Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebijakan Sosial Keagamaan Pemerintah Daerah Indramayu
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN SOSIAL
KEAGAMAAN PEMERINTAH DAERAH INDRAMAYU
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Ibnuddin Fauzan NIM: 104045201501
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
KATA PENGANTAR
Ungkapan rasa syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah Swt Yang Maha Kuasa, Tuhan Penguasa Alam beserta isinya yang telah memberikan banyak kenikmatan untuk kita semua. Sehingga sampai saat ini, kita semua masih diberi kesempatan untuk melakukan aktivitas demi mencapai ridha-Nya. Penulis juga merasa bersyukur karena telah menyelesaikan tugas akhir berupa Skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Sahabat-sahabatnya dan kepada semua pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis merasa bahagia karena telah menyelesaikan studi dan penyelesaian Skripsi ini, dengan kata lain penulis telah selesai meraih strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentunya kesuksesan yang penulis raih ini tidak lepas dari dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A. dan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu Prof. Dr. H. Muh. Amin Suma, SH, M.A, MM, dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag, dan Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum Drs. Noryamin Aini, M.A, dan Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Yayan Sopian, M.Ag yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Bapak Asmawi, M.Ag, dan Ibu Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Ibu Sri Hidayati, M.Ag. yang dengan tulus memberikan bimbingan dan arahan dan nasehat kepada penulis selama menempuh studi.
3. Dosen Pembimbing Skripsi Bapak Dr. H. Abdurahman Dahlan, M.A dan Drs. Muharom. yang dengan ketulusan hatinya memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat mengatasi kesulitan dalam penyelesaian skripsi ini.
(3)
4. Pembimbing Akademik Bapak Bambang Catur SP, SH., beserta seluruh Karyawan Bagian Akademik Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Yang dengan tulus telah memberikan arahan dan nasihat kepada penulis selama penulis menempuh studi.
Kepala Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Kepala Daerah Bupati pemerintah daerah Kabupaten Indramayu Bapak H.Irianto M.S Syafiuddin beserta para Staf pemerintah daerah Indramayu yang dengan penuh tulus memberikan arahan dan informasi serta data yang berkenanan dengan pokok bahasan dalam skripsi.
7. Pengelola Perpustakaan dan Arsip Pemerintah Daerah Indramayu.
8. Ayah dan Ibunda tercinta Bapak H. Ahmad Fauzan Haririe dan Hj. Emi Khodijah, yang selau setia dan penuh kesabaran memberikan do’a serta semangat dengan penuh kasih dan sayang kepada penulis, serta Bapak Ibu Calon Mertua tersayang Bapak H. Suka dan Hj. Karni dan penyejuk hatiku tercinta Titin Jarotin, S.Ked, yang selalu setia dan penuh cinta dan kasih sayang memberikan motivasi pada penulis untuk segera meyelesaikan studinya., dan juga kakak-kakak ku tercinta (Hj. Anah Rauhatul Jannah, SPdi, Ibrahim Halali, M.A, H. Syukron Makmun, Moh. Hafidz, Hj. Enah Sukaenah, Ulfah Rohmayani, SKG, H. Juju Jubaeruddin, ST, Hj. Ida Royani, Hj.Cindy Lawati, H.Warsudin) dan semua keponakan yang selalu menghibur dan mengarahkan serta membimbing penulis. Juga kepada seluruh famili yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang dengan semangat dan keikhlasanya telah memberikan dorongan dan motivasi baik lahir maupun batin kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu dalam menempuh dan menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Tentunya penulis tidak akan lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada saudara ‘seperjuangan’ Muhammad Zamroni dan Siddik temen-temen Syari’ah angkatan 2004, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan di sini satu persatu yang telah membantu dan memberikan dorongan serta dukungan yang telah tulus pada penulis.
(4)
Akhirnya penulis hanya bisa berdo’a semoga jasa dan kebaikan semua pihak yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah Swt dan dapat balasan yang berlipat ganda. Amin.
8 Januari 2009 M
(5)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahRepolitisasi Islam cenderung diartikan sebagai fenomena maraknya kehidupan politik Islam. Indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang berbasis massa komunitas Islam, maka muncul pendapat lain yang mendefinisikannya sebagai munculnya kembali kekuatan politik Islam.1 Hubugan Islam dan Politik adalah subjek yang sangat menarik, sepanjang masa akan menjadi persoalan yang bersifat recurrent.
Artinya, masalah ini akan selalu muncul, sebab pada dasarnya Islam, umat Islam atau kawasan Islam, tak akan pernah bisa dipisahkan dari persoalan-persoalan politik.2
Begitupun dalam sejarah politik Indonesia, selalu diwarnai perdebatan antara kekuatan Islam Politik dan nasionalis ditingkat elit. Secara empiris, hasil riset Lembaga Survei Indonesia, melansir bahwa dukungan terhadap gerakan Islamisasi di Indonesia dilihat dari presentasenya dukungan terhadap aksi-aksi radikal dengan mengatas namakan Islam secara umum signifikan pada 2005-2007. Bila ada kekuatan untuk aktivasi simpati atau dukungan ini bisa menjadi kekuatan besar.3 Tentunya indikator tersebut perlu untuk diperhitungkan oleh kekuatan politik lokal terhadap kemungkinan pertarungan kebijakan di daerah.
1
Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, (Bandung: Mizan, 2000), Cet.1., h. 195
2
Bahtiar Effendy, “Disartikulasi Pemikiran Politik Islam”, Kata Pengantar dalam buku Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1, 2002), h. iii.
3
Lembaga Survei Indonesia, Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs Nilai-Nilai Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, (Jakarta: Oktober, 2007).
(6)
Fenomena munculnya kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tentang sosial keagamaan di Indonesia seolah menemukan momentumnya pasca suksesi kepemimpinan nasional tahun 1998 yang lazim disebut sebagai Era Reformasi. Pada era tersebut pemerintah sepertinya berlomba-lomba untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan sosial keagamaan. Hal ini dilakukan melalui jalur struktural dan kultural, dari pusat sampai ke daerah. Kalangan ini menuntut agar hukum-hukum di Indonesia harus sejalan dengan hukum Islam.
Kehendak untuk memformalkan hukum Islam ke dalam hukum positif, juga terus disuarakan oleh partai-partai Islam dan ormas-ormas tertentu ditingkat pemerintahan daerah. Bahkan di kepala daerah berinisiatif untuk memformalkankan hukum Islam dalam bentuk Peraturan Daerah, Surat Edaran (SE), Surat Keputusan (SK) dan bentuk peraturan lainnya. Hal ini tidak lepas dari adanya pergeseran hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penerapan Undang-undang No 22 tahun 1999 yang diberlakukan pada 1 Januari 2001 dan perubahannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberi peluang besar bagi daerah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengelolaan daerahnya masing-masing.
Menguatnya keinginan berbagai daerah untuk melakukan formalisasi hukum Islam melalui berbagai produk perundang-undangan, menjadi salah satu isu pokok yang penting untuk dibahas. Keinginan tersebut tidak saja dapat dilihat sebagai akses dari otonomi daerah semata, tetapi juga cerminan kegamangan masyarakat dalam menyikapi perkembangan yang terjadi, seperti prilaku generasi muda dalam berpakaian dan maraknya kemaksiatan serta rasa frustasi masyarakat berhadapan dengan sistem
(7)
pemerintahan yang ‘korup’. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hukum Islam dianggap sebagai salah satu problem solving.
Fenomena kebijakan-kebijakan sosial keagamaan di beberapa daerah ini semakin terasa setelah reformasi digulirkan pada 1998. Sebelumnya, hanya Aceh yang secara gencar menuntut perwujudan syari'at Islam di daerahnya, yang belakangan disetujui pemerintah pusat melalui otonomi khusus. Sekarang, dalam rentang waktu yang relatif singkat, beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Dompu NTB, Lombok Timur, Banten, Pamekasan Jatim, Riau, Padang, Ternate, Gorontalo dan beberapa daerah di Jawa Barat, sedang melakukan penggodokan untuk menetapkan beberapa peraturan daerah tentang sosial keagamaan.
Di Jawa Barat, peraturan yang bernuansa sosial keagamaan, hampir diproduksi oleh tiap daerah seperti Tasikmalaya, Banjar, Cianjur, Garut, Bandung, Sukabumi, Kuningan, Majalengka, Cirebon dan Indramayu. legislasi yang dikeluarkan juga beragam bentuknya, mulai dari larangan perjudian, jum’at khusu, wajib zakat, kewajiban memakai jilbab bagi siswi, anjuran membaca Al-Qur’an sebelum melakukan aktivitas, larangan prostitusi, kewajiban menyertakan sertifikat Madrasah Diniyah bagi siswa dan siswi yang hendak melanjutkan sekolah dan lain sebagainya.4
Di antara daerah di Jawa Barat, yang belakangan kuat memproduksi legislasi yang berbasis agama, sebagaimana disebutkan di atas, adalah Kabupaten Indramayu. Sebagai salah satu daerah yang terletak di pantai utara Jawa Barat, daerah ini telah memiliki beberapa kebijakan yang berkaitan dengan sosial keagamaan. Beberapa legislasi
4
Lihat, Arskal Salim, Peraturan Daerah Berbasis Syariat dan Masalah Penegakan HAM, (Jakarta: FSH UIN JKT, 2007). Lihat juga, Wahiduddin Adams, Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan Terkait Moral Keagamaan, (Jakarta: Direktorat Fasilitasi Perancangan Perda DEPKUMHAM RI, 2007)
(8)
yang telah dikeluarkan diantaranya Perda No. 30 tahun 2001 tentang pelarangan peredaran dan pengunaan minuman keras revisi perda No.7 tahun 2005, perda No. 7 tahun 1999 dan perubahannya No. 4 tahun 2001 tentang prostitusi, Perda tentang Kewajiban menyertakan Sertifikat Diniyah bagi Siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Surat Edaran Bupati mengenai anjuran membaca Al-Qur’an 15 menit sebelum melakukan aktivitas, kewajiban menggunakan jilbab bagi pelajar dan pegawai pemda selama bekerja dan lain sebagainya. Akan tetapi apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah sejalan dengan hukum Islam yang sebenarnya.
Dari pemaparan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas secara detail tentang kebijakan-kebjakan sosial keagamaan pemerintah daerah ditinjau dari hukum Islam dalam sebuah skripsi dengan judul: “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN SOSIAL KEAGAMAAN PEMERINTAH DAERAH INDRAMAYU”
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, maka penulis membatasi pada pembahasan 2 (dua) variabel yaitu ‘kebijakan sosial keagamaan di Indramayu’ dan ‘perspektif hukum Islam’. Kebijakan sosial keagamaan dimaksud dalam bentuk peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), maupun peraturan berdasarkan kewenangan (beleid) oleh kepala daerah pasca reformasi selama kurun waktu 2001 sampai 2005.
(9)
Dengan merujuk pada pembatasan yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah yang diteliti berdasar pada kebijakan sosial keagamaan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah Indramayu, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Perda No 2 Tahun 2003 tentang wajib belajar Madrasah Diniyah Awaliyah?
2) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Perda No.7 tahun 2005 tentang pelarangan peredaran dan penggunaan minuman keras?
3) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Perda No. 4 tahun 2001 tentang prostitusi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:
1. Mengetahui dan mempelajari dengan seksama apakah kebijakan-kebijakan sosial keagamaan pemerintah daerah Indramayu sudah sejalan dengan hukum Islam. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pemerintah,
masyarakat, dan ulama dalam memberikan kebijakan-kebijakan untuk kemashlahatan umat.
3. Secara administrasi akademik penulisan skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam (SH. I) pada Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah (ketatanegaraan Islam) Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
(10)
1. Secara akademis untuk mendapatkan jawaban-jawaban terhadap berbagai persoalan yang terkait dengan kebijakan pemerintahan daerah Indramayu dalam kurun waktu tertentu.
2. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang politik dan kebijakan lokal.
3. Memberikan pemahaman terhadap pandangan sebuah peraturan berdasarkan analisis hukum Islam yang secara umum kurang mendapat perhatian.
4. Sebagai bahan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap proses legislasi daerah agar searah dengan kepentingan agama (belief and interest conflict).
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang kebijakan Pemerintah Daerah yang mengarah pada upaya formalisasi syari'at Islam telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya–karya penelitian tersebut :
Pertama buku yang mengangkat isu/masalah penerapan Syari’at Islam disunting oleh Kurniawan Zein dan Syarifuddin yang berjudul “Syari’at Islam Yes, Syari’at Islam No”5. Buku tersebut berisi tentang kumpulan tulisan yang mewakili pro dan kontra mengenai pemberlakuan Piagam Jakarta dan Syari’at Islam di Indonesia yang muncul diawal era Reformasi, yang pada intinya memuat polarisasi
5
Kurniawan Zein dan Sarifuddin, MA, editor, Syari’at Islam Yes, Syari’at Islam No, (Jakarta: Paramadina, 2001). Buku ini menampilkan tulisan antara lain A.Syafi’I Maarif, Deliar Noer, Nurcholis Madjid, Salahuddin Wahid, dan Umar Shihab. Yang memiliki ragam pandangan mengenai pemberlakuaan Piagam Jakarta dan Syari’at Islam di Indonesia.
(11)
kalangan Islam kedalam tiga orientasi yakni yang mendukung sepenuhnya, memahami tetapi tidak mendukung, dan yang menolak Syari’at Islam dalam negara. Tetapi sebagaimana dalam tulisan, tidak memberikan gambaran yang terfokus mengenai masalah yang dibahas, selain sekedar mendeskripsikan secara parsial atau bagian-bagian tertentu saja.
Buku kedua karya Taufik Adnan amal dan Samsu Rizal Panggabean, yang berjudul "Politik syari'at Islam Dari Indonesia Hingga Nigeria”6. Buku ini merupakan hasil penelitian dengan mengumpulkan data yang cukup memadai, tetapi lebih ke studi awal dan perbandingan mengenai syari’at Islam di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya. Namun tidak menjelaskan secara khusus mengenai latar belakang dan kondisi-kondisi sosiologis dari gerakan penerapan syari’at Islam tersebut. Dimana dalam tulisannya ada banyak hal menarik yang mencuat dalam isu formalisasi Syariat Islam yang berlangsung diberbagai negeri muslim dewasa ini. Buku yang ditulis oleh Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean ini mencoba menelusuri berbagai tuntutan dan penerapan syariat Islam disejumlah negeri muslim, ketegangan dan persoalan yang muncul akibat dari tuntutan dan penerapan tersebut, termasuk persoalan metodologis serta kemungkinan–kemungkinan untuk mengatasinya. Fokusnya adalah isu penerapan syariat Islam di Aceh dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, serta sejumlah negeri muslim di Asia dan Afrika. Contohnya Mesir, Sudan, dan Nigeria. Pemilihan daerah-daerah ini dilakukan secara purposif untuk menunjukkan keluasan dimensi persoalannya tanpa harus mengkompromikan kedalaman dimensi masalah yang dibahas. Melalui buku ini,
6
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik syari'at Islam Dari Indonesia Hingga Nigeria, (Jakarta: Alvabet, 2004).
(12)
kedua penulis buku ini ingin menunjukkan betapa persoalan penerapan syaria’at Islam tidak sesedarhana yang kita bayangkan. Melalui perbandingan beberapa negara, nampak sekali kompleksitas problem yang dihadapi para pendukung penegakan syari’at Islam dan pengambil kebijakan.
Buku ketiga berjudul “Syari’at Islam di Indonesia: Aktualisasi Ajaran dalam
Dimensi Ekonomi, Politik dan Hukum”7. Disunting oleh Mauhammad Iqbal dan
Azhari Akmal Tarigan yang merupakan kumpulan tulisan. Buku tersebut isinya merupakan tanggapan atas kedua buku pertama yang mengandung bahasan tentang semangat penerapan dan aktualisasi Syari’at Islam di Indonesia. Pemikiran dalam buku ini pada intinya memandang tidak relevan perdebatan pro dan kontra tentang penerapan Syari’at Islam yang secara substansial telah berlaku lama dalam kenyataan hidup bangsa Indonesia melalui akomodasi ummat Islam dalam perundang-undangan dan kehidupan bangsa Indonesia dibidang ekonomi, Politik, dan hukum.
Studi serupa dalam bentuk skripsi penelitian lapangan dengan data kuantitatif pernah di tulis oleh saudari Menawati, (skripsi FSH UIN Jakarta, 2005) “Upaya Formalisasi Syariat Islam di Indonesia; Studi Kasus Kabupaten Cianjur Jawa Barat”. Dalam tulisan tersebut menguraikan bentuk formalisasi hukum Islam dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pejabat institusional yang mengikat secara terbatas. Penelitian tersebut menggunakan data kuantitatif serta sebagian kecil kualitatif. Menurut penulis, data kuantitatif memiliki kelebihan untuk menggeneralisir, tetapi kurang memperhatikan aspek validitas serta legalitas instrument norma hukum tersebut.
7
Muhammad Iqbal dan Ahar Akmal Tarigan, editor, Syari’at Islam di Indonesia: Aktualisasi Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik, dan Hukum, (Jakarta : Misaka Galiza 2004). Dalam karya ini bahasan tentang pemberlakuaan syari’at Islam dalm kehidupan Politik hanya salah satu bahasan.
(13)
Dari beberapa rujukan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang penulis lakukan sangat berbeda baik dari segi obyek dan sampel wilayah penelitian, terlebih lagi memiliki keunggulan dengan lebih menitikberatkan pada nilai normatif perundang-undangan terhadap hukum Islam. Selain itu, penelitian yang telah dilakukan tersebut tidak secara khusus dan spesifik membahas mengenai kebijakan Pemerintah Daerah yang mengarah pada upaya formalisasi syari'at Islam, hanya menjelasakan tentang serpihan pemikiran. Sebagaimana lazimnya sebuah buku kumpulan tulisan, bahkan terkesan berserakan dan tidak fokus, sehingga tidak memberikan prspektif yang khusus mengenai masalah yang dikaji.
E.Kerangka Teori dan Konseptual
Di lingkungan masyarakat Islam berlaku tiga kategori hukum dalam pandangan Islam, yaitu hukum: (1) Syari'at, (2) Fiqh, dan (3) Siyasah Syar'iyyah. Siyasah
Syar'iyyah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang
dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yangtidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu. Siyasah Syar'iyyah adalah al-qawanin (peraturan perundang-undangan) yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam negara yang sejalan atau tidak bertentangan dengan syari'at (agama). Siyasah syar'iyyah lebih terbuka dari fiqh yang mempunyai sifat berkembang dan menerima perbedaan pendapat. Perbedaan kondisi dan perkembangan masyarakat berpengaruh besar terhadap siyasah syar'iyyah. Kata “siyasah” (tanpa syar'iyyah) dilihat dari sumbernya dapat dibagi dua: siyasah syar'iyyah dan siyasah wad'iyyah. Dasar pokok siyasah syar'iyyah adalah wahyu
(14)
atau agama. Nilai dan norma transdental merupakan dasar bagi pembentukan peraturan yang dibuat oleh institusi kenegaraan yang berwenang. 8
Syari'at adalah sumber pokok bagi kebijakan pemerintah dalam mengatur berbagai macam urusan umum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sumber lainnya ialah menusia sendiri dan lingkungannya. Peraturan-peraturan yang bersumber pada lingkungan manusia sendiri, seperti pandangan para ahli, hukum adat, pengalaman manusia, dan warisan budaya, perlu dikaitkan atau dengan nilai dan norma transedental agar tidak ada yang bertentangan dengan kehendak dan kebijakan Tuhan seperti ditetapkan dalam syari'at-Nya. Jadi sumber dari siyasah syar'iyyah adalah wahyu (agama) dan manusia sendiri serta lingkungannya.9
Hukum Islam adalah hukum yang mempunyai ciri khas yang tidak berubah, sempurna, harmonis, dan berkembang sesuai dengan keadaan zaman. Artinya bahwa hukum Islam merupakan hukum yang mampu mendamaikan stabilitas dengan perubahan, sehingga akan berguna untuk menyelesaikan masalah dan memenuhi tujuan hidup manusia.10
Sedangkan dalam keterkaitan hukum Islam di bawah ini akan di jelaskan beberapa konseptual dan teori yang dijadikan landasan dalam pembentukan hukum Islam, yaitu : Gambar 1. Struktur Pembentukan dan Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional
8
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), h. 9-10.
9
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, h. 11.
10
(15)
Keterangan:
Sumber hukum Islam adalah al-qur’an dan hadits yang dijelaskan oleh para ulama melaui ijtihadnya, kemudian menghasilkan fiqih, dalam fiqih ada beberapa imam madzhab fiqih yang berbeda pendapat. Selanjutnya dari beberapa pendapat imam madzhab dijadikan sebagai landasan perumusan dan pembentukan qanun atau peraturan daerah. Dalam konteks hukum di Indonesia, apakah qanun atau peraturan daerah yang bernuansa sosial keagamaan sejalan dengan fiqh, undang-undang, dan UUD 1945 sebagai hukum dasar.
F. Metode Penelitian
1) Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan riset pustaka berdasarkan metode penelitian hukum umum11 yang membahas asas-asas dan prinsip-prinsip yang berlaku umum. Selain itu juga dipaparkan hukum tata negara positif dalam kenyataan empiris12 atau normatif13 yang dipraktikkan di daerah-daerah. Penelitian akan lebih
11
Saat ini, semua sarjana dan ahli hukum tata negara di tanah air hanya terpaku pada fenomena hukum tata negara positif saja, padahal praktik ketatanegaraan mengalami perubahan yang fundamental di era globalisasi. Karena itu sangat penting teori umum tentang hukum tata negara yang berkembang di dunia untuk diikuti dengan seksama oleh para sarjana hukum dan ahli tata negara kita. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 39-40
12
Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data-data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung kasus di lapangan kenegaraan. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1, Cet. V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 12 dan 14.
13
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif ini mencakup: (1) penelitian terhadap asas-asas hukum; (2) penelitian terhadap sestematik hukum; (3) penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif…, h. 13-14.
(16)
menitikberatkan pada penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian hukum empiris berfungsi sebagai dasar teori dan pengembangan realitas kebijakan sosial keagamaan di Indramayu.
2) Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah kebijakan sosial keagamaan, sedangkan obyek penelitian adalah pemerintah kabupaten Indramayu.
3) Teknik Pengumpulan Data
Dengan menyesuaikan diri pada ruang lingkup dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, pendekatan yang bersifat yuridis-normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan otentik. Sedangkan data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal, dan lain-lain.14
Apabila memungkinkan juga dilakukan penelitian empiris dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui komentar atau pendapat dari pihak-pihak yang berhubungan secara langsung dalam pembuatan kebijakan.
Dengan cara menggali informasi tentangnya dari berbagai sudut pandang. Data yang berkaitan dengan pokok permasalahan, ruang lingkup, dan identifikasi masalah yang telah diperoleh akan disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis dan preskriptif-analitis.
14
(17)
4. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan penulis uraikan sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan sebagai gambaran umum tentang penulisan skripsi, pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan teori-teori umum hukum Islam, kebijakaan sosial dan kemasyarakatan. Selanjutnya dibahas juga konstekstualisasi hukum Islam dalam perundang-undangan nasional. Bahasan-bahasan tersebut sangat penting dalam pembahasan yang berkaitan dengan tema penelitian. Pembahasan juga diarahkan pendalaman terhadap sisi normatif perundang-undangan secara empiris.
Bab ketiga mendeskripsikan seputar daerah Indramayu yang meliputi sekilas demografi daerah Indramayu, Konfigurasi politik pemerintah daerah Indramayu, serta kebijakan sosial keagamaan pemerintah Indramayu. Pembahasan diuraikan secara faktual dengan data-data empiris dari pemerintah daerah Indramayu.
Bab keempat merupakan pembahasan yang menguraikan analisi kebijakan sosial keagamaan pemerintah daerah Indramayu. Diantaranya pandangan hukum Islam terhadap Perda No 2 Tahun 2003 tentang wajib belajar Madrasah Diniyah Awaliyah, pandangan
(18)
hukum Islam terhadap Perda No.7 tahun 2005 tentang pelarangan peredaran dan penggunaan minuman keras, serta pandangan hukum Islam terhadap Perda No. 4 tahun 2001 tentang Prostitusi.
Bab kelima berisi tentang kesimpulan dan saran-saran, uraian bab terakhir menyimpulkan isi yang dibahas dalam skripsi ini serta mengungkapkan saran-saran yang dianggap perlu berdasakan temuan-temuan tersebut.
(19)
BAB II
TINJAUAN TEORI TENTANG HUKUM ISLAM DAN KEBIJAKAN SOSIAL KEAGAMAAN
A. Pengertian Hukum Islam
Sebelum membahas lebih jauh mendefinisikan hukum Islam, terlebih dahulu akan diberikan penjelasan tentang istilah-istilah yang berkaitan dengannya, yaitu hukum, syariah dan fiqh. Ketiga istilah tersebut (hukum, syariah, fiqh) masih kurang dipahami dengan benar oleh banyak orang, yang berakibat pada pengkaburan makna dan pencampuradukan istilah yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Istilah “hukum” secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti “memutuskan” atau “menetapkan” dan “menyelesaikan”. Kata “hukum” dan kata lain yang berakar pada kata tersebut terdapat dalam al-Quran, tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata hukum itu telah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.15 Dede Rosyada mendefinisikan hukum secara bahasa adalah menetapkan sesuatu pada yang lain.16
Sedangkan dalam kamus Oxford English Dictionary mengungkapkan bahwa hukum adalah ”The body of rules, wthether proceeding from formal enactmen or from custom, which a particular state or community recognized as binding on it’s members
15
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Qalbun Salim, 2005), Cet. ke-1, h. 9
16
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III), (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1995), cet, III, h. 14
(20)
or subjects”. (Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang di akui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai pengikat bagi anggotanya).17
Definisi yang agak modern mengartikan hukum sebagai suatu kompilasi yang komprehensif dari putusan-putusan dan pendapat-pendapat ulama terhadap berbagai masalah dengan menunjuk pada syariat.18
Apabila dikaitkan dengan Islam sebagai sebuah kumpulan kaidah atau norma, secara etimologis kata “hukum Islam” tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur'an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-al-Qur'an adalah kata “syariah”, “fiqh”, “hukum Allah” dan yang seakar dengannya. Yang digunakan adalah syariat yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syariah dan fiqh.19
Kalaupun ada, dalam al-Qur’an terdapat kata al-hukm disebutkan sebanyak 210 kali. Diantaranya terdapat kata kerja dengan pola hakama ”memutuskan perkara, membuat keputusan” disebutkan sebanayak 45 kali. Sedangkan pola ahkama
“mengokohkan” sebanyak 2 kali dan pola tahakama ”berhakim atau mengikuti keputusan seseorang” hanya satu kali. Kata al-hukm merupakan masdar kata kerja
hakama-yahkum- hukman dipergunakan 30 kali.20
17
Oxford Dictionary, Fifth Impression London, (London: Oxford University Press, 1995).
18
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung : As Syaamil, 2000), h. 46
19
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet Ke-1, h. 12
20
Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Rajawali Pres, 19995), h .159
(21)
Kata kerja yang berakar kata dengan huruf ha, kaf, dan mim mempunyai makna “mencegah”, serta bermakna leksikal “menyelesaikan atau memutuskan suatu urusan” serta mencegah seseorang dari apa yang diinginkannya”. Apabila dalam kamus, kata hukm berarti “ilmu pengetahuan dan memutuskan dengan adil’, maka dapat dikatakan demikian karena pengetahuan dan keputusan yang adil mempunyai kemampuan mencegah seseorang berbuat kerusakan.21
a. Syariah
Secara etimologi syariah berarti “jalan ketempat pengairan” atau “tempat lalu air disungai”. Kata syariah dalam beberapa ayat Qur’an seperti dalam surat al-Maidah : 48 yang artinya: “Kami berikan aturan dan jalan yang terang..” Adapun syariah secara terminilogi, menurut para ahli definisi syariah adalah Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlaq. Dengan demikian “syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah”. Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung dalam surat al-Syura: 13, namun kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku universal, sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian syariah lebih khusus dari agama.22
Dalam perkembangan selanjutnya kata syariah tertuju atau digunakan untuk menunjukan hukum-hukum Islam baik yang ditetapkan langsung dari
21
Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah…, h. 160.
22
(22)
Qur'an dan al-Sunnah maupun yang telah tercampur dengan pikiran-pikiran manusia.
Istilah syariah erat kaitanya dengan istilah tasyri’, syariah tertuju kepada materi hukum, sedangkan tasyri’ merupakan ketentuan materi syariah tersebut. Pengetahuan tentang tasyri’ berarti pengetahuan tentang cara, proses, dasar, dan tujuan Allah SWT menetepkan hukum- hukum tersebut.23
b. Fiqh
Kata “fiqh”, secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir pada ilmu batin, karena itulah al-Tirmizi meyebutkan, “fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.24
Secara terminologi, Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan fiqh dengan ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsil.25 Sedangkan Al-Amidi memberikan definisi fiqh dengan ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal.26 Menurut Amir Syarifuddin yang dikutip oleh Basiq Djalil, Fiqh adalah “Ilmu tentang
23
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I (Jakarta ; Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. Ke-1, h. 10
24
Djalil, Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 20
25
Abdul Wahab Khalaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh, (Darul Qalam, 1978), h. 11
26
(23)
hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dalil-dalil yang tafsili”.27
Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqh itu bersifat Zhanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan-nya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun karena zhan dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu; karena dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.28
Kata Hukum Islam merupakan term ”Islamic law” dari literatur barat.29 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqi bahwa hukum Islam yang sebenarnya tidak lain adalah fiqh Islam, atau syari’at Islam, yaitu: “hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.30
Berbeda dengan Hasbi Ash-Shiddieqi, Amir Syarifuddin mendefinisikan bahwa Hukum Islam berarti “Seperangkat aturan yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”31.
27
Basiq Djalil, Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 20
28
Basiq Djalil, Pernikahan lintas Agama…, h. 20.
29
Dalam penjelasan Hukum Islam dari literature Barat ditemukan definisi "keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya" dari definisi ini arti hukum islam kepada sebagai syarat, lihat Joseph Schaft, an Introduction of Islamic law, Oxford: University Press, 1964, h.1 dikutip oleh fahurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet Ke-1, h. 11
30
Hasbi Ash-Shiddieqi, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001) Cet. Ke-1, h.29
31
Amir Syarifudin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara -Depag, 1992), cet ke-1, h. 14
(24)
Hukum Islam diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan, tujuan dari adanya hukum Islam ialah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Jadi, hukum Islam bukan bertujuan untuk meraih kebahagiaan yang fana dan pendek di dunia semata. Tetapi juga mengarahkan kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak. Inilah yang membedakanya dengan hukum manusia yang menghendaki kebahagiaan di dunia saja. Tujuan hukum Islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat rahman dan rahim (maha pengasih dan maha penyayang) Allah SWT kepada semua makhluknya, rahmatan lil alamin adalah inti dari syari’at atau hukum Islam. Dengan adanya syari’at tersebut dapat di tegakkan perdamaian di muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan bagi seluruh manusia. Keadilan sangat mulia di mata Allah SWT dan sifat adil merupakan jalan menuju taqwa setelah iman kepada Allah SWT.32
B. Konstitusionalitas Hukum Islam di Indonesia
Pasca amandemen ke-empat UUD 1945, Pancasila merupakan konsep prismatik, yakni mengambil segi yang baik dari dua konsep yang bertentangan yang kemudian disatukan dengan kenyataan bangsa indonesia dalam setiap perkembangannya. Negara pencasila bukan religion state dan bukan negara sekuler, tetapi negara “the religion
nation state” yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang
dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan banyaknya jumlah pemeluk masing-masing.
32
(25)
Negara wajib membina perkembangan agama secara baik dan penuh toleransi sehingga hak asasi setiap orang dapat terlindungi.33
Hukum Islam, hukum barat, dan hukum adat tidak dapat menjadi bentuknya sendiri yang eksklusif, kecuali sifatnya untuk melayani (bukan imperatif) terhadap yang sudah berlaku sebagai kesadaran dalam kehidupan sehari-hari. Sumber hukum (Islam) harus diartikan sebagai sumber hukum materiil dalam arti menjadi bahan atau isi untuk sumber hukum formal. Tetapi bisa juga undang-undang dalam arti formal (yang sudah memiliki bentuk) menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan materiil, artinya menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan yang masing-masing sudah mempunyai bentuk dan posisi hierarkis tertentu.34
Istilah qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab “Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke limabelas atau enam belas Masehi telah mengunakan istilah ini. Istilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakai ketika ingin membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih. Kuat dugaan istilah ini masuk ke dalam budaya melayu dari bahasa Arab karena mulai digunakan bersamaan dengan kehadiaran agama Islam dan pengunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat disebutkan, dalam literatur Barat pun istilah ini sudah digunakan sejak lama, diantaranya merujuk kepada hukum kristen (Canon Law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.35
Hubungan dengan syariat Islam dalam kaitannya dengan hukum positif ialah
33
M. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), h. 3-6.
34
M. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara…, h. 240.
35
(26)
kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya (hudud dan ta’zir)
orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Artinya, ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, diperlukan perumusan pembahasan untuk mengimplementasikannya. Negara kita, bukan saja hukum Islam –dalam pengertian syariat– yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum positif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya.36
Sistem hukum nasional mengakui dan menghormati pluralisme hukum dalam masyarakat. Undang-undang adalah proses permusyawaratan untuk merumuskan substansi hukum dari berbagai kelompok masyarakat. Masing-masing dipengaruhi oleh norma-norma sosial lain, salah satunya adalah norma agama. Bahkan memperjuangkan norma agama menjadi hukum positif dapat dipahami sebagai perjuangan di jalan Tuhan. Selain itu, juga mungkin dibuat aturan hukum yang berlaku khusus untuk suatu daerah tertentu atau kelompok masyarakat hukum tertentu. Meskipun peradilan nasional bersifat
36
Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional Indonesia”, Makalah ‘The International Seminar in Islamic Law in Southeast Asia’ UIN Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 7 – 9 December 2007.
(27)
terstruktur dalam kerangka sistem nasional, namun materi hukum yang dijadikan pegangan oleh para hakim dapat dikembangkan secara beragam. Apalagi mengingat kebijakan otonomi daerah yang memberikan ruang pada daerah untuk membentuk peraturan sesuai dengan kondisinya masing-masing, beberapa daerah memiliki status otonomi khusus seperti NAD dan Papua.37
Kenyataan di Indonesia, hukum-hukum yang berkembang dan berlaku di Indonesia sangat beraneka ragam (plural), baik dari segi watak maupun asal sumbernya. Padmo Wahjono mengidentifikasi tata hukum Indonesia, antara lain:38
1) Hukum Barat dari warisan kolonial yang berkarakter individualistik. 2) Hukum Adat yang berkarakter komunal.
3) Hukum Islam yang berkarakter religius.
4) Hukum Anglo Saxon yang berkarakter case-law. 5) Hukum Revolusi yang berwatak tradisionalistik.
Sejak diterapkannya mekanisme constitustional review di Indonesia, telah dua kali pengujian undang-undang yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan (hukum Islam) yaitu Putusan MK RI Nomor 12/PUU-V/2007 tentang UU Perkawinan dan Putusan Nomor 19/PUU-VI/2008 tentang kewenangan Peradilan Agama.
Ajaran Agama Islam, selain diperintahkan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara perdata ( perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi) yang telah ditegakkan Peradilan Agama.39 Umat Islam Juga diperintahkan untuk menjalankan hukum agama dibidang pidana (jinayat) untuk perkara pelanggaran
37
Jimly Asshiddiqie, makalah ”Konstitusi dan Kebhinnekaan”, disampaikan pada acara Seminar “Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi”. Diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism. Jakarta, 22 Juli 2008. www.jimly.com
38
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Editor: Nurul Huda S.A (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 76-77.
39
Pasal 49 ayat (1) d an ( 2 ) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
(28)
pidana. Kewenangan Peradilan Agama kurang mengakomodir hak konsitusional warga negara yang mayoritas muslim untuk ‘bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama’ menurut ajaran agama agama Islam telah ‘dibatasi’ oleh negara melalui Undang-Undang tersebut.40
Padahal dalam QS. Al-Maidah ayat 38 diperintahkan:
! " #
$% &' ()
*(+ , -./ 01
2! ,
3! 4" 5
6789, :
;<>
Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Tafsiran konstitusionalitas hukum Islam menurut paham kenegaraan Indonesia tentang hubungan antara negara dan agama, Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk
melaksanakan ajaran masing-masing agama.41
Hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada
40
Menurut pemohon, Negara Indonesia bukanlah negara Islam, melainkan negara yang menjamin tiap-tiap penduduk agar dapat beribadat sesuai agamanya masing-masing, maka hendaknya Negara menegakkan hukum agama (syari’at) Islam hanya untuk umat Islam saja, dan menegakkan syari'at agama lain jika memungkinkan. Lihat, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008
41
(29)
ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.42
Kaitannya dengan pemberlakuan hukum Islam, dapat dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional. Hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal. Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional.43
Pasca otonomi khusus Propinsi NAD dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang
menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,” sedang
pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” Sedang pengertian Qanun, dalam
Pasal 1 angka dinyatakan “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerahsebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”. Dari ketentuan ini
42
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008.
43
Keyakinan atau kebebasan menjalankan ajaran agama itu bersifat boleh dibatasi atau diatur (derogable right) ditangguhkan pelaksanaannya. Padahal, konsep restriksi derogable dan non-derogable dalam Deklaration Universal of Human Right (DUHAM) karena banyak negara yang khawatir bahwa kebebasan tanpa batas dapat mengganggu stabilitas dalam negeri dan menggerogoti wewenang sistem perundang-undangannya. lihat, Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik edisi revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 222-224. lihat juga, pandangan John Rawl dalam menolak pengurangan hak atas individu dengan alasan kemanfaatan yang lebih banyak, menolak ketidak-adilan atas sedikit orang untuk keadilan banyak orang. Rawl menghendaki distributive of justice, lihat, John Rawl, A Theory of Justice, (Cambridge: The Belknap Press of harvard university, 1971).
(30)
terlihat bahwa Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (untuk selanjutnya di singkat qanun ) adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah undang-undang.44
Penting untuk mendudukan qanun dalam tata urutan perundang-undangan, karena Qanun Provinsi NAD merupakan Peraturan Daerah Provinsi, yang dapat mengesampingkan peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis deregat lex generalis. Sehingga Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiel terhadap Qanun“45. Bahkan, qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dan keputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.46
C. Kebijakan Sosial Keagamaan
1. Pengertian Kebijakan Sosial Keagamaan
Nomenklatur ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam teori ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial keagamaan terdiri dari tiga kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ (social) dan kata
44
Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah DitJend. Peraturan Perundang-undangan DEPKUMHAM RI, www.legalitas.org
45
Penjelasan Umum UU No. 18 Tahun 2001
46
Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus”…,h. 2.
(31)
“keagamaan’. Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya penulis membahas terlebih dahulu mengenai pengertian kebijakan dan sosial.
Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu.47
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan istilah sosial menurut Conyers dapat dikelompokkan kedalam 5 pengertian yaitu:
a. Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial.
b. Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat (society) warga atau komunitas (community). c. Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari
pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
47
Edi Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial. Di akses pada 23 Maret 2008 dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo21.html
(32)
d. Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.
e. Kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, setiap orang memiliki hak azasi (human right)
dan hak sosial (social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan, kebebasan dalam menyatakan pendapat, atau berpartisipasi dalam pembangunan.48
Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit. Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Sedangkan dalam arti sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung
48
Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Terj.Susetiawan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992) h. 10
(33)
(disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial di sini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja, anak dan jompo terlantar.49
Adapun menurut beberapa ahli bahwa kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut:50
a. Menurut Huttman kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial
b. Marshall berpendapat bahwa Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan
c. Rein juga berpendapat bahwa kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial
d. Magill berpendapat bahwa Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air
49
Ginanjar Kartasasmita, Kebijakan dan Pembangunan Sosial, (Malang: Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, 1996), h. 21
50
(34)
bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial
Sedangkan pengertian kebijakan sosial (social policy) menurut Oxford English Dictionary adalah suatu cara pengambilan tindakan dalam melanjutkan proses pemerintahan, ke-partaian, kekuasaan, kepemimpinan Negara, dan lain-lain; arah dalam pengambilan suatu tindakan itu haruslah menguntungkan atau sesuai.51
Disiplin ilmu sosiologi mengartikan kebijakan sosial adalah suatu prinsip dan cara melakukan suatu tindakan kesepakatan di suatu tataran dengan individu dan juga menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini menjadikan suatu pemikiran dalam melakukan intervensi (keterlibatan) dari peraturan yang berbeda dengan sistem sosial. Menetapkan suatu kebijakan sosial haruslah menunjukkan tata cara bagaimana proses penerapannya dalam menghadapi suatu fenomena sosial, hubungan sosial pemerintah dalam mendistribusikan penghasilan dalam suatu masyarakat.52
Definisi lain dari kebijakan sosial adalah suatu kondisi di atas level pengembangan dalam suatu kelompok, baik itu tradisi, kebudayaan, orientasi ideology, dan kapasitas teknologi. Sedangkan Bruce. S Jansson mendefinisikan kebijakan sosial adalah mengendalikan sasaran pemecahan masalah yang menyangkut keuntungan orang banyak. Hal ini menekankan bahwa kebijakan sosial bertujuan untuk mengurangi masalah sosial seperti kelaparan, kemiskinan,
51
Oxford Dictionary, Fifth Impression London, (London: Oxford University Press, 1995).
52
Sebagaimana dikutip dari Schorr dan Baumheir dalam Rizki Aji Hertantyo, Kebijakan Sosial Dalam Menanggulangi Masalah Kemiskinan, artikel diakses pada 21 maret 2008 dari www.rumahapresiasi.com
(35)
dan guncangan jiwa. Atau kebijakan sosial dapat pula di definisikan sebagai kumpulan strategi untuk memusatkan perhatian pada problem sosial.53
Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial.54
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan sosial keagamaan dalam konteks pembahasan ini yaitu suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip keagamaan untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat oleh pemerintah secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
2. Proses Perumusan Kebijakan Sosial
Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu: Tahap identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi.55 Setiap tahap terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait. Secara garis besar tahapan perumusan kebijakan dapat adalah sebagai berikut:56
a. Tahap Identifikasi
53
Rizki Aji Hertantyo, Kebijakan Sosial…., www.rumahapresiasi.com
54
Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, h. 14
55
Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial, h. 4
56
(36)
1) Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi.
2) Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
3) Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan.
4) Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
5) Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan.
(37)
1) Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
2) Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program
(program proposals) atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau
diterapkan kepada sasaran program. c. Tahap Evaluasi
Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil implementasi kebijakan.
3. Aspek Kebijakan Sosial
Mengkaji keadaan peta sosial dan kebudayaan suatu masyarakat adalah penting, karena ia akan menerangkan kepada kita tata cara, pandangan hidup, dan organisasi sosialnya yang mempengaruhi pola prilaku kehidupan anggota masyarakat dalam aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, seni, adat istiadat, tata susila, agama dan keyakinan.57
Kebijakan sosial sangat berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan atau pemerintah daerah setempat, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang
57
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta:Paramadina,1996), h. 1
(38)
melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini.58
Dalam Encyclopedia Of Social Work, bahwa kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi:59
a. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan social. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah
b. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu Negara demokrasi.
c. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial
d. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.60
Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing, kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, yang tak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas diantaranya:
58
Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial, h. 6
59
Hertantyo, Kebijakan Sosial Dalam Menanggulangi Masalah Kemiskinan, h. 3.
60
Muhtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, lembaga penelitian hukum dan kriminologi Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, t.t. h. 4. Lihat juga dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1986, h. 19-20.
(39)
a. Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana kebijakan
b. Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan
seperti menghimpun koalisi
c. Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan. 61
Suatu kebijakan yang sudah ditetapkan menurut James Midgley, yang dikutip oleh Hertantyoharuslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, diantaranya ialah :
a. Mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat
b. Menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan.62
Dengan adanya aspek tersebut maka masyarakat sebagai objek sasaran kebijakan tersebut dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dan semua perangkatnya haruslah memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung. Sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik.
4. Kebijakan Sosial Keagamaan Era Reformasi
Jatuhnya rezim Soeharto mendorong terlaksananya demokrasi dan kebebasan di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan
61
Hertantyo, Kebijakan Sosial Dalam Menanggulangi Masalah Kemiskinan, h. 4
62
(40)
tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.63
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya konkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.64
63
Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
64
Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional…, Makalah Seminar Penelitian Hukum, 2000
(41)
BAB III
KEBIJAKAN SOSIAL KEAGAMAAN PEMERINTAH DAERAH INDRAMAYU
A. Sekilas Demografi Daerah Indramayu
Agama sebagai sebuah sistem nilai dapat dipahami sebagai “fenomena mental” dan “fenomena sosial”. Yang pertama berhubungan dengan masalah keyakinan (believing)
dan yang kedua dengan masalah anutan atau kepemelukan (belonging). Sebagai fenomena mental agama berisi keyakinan dasar, ide, norma, dan simbol yang berhubungan dengan tradisi agama termasuk apa yang disebut dengan teologi atau sistem keyakinan.65
Dalam hal kebijakan pasca UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merubah kebijakan otonomi daerah dari “dekonsentrasi” menjadi “desentralisasi”. Artinya, wilayah-wilayah di dalam negara diberi kebebasan untuk mengatur dan melaksanakan sendiri rumah tangga pemerintahan masing-masing. Maka, setiap wilayah memiliki pemerintahan sendiri (baik eksekutif maupun legislatif kecuali yudikatif yang diharuskan sentralistik).66
Fenomena politik pasca Orde Baru diwarnai dengan euforia demokrasi atau liberalisasi politik. Iklim politik Islam diekspresikan labih formal (scriptural), nampak
65
Syaiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h.40.
66
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri dan bebas dari intervensi kedua cabang yang lain. Hal ini menjadi pengangan universal di negara-negara di dunia yang menganut sistem demokrasi. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: BIP, 2007), h.520-530
(42)
dalam berbagai sumber-sumber politik yang diterima sebagai pemikiran masyarakat, organisasi, media, dan akses politik.
Terbukti di Indramayu, secara scriptural semangat Islamisasi ditunjukkan dengan gagasan visi misi Pemerintah Kabupaten Indramayu yaitu mewujudkan masyarakat Indramayu yang “religius, maju, mandiri dan sejahtera” yang disingkat “INDRAMAYU REMAJA”. Secara kebahasaan, visi berarti kemampuan daya lihat dan pemahaman terhadap inti persoalan tertentu atau masalah pokok tertentu serta menangkap tujuan masalah tersebut hingga mencapai tujuan tertentu.67
Dalam kaitannya dengan organisasi atau lembaga apapun yang dibentuk, visi dapat didefinisikan “sebagai suatu pemikiran atau pemahaman kedepan terhadap organisasi atau lembaga yang dibentuk/didirikan dalam rangka mewujudkan tujuan utama yang meletar belakangi berdirinya suatu organisasi atau lembaga”.68 Kata “religius” merupakan slogan yang sering digunakan di beberapa daerah dengan tidak meninggalkan
Islamic value.69
Kabupaten Indramayu memiliki sebanyak 302 desa dan 8 kelurahan yang tersebar di 24 Kecamatan, dimana pada tahun 2005 telah terjadi pemekaran wilayah yang menghasilkan 3 Kecamatan baru, yaitu Kecamatan Tukdana, Pasekan dan Patrol. Adapun batas wilayah Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut :
(a) Sebelah Utara : Laut Jawa
67
W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Cet. Ke-10, h. 1142
68
A.S. Arifin, Melihat Kembali Visi dan Misi Pemkab Indrmayau, Artikel diakses pada 29 Maret 2008 dari denpatrol.com
69
Slogan ini sering dipraktikkan oleh gerakan Islamis misalnya “Qur’an adalah konstitusi kami” oleh Ikhwanul Muslimin yang menimbulkan gerakan pemikiran yang merubah sistem politik di Mesir. Hal ini juga dilakukan oleh Abu al-A’la al-Maududi di Pakistan. Lihat selengkapnya dalam Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik. terj. Harimurti dan Qomaruddin SF., (Jakarta: Serambi, 2003), h.42-61.
(43)
(b) Sebelah Selatan : Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Cirebon (c) Sebelah Barat : Kabupaten Subang
(d) Sebelah Timur : Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon
Tabel 2. Populasi Daerah Indramayu tahun 2008
NO KECAMATAN JUMLAH PENDUDUK
1 Haurgeulis 126,519
2 Gabus Wetan 50,950
3 Kroya 51,067
4 Cikedung 86,466
5 Lelea 46,563
6 Bangodua 57,656
7 Widasari 51,250
8 Kertasemaya 84,909
9 Krangkeng 57,765
10 Karangampel 100,446
11 Juntinyuat 79,565
12 Sliyeg 68,699
13 Jatibarang 69,621
14 Lohbener 59,253
15 Indramayu 97,813
16 Balongan 20,430
17 Sindang 55,200
18 Losarang 51,107
19 Kandanghaur 79,617
20 Bongas 43,102
21 Anjatan 84,737
22 Sukra 8,270
23 Arahan 30,911
24 Cantigi 22,446
JUMLAH TOTAL 1,484,362
Sumber: Badan Statistik Kabupaten Indramayu 2008
Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang kini banyak dilirik masyarakat sebagai sarana untuk berusaha dalam menghadapi era otonomi daerah. Keadaan ini bisa terlihat dari meningkatnya jumlah perusahaan industri di Kabupaten Indramayu, jumlah
(44)
perusahaan industri besar sedang pada tahun 2006 tercatat sebanyak 31 unit usaha dari sekitar 380 perusahaan yang dibina Dinas Tenaga Kerja.70
Meskipun demikian berdasarkan data dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja tahun 2006 jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan sebanyak 38.026 pencari kerja, dengan spesifikasi tingkat pendidikan yang bervariasi dari sekolah dasar sampai dengan lulusan sekolah menengah kejuruan.71
Daerah Indramayu merupakan daerah yang diapit oleh kota-kota besar semisal Cirebon di timur, Jakarta di sebelah barat dan Bandung di sebelah selatan. Dengan kondisi demikian kekayaan alam Indramayu terserap ke kota-kota besar tersebut. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya kemiskinan di daerah ini.
Selain letak geografis yang dihimpit oleh kota-kota besar, wilayah Indramayu juga merupakan wilayah transit, ia terletak di pantai utara pulau jawa, sehingga penduduk mengandalkan usaha mereka pada perdagangan-perdagangan kecil disamping-samping ruas jalan raya. Selanjutnya kondisi yang sedemikian rupa menimbulkan pola pikir yang pragmatis dan instan sehingga sedikit dari mereka yang sadar akan pentingnya pendidikan.
Tabel 3. Jumlah Angkatan Kerja Kab. Indramayu
70
Bagian Perekonomian Kabupaten Indramayu 2008, Diakses pada 28 Desember 2008 dari www.indramayukab.go.id
71
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu 2006, Diakses pada 28 Desember 2008 dari www.indramayukab.go.id
(45)
!
" " !#$ %& ' %
( )# #
Sumber: Dinas Sosnaker 2008
Klaim bahwa Islamisme adalah fenomena kota dan kelas menengah, kebanyakan kaum Islamis datang dari desa bukan kota. Warga pedesaan yang tinggal diwilayah metropolitan mereka cenderung teralienasi dari kehidupan metropolitan mereka, gagal menjadi orang kota, dan membayangkan tatanan sosial dan politik primordial dimana mereka dibesarkan. Ketidakteraturan kota yang sekuler, membuat mereka berusaha mendesakan kota dengan membentuk kota Tuhan.72
Gejala ini juga terlihat pada kebijakan keagamaan pemerintah Kabupaten Indramayu dalam bidang pembangunan fasilitas Ibadah:
Tabel 4. Sarana Ibadah Kab Indramayu
"
! "
" ! # " " "
$ %
& ' (
% %
? ) *
?
Sumber: Bagian Kesra Kab. Indramayu 2008
Adapun modal sosial untuk merealisasikan cita-cita kolektif berupa populasi pengikut keagamaan yang besar dibandingkan pemeluk agama lain. Kabupaten Indramayu dengan mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Pada tahun 2006
72
(46)
penduduk yang beragama Islam tercatat sebanyak 1.686.244 jiwa, sedangkan sisanya tersebar pada empat agama lain seperti Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu hanya 23 jiwa.
Jumlah tempat peribadatan umat Islam di tahun 2006 tercatat sebanyak 804 Masjid, 3.734 Langgar dan 279 Mushola. Tempat peribadatan lainnya tercatat sebanyak 17 Gereja Protestan, 10 Gereja Katolik dan 2 Vihara. Pondok Pesantren yang ada di Indramayu tersebar hampir di seluruh Kecamatan kecuali di Kecamatan Pasekan. Pada tahun 2006 tercatat sebanyak 120 Pondok Pesantren yang ada di Kabupaten Indramayu dengan jumlah santri sebanyak 36.010 orang. Terlihat dari data diatas ada pengurangan jumlah gereja kristen dari tahun 2007 sampai tahun 2008.
B. Konfigurasi Politik Pemerintahan Daerah Indramayu
Teori modernisasi mengklaim bahwa agama merupakan fenomena masyarakat tradisional yang cenderung akan kehilangan peran seiring dengan berkembangnya masyarakat industri modern. Akar-akar agama dipandang hanya terdapat di pedesaan dalam mayarakat kelas sosial bawah. Kecenderungan perilaku keagamaan seringkali dihubungkan dengan kelas-kelas sosial. Contohnya NU berasal dari desa dan kelas sosial bawah, sedangkan kelompok modernis seperti Muhammadiyah adalah orang-prang kota dan kelas sosial menengah.73
Pengaruh Islam terhadap politik berpengaruh negatif apabila dikontraskan dengan unsur-unsur utama demokrasi. Klaim tersebut berarti juga Islam memiliki hubungan negatif dengan dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi. Kegagalan demokrasi di Indonesia dalam regim otoritarian Orde Baru menjelaskan bahwa lemahnya atau tidak
73
(47)
adanya administrator yang kompeten, mentalitas yang berorientasi pada pemecahan masalah di antara elit politik Indonesia ketika itu. Otoritarianisme tersebut berakar pada budaya politik jawa yang tidak mengenal demokrasi. Dengan diterapkannya konsep muslim santri, abangan dan priyayi oleh Clifford Geertz.74
Pengaruh Islam terhadap perilaku politik masyarakat di Indramayu terjalin hubungan positif antara partisanship dan sikap percaya pada institusi politik. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 4. Perolehan Kursi DPRD Kabupaten Indramayu pada Pemilu 2004
) * + % ,
? *$
?+ ,#-.
? ? -'
? //
? #/
) * !
?, % & %
? 0
Sumber: Setwan DPRD, 2008 http://indramayukab.go.id
Dari komposisi tersebut sangat berpengaruh terhadap karakter produk hukum dalam legislasi daerah. Sampai kurun waktu 2004 konfigurasi politik di Indonesia masih belum mengubah peta korelasi hukum dan politik, dimana politik lebih dominan menentukan kepentingan pribadi atau kelompok. Karakter responsif atau ortodoks juga
74
(48)
dipengaruhi oleh kemampuan teknis legislator untuk mensterilkan politisasi suatu peraturan daerah.75
Masyarakat Indramayu sebagian besar menganut agama Islam dibandingkan dengan agama-agama lain, hal ini dapat dilihat dari sarana dan prasarana keagamaan yang begitu banyak, hampir disetiap Rukun Tetangga (RT) di kabupaten ini mempunyai sarana peribadatan ummat Islam yang cukup memadai apabila dibandingkan dengan daerah lain atau kabupaten di sekitar Jawa Barat. Selain itu juga masyarakat indaramayu sampai sekarang masih banyak yang telah selesai / lulus sekolah dasar (SD) melanjutkan penidikannya di pesantren-pesantren yang ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, Jawa Barat bahkan ada juga yang di daerah Indramayu sendiri. Ini membuktikan bahwa masyarakat Indramayu kebanyakan menganut agama Islam.76
Keberhasilan politisasi produk hukum juga dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat tentang kepentingan diri mereka serta informasi yang mengawal jalannya pembuatan peraturan daerah. Banyaknya kasus perdata yang melewati mekanisme yudisial di pengadilan memberikan suatu indikasi bahwa masyarakat Indramayu relatif berkembang terhadap permasalahan hukum, padahal kebanyakan daerah di Indonesia menghindari penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Dari sisi kepercayaan institusi hukum, hal tersebut juga mengindikasikan membaiknya peroblematika kelembagaan hukum yang pada tahun 2006-2007 sangat menurun kepercayan publik terhadap institusi ini.
Tabel 5. Tingkat kesadaran hukum masyarakat
- *
1 0& %&
75
Mengenai konfigurasi politik dan karakter produk hukum, Lihat, Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 7-28.
76
Wawancara Pribadi dengan Karim Hidayat, Kasi Tenaga Teknis Subdin Agama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu pada 20 april 2008
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Imam. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah; Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. Terj. Fadli Bahri. Jakarta: Darul Falah, 2006. Amal, Taufik Adnan dan Panggabean, Samsu Rizal. Politik syari'at Islam Dari Indonesia
Hingga Nigeria. Jakarta: Alvabet, 2004
Arifin, A.S., Melihat Kembali Visi dan Misi Pemkab Indrmayau, Artikel diakses pada 29 Maret 2008 dari denpatrol.com
Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1997, Cet. Ke-2
Ash-Shiddieqi, Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Ke-1
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: BIP, 2007.
.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta, Konstitusi Press, 2006 Audah, Abdul Qadir. Attasyrie al Jinaa’i Al-Islaami Jilid II. Beirut: Muassasah Ar
Risalah, 1996.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta:Paramadina,1996.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Conyers, Diana. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Terj.Susetiawan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992
(2)
Djalil, Basiq. Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Qalbun Salim, 2005, Cet. ke-1
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet Ke-1
______, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara -Depag, 1992
Effendy, Bahtiar. (Re)Politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung: Mizan, 2000.
. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta :Paramadina, 1998.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Hertantyo, Rizki Aji. Kebijakan Sosial Dalam Menanggulangi Masalah Kemiskinan. artikel diakses pada 21 maret 2008 dari www.rumahapresiasi.com
Iqbal, Muhammad dan Tarigan, Ahar Akmal, editor, Syari’at Islam di Indonesia: Aktualisasi Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik, dan Hukum, Jakarta : Misaka Galiza 2004
Kartasasmita, Ginanjar, Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Malang: Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, 1996
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh. Terj. Noer Iskandar al-Barsani, Jakarta: Radjawali, 1989.
Kusumaatmadja, Muhtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, lembaga penelitian hukum dan kriminologi Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, t.t.
(3)
Malik, Muhammad Abduh. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2003.
MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.
. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2007.
Mujani, Syaiful. Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Natsir, M. , Metode Penelitian, Jakarta ; Ghalia Indo, 1998, Cet. Ke-3, h. 63
Oxford Dictionary. Fifth Impression London. London: Oxford University Press, 1995. Pemerintah Kabupaten Indramayu, Program Pembangunan Daerah Indramayu,
Indramayu: Pemkab Indramayu, 2006
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III), Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1995, cet, III
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, , 2002. Cet. Ke 1. Lembaga Survei Indonesia, Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs Nilai-Nilai Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik, Jakarta: Oktober, 2007. Salim, Abdul Muin. Fiqh Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Jakarta
: Rajawali Pres, 1995.
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung : As Syaamil, 2000
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat Edisi 1. Cet. V, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Dasar- dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius 1998
(4)
Suharto, Edi, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial. Di akses pada 23 Maret 2008 dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo21.html
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia. Malang : Bayu Media, 2005
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqh, Jilid I Jakarta ; Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. Ke-1 Utriza, Ayang dan Sayuti, Wahdi (ed.). HAM, Syari’ah dan Hukum. Jakarta, kerjasama
FSH UIN Jakarta dan Faculty Of Law Oslo University Norwegia, 2007.
Wahid, Marzuki & Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Ya’kub, Ali Mushtafa. Tanya Jawab Hukum Islam. Jakarta: Tp. : Tth.
Zein, Kurniawan dan Sarifuddin, (ed.). Syari’at Islam Yes, Syari’at Islam No. Jakarta: Paramadina, 2001.
Makalah, Artikel, dan Peraturan Perundang--undangan
Abubakar, Al Yasa. dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Makalah DitJend. Peraturan Perundang-undangan DEPKUMHAM RI, www.legalitas.org
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
(5)
.”Konstitusi dan Kebhinnekaan”, Makalah disampaikan pada acara Seminar “Masa Depan Kebhinekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi”. Diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism. Jakarta, 22 Juli 2008. www.jimly.com
. “Tata Urut Perundang-Undangan dan Problema Peraturan Daerah, http://www.legalitas.org.id//Artikel HTN/tata urutan per UUan (Jimly).htm. Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional
Indonesia”, Makalah ‘The International Seminar in Islamic Law in Southeast Asia’ UIN Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 7 – 9 December 2007.
Perda Indramayu No. 2 tahun 2003 tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah Perda Indramayu No 4 Tahun 2001 tentang Prostitusi
Perda Indramayu No. 7 tahun 2007 tentang Pelarangan Minuman Beralkohol di Kabupaten Indramayu
(6)