Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
43
meninggalnya si pewasiat, maka wasiat itu batal, sebab wasiat adalah pemberian, sedangkan pemberian kepada orang yang telah mati adalah tidak sah.
Berbeda dengan pendapat mazhab Syiah Imamiyyah, mereka berpendapat : “Jika penerima wasiat meninggal dunia lebih dahulu dari pemberi wasiat dan
pemberi wasiat tidak menarik kembali wasiatnya, maka ahli waris penerima wasiatnya menggantikan kedudukannya dan menggantikan perannya dalam
menerima dan menolak wasiat”.
36
a. Benda yang diwasiatkan itu bernilai suatu harta yang sah secara syara’
3. Barang yang Diwasiatkan
Para fuqaha menyatakan bahwa syarat sesuatu benda itu dapat diwasiatkan antara lain:
b. Benda yang diwasiatkan itu adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik
berupa materi maupun manfaat. Para ulama sepakat dalam masalah ini namun berbeda pendapat dalam hal wasiat berupa manfaat suatu benda sementara
bendanya sendiri tetap menjadi milik si pewasiat atau keluarganya. Sayyid Sabiq menegaskan bahwa :
“Mengenai semua harta yang bernilai baik berupa barang ataupun manfaat adalah sah, dan sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada
dalam perut sapi betina”.
37
c. Harta yang diwasiatkan tidak melebihi sepertiga harta si pewasiat, dan ini
telah disepakati oleh para ulama.
36
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari Hanafi MIiki Syafi’i Hambali. terj.
Masykur A.b. dkk. Jakarta: Lentera, 2004. hal. 509-510.
37
Sabiq, Op.Cit. hal. 289
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
44
4. Redaksi atau Sighat Wasiat
Ulama ahli fiqih menetapkan bahwa: “sighat ijab dan kabul yang dipergunakan dalam melaksanakan wasiat dapat
menggunakan redaksi sighat yang jelas sarih dengan kata-kata wasiat dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran ghairu sarih, karena menurut
mereka bahwa wasiat adalah akad yang boleh jaiz dalam arti bahwa wasiat itu dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh si pemberi wasiat”.
38
Imam Syafi’i diriwayatkan bahwa kabul penerimaan tidak menjadi syarat sahnya wasiat karena menurut Imam Syafi’I bahwa tidak dipandang menerima atau
menolak seseorang yang diberi wasiat ketika masih hidupnya si pewasiat. Walaupun Hal ijab, jumhur ulama telah sepakat bahwa ijab adalah merupakan salah satu
syarat dan rukun wasiat. Apakah ijab itu dilakukan secara lisan maupun secara tertulis bahkan bisa dilakukan dengan isyarat yang bisa dipahami. Tetapi hendaknya
ketika ijab itu dilakukan hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi, apalagi bila dikaitkan dengan konteks kehidupan saat ini yang paling tepat ijab wasiat itu
dilakukan secara tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris. Hal ini diperlukan antara lain untuk memudahkan pembuktian kelak apabila terjadi
sengketa tentang wasiat tersebut. Tentang kabul penerimaan dari pihak yang diberi wasiat, para ulama telah
berbeda pendapat apakah kabul itu merupakan salah satu rukun atau syarat wasiat atau bukan. Sebagian ulama berpendapat bahwa ijab dan Kabul itu merupakan
syarat dan rukun wasiat, yang berpendapat seperti ini adalah ulama kalangan mazhab Maliki, Imam Malik telah menganalogikan wasiat itu sama dengan hibah.
38
Ibid, hal 544
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
45
dia menyatakan menerima wasiat pada waktu pewasiat masih hidup dia bisa saja menyatakan penolakannya pada saat setelah meninggalnya si pewasiat dan juga
sebaliknya apabila dia menyatakan menolak pada saat si pewasiat masih hidup, maka bisa saja dia menerima pada saat si pewasiat sudah mati karena wasiat tidak wajib
kecuali setelah meninggalnya si pewasiat. Ulama yang menjadikan ijab dan kabul sebagai salah satu rukun wasiat
menyatakan bahwa kabul dari pihak si penerima wasiat, tidak diisyaratkan segera setelah ijab dilakukan, menurut mereka kabul baru dianggap sah apabila diucapkan
oleh orang yang menerima wasiat setelah orang yang memberi wasiat meninggal dunia.
Kabul harus diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila penerima wasiat itu adalah anak kecil atau orang gila, maka kabul wasiat itu harus
diwakili oleh kuasa atau yang menjadi walinya. Ulama fikih juga sepakat tidak mensyaratkan kabul apabila wasiat itu
ditujukan untuk kepentingan umum, seperti untuk mesjid dan panti-panti asuhan. Sebagaimana Sayyid Sabiq telah mengemukakan jika wasiat itu tidak tertentu seperti
untuk mesjid, tempat pengungsian, sekolah atau rumah sakit, maka wasiat yang demikian ini tidak memerlukan Kabul, cukup ijab saja dari orang yang memberikan
wasiat, sebab wasiat yang demikian disamakan dengan sadaqah. Wasiat melalui isyarat yang dipahami, menurut ulama mazhab Hanafi dan
mazhab Hambali hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat itu bisu dan tidak bisa tulis baca. Apabila si pewasiat mampu tulis baca maka, wasiat melalui isyarat
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
46
tidak sah. Akan tetapi ulama mazhab Syafi’I dan Maliki berpendapat bahwa “wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat itu
mampu untuk berbicara dan baca tulis”.
39
Kelompok ini berpendapat bahwa hukum wasiat itu adalah wajib. “Ulama yang berpendapat seperti ini adalah ibn Hazm.”
D. Hukum Berwasiat Bagi Orang Muslim
Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis tentang wasiat diatas, para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan hukum dasar dari wasiat. Dan beberapa literatur
yang penulis jumpai pendapat para ulama fikih tersebut dapat dikelompokkan kepada beberapa kelompok.:
I. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah wajib.
40
Dalam pandangan ibnu Hazm, ayat wasiat tersebut menemukan suatu kewajiban hukum yang defenitif bagi orang Islam
untuk membuat wasiat yang akan didistribusikan kepada krabat dekat yang bukan ahli waris. Selanjutnya ia berpendapat, “jika orang yang meninggal gagal untuk
memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan harus membuat wasiat atas namanya.”
41
“Ketika orang yang sudah meninggal tidak menuliskan wasiat untuk kerabat dekat yang tidak termasuk ahli waris, maka pengadilan harus bertindak
seolah-olah wasiat itu telah dibuat orang yang meninggal tersebut”. Logika hukum dari pendapat ini menyatakan bahwa :
42
39
Mughniyah, Op.Cit. hal. 505
40
H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, 2008., hal 123.
41
Ibid.
42
NJ.Couson. succession in The Muslim Familly Cambrige, The University Press, 1971.hal.
146.
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
47
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum dasar wasiat itu adalah tidak wajib kecuali kepada orang yang berhutang, maka bagi orang yang berhutang wajib untuk
menuliskan wasiatnya, sedangkan bagi orang yang tidak berhutang maka kepadanya tidak ada kewajiban untuk berwasiat, sebagaimana alasan ibn Munzir bahwa :
“sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada manusia untuk menunaikan amanat kepada ahlinya, yang dimaksud amanat disini adalah hutangnya”.
43
43
H. Ahmad Kamil dan HM. Fauzan. Op. Cit. hal. 10
II. Kelompok yang menyatakan wasiat itu adalah tidak wajib
Kelompok ini menyatakan bahwa hukum dasar dari wasiat adalah tidak wajib. Kelompok yang berpendapat seperti ini adalah jumhur ulama fukaha seperti Imam
Malik, as-Syafi’I, as-Sauri dan Abu Dawud dan ulama-ulama salaf lainnya, mereka berargumentasi bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis diatas dipahami hanya mengandung
hukum sunah yang dikuatkan dengan tidak dijumpainya satu riwayat pun dari para sahabat yang menunjukkan bahwa wasiat itu adalah wajib, sebagaimna pendapat
Imam al-Nakha’I yang dikutip oleh al-Qurtubi bahwa Rasullullah saw wafat dengan tidak meninggalkan wasiat, walaupun Abubakar telah berwasiat, dengan demikian
berwasiat adalah lebih utama dan lebih baik, tetapi jika tidak berwasiat juga tidak apa-apa.
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
48
Alasan yang lain bahwa wasiat itu tidak wajib adalah karena mayoritas para sahabat dalam praktiknya tidak menjalankan wasiat terhadap hartanya, menurut
jumhur ulama bahwa kebiasaan seperti ini dinilainya adalah ijma sukuti.
44
Hukum wasiat menurut ulama Syafi’i, ada 5: Hukum wasiat sebagaimana diuraikan diatas adalah hukum menurut dasar
semula, namun jika ditinjau dari segi harta dan orang yang akan menerima wasiat serta dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang mempengaruhinya, hukum wasiat
tidak terlepas dari ketentuan ahkamul khamsah yaitu wajib, sunat, haram, mubah dan makruh. Para ulama dari mazhab yang empat bahkan kalangan ulama Syiah terutama
mazhab Zaidiyah telah menggolongkan kepada hukum-hukum tersebut.
45
Wasiat yang hukumnya wajib adalah wasiat yang menetapkan tugas menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya, seperti berwasiat dengan barang-barang
titipan, hutang-hutang. Wasiat seperti itu diperkirakan mewajibkan untuk mengembalikan barang-barang tadi kepada pemiliknya, sebab jika tidak diwasiatkan
yaitu Wajib, Haram, Makruh, Sunat, Mubah.
44
Ijma Sukuti adalah ketika sebahagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari
hal hukum suatu peristiwa dengan memfatwakan atau mempraktikkannya, sedangkan sebahagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan juga tidak
mengemukakan penentangannya. Ijma sukuti ini termasuk ijma I’tibari yaitu masih relatif, sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu kalau ia setuju, karena itu kedudukan ijma sukuti ini masih
diperselisihkan. Jumhur Ulama menetapkannya bukan sebagai hujjah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa ijma sukuti itu dapat dijadikan
sebagai hujjah, apabila mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat mujtahid lain yang telah berijtihad dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta
tidak didapati suatu petunjuk bahwa dia berdiam diri itu karena takut atau mengambil muka atau lain sebaginya. Lihat Mukhtar Yahya, dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung, Al-
Ma’arif,1986, hal. 65.
45
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997. hal. 254
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
49
dan kemudian orang yang bersangkutan meninggal, maka barang-barang tadi akan hilang dari pemiliknya, akhirnya orang tadi akan berdosa karena sikap perbuatannya.
Wasiat yang hukumnya haram adalah wasiat untuk suatu motif kejahatan, maksiat, maka wasiat seperti ini dianggap batal, dan tidak harus dikejakan oleh orang
yang menerima wasiat. Wasiat yang hukumnya makruh, adalah wasiat yang yang melebihi dari 13
harta yang dimiliki. Wasiat yang hukumnya sunnah adalah wasiat dengan hak-hak Allah, seperti
wasiat dengan kifarat-kifarat, zakat, fidyah puasa atau berwasiat untuk menunaikan ibadah haji serta ibadah-ibadah taqarrub lainnya.
Wasiat yang mubah adalah berwasiat kepada orang-orang kaya dari lingkungan keluarga dan kerabat atau dari selain mereka, adapun wasiat yang makruh
ialah wasiat kepada orang-orang yang melakukan perbuatan fisik dan kemaksiatan- kemaksiatan.
Ulama Mazhab Maliki membagi hukum wasiat kepada lima.
46
A. Wasiat wajib, yaitu wasiat bagi orang yang mempunyai hutang atau yang
memiliki barang titipan. Yaitu:
B. Wasiat yang haram, yaitu berwasiat dengan perbuatan yang haram seperti
berwasiat untuk meratapi mayit. C.
Wasiat yang sunnah yaitu berwasiat dengan ibadah taqarrah yang wajib
46
Ibid, hal. 328
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
50
D. Wasiat yang makruh yaitu wasiat yang dilakukan seseorang yang memiliki
harta yang sedikit sementara ia mempunyai ahli swaris E.
Wasiat yang mubah, yaitu berwasiat dengan segala sesuatu yang hukumnya mubah
Ulama mazhab Hambali membagi hukum wasiat menjadi lima
47
A. Wasiat yang wajib, yaitu wasiat yang bila tidak dilakukan membawa akibat
hilangnya hak-hak atau peribadatan, seperti berwasiat untuk melunasi hutang, demikian juga berwasiat bagi orang yang sudah memiliki kewajiban untuk
berzakat, haji, kifarat atau nazar. , yaitu
B. Wasiat yang sunnah, yaitu berwasiat kepada kerabat yang fakir yang tidak
bisa mewarisi, dengan syarat orang yang berwasiat memiliki harta peninggalan yang banyak dan tidak melebihi seperlima harta
C. Wasiat yang makruh, yaitu wasiat dari orang yang tidak memiliki harta yang
banyak, sedangkan ia memiliki ahli waris yang sangat membutuhkannya. D.
Wasiat yang haram, yaitu wasiat yang melebihi sepertiga harta, haram bagi orang yang mempunyai ahli waris untuk berwasiat melebihi sepertiga harta
kecuali suami atau isteri E.
Wasiat yang mubah, yaitu wasiat selain dari wasiat yang telah disebutkan diatas.
47
Ibid, hal. 316
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
51
Larangan berwasiat kepada ahli waris yang telah ditentukan pembagian warisannya, menurut para ahli fikih agar tidak ada kesan bahwa wasiat itu
menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris, yang pada akhirnya dapat menyulut perselisihan diantara ahli waris yang ditinggalkan oleh sipewaris.
Keluarga Rasulullah saw menyatakan bahwa seseorang tidak boleh berwasiat kepada ahli warisnya yang mendapat pembagian warisan, kecuali apabila diizinkan
oleh ahli waris lainnya. Sebahagian ulama yang lain berpendapat boleh memberikan wasiat kepada
ahli waris, terutama kepada yang dipandang sangat membutuhkan. Seperti jika sebagian mereka itu kaya dan sebagian lagi miskin, maka layaklah apabila kepada si
miskin selain dia mendapatkan warisan dia juga diberikan tambahan dengan jalan wasiat, atau kepada anak yang bapaknya telah menceraikan ibunya sementara ibunya
tidak memiliki anggota keluarga yang lain selain anaknya itu. Satria Efendi M. Zein mengemukakan pendapat yang dianut kalangan
Malikiyah dan Zahiriyah yaitu bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidaklah gugur dengan adanya izin dari ahli waris yang lain. Larangan seperti ini adalah
merupakan hak Allah yang tidak bisa gugur dengen kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah para ahli waris.
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
52
“Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang oleh Allah, seandainya ahli waris menyetujuinya juga maka statusnya bukan lagi
sebagai wasiat, tetapi menjadi hibah dari ahli waris itu sendiri”.
48
Mazhab Imamiyyah berpendapat bahwa boleh hukumnya berwasiat kepada ahli waris maupun bukan ahli waris dan tidak bergantung kepada persetujuan para
ahli waris yang lainnya sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.
49
Para fukaha sepakat bahwa batas maksimal harta yang diwasiatkan adalah sepertiga dari harta milik peninggalan sipewasiat dan wasiat tersebut dilaksanakan
setelah penunaian hutang-hutang si pewasiat. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para fukaha tentang wasiat kepada ahli waris; ada yang berpendapat boleh dengan
syarat wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris, tetapi sebagian lagi berpendapat tidak boleh.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu bahwa : Wasiat adalah penyerahan harta atau suatu hak secara sukarela dari seseorang
kepada pihak lain yang berlaku setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Para ahli fikih berpendapat, mengenai hukum dasar wasiat terbagi dua
pendapat yaitu Ibn Hazm berpendapat bahwa hukum asal wasiat adalah wajib, sedangkan ulama jumhur berpendapat hukum asal wasiat adalah tidak wajib.
Rukun wasiat ada empat yaitu: pemberi wasiat, penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan sighat atau pernyataan ijab dan kabul. Walaupun menurut ulama
mazhab Hanafi bahwa rukun wasiat hanya satu yaitu ijab dan Kabul.
48
Satria Effendi M. Zein, Analisa Yurisprudensi Analisa Fiqh, dalam mimbar hukum
Nomor 45 Thn IX 1999,hal. 92
49
Mughniyah, Op.Cit. hal. 307
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
53
E. Batas Pelaksanaan Wasiat
Mengenai jumlah besarnya harta yang diwasiatkan sesuai dengan hadis Rasulullah saw bahwa wasiat hanya diperbolehkan sepertiga dari harta milik
peninggalan si pewasiat. Para ulama sependapat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari sepertiga hartanya, dan jika melebihi
sepertiga dari harta warisan, para ahli hukum semua mazhab sepakat bahwa hal itu harus ada izin dari pada ahli waris, sekiranya semuanya mengizinkan maka sah-lah
wasiat itu, tetapi jika mereka menolak maka selebihnya dari sepertiga itu adalah menjadi batal.
50
Pendapat ulama yang membolehkan wasiat melebihi dari sepertiga jika ahli waris menyetujuinya , mengemukakan dua syarat-syarat, pertama persetujuan setelah
kematian sipewasiat, alasannya karena hak kepemilikan si penerima wasiat baru berlaku setelah pewasiat meninggal dunia. Kedua si penerima wasiat pada waktu
penyerahan wasiat telah memiliki kecakapan ahliyah tidak terhalang karena safih, lupa atau berada dalam pengampuan.
51
Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal kadar atau ukuran yang mustahab atau yang lebih utama dan berselisih pendapat mengenai saat perhitungan
sepertiga harta itu, apakah dihitung pada saat wafat simayit atau dihitung pada saat pembagian warisan.
50
Erik Sumarna, Wasiat Wajibah terhadap Saudara Kandung, Program Pascasarjana IAIN Sumatera
Utara, Medan, 2004. hal. 54
51
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. hal.456
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
54
Ukuran yang mustahab utama dari wasiat, segolongan ulama berpendapat bahwa kadar yang mustahab adalah kurang dari sepertiga berdasarkan sabda Nabi.
“Dan sepertiga itu adalah banyak” Dijumpai juga beberapa kabar sahabat sebagaimana diriwayatkan dari Abu
Bakar as-Siddiq, beliau berwasiat dengan seperlima harta . Dan telah berkata Ma’mar dari Qatadah Umar Ibn Khattab berwasiat dengan seperempat, sebagaimana juga
hadis Riwayat Bukhari dari ibn Abbas. Dan diriwayatkan dari Ali ra. Beliau telah berkata “sesungguhnya berwasiat dengan seperlima lebih saya sukai daripada
berwasiat dengan seperempat, dan berwasiat dengan seperempat lebih saya sukai dari pada berwasiat dengan sepertiga.
52
Hadis yang diriwayatkan dari Ali, beliau berkata: “Enam ratus atau tujuh ratus dirham itu bukanlah harta yang harus dibuatkan wasiat”. Dan diriwayatkan darinya
bahwa seribu dirham itulah harta yang perlu dibuatkan wasiat. Ibnu Abbas telah berkata:”Tidak ada wasiat dalam harta yang delapan ratus dirham”. Begitu juga
Aisyah berkata: “Mengenai perempuan yang mempunyai empat orang anak, sedang dia juga mempunyai tiga ribu dirham, maka tidak ada wasiat pada hartanya itu.”
Berkata Qatadah didalam penjelasannya:”Jika dia meninggalkan harta yanag banyak: seribu dirham ke atas”.
Besarnya harta yang disunnatkan untuk dibuatkan wasiat atau diwajibkan bagi orang yang mewajibkannya para ulama salaf telah berbeda pendapat sebagi berikut :
53
52
Sabiq, Op.Cit. hal. 291
53
Ibid
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
55
Adapun terhadap perhitungan sepertiga, para fukaha dari kalangan mazhab Hanafi mengatakan bahwa jumlah sepertiga itu dihitung pada saat harta warisan dibagikan
dan setiap penambahan atau kekurangan dari harta peninggalan si pewaris berpengaruh kepada penerima ahli waris dan penerima wasiat, adapun mazhab Syafi’I
mengatakan jumlah sepertiga itu dihitung pada saat wafatnya si mayit.
54
Pada awal Islam menyatakan perpindahan harta antar generasi melalui wasiat adalah merupakan perbuatan yang normal, serta diakui keabsahannya pada saat itu.
Pada masa jahiliyyah terutama sebelum adanya agama Islam atau hingga permulaan periode Madinah, orang- orang Arab Hijaz cenderung untuk membagikan harta
mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan cara berpesan atau disebut berwasiat. Mereka dapat mewasiatkan atas nama seseorang saja sekehendak hati
mereka, dan itu dapat menghilangkan hak-hak orang tua , hak-hak anak keturunannya dan hak-hak isterinya. “Pada masa itu wasiat dijadikan sebagai kekayaan untuk
mengatur kepentingan orang kaya dan atau anggota suku-suku yang berpengaruh” F. Kedudukan Wasiat Dalam Hukum Islam
55
Artinya: “Setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkannya atau setelah dibayar utangnya”
Firman Allah dalam Quran Surah. an-Nisa4:11
56
54
Maghniyah, Op. Cit, hal. 514
55
A.Rahman I Doi, Syariah The Islamic Law, terj. Zainuddin dan Rusydi Sulaiman, Syariah
II Hudud dan Kewarisan. Jakarta; Raja Gratindo Persada, 1996. hal. 185
56
Yayasan penyelenggra Penterjemah Alquran , Op. Cit., hal. 117
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
56
Dari uraian tersebut diatas, disimpulkan bahwa Allah telah mewajibkan kepada umat Islam untuk mempusakakan harta peninggalannya kepada ahli warisnya
dengan mewajibkan untuk mendahulukan pelaksanaan wasiat dan pembayaran hutang-hutang si mayit. Tujuannya adalah untuk memberikan dorongan atau
motivasi agar setiap orang semasa hidupnya ketika datang kepadanya tanda-tanda kematian sangat dianjurkan agar berwasiat, akan tetapi kewajiban yang lebih utama
didahulukan adalah pelunasan hutang- hutang si mayit. Secara prinsip, wasiat dalam sistim hukum kewarisan Islam mengandung
makna yang sangat penting guna menangkal jika terjadinya kericuhan dan perpecahan dalam keluarga, karena tidak menutup kemungkinan akan adanya anggota keluarga
yang emosional dalam pembagian harta warisan. Beda lagi dengan hubungan darah yang sangat dekat dengan si pewaris tetapi tidak berhak menerima harta peninggalan
dengan jalan warisan, padahal telah cukup berjasa kepada almarhum pewaris apalagi bila dilihat dari sosial ekonomi sepenuhnya dialah yang berhak untuk menerima
warisan tersebut. Contohnya, seorang cucu dari anak perempuan yang miskin dia yang
merawat kakeknya selama bertahun-tahun sampai meninggal kakeknya tersebut , akan tetapi dia tidak mendapatkan warisan sedikitpun karena terhalang oleh
pamannya yang kaya, atau karena berbeda agama dan lain sebagainya. Maka dengan adanya sistim wasiat, kekacauan tersebut dapat teratasi dan anak tersebut tetap akan
mendapatkan bagian harta peninggalan kakeknya.
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
57
G. Kedudukan Wasiat Dalam KUHPerdata
Wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan
kemauan terakhir itu adalah keluar dari satu pihak saja, dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Penarikan kembali itu boleh secara tegas atau
secara diam-diam. Wasiat dalam KitabUndang-Undang Hukum Perdata diatur dalam pasal 874-
1022. Mereka yang dibenarkan untuk berwasiat, jika telah berumur sekurang- kurangnya 18 tahun. Batasan jumlah harta maksimal ½ harta jika pewasiat
mempunyai seorang anak yang sah, 23 apabila memiliki dua orang anak yang sah, dan 34 jika memiliki tiga orang anak yang sah termasuk dalam pengertian ini adalah
“anak turun mereka sebagai pengganti anak dalam garis turun masing-masing. “
57
dan maksimal ½ jika pewasiat hanya meninggalkan ahli waris garis lurus keatas ,
demikian juga terhadap anak luar kawin yang diakui telah sah.
58
” kecuali tidak ada keluarga garis keatas , pewasiatan tidak dibatasi”.
59
“Pengangkatan seseorang untuk dapat menjadi ahli waris sebagaimana hak para ahli waris lainnya dapat dilakukan
dengan pewasiatan”.
60
Pengangkatan seseorang untuk dapat menjadi ahli waris, maka berlaku untuknya hak mewarisi sebagaimana anak-anak pewaris dalam mewarisi. Suatu
57
Pasal 914. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
58
Pasal 915-916. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
59
Pasal 917. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
60
Pasal 954-956. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
58
pewasiatan melebihi dari bagian yang telah ditentukan, maka jumlah bagian tersebut harus dipotong sesuai dengan apa yang seharusnya telah diatur sehingga jumlahnya
tidak melebihi batas yang telah ditentukan. Pembatasan itu penting, misalnya terletak dalam pasal-pasal tentang legitieme portie.
Legitieme portie atau bagian mutlak adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus
menurut undang-undang terhadap bagian mana orang yang meninggal dunia tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pembagian antara yang
masih hidup, maupun selaku wasiat.
61
Ahli waris menurut wasiat dan kedudukannya sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban
orang yang meninggal dunia. Paling lazim suatu testamen berisi apa yang dinamakan suatu erfstelling, yaitu
penunjukan seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebahagian dari harta warisan orang yang ditunjuk yang dinamakan
testamentaire erfgenaam, yaitu :
62
A. Satu atau beberapa benda tertentu
Suatu testament, juga dapat berisikan legaat yaitu suatu pemberian kepada seseorang . Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat dapat berupa :
B. Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh benda yang begerak
C. Hak atas sebahagian atau seluruh harta warisan
D. Sesuatu hak lain terhadap budel misalnya hak untuk memberi satu atau
beberapa benda tertentu dari budel.
61
R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta. Paramita
1960., hal. 210
62
H.M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan KUHPerdata,
Jakarta, 1982. hal. 111
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
59
Orang yang menerima suatu legaat, dinamakan legataris, ia bukan ahli waris karena ia tidak menggantikan orang yang meninggal dunia dalam hak-hak dan
kewajibannya yang penting tidak diwajibkan membayar utang-utang orang yang meninggal dunia. Adakalanya seseorang legataris yang menerima beberapa benda
diwajibkan memberikan salah satu benda itu kepada orang lain yang ditunjuk dalam testament.
“Apabila dalam suatu testament diberikan suatu benda yang tadi dapat dibagi- bagi, misalnya seekor kuda kepada kedua orang bersama-sama dan kemudian
salah seorang meninggal dunia maka benda itu jatuh kepada temannya yang masih hidup untuk seluruhnya”.
63
A. Openbaar testament, bentuk ini paling banyak dipakai, dimana orang yang
akan meninggalkan warisan datang menghadap kepada notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi menyatakan kehendaknya
Suatu legaat dapat juga digantungkan pada suatu ketetapan waktu. Menurut
bentuknya ada tiga macam testament, adalah sebagai berikut :
64
B. Olographis testament, suatu bentuk testament yang dibuatditulis dengan
tangan sipewasiat itu sendiri yang harus disimpan atau diserahkan kepada notaris, dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Sebagai tanggal testament itu
berlaku diambil tanggal akta penyerahan. Penyerahan dapat terbuka atau tertutup . Bila tertutup, kelak pewasiat meninggal dunia testament harus
63
Ibid, hal. 112
64
R. Subekti. Op.Cit., hal. 108
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
60
diserahkan oleh notaris kepada Balai Harta Peninggalan BHP untuk membukanya harus membuat proses verbal.
65
C. Testament tertutup dan Rahasia, suatu testament rahasia harus selalu tertutup
dan disegel dan diserahkan kepada notaris dengan disaksikan oleh empat orang saksi.
66
Perlu diperingatkan bahwa menurut Pasal 4 Staatsblad Tahun 1924 Nomor 556 bagi segolongan orang Timur Asing yang bukan Tionghoa misalnya orang
Arab hanya diberikan kemungkinan mempergunakan bentuk Openbaar testament.
67
65
Ibid
66
Ibid
67
Ibid
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
61
BAB III WASIAT WAJIBAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM WARIS ISLAM
A. Pengertian Wasiat Wajibah
Pengertian wasiat wajibah yang akan diuraikan dalam Bab III ini berbeda dengan pengertian wasiat yang telah diuraikan pada Bab II terdahulu. Wasiat wajibah
yang diuraikan dalam Bab ini adalah wasiat wajibah sebagai hak yang diperoleh ahli waris yang terhalang untuk memperoleh warisan.
Wasiat Wajibah merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wasiat dan wajibah, bila kata tersebut berdiri sendiri maka makna yang dimilikinya
akan masing-masing pula. Begitu juga bila digabungkan akan membentuk arti tersendiri pula. Peneliti tidak lagi membahas pengertian wasiat karena sudah dibahas
pada Bab II diatas. Peneliti lebih fokus untuk membahas tentang wajibah. Kata wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata
ta’nis. Menurut Abdul Wahab Khallaf, wajibah adalah sesuatu yang disuruh syari’at untuk secara kemestian dilakukan oleh orang mukallaf, karena secara langsung
dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya.
68
Pengertian wajibah mengandung makna bahwa wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat
yang meninggal dunia. Di mana pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti
68
Abdul Wahab Khallaf, Usul Fiqh Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syabab al-
Azhar hal. 105
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
62
bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tapi pelaksanaanya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut
harus dilaksanakan.
69
1. Hilangnya unsur ikhtiar bagi sipemberi wasiat dan munculnya unsur
kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kepada orang yang berwasiat dan keputusan si penerima wasiat.
Dikatakan wasiat wajibah disebabkan dua hal :
2. Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam
penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Wasiat wajibah adalah hasil kompromi pendapat-pendapat Ulama Salaf dan
Ulama Khalaf, yaitu: 1.
Tentang kewajiban berwasiat kepada krabat-krabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat fuqaha dan tabi’in besar ahli
fiqih dan ahli hadist, antara lain Said ibnu Mussayab, Hasanul Bishry, Thawus, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ibn Hazm
2. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang
tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, bila simati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat ibnu Hazm yang dikutip
dari fuqaha, tabi’in dan dari pendapat mazhab Imam Ahmad.
69
Suparman Usman, Op.Cit, hal. 163.
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
63
3. Pengkhususan krabat-krabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu
dan pembatasan penerimaan kepada 13 sepertiga peninggalan adalah didasarkan kepada pendapat ibnu Hazm dan berdasarkan kaidah syariah:
”Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang mubah, karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemaslahatan
umum. Bila penguasa memerintahkan demikian wajiblah ditaati”.
70
Kitab Undang-undang Hukum Wasiat Mesir dalam Pasal 78 mewajibkan pelaksanaan wasiat wajibah tersebut tanpa tergantung pada perizinan ahli waris
walaupun simati tidak mewasiatkannya, setelah dipenuhi perawatan dan pelunasan hutang dan wasiat wajibah tersebut harus didahulukan dari wasiat-wasiat lainnya.
71
1. Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pusaka, dan
Artinya, kalau ada sisa setelah pelaksanaan wasiat wajibah, baru dilaksanakan wasiat-wasiat yang lain menurut urutan yang telah ditentukan oleh Undang-undang
wasiat, baru kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing. Sebesar yang diterima oleh orang tuanya sekiranya orang tuanya
masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 13 sepertiga peninggalan dan harus memenuhi dua syarat :
2. Si mati ayahnya tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar
yang telah ditentukan kepadanya.
72
Menurut Ahmad Rofiq Wasiat Wajibah adalah wasiat yang dibebankan oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan wasiat
70
Fathur Rahman, Op.Cit, hal. 65-66.
71
Ibid.
72
Ibid., hal 64
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
64
secara sukarela, harta peninggalannya dapat diambil untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.
73
Istilah wasiat wajibah dalam prosfektif hukum Islam diartikan sebagai lawan kata wasiat ikhtiariyah. Jumhur ulama termasuk mazhab yang empat, tentang sifat
ikhtiariyah wasiat menyatakan tidak ada wasiat yang diwajibkan, wasiat seperti ini sifatnya hanya dianjurkan dan bukan merupakan wajib, kecuali kewajiban berwasiat
terhadap tanggung jawab yang berkenaan dengan pemenuhan hak Allah atau hak hamba yang menjadi tanggapan si pewasiat yang harus ditunaikan seperti zakat,
hutang yang belum dibayarkan, sehingga pengadilan atau keluarga tidak mempunyai hak untuk memaksakan pelaksanaannya sekiranya orang yang sudah meninggal dunia
tidak berwasiat. Penguasa atau hakim sebagai aparat negara mempunyai wewenang untuk
memaksa atau memberi putusan wasiat wajibah kepada orang-orang tertentu misalnya berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non muslim, sebagaimana
diketahui bahwa perbedaan agama adalah menjadi penghalang untuk menerima warisan , sehingga dalam keadaan seperti itu ayah atau ibu tidak mungkin
mendapatkan harta peninggalan si mayit kecuali dengan jalan wasiat wajibah.
B. Wasiat Wajibah Dalam Persfektif Fikih
74
73
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia Jakarta RajaGrafindo Persada, 2000, hal.. 462
74
Al-Yasa Abubakar, Wasiat Wajibah dan Anak Angkat, Dalam Mimbar Hukum No 29 Tahun 1996,
hal.. 98
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
65
Sebagian ulama berpendapat bahwa wasiat untuk kedua orang tua atau krabat yang tidak menerima waris adalah wajib, apabila si mayit tidak berwasiat untuk
mereka, maka para ahli waris wajib mengeluarkan sejumlah harta tertentu dari harta si mayit dan memberikannya kepada wasiat wajibah kepada mereka. Pendapat
seperti ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm dan Muhammad Rasyid Ridha. Perintah berwasiat ada dalam Al-Quran .Surah al-Baqarah2:180, menurut
Ibn Hazm adalah wajib dan bersifat qada’i. Artinya kalau seseorang tidak berwasiat maka kaum krabat yang tinggal wajib untuk mengeluarkan sejumlah tertentu dari
harta warisan, yang mereka anggap layak untuk kaum krabat yang tidak berhak mewarisi. , tapi pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang memahami
bahwa ayat wasiat ini telah dimanasukh oleh ayat kewarisan Pandangan ibn Hazm diatas, menemukan suatu kewajiban hukum yang
defenitif bagi orang Islam untuk membuat wasiat yang akan didistribusikan kepada krabat dekat yang bukan ahli waris . Selanjutnya ia berpendapat, jika orang yang
meninggal gagal untuk memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan harus membuat wasiat atas namanya.
Berbeda dengan pendapat Rasyid Ridha, menurutnya wasiat dalam hukum kewarisan adalah khusus diberikan kepada orang-orang yang tidak dapat mewarisi
karena sebab terhalang mewarisi walaupun berbeda agama, apabila masuk Islam seorang yang kafir kemudian datang kepadanya kematian. Sementara kedua orang
tuanya masih tetap kafir, maka kepadanya diharuskan untuk berwasiat untuk
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
66
melunakkan hati kedua orang tuanya, sebagaimana perintah Allah swt untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua walaupun kedua-duanya tetap kafir.
75
Ada perbedaan pendapat antara ulama jumhur dengan Ibn Hazm dalam menentukan hukum wasiat wajibah, tapi para ulama dari kalangan mazhab Maliki,
Hambali dan mayoritas mazhab Syafi’I, berpendapat bahwa boleh hukumnya untuk berwasiat kepada mereka yang beragama non muslim dengan syarat yang diberi
wasiat adalah orang-orang yang tidak memerangi Islam.. Sedangkan mazhab Hanafi dan mayoritas mazhab Imamiyah mengatakan pendapat tersebut tidak sah.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa kedua orang tua dan krabat yang tidak bisa mewarisi disebabkan karena adanya salah satu penghalang, apakah karena
perbudakan, beda agama atau terhijab oleh ahli waris yang lain , wajib diberi wasiat, apabila seorang muslim pada saat hidupnya tidak berwasiat. Namun perlu dijelaskan
juga siapa yang dimaksud krabat yang harus diberi wasiat wajibah tersebut, ibn Hazm telah memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan krabat adalah semua
keturunan yang memiliki hubungan nasab seayah dan seibu sampai terus kebawah.
76
Persoalannya adalah untuk menentukan krabat dekat yang akan menerima wasiat wajibah tersebut. Siapa diantara dari krabat dekat yang akan menerima wasiat
wajibah itu. Untuk menjawabnya diperlukan pendekatan dengan interpretasi, karena baik Al-Quran maupun Hadist membiarkan masalah fundamental ini tidak terjawab.
75
Erik Sumarna Op.Cit, hal. 136
76
Maghniyah, Op. Cit, hal.. 588
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
67
Suatu interpretasi baru diajukan untuk pertama sekali oleh para ahi hukum mesir, pada tahun 1946, yang memspesifik krabat dekat tersebut kepada cucu yang orang
tuanya telah meninggal terlebih dahulu cucu yatim. C. Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam KHI telah menetapkan hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat terjalin hubungan yang saling berwasiat. Pasal ini
menjelaskannya dalam ayat 1 dan ayat 2, bunyinya sebagai berikut: 1.
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 13 sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 13 sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Ketentuan pasal diatas membuktikan bahwa KHI telah menentukan suatu
hukum yang selama ini tidak dikenal dalam wacana fikih yang memberikan wasiat wajibah kepada anak angkat atau orang tua angkat, dan ini berbeda pula dengan
konsep wasiat wajibah yang diterapkan di negara-negara Islam lainnya seperti di Mesir. Melihat wasiat wajibah dalam undang-undang kewarisan mesir adalah
ketentuan yang mengatur tentang perolehan harta seorang yang berstatus sebagai dzawil arham.
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
68
Dilakukan perbandingan dengan konsep KHI, maka konsep wasiat wajibah di Mesir hampir sama dengan konsep ahli waris pengganti dalam KHI, misalnya adalah
seorang cucu yang telah lebih dahulu ditinggal mati oleh ayahnya dinyatakan memperoleh harta warisan dari kakeknya untuk menggantikan kedudukan ayahnya ,
dan mengambil bagian ayahnya dengan ketentuan tidak lebih dari 13 sepertiga harta peninggalan, bukan menyangkut perolehan anak angkat.
Kedudukan cucu dalam KHI tersebut adalah menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dunia dengan mendapatkan bagian tidak dapat
melebihi dari bagian ahli waris yang masih hidup yang sejajar dengan kedudukan ayah yang digantikannya. Dalam KHI konsep seperti ini disebut dengan ahli waris
pengganti. Dengan demikian ketentuan wasiat wajibah yang diatur dalam KHI berbeda dengan konsep wasiat wajibah di Negara Mesir dan ini adalah merupakan
ciri khas tersendiri hukum waris di Indonesia.
1. Anak Angkat
Anak angkat merupakan istilah dari terjemahan bahasa Arab yang berarti seseorang yang diangkat untuk menjadi anak sendiri.
77
Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang diambil
dipelihara serta di sahkan secara hukum sebagai anak sendiri.
78
77
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia Jakarta Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Pentafsiran Alquran, 1973, hal. 73
78
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988, hal. 31
Dalam pengertian
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
69
ini hampir tidak ada bedanya dengan pengertian dalam istilah hukum yaitu anak orang lain yang masih kecil diangkat menjadi anak sendiri seperti anak kandung.
79
Istilah hukum dalam pengangkatan ini sering disebut dengan adopsi yang merupakan kata serapan dari bahasa latin yang artinya adalah pengangkatan seorang
anak sebagai anak kandung.
80
Disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf “h” bahwa anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
81
Tanggung jawab terhadap anak angkat tidak hanya terletak pada tanggung jawab untuk memberi nafkah dan perawatan, melainkan kedudukan anak angkat
sama dengan kedudukan anak kandung, karena itu nama ayah angkat selalu melekat kepada anak angkatnya sebagai identitas diri pribadi. Anak angkat dianggap
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung terhadap kedua orang tuanya dan begitu juga sebaliknya.”Atas dasar inilah maka
Ada beberapa faktor untuk memotivasi kebiasaan yang dilakukan oleh bangsa Arab dalam melakukan pengangkatan anak untuk menjadi anak sendiri pada masa
sebelum Islam, yaitu tidak ada memperoleh keturunan selama perkawinan, atau tidak adanya tanggung jawab orang tua untuk menafkahi dan mengasuh anaknya.
Kemudian dilakukan pengangkatan oleh seseorang menjadi anak angkatnya.
79
Andi Hamzah, Kamus Hukum Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986, hal.. 38.
80
Ibid, hal.. 28
81
Pasal 171, Kompilasi Hukum Islam
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
70
antara anak angkat dan orang tua angkat saling mewarisi dan dianggap sebagai mahram orang yang haram dinikahi”
82
Suatu ketika keluarganya mengetahui tentang keadaan seperti ini lalu paman dan ayahnya dating ketempat Rasul untuk melihat Zaid. Sesampainya di tempat Rasul
Dari uraian diatas menggambarkan kalau adat istiadat tetap diakui dan dipraktikkan hingga masa awal Islam. Nabi Muhammad sendiri pernah mengangkat
seorang anak yang bernama Zaid bin Harisah ketika beliau belum diangkat menjadi Rasul, dan baru dibatalkan setelah beberapa waktu beliau diangkat oleh Allah swt
untuk mengemban amanah kerasulan. Zaid bin Harisah sendiri pada mulanya adalah seorang hamba sahaya, kemudian di merdekakan oleh Rasulullah. Sesuai dengan
tradisi pada masa itu setiap anak angkat selalu dinisbatkan kepada orang tua angkatnya dan bukan kepada orang tua asalnya, sehingga nama Zaid pada waktu itu
dikenal dan para sahabat memanggil Zaid dengan nama Zaid bin Muhammad. Zaid bin Harisah adalah seorang anak yang berstatus budak, dia berasal dari
Syam, yang sewaktu kecil dibeli oleh Hakim bin Hizam di pasar Ukaz, kemudian Hakim memberikannya kepada Siti Khadijah yang pada waktu itu telah menjadi isteri
Muhammad bin Abdullah. Kemudian Siti Khadijah memberikan kghadamnya sebagai pelayan bagi Rasulullah. Kemudian Rasul menerima dan memerdekakannya dan
akhirnya menjadikannya sebagai anak angkat Rasul, dengan hal ini maka Zaid pun tinggal bersama Rasul.
82
M.Zein Satria effendi, Op.Cit.,hal.92
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
71
maka ayah Zaid yaitu Harisah berkata, wahai Ibn Abdul Mutallib, wahai putra dari pemimpin kaumnya, anda termasuk penduduk tanah suci yang biasa membebaskan
orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan, kami datang kepada anda ini hendak meminta anak kami, sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada
kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusan seberapa adanya. Dasar permintaan itu Rasulullah berkata kepada Harisah: Panggillah Zaid itu
kesini suruhlah ia memilih sendiri, seandainya dia memilih anda , maka akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan, sebaliknya jika ia memilihku, maka demi
Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku”, Kemudian Rasul menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid, setibanya
dihadapannya , beliau langsung bertanya: “Tahukah engkau orang-orang ini? Lalu Zaid menjawab “Saya tahu, yang ini adalah ayahku dan yang satunya lagi adalah
pamanku”. Kemudian Rasul mengulangi pertanyaan sebagaimana ditanyakan kepada ayahnya yaitu tentang kebebasan untuk memilih orang yang paling disenangi.
Akhirnya Zaid ingin memilih tetap tinggal bersama Rasul. Begitulah tradisi pengangkatan anak pada masa sebelum Islam dan itu tidak
hanya dilakukan oleh Rasulullah tapi juga dilakukan oleh para sahabat yang lain seperti sahabat Huzaifah yang mengangkat seorang anak yang bernama Salim
menjadi anak angkatnya, “sehingga Salim dikenal dengan nama Salim Maula Abu Huzaifah”.
83
83
Khalid Muhammad Khalid, Rijahm Haola al-Rasul, Terj. Mahyuddin Syaf, Karakteristik Perihidup
60 Shahabat Rasulullah Bandung:Diponegoro,1996 hal. 685
Dengan demikian pada awal Islam pengangkatan anak adalah sesuatu yang biasa dan diperbolehkan.
Sahriani : Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 kag1999, 2009.
72
Sebelum risalah Islam datang, tradisi pengangkatan anak ini terlihat lebih mendapat tempat istimewa. Dikatakan demikian karena masyarakat jahiliyyah
memperlakukan anak angkat seperti anak kandungnya sendiri, sehingga akibatnya diantara mereka saling mewarisi sebagaimana layaknya keturunan kandung.
“Konsekuensi adopsi menurut hukum perdata BW ini maka hubungan keperdataan yang berdasarkan kepada keturunan darah antara orang yang
diadopsi dengan orang tuanya atau keluarganya sedarah dan semenda menjadi terputus”.
84
Status pengangkatan anak tidak menciptakan adanya hubungan hukum pewarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, begitu juga dengan
keluarganya. Anak yang diadopsi, dalam kewarisan bisa saling mewarisi dengan orang tua
yang mengadopsinya. Tradisi pengangkatan anak ini tetap dapat diterima tetapi dengan perubahan ketentuan sebagai berikut:
Status nasab anak angkat tidak dihubungkan kepada orang tua angkatnya, tetapi tetap seperti sediakala, yaitu dinisbatkan kepada orang tua kandungnya.
85
Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hukum kewarisan menurut KHI secara tegas telah diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Secara umum dapat dikatakan bahwa status anak angkat dan orang tua angkat yang
2. Anak Angkat menurut Wasiat Wajibah Menurut KHI