Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab sunni dan mempertahankan kekuasannya.
47
Pada masa dinasti Mamluk perkembangan wakaf sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya dapat
diwakafkan. Tetapi yang paling banyak diwakafkan kala itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat
belajar. Pada masa ini terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama, seperti untuk memelihara masjid dan
madrasah. Pada masa ini pula mulai disahkannya undang-undang wakaf pada masa raja Al Dzahir Biber Al Bandaqdari 1260-1277 M658-676 H.
48
Perkembangan lebih lanjut pada masa dinasti Turki Utsmani dimana kekuasaannya saat itu telah mencapai sebagian besar wilayah Negara Arab.
Pada masa itu disahkan undang-undang yang mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, serta upaya mencapai
tujuan wakaf. kemudian pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang- undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki
Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari imlementasi
47
Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 45
48
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf h. 13-14
undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sat ini.
49
E. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif 1.
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam
Salah satu aspek penting dalam hal pengelolaan harta benda wakaf adalah mengenai pencatatan harta benda wakaf, sementara dalam fiqih Islam
tidak banyak dibicarakan mengenai prosedur dan tata cara perwakafan secara rinci.
50
Berbeda halnya denga hukum positif yang mengatur masalah perwakafan dalam berbagai aturan perundang-undangan yang telah ada.
Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pendaftaran tanah wakaf, karena memang dalam Islam sendiri
praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Para ulama
imam empat
mazhabpun tidak
mencantumkan keharusan
pengadministrasian dalam praktek wakaf. Namun seiring berjalannya waktu sering kali terjadi perselisihan atau sengketa mengenai tanah wakaf. Maka
dalam hal ini selayaknya kita lihat firman Allah dalam surat Al-Baqoroh : 282 yang berbunyi :
49
Ibid,. h. 14
50
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek Jakarta : PT Raja Grafindo Persada h.37
Artinya : “Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklan ia menulis, dan hendaklah orang yang
berutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan jangan
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
keadaannya dan dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang laki- laki diantara kamu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka
boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi- saksi yang kamu ridhoi, jika seorang lupa maka seorang akan
mengingatkannya ……” QS. Al-Baqoroh : 282
Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan sebagainya. Selanjutnya
Adijani al-Alabij menyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan penyerahan hak yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya
seperti jual beli da sebagainya. Jika untuk untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan dicatat, maka analogi untuk wakafpun demikian, yakni
seyogyanya dicatat pula, karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut adalah agar dibelakang hari tidak terjadi sengketagugat menggugat diantara
pihak yang bersangkutan.
51
Selain itu ada beberapa kaidah fiqih yang senada dengan pendapat diatas, yaitu kaidah : adh dharuuru yuzaalu, artinya : kemudharatan harus
dihilangkan. Dan kaidah dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih, artinya : menolak kemudharatan dan menarik maslahah. Dimana dalam konteks ini
penyelewengan dan persengketaan akibat tidak ada pengadministrasian adalah mudharat yang harus dihilangkan.
Melakukan pengembangan dan pembaruan hukum Islam yang beranjak dari fiqih mazhab dengan mengutamakan prinsip maslahah mursalah
kemaslahatan dan siyasah syar’iyah intervensi negara.
52
Maka dengan
51
Al-Alabij, h.100
52
M. Atho Mudzar dan Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, h. 208