dilakukan oleh Aruzzi dan Bandi 2003 serta Hamzah 2005. Penelitian dengan obyek pasar modal syariah mengenai return yang dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi makro merupakan hal yang menarik untuk dilakukan karena sifat dari return dan risiko ini yang akan selalu melekat pada setiap investasi terutama investasi dalam setiap saham, baik saham biasa maupun saham yang sesuai dengan kaidah syariah. Sedangkan penelitian dengan objek pasar modal konvensional telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. 22 Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian kembali tentang pengaruh variabel makro ekonomi terhadap return saham syariah dan non syariah yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI. Penelitian ini mengangkat judul “Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi terhadap Return Saham Syariah dan Non Syariah”.

B. Perumusan Masalah