Prinsip-prinsip Hukum Islam Dalam Mengatasi Kemunkaran dan

104

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PREVENTIF POLSEKTA BOGOR UTARA DALAM MASALAH NAZA

A. Prinsip-prinsip Hukum Islam Dalam Mengatasi Kemunkaran dan

Kemaksiatan Sepanjang sejarah manusia, kemunkaran tak pernah sirna, kita sebagai umat Islam yang secara jelas dalam agama telah disebutkan mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan perbuatan ini, seharusnya mampu menjadi corong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi menjadi panutan segala tindak dan rujukan dalam hukum kenegaraan. Hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai hukum yang bersumber pada wahyu Tuhan divine law. Keyakinan ini didasarkan pada kenyataan 105 bahwa sumber hukum dalam Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, Allah dan Rasul-Nya lazim disebut al-Syari’ law giver. Namun demikian, harus diakui bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah terbatas, baik dalam peristiwa maupun waktu penetapan hukumnya, sementara itu peristiwa semakin hari semakin banyak jumlahnya dengan aneka ragam masalahnya. 68 68 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997, h. v 106 Contohnya tindak kemaksiatan yang terus merajalela di mana-mana, seperti apa yang disaksikan sekarang ini. Untuk itu, mari kita melihat kembali ayat-ayat dan hadis yang berkenaan dengan perbuatan seperti apa yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian bila kita membuat contoh perbuatan baik kepada orang lain, meskipun sudah tidak ada kalau apa yang kita contohkan berupa kebaikan itu masih dilakukan oleh orang-orang lain, kita masih tetap mendapatkan pahala, tanpa mrngurangi pahala orang yang mengamalkan kebaikan yang kita contohkan itu. Demikian pula kalau kita membuat contoh kejahatan, meskipun kita telah tiada kalau kejahatan yang kita contohkan itu masih dilakukan oleh orang lain maka kita masih menanggung dosanya tanpa mengurangi dosa yang melakukan yang kita contohkan itu. Makruf berarti kebaikan atau kebajikan, yakni segala perbuatan manusia yang dapat mendekatkannya kepada Allah SWT. Munkar, lawan makruf, yang secara harfiah berarti perkara-perkara yang keji atau segala bentuk kejahatan, adalah segala perbuatan manusia yang menjauhkan diri dari Allah SWT 69 . Ada dua macam tugas kepada umat Islam. Pertama, kewajiban untuk menyeru bersatu dalam kebaikan, yaitu Islam. Ajakan ini membimbing manusia kepada nur cahaya dan hidayah petunjuk Islam. Kedua, harus menyeru kepada kebaikan, saling menyeru kepada yang makruf, dan saling mencegah kepada yang munkar. Tugas ini dapat dilakukan dengan perorangan maupun 69 Sirojuddin Ar, Ensklopedi Islam, Jakarta; PT. Ichyar Baru Van Hoeve, 1994, h. 23 107 kolektif. Semua mempunyai kewajiban dan hak yang sama sesuai dengan kedudukan, profesi, dan kemampuan masing-masing untuk mengajak dan memimpin dirinya dan orang lain dari segala bentuk kejahatan, dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran. Setiap perbuatan yang diharamkan jelas mengundang kebencian Allah SWT. Jika hal itu terus menerus dilakukan, maka laknat Allah akan turun kepadanya. 70 Kemudian, disamping makruf, ada pula yang di maksud maksiat yang arti maksiat itu sendiri adalah durhaka. Dalam ajaran Islam kata ini dipakai untuk menyebut perbuatan durhaka atau dosa seseorang yang tidak mau mengikuti perintah Allah SWT dan rasul-Nya, tetapi mengerjakan larangan Allah SWT dan rasul-Nya. Hal tersebut dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 35 dan 36, yakni Allah SWT menceritakan tatkala Adam dan Hawa tidak patuh terhadap perintah Allah SWT untuk memakan buah pohon terlarang yang ada di dalam surga. Akhirnya Adam dan Hawa tergoda untuk memakan buah tersebut karena keduanya digelincirkan oleh Iblis. Kisah lain dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 59, yaitu Allah SWT menggambarkan bagaimana sikap kaum yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai rasul- 70 Abu al-Ghifari, Generasi Narkoba, Bandung; Mujahid Grafis, 2002, h. 50 108 rasulnya dan mereka mengikuti perintah penguasa yang berlaku sewenang- wenangnya lagi menentang kebenaran. 71 Fathi Duraini ahli ushul fiqh memberikan pengertian maksiat sebagai segala perbuatan yang sifatnya meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram. Hal tersebut berkaitan dengan hak-hak Allah SWT ataupun berkaitan dengan hak-hak pribadi seseorang 72 . Dilihat dari segi hukum di dunia yang akan dikenakan kepada pelaku maksiat, disamping hukuman akhirat yang ditentukan oleh Allah SWT. Ibnu Qayyim Al-Jauziah dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyyah fi as-sar’iyyah, membagi maksiat menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Maksiat yang dikenai hukuman “hudud”, tetapi tidak dikenakan kifarat denda untuk menghapuskan dosa, seperti perbuatan zina, mencuri, meminum-minuman keras. 2,maksiat yang dikenakan hukuman karafat dan tidak dikenai hukuman hudud dan tidak juga dikenakan kafarat, seperti perbuatan saksi palsu, dan memakan sesuatu yang tidak dihalalkan seperti darah dan bangkai 73 . Maksiat inilah yang termasuk golongan tindak pidana, maksiat ini ada yang menyangkut hak-hak Allah SWT, yaitu yang bersifat mengganggu ketentraman umum, dan hak masyarakat, dan ada pula yang sifatnya pribadi. Oleh karena itu, penentuan hukumannya ditentukan oleh penguasa hakim dengan tetap mengacu pada pencapaian tujuan hukuman itu sendiri. 71 Ibid. 72 Hamidi, dkk., Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Jakarta; Widjaya, 1951, h. 19. 73 Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah, Jakarta; Bulan Bintang, 1956, h. 34. 109 Dengan demikian segala perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak syari’at Islam disebut maksiat, apakah itu menyangkut kepentingan Allah SWT atau kepentingan hak pribadi. Hukuman duniawinya ada yang telah ditentukan secara terperinci oleh nash terici oleh nash dan ada pula yang ditentukan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim.

B. Kebijakan dan Strategi Preventif Polsekta Bogor Utara Terhadap