Peranan nadzir dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf pada Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang

(1)

PERANAN NADZIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TANAH WAKAF PADA YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA

KELURAHAN PANUNGGANGAN KECAMATAN PINANG KOTA TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : Samsudin Nim : 207044100146

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A GA M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1432 H/ 2011 M


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﻦﲪﺮﻟﺍ ﷲ ﺍ ﻢﺴﺑ

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya yang teramat besar, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunahnya sampai akhir zaman.

Rasa lelah, jenuh, stres yang dialami penulis selama ini saat ini telah sirna seiring telah selesainya penyusunan skripsi ini. Kini yang dirasa hanyalah rasa syukur dan bahagia yang tak terkira. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan, arahan bahkan dorongan dari berbagai pihak yang selama ini banyak membantu. Untuk itu pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tiada hingga kepada yang terhormat :

1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

2. DR. Yayan Sofyan, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.

3. Kamarusdiana, S. Ag, MH selaku Dosen Pembimbing yang tiada bosan memberikan koreksi dan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.


(5)

4. Para Dosen yang telah mencurahkan lautan ilmu, kesabaran, panutan, dan pengalaman kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

5. H. Arif Rahman, S.Ag selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa, para pengurus, segenap dewan Guru dan para karyawan lainnya yang telah menginspirasi penulis untuk menjadikan “para tokoh” dalam penulisan skripsi ini.

6. Segenap Pimpinan, staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah.

7. Sahabat dan Teman-teman di Peradilan Agama angkatan 2005 yang telah banyak mewarnai kehidupan penulis dengan berbagai kenangan suka dan duka.

8. Pendamping hidup tercinta, Ain Sulastri, S.Si dan buah hati tersayang, Ahmad Miftah Ridho dan Ahmad Fauzil Adil yang telah menjadi “sumber energi” bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Wawat Indrayanti, Amri, Indah, Wida dan seluruh rekan sejawat pada Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang yang tak bosan-bosan senantiasa memberikan semangat dan dorongan moril bagi penulis.


(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi yang telah tersusun ini masih jauh dari sempurna. Inilah hasil maksimal yang dapat penulis persembahkan untuk diri sendiri, keluarga dan almamater UIN Syarif Hidayatullah yang penulis cintai dan banggakan.

Jakarta, Juni 2011M Rajab 1432 H


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9

E. Review Studi Terdahulu ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KERANGKA TEORI TENTANG WAKAF A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ... 18

B. Rukun dan Syarat Wakaf ... 25

C. Macam-macam Wakaf ... 31

D. Sejarah Wakaf ………... 33

E. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam Dan HukumPositif ... 37


(8)

BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA

A. Sejarah Berdirinya Yayasan ... 47

B. Struktur Organisasi Yayasan ... 49

C. Visi dan Misi Yayasan ... 51

D. Ruang Lingkup dan Program Kerja Yayasan ... 52

BAB IV PERANAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA A. Upaya Pengelolaan……… ……… 61

B. Upaya Pengembangan ……… 65

C. Pemanfaatan Hasil Pengelolaan dan Pengembangan ……… 68

D. Faktor yang Menghambat dalam Pengelolaan dan Pengembangan..71

E. Analisis Penulis Tentang Pengelolaan dan Pengembangan ……... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 81

B. Saran-saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membicarakan persoalan Islam dan ekonomi, sebenarnya tidak hanya membicarakan persoalan kemajuan atau kemunduran kehidupan yang dialami oleh salah satu pihak (golongan agama) tertentu, melainkan turut membicarakan persoalan kemanusiaan yang lebih luas. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk muslim terbesar, juga memiliki sejarah yang begitu panjang yang menentukan arah maju mundurnya kehidupan kebangsaan. Tercatat mulai jaman penjajahan kolonial sampai saat ini, menunjukkan bahwa pilihan penjajahan –baik secara militeristik maupun kolonialisasi pemikiran dan kebudayaan- berarah dan berujung pada penggalian potensi ekonomi yang dimiliki negeri ini.

Saat ini, Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur ekonominya sangat timpang (terjadi kesenjangan), karena basis ekonominya yang strategis dimonopoli oleh segelintir orang (kalangan feodalis-tradisional dan masyarakat modern kapitalis) yang menerapkan prinsip ekonomi ribawi. Sampai saat ini, dua kelompok tersebut masih begitu mewarnai tumbuh berkembang dan lalu lintas perekonomian Indonesia.1

1

Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat (Jakarta, Mitra Abadi Press, 2005). h.6


(10)

Kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebuah Negara yang kaya dengan sumber daya alam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia, merupakan suatu keprihatinan. Jumlah penduduk miskin terus bertambah jumlahnya sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga saat ini. Pengabaian atau ketidak seriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa yang tersebar diseluruh tanah air merupakan sikap yang berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial.

Jika kita cermati lebih jauh, ditemukan bukti-bukti empiris bahwa pertambahan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan bukanlah karena persoalan kekayaan alam yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk (over population), akan tetapi karena persoalan distribusi yang kurang baik serta rendahnya rasa kesetiakawanan diantara sesama anggota masyarakat. Lingkaran kemiskinan yang terbentuk dalam masyarakat kita lebih banyak kemiskinan struktural sehingga upaya mengatasinya harus dilakukan melalui upaya yang bersifat prinsipil, sistematis dan komprehensif, bukan hanya bersifat parsial dan sporadis.2

Islam sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia dan merupakan agama yang paling banyak peganutnya, sebenarnya mempunyai beberapa lembaga yang diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu salah satunya adalah institusi wakaf. Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial Islam yang erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang

2


(11)

dengan baik di beberapa Negara muslim, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki, Yordania, Qatar dan lain-lain3. Hal tersebut karena lembaga ini memang sangat dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan umat.

Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak. Menurut data yang ada di Departemen Agama Republik Indonesia, sampai dengan tahun 2004 jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 362.471 lokasi dengan luas 1.538.198.586 m4. Apabila jumlah tanah wakaf tersebut dihubungkan dengan Negara yang saat ini sedang menghadapi berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi, sebenarnya wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang sangat potensial untuk lebih dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang mampu. Sayangnya, wakaf yang jumlahnya begitu banyak, pada umumnya pemanfaatannya masih bersifat konsumtif dan belum dikelola secara produktif. Dengan demikian lembaga wakaf di Indonesia belum terasa manfaatnya bagi kesejahteraan sosial.

Pemanfaatan wakaf untuk kegiatan peribadatan memang sangat baik, namun dampak secara ekonomisnya kurang atau bahkan tidak berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi umat/masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada

3

Direktorat Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf, 2003, h. 15-18

4


(12)

hal-hal ibadah saja, tanpa diusahakan untuk dikembangkan menjadi wakaf yang produktif atau berhasil guna secara ekonomi, maka kesejahteraan sosial ekonomi umat/masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf itu tidak akan dapat terealisir secara optimal.

Wakaf merupakan lembaga Islam yang pada satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah dan disisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakaf muncul dari suatu pernyataan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Oleh karenanya wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang dapat dipergunakan seorang muslim untuk mewujudkan dan memelihara hubungan dengan Penciptanya, dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarai kemudian hari bagi yang mewakafkan, karena wakaf merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya terus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya wakaf merupakan asset yang amat bernilai dalam pembangunan ummat.

Dalam pengelolaan harta wakaf, peranan Nazhir sangatlah esensial. Sebab berfungsi atau tidaknya suatu perwakafan sangat tergantung kepada Nazhirnya, karena Nazhir wakaf adalah pihak yang dipercayakan oleh wakif untuk menerima harta benda wakaf dan juga untuk mengembangkan harta tersebut sesuai dengan peruntukannya.5

Mengingat arti penting peranan Nazhir dalam pengelolaan wakaf tersebut, maka para imam mazhab sepakat tentang pentingnya nazhir memenuhi syarat adil dan

5

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannnya, (Jakarta, 2009), hal. 3.


(13)

mampu. Adil berarti mengerjakan yang diperintah dan menjauhi yang dilarang. Sedangkan mampu berarti kekuatan dan kemampuan seseorang mentasharrufkan apa yang dijaganya. Dalam hal kemampuan ini dituntut sifat Taklif, yakni dewasa dan berakal. Jika nazhir tidak memenuhi syarat adil dan mampu, hakim boleh menahan wakaf itu dari nazhir.6

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pada pasal 9 disebutkan bahwa nazhir wakaf terbagi atas tiga bagian, yaitu nazhir perseorangan , nazhir organisasi dan nazhir badan hukum. Pada pasal selanjutnya disebutkan bahwa untuk menjadi nazhir perseorangan dipersyaratkan :

a. warga Negara Indonesia; b. beragama Islam;

c. dewasa; d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani;

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Selanjutnya pada pasal 11 disebutkan tentang tugas atau kewajiban nazhir adalah :

a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;

6

Direktorat Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji, Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, 2004, h. 85


(14)

c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.7

Dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, nazhir baik yang berbentuk perseorangan, organisasi maupun badan hukum dapat melakukan dan menerapkan prinsip manajemen kontemporer dalam menjunjung tinggi dan memegang kaidah al-maslahah (kepentingan umum) sesuai ajaran Islam, sehingga tanah wakaf dapat dikelola secara profesional. Dengan demikian nazhir tanah wakaf sebagai manager perlu dilakukan usaha serius dan langkah terarah dalam mengambil kebijaksanan berdasarkan program kerja yang telah digariskan, sehingga kesan dan anggapan dalam masyarakat bahwa pengelolaan tanah wakaf sebagai kerja sampingan dan asal-asalan dapat dihilangkan.8

Namun demikian, peranan penting dan esensial dari nazhir wakaf tersebut tidaklah selamanya mulus dalam praktek. Karena pada kenyataannya masih banyak tanah-tanah wakaf yang belum dikelola apalagi dikembangkan dengan baik sehingga belum dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat banyak. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari sumber daya atau kualitas para nazhir, sosio kultural masyarakat, permodalan dan lain sebagainya.

7

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tentang Wakaf, h. 7-9.

8

Direktorat Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji, Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan, h. 105


(15)

Melihat realitas tersebut, kiranya menarik bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut bagaimana sebenarnya peranan nazhir wakaf sebagai pihak yang paling menentukan dalam pengembangan wakaf dalam prakteknya. Untuk itulah kemudian penulis ingin menuangkannya dalam sebuah penelitian mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul : “PERANAN NADZIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TANAH WAKAF PADA YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA KELURAHAN PANUNGGANGAN KECAMATAN PINANG KOTA TANGERANG”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi bahasan masalah pada salah satu unsur wakaf yaitu Nazhir, yang merupakan pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya9, dan tidak membahas mengenai unsur wakaf lainnya.

Sedangkan obyek penelitian juga dibatasi hanya pada lokasi tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang. Hal ini karena lokasi wakaf tersebut cukup berkembang dengan baik selama dalam pengelolaan nazhir. Dari segi pendidikan, saat ketika didirikan hanya menyelenggarakan pendidikan non formal saja, yaitu sebuah majlis taklim, saat ini telah menyelenggarakan berbagai pendidikan formal yaitu Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyah dan Madrasah Ibtidaiyah. Dari segi sosial kegamaan, yayasan

9

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tentang Wakaf, h.3


(16)

tersebut telah berhasil mendirikan sebuah Kelompok Bimbinga Ibadah Haji. Bahkan saat ini telah mendirikan pula sebuah biro perjalanan wisata sebagai salah satu upaya dalam rangka produktifitas wakaf yang dikelola oleh nazhir atau pengurus yayasan. berdasarkan beberapa indikator tersebut, maka penulis bermaksud mengetahui lebih lanjut mengenai peranan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf tersebut.

Berkenaan dengan batasan diatas, maka penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf menurut hukum Islam dan hukum positif ?

2. Bagaimana peranan nazhir dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf pada Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif.

2. Untuk mengetahui upaya/kegiatan yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf.


(17)

Sedangkan manfaat penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, untuk dapat memberikan wawasan penulis agar lebih memahami tentang tinjauan hukum Islam terhadap pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf.

2. Secara praktis, untuk dapat dijadikan bahan pelajaran, referensi atau paling tidak tambahan informasi bagi mereka yang ingin mempelajari lebih dalam lagi mengenai tinjauan hukum Islam terhadap pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf.

D. Metodologi Penelitian

Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian, yaitu cara melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.10

Dengan metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

10


(18)

1. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang dimaksud untuk menjelaskan masalah yang diteliti dengan hasil penelitian yang diperoleh dalam kaitannya dengan peraturan hukum dan melihat kehidupan dan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat atau dalam kenyataan.11 Dalam penelitian ini adalah peranan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif atau disebut juga metodologi kualitatif yang berarti prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.12 Atau dapat disebut juga sebagai penelitian yang dalam pengumpulan data dan penafsirannya tidak menggunakan rumus-rumus statistik.13

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya.14 Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang

11

Hilman Hadikusumo, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung, Mandar Maju, 1995, Cet. Pertama), h. 63

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004) h. 3

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), (Jakarta ,PT Rineka Cipta, 2006) Cet ke-XIII (Edisi Revisi VI),h. 12

14


(19)

diteliti. Dalam hal ini untuk mendeskripsikan peran nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf.

3. Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa data-data penelitian, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :

a. Data Primer, yaitu berupa hasil wawancara dengan nazhir (pengurus yayasan) dan pegawai yayasan, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan wakaf.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diambil dari hasil studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku literatur dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan perwakafan. c. Data Tersier, yaitu berupa kamus, brosur dan data lainnya yang dapat

dijadikan sumber data pendukung. 4. Metode Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah pengumpulan data denga cara mencari, menghimpun, mempelajari buku-buku atau sumber tertulis yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian.


(20)

b. Penelitian Lapangan

Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam objek penelitian. Dalam pengumpulan data lapangan ini penulis menggunakan cara :

1. Wawancara atau interview, yaitu suatu proses Tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadapan secar fisik yang satu dapat melihat yang lain, serta mendengarkan suaranya dengan telinga sendiri. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pelaksanaannnya mengacu pada interview bebas/inguided interview dan terpimpin/guided interview, pewawancara menanyakan kepada informan dengan pertanyaan yang telah terstruktur kemudian satu persatu diperdalam mengorek keterangan lebih lanjut. Keduanya dipadukan penulis bahwa beliau sedang interview, hal ini sengaja dilakukan untuk menciptakan suasana interview yang lebih santai tetapi terarah.15

2. Observasi, yaitu meneliti sesuatu dengan menggunakan pengamatan meliputi kegiatan penelitian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.

3. Dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data di lapangan yang dilakukan dengan cara mencatat, merangkum data tertulis yang ada di

15


(21)

lokasi penelitian. Dalam menggunakan teknik ini penulis menggunakan benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan dan sebagainya.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunaka model analisis isi, yang dalam penerapannya harus didasarkan pada dua aspek penting, yaitu data (dokumen, naskah dan literatur) adalah produk dari dialektika sejarah, dan akibatnya, data tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahan dimana dan kapan data tersebut diproduksi.16

Dalam analisis data dilakukan proses pengumpulan data. Setelah terkumpul kemudian data direduksi artinya diseleksi, disederhanakan, dipilah data untuk kemudian diambil data yang relevan dengan penelitian. Selanjutnya diadakan penyajian data secara sistematis yaitu rakitan organisasi informasi atau data sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan berdasar kumpulan data tersebut.

Adapun dalam teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi – Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang disusun tim penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

16

Djawahir Hejazziey dkk, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum, 2007). H.29


(22)

E. Review Studi Terdahulu

1. Efektivitas Pengelolaan dan Pemanfaatan Harta Wakaf (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah-Depok)” oleh Rinawati, Fakultas Syariah dan Hukum, 2005. Dalam skripsi ini membahas tentang bentuk pengelolaan harta wakaf di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, sudah sesuaikah dengan yang dicita-citakan wakif ketika mewakafkan harta wakafnya sebelum wafat, dan apakah manfaat harta wakaf tersebut dapat dirasakan oleh pengurus, santri, maupun masyarakat sekitar.

2. “Sistem Pengelolaan Tanah Wakaf di Wilayah KUA Jagakarsa Jakarta Selatan”.Oleh Sri Utami Nengsih, Fakultas Syariah dan Hukum, 2005. Dalam skripsi ini membahas permasalahan mengenai pengelolaan tanah wakaf, prosedur/tata cara perwakafan, dan manfaat tanah wakaf bagi masyarakat sekitar di Wilayah KUA Jagakarsa.

3. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan dan Pengawasan Tanah Wakaf (Studi di KUA Karang Tengah – Ciledug)”. Oleh Imam Saputra, Fakultas Syariah dan Hukum, 2009. Dalam skripsi ini membahas permasalahan mengenai pengelolaan tanah wakaf, prosedur/tata cara perwakafan, pengawasan oleh KUA Kecamatan, dan manfaat tanah wakaf bagi masyarakat sekitar di Wilayah KUA Kecamatan Karang Tengah – Ciledug.

Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat disimpukan bahwa permasalahan yang menjadi bahan penelitian adalah pada


(23)

peruntukan harta benda wakaf, manfaat dari harta wakaf bagi masyarakat, pengelolaan harta wakaf, prosedur/tata cara perwakafan, dan pengawasan oleh KUA Kecamatan. Sementara hal yang membedakan penelitian yang penulis lakukan kali ini adalah menekankan pada peranan nazhir, tidak hanya dalam hal pengelolaan harta wakaf, namun juga bagaimana upaya pengembangan tanah wakaf yang dilakukan menuju kearah produktifitas wakaf. Selain itu juga membahas bagaimana pemanfaatan hasil dari pengelolaan dan pengembangan tersebut, dan juga hal-hal yang menjadi kendala/permasalahan yang dihadapi nazhir dalam hal pengelolaan dan pengembangan wakaf tersebut.

Jadi penelitian ini tidak lagi membahas peruntukan harta wakaf, prosedur/tata cara perwakafan dan pengawasan yang dilakukan KUA Kecamatan sebagaimana pada penelitian terdahulu diatas.

F. Sistematika Penulisan.

Agar penulisan karya ilmiah ini lebih fokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikannya dengan membagi kedalam beberapa bab pembahasan.

BAB I : Berisi pendahuluan yang memberikan gambaran umum menyeluruh diawali dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.


(24)

BAB II : Gambaran umum tentang wakaf menurut hukum Islam dan hukum positif. Dalam bab ini berisi : Pengertian wakaf dan dasar hukumnya, Rukun wakaf dan Syarat-syaratnya, Macam-macam wakaf, Sejarah Wakaf, pengelolaan dan pengembangan wakaf.

BAB III : Gambaran umum Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang. Pada bab ini akan dibahas tentang gambaran umum Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa yang meliputi sejarah berdirinya Yayasan, struktur organisasi, Visi dan Misi, ruang lingkup dan program kerja Yayasan wakaf At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang.

BAB IV : Bab ini merupakan pokok bahasan yang menjelaskan dan menganalisa data mengenai: upaya-upaya yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, upaya-upaya yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam pemanfaatan hasil pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa, faktor-faktor yang menghambat dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa serta analisis penulis tentang peranan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa.


(25)

BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran serta dilengkapi daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.


(26)

BAB II

KERANGKA TEORI TENTANG WAKAF A. Pengertian Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab. Asal kata “Waqofa”

yang berarti “Menahan” atau “diam di tempat” atau “Tetap berdiri”. Kata “WAQOFA – YAQIFU – WAQFAN “ ( ﺎﻔﻗو- ﻒﻘﯾ – ﻒﻗو ) sama artinya dengan “HABASA – YAHBISU – HABSAN” ( ﺎﺴﺒﺣ – ﺲﺒﺤﯾ – ﺲﺒﺣ ) .17 Oleh karena itu, tempat parkir disebut mauqif, karena disitulah berhentinya kendaraan, demikian juga padang Arafah disebut juga Mauqif dimana para jamaah berdiam untuk wukuf .18

Sedang wakaf dan habas adalah kata benda dan jamaknya adalah awqaf, ahbas dan mahbus. Dalam kamus Al-Wasith dinyatakan bahwa alhabsu artinya al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat

habsu as-syai’ (menahan sesuatu). Waqfuhu la yuba’ wala yurats (wakafnya tidak dijual dan tidak diwariskan). Dalam wakaf rumah dinyatakan : Habasaha fi sabilillah ( mewakafkannya dijalan Allah SWT).

Kesimpulannya, baik al-habsu maupun al-waqf sama-sama mengandung makna al-imsak (menahan), al-man’u (mencegah atau melarang) dan at-tamakkust

(diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua

17

Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta, Darul Ulum Press, 1999) h. 23

18

Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, ( Jakarta, Mitra Abadi Press, 2006), h. iii


(27)

tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang termasuk berhak atas wakaf tersebut .19 Demikian pula dalam kamus Arab-Melayu disebutkan bahwa kata “al-habsu” yang berasal dari “habasa-yahbisu-habsan” berkembang menjadi “habbasa”, yang berarti “menahan” dan “mencegah”.20

Pengertian wakaf menurut istilah antara lain dapat dikemukakan beberapa pengertian sebagai berikut:21

َو

ِ

َﻟﺎﻓ

ْﺸ

ِﺮ

ع

:

ﷲا ﻞﯿﺒﺳ ﻲﻓ ﺎﮭﻌﻓﺎﻨﻣ فﺮﺻو لﺎﻤﻟا ﺲﺒﺣ يا ةﺮﻤﺜﻟا ﻞﯿﺒﺴﺗو ﻞﺻﻻا ﺲﺒﺣ

Wakaf menurut Syara’: yaitu menahan dzat (asal) benda dan mempergunakan hasilnya, yakni menahan benda dan mempergunakan manfaatnya dijalan Allah (sabilillah).”

Menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani (1883 : 253) sebagai berikut :

ﺮﺸﻟا ﻲﻓو

ﺪﺼﺘﻟاو ﻒﻗاﻮﻟا ﻚﻠﻣ ﻰﻠﻋ ﻦﯿﻌﻟا ﺲﺒﺣ ع

ﺔﻌﻔﻨﻤﻟﺎﺑ ق

Menurut istilah syara’, wakaf adalah menahan dzat suatu benda dalam pemilikan

si wakif dan memanfaatkan (mempergunakan) manfaatnya”.

Menurut Imam Taqiyudin :

ﺑ عﺎﻔﺘﻧﻹا ﻦﻜﻤﯾ لﺎﻣ ﺲﺒﺣ

ﮫﻌﻓ ﺎﻨﻣ فﺮﺼﺗ ﮫﻨﯿﻋ ﻰﻓ فﺮﺼﺘﻟا ﻦﻣ عﻮﻨﻤﻣ ﮫﻨﯿﻋ ءﺎﻘﯾ ﻊﻣ ﮫ

ﺎﺑﺮﻘﺗ ﺮﺒﻟا ﻲﻓ

ﻟا

ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا ﻰ

19

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta, Khalifa,2007) h.44-45

20

Muhammad Fadhillah dan B. Th. Brondgeest, Kamus Arab-Melayu, jilid.I, (Weltevreden: Balai Pustaka, 1925), h.116-117.

21


(28)

“Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya serta tetap zat harta tersebut, dan tidak boleh mentasarrufkannya. Manfaat benda tersebut, harus dipergunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan kepada Allah SWT”

Batasan mengenai wakaf banyak sekali dijumpai dalam kitab-kitab fikih klasik. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan : menurut istilah syara’ wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya dijalan Allah SWT .22 Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya aql-Ahwalus-Syakhsiyah menyebutkan bahwa wakaf ialah :

“Suatu bentuk pemberian yang menghendaki penahanan asal harta dan mendermakan hasilnya pada jalan yang manfaat”.23

Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan boleh menjualnya atau mewariskannya. Jadi yang timbul dari wakaf adalah “menyumbangkan manfaat” saja. Menurut mazhab Maliki, bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif. Pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap

22

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), Juz IV, h.148.

23


(29)

menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).24

Menurut mazhab Syafii dan Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, teremasuk mewariskannya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf alaih sebagai sedekah yang mengikat. Atau dengan kata lain, tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfatnya kepada suatu kebajikan.25

Sementara dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pengertian wakaf adalah “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.26

Dari paparan mengenai pengertian wakaf, secara menyeluruh dapat disimpulkan mengenai ruang lingkup wakaf yaitu :

24

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, (Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), h. 3

25

Ibid,. hal. 3

26

Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Wakaf, (Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan


(30)

a). Menahan harta untuk dikonsumsi atau dipergunakan secara pribadi; b). Definisi wakaf ini mencakup harta, baik berupa benda bergerak, tidak

bergerak, maupun uang;

c). mengandung pengertian melestarikan harta dan menjaga keutuhannya, sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan secara langsung atau diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang;

d). berulang-ulangnya manfaat dan kelanjutannya baik yang berlangsung lama, sebentar maupun selamanya;

e). menghasilkan manfaat langsung dari harta atau benda yang diwakafkan, mencakup juga wakaf produktif yang memberi manfaat dari hasil produksinya;

f). mencakup jalan kebaikan umum keagamaan, social dan sebagainya, juga mencakup kebaikan khusus yang dimanfaatkan untuk kebaikan keluarga wakif;

g). mencakup pengertian wakaf menurut fikih dan perundang-undangan, bahwa wakaf tidak terjadi kecuali dengan keinginan wakif;

h). mencakup pentingnya penjagaan harta wakaf.27

2. Dasar Hukum Wakaf Menurut Syari’at Islam

Secara khusus tidak ditemukan nash al-Qur’an maupun hadits yang secara tegas menyebutkan dasar hukum yang melegitimasi dianjurkannya wakaf. Tetapi

27


(31)

secara umum banyak ditemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan agar orang yang beriman mau menyisihkan sebagian dari kelebihan hartanya digunakan untuk proyek produktif bagi masyarakat.28

Dasar disyariatkannya ibadah wakaf dapat kita lihat dari beberapa ayat Al-Quran dan hadits Nabi SAW, antara lain :































.





)

ناﺮﻤﻋ لا

/

٣

:

٩٢

(

Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran/3 : 92)

Selain itu firman Allah SWT mengenai wakaf dalam surat Al-Baqarah: 267,



























































































.





)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

٢

:

٢٦٧

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya,

28

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005). H. 22.


(32)

padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah/2: 267)

Adapun dalil-dalil hadits khusus tentang disyariatkannya wakaf, diantaranya adalah hadist riwayat Imam Muslim dari Ibnu Umar r.a :

َلﺎَﻗ ﺎَﻤُﮭْﻨَﻋ ﷲا َﻲِﺿَرَﺮَﻤُﻋ ِﻦْﺑا ْﻦَﻋ

:

ﮫﱡﻠﻟا ﻰَﻠَﺻ ﱢﻲﺒِﱢﻨﻟا ﻰَﺗ ﺄَﻓ ،ﺎًﺿْرَا َﺮَﺒْﯿَﺨِﺑ ُﺮَﻤُﻋ َبﺎَﺻَأ

َلﺎَﻘَﻓ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫﯿَْﻠَﻋ

:

َلﺎَﻗ ؟ِﮫِﺑ ﻲِﻧُﺮُﻣْﺄَﺗ َﻒْﯿَﻜَﻓ ،ُﮫْﻨِﻣ َﺲَﻔْﻧَأ ﱡﻂَﻗ ًﻻﺎَﻣ ْﺐِﺻُأ ْﻢﻟًﺎﺿْرَأ ُﺖْﺒَﺻََأ

:

َﺖْﺌِﺷ ْنِِإ

َﺖْﺴﱠﺒَﺣ

ﺎَﮭِﺑ َﺖْﻗﱠﺪَﺼَﺗ َو ﺎَﮭَََﻠْﺻَا

.

ِءآَﺮَﻘُﻔﻟْا ﻰِﻓ ُثَرْﻮُﯾَﻻَو ُﺐَھْﻮُﯾَﻻو ﺎَﮭُﻠْﺻَأ ُع ﺎَﺒُﯾَﻻ ُﮫﱠﻧَأ ُﺮَﻤُﻋ َقﱠﺪَﺼَﺘَﻓ

ُﻛﺄَﯾ نَا ﺎَﮭَﯿِﻟَو ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻻ ،ِﻞْﯿِﺒﱠﺴﻟا ِﻦْﺑاَو ِﻒْﯿﱠﻀﻟاَو ِﷲا ِﻞْﯿِﺒَﺳ ﻲِﻓ َو ِبﺎََﻗﱠﺮﻟا َو ﻰَﺑْﺮُﻘْﻟاَو

ِﻣ َﻞ

ﺎَﮭْﻨ

ﱠﻮَﻤَﺘُﻣ َﺮْﯿَﻏ ﺎًﻘْﯾِﺪَﺻ َﻢِﻌْﻄُﯾ ْوََأ ِفْوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ

ِﮫْﯿِﻓ ٍل

) .

ﻢﻠﺴﻣ هاور

٥

/

٧٤

(

Artinya : “Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW meminta untuk mengolahnya, sambil berkata:“Ya Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?. Rasululluah bersabda : “Jika engkau menginginkannya tahanlah tanah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia (Umar) menshadaqahkan kepada fakir miskin, karib kerabat, budak belian, dan Ibnu Sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu.” (HR. Muslim: 5/74) 29

29


(33)

B. Rukun dan Syarat Wakaf

Kendati para Imam Mujtahid berbeda pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namun semuanya sependapat bahwa untuk membentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat, walaupun mereka juga berselisih pendapat mengenai jumlah rukun dan syarat tersebut.

Menurut ulama mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang berupa ijab (pernyataan dari wakif). Sedangkan Qobul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun, disebabkan akad tidak bersifat mengikat. Sedangkan menurut jumhur ulama dari mazhab Syafi’i , Maliki dan Hambali bahwa rukun wakaf ada empat : 1) wakif (yang mewakafkan), 2) mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf), 3). Mauquf ( benda yang diwakafkan) dan 4). Sighat 30

Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dibahas pula mengenai rukun dan syarat wakaf. Pada pasal 6 disebutkan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: Wakif, Nazhir, Harta Benda Wakaf, Ikrar Wakaf, Peruntukkan Harta Benda Wakaf, Jangka Waktu Wakaf.31

Sedangkan pembahasan seputar syarat-syarat wakaf diatur pada bagian-bagian berikutnya.

30

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 16-17

31

Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Wakaf, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan


(34)

1. Wakif

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum). Wakif meliputi; Perseorangan, Organisasi, Badan Hukum. (Pasal 7)

Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf (a) hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: Dewasa, Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan Pemilik sah harta benda wakaf. (Pasal 8 ayat 1)

Wakif organisasi sebagaiman dimaksud dalam pasal 7 huruf (b) hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 2)32

2. Nazhir

Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum).

Nazhir mempunyai tugas yaitu: Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan fungsi dan peruntukannya, Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia

32


(35)

(pasal 11 Bagian Kelima tentang Nazhir, BAB II Dasar- dasar wakaf). Nazhir meliputi: Perorangan, Organisasi, dan Badan Hukum (Pasal 9 ayat 5)

Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (a) hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: Warga Negara Indonesia, Beragama Islam, Dewasa, Amanah, Mampu secara jasmani dan rohani, dan Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. (pasal 10 ayat 1)33

Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (b) hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan : Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. (pasal 10 ayat 2)

Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (c) hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan :

a) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan

c) Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam. (pasal 10 ayat 3).

33


(36)

3. Harta Benda Wakaf

Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan atau jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah yang diwakafkan oleh wakif. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum)34

Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah, (pasal 15 Bagian Keempat)

Harta benda wakaf terdiri dari : Benda tidak bergerak, Benda bergerak (Pasal 16 ayat 1) . Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

a). Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b). Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf (a)

c). Tanaman dan benda satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

d). Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 2)

Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: Uang, Logam mulia, Surat berharga, Kendaraan, Hak atas kekayaan intelektual,

34


(37)

Hak sewa, dan Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 3)35

4. Ikrar Wakaf

Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/ atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum).

Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 17 ayat 1 Bagian Ketujuh tentang Ikrar Wakaf).

Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. (pasal 17 ayat 2).

Dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 18)

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/ atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW. (pasal 19)

Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan : (pasal 20) Dewasa, Beragama Islam, Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan

35


(38)

perbuatan hukum. Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. (pasal 21 ayat 1)36

Akta Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit memuat: (pasal 21 ayat 2) Nama dan Identitas wakif, Nama dan Identitas nazhir, Data dan Keterangan harta benda wakaf, Peruntukan harta benda wakaf, Jangka waktu wakaf.

5. Peruntukan Harta Benda Wakaf

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf (sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 dan 5, BAB II Dasar-dasar Wakaf Bagian Kedua Tentang Tujuan dan Fungsi Wakaf), harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi: sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. (Pasal 22 Bagian Kedelapan Peruntukan Harta Benda Wakaf)37

Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf. (pasal 23 ayat 1)

36

Ibid. h.13

37


(39)

Dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. (pasal 23 ayat 2)

6. Jangka Waktu Wakaf

Mengenai jangka waktu wakaf tidak ditemukan pembahasan yang lebih mendetail baik dalam UU Wakaf No. 41 tahun 2004 atau dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf.

C. Macam-macam Wakaf dan Fungsinya

Wakaf yang dikenal dalam syari’at Islam, dilihat dari penggunaan/yang memanfaatkan harta benda wakaf terbagi dua :

1). Wakaf Ahli/Dzurry

Wakaf ahli yang terkadang juga disebut dengan wakaf ‘alal aulad yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga/family, lingkungan kerabat sendiri.38 Atau wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan.39 Atau dalam pengertian lain adalah wakaf yang diperuntukkan bagi

38

Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia h. 35.

39

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005) h. 14.


(40)

jaminan sosial dalam lingkungan keluarga sendiri dengan syarat dipakai semata-mata untuk kebaikan dan berlaku selama-lamanya.40

Wakaf ahli adalah wakaf yang dikhususkan oleh yang berwakaf untuk kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara dan ibu bapaknya. Wakaf ini bertujuan untuk membela nasib mereka. Dalam konsepsi Islam, seseorang yang hendak mewakafkan sebagian hartanya sebaiknya lebih dahulu melihat kepada sanak family, bila ada diantara mereka yang sedang membutuhkan pertolongannya. Maka wakaf lebih afdhal (lebih baik) diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Demikian yang Rosul nasehatkan kepada Abu Thalhah dalam hadits diatas.

Di beberapa Negara tertentu, seperti Mesir, Turki, Maroko dan ljazair tanah wakaf untuk keluarga telah dihapuskan, karena pertimbangan berbagai segi, tanah-tanah wakaf bentuk ini tidak produktif.41

Demikian pula dalam konteks hukum positif di Indonesia, wakaf ahli inipun tidak diakomodir dalam berbagai aturan perundang-undangan tentang wakaf, termasuk pula dalam Kompilasi Hukum Islam dan yang terakhir Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Rupanya para pakar hukum dan pembuat undang-undang di Indonesiapun telah bersepakat untuk menghapuskan

40

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat Press, 2005) h. 24.

41


(41)

wakaf ahli/dzurry di Indonesia, karena tidak ada satu pasalpun dalam Undang-undang wakaf tersebut yang mengatur masalah wakaf ahli/dzurry ini.

b). Wakaf Khairi

Wakaf khairi artinya wakaf yang secara tegas diperuntukkan untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.42

Jenis wakaf ini seperti yang diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu dan hamba sahaya yang sedang berusaha menebus dirinya.

Wakaf ini ditujukan untuk umum, dengan tidak terbatas penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan dan lain-lain.43

42

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, h. 16.

43


(42)

D. Sejarah Wakaf

1. Wakaf pada masa Rosulullah saw

Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak masa Rosulullah saw. Karena wakaf disyariatkan setelah Nabi saw hijrah ke Madinah, pada tahu kedua hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. sebagian pendapat menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rosulullah saw, yaitu wakaf tanah milik Nabi untuk dibangun masjid. Rosulullah saw juga pada tahun ketiga hijrah pernah mewakafkan tujuh kebon kurma di Madinah.44

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakafadalah sahabat Umar bin al Khathab,yaitu wakaf berupa sebidang tanah di Khaibar, dimana Umar mensedekahkan hasil pengelolaan tanah tersebut kepada fakir miskin dan orang lain yang membutuhkan. Selanjutnya syariat wakaf dipraktekkan oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kemudian juga Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib yang mewakafkan tanahnya, Muadz bin Jabal mewakafkan runahnya dan oleh sahabat-sahabat lainnya.45 2. Wakaf Pada Masa Dinasti Islam

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan Abbasiyah. Banyak orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. dan

44

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta, 2003) h. 8-9

45


(43)

wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir miskin saja, tetapi juga dijadikan modal untuk membangun lembaga pendidikan. Antusiasme masyarakat tersebut telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf.

Pembentukan lembaga pengelola wakaf pertama kali dilakukan oleh hakim Mesir, Taubah bin Ghar al Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik pada masa dinasti bani Umayah. Beliau mendirikan lembaga wakaf di Basrah dibawah Departemen Kehakiman. Dengan demikian pengelolaan wakaf menjadi lebih baik dan hasilnya disalurkan kepada yang membutuhkan. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Shadr al Wuquf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.46

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hamper semua tanah pertanian menjadi tanah wakaf dan dikelola oleh negara lewat baitul mal. Ketika Shalahuddin al Ayyubi memerintah di Mesir, ia banyak mewakafkan lahan milik Negara untuk kegiatan pendidikan. Ia juga menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea cukai, dan hasil dikumpulkan kemudian diwakafkan kepada para fuqaha dan para keturunannya. Saat itu wakaf telah dijadikan sarana bagi dinasti

46


(44)

Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab sunni dan mempertahankan kekuasannya.47

Pada masa dinasti Mamluk perkembangan wakaf sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya dapat diwakafkan. Tetapi yang paling banyak diwakafkan kala itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa ini terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama, seperti untuk memelihara masjid dan madrasah. Pada masa ini pula mulai disahkannya undang-undang wakaf pada masa raja Al Dzahir Biber Al Bandaqdari (1260-1277 M/658-676 H).48

Perkembangan lebih lanjut pada masa dinasti Turki Utsmani dimana kekuasaannya saat itu telah mencapai sebagian besar wilayah Negara Arab. Pada masa itu disahkan undang-undang yang mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, serta upaya mencapai tujuan wakaf. kemudian pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari imlementasi

47

Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 45

48

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf h. 13-14


(45)

undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sat ini.49

E. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam

Salah satu aspek penting dalam hal pengelolaan harta benda wakaf adalah mengenai pencatatan harta benda wakaf, sementara dalam fiqih Islam tidak banyak dibicarakan mengenai prosedur dan tata cara perwakafan secara rinci.50 Berbeda halnya denga hukum positif yang mengatur masalah perwakafan dalam berbagai aturan perundang-undangan yang telah ada.

Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pendaftaran tanah wakaf, karena memang dalam Islam sendiri praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Para ulama imam empat mazhabpun tidak mencantumkan keharusan pengadministrasian dalam praktek wakaf. Namun seiring berjalannya waktu sering kali terjadi perselisihan atau sengketa mengenai tanah wakaf. Maka dalam hal ini selayaknya kita lihat firman Allah dalam surat Al-Baqoroh : 282 yang berbunyi :

49

Ibid,. h. 14

50

Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) h.37


(46)

                                                                      

Artinya : “Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklan ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan jangan mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) dan dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang laki-laki (diantara kamu). Jika tak ada dua orang lelaki-laki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika seorang lupa maka seorang akan mengingatkannya ……” (QS. Al-Baqoroh : 282)


(47)

Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan sebagainya. Selanjutnya Adijani al-Alabij menyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan penyerahan hak yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya seperti jual beli da sebagainya. Jika untuk untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan dicatat, maka analogi untuk wakafpun demikian, yakni seyogyanya dicatat pula, karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut adalah agar dibelakang hari tidak terjadi sengketa/gugat menggugat diantara pihak yang bersangkutan.51

Selain itu ada beberapa kaidah fiqih yang senada dengan pendapat diatas, yaitu kaidah : (adh dharuuru yuzaalu), artinya : kemudharatan harus dihilangkan. Dan kaidah (dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih), artinya : menolak kemudharatan dan menarik maslahah. Dimana dalam konteks ini penyelewengan dan persengketaan akibat tidak ada pengadministrasian adalah mudharat yang harus dihilangkan.

Melakukan pengembangan dan pembaruan hukum Islam yang beranjak dari fiqih mazhab dengan mengutamakan prinsip maslahah mursalah (kemaslahatan) dan siyasah syar’iyah (intervensi negara).52 Maka dengan

51

Al-Alabij, h.100

52

M. Atho Mudzar dan Khairudin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), h. 208


(48)

dasar kemaslahatan tersebut para ulama akhirnya banyak mengemukakan berbagai pendapat dan ide dalam hal pengelolaan dan pengembangan wakaf.

Dr. Musthafa Asy-Syiba’i menjelaskan tentang penggunaan wakaf khairi (wakaf untuk umum) yang pernah dan masih dilaksanakan di berbagai negara Islam yaitu : masjid-masjid, sekolah-sekolah, perpustakaan umum, rumah sakit, penginapan orang musafir, rumah-rumah miskin, air minum untuk umum, persiapan senjata, kendaraan buat perang, persiapan perlengkapan pejuang-pejuang, asrama-asrama buat mujahidin, perbaikan jembatan/jalan umum, kolam-kolam di tengah padang, makam/kuburan, perawatan yatim piatu, pemeliharaan anak-anak gelandangan, penyantunan orang-orang lumpuh, penyantunan orang-orang buta, pemeliharaan orang tua, penyantunan orang yang baru keluar dari penjara dan lain sebagainya.53

Suparman Usman menjelaskan langkah-langkah yang dapat diupayakan para nazhir dalam pengembangan wakaf antara lain :

1. Memperbanyak dan menggalakkan wakaf produktif.54

Upaya ini bertujuan agar harta benda wakaf mampu menghasilkan dana yang banyak bagi peningkatan kesejahteraan umat. Langkah ini bisa ditempuh melalui kerjasama (kemitraan) denga pihak-pihak lain sepanjang

53

Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia,. h. 36-37

54

Suparman Usman, Pengamanan dan Pengembangan Wakaf Bagi Kesejahteraan Umat, Makalah disampaikan Pada “Lokakarya Pengembangan Zakat dan Wakaf Produktif, Serang Banten, 23 Maret 2007.h. 6


(49)

tidak bertentangan dengan syariat dan perundang-undangan. Contohnya adalah mengoptimalkan potensi tanah wakaf yang letaknya strategis dengan membangun pusat perkantoran atau pusat pertokoan yang dapat menghasilkan uang sewa bangunan di atas tanah wakaf itu. Uang sewa tersebut bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat.

2. Memperbanyak dan menggalakkan wakaf tunai.55

Di kalangan umat Islam, wakaf yang sangat popular adalah masih terbatas pada persoalan tanah dan bangunan yang diperuntukkan untuk tempat ibadah dan pendidikan, serta baru belakangan baru ada wakaf yang berbentuk tunai, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Sebagai sebuah upaya mensosialisasikan wakaf tunai untuk kesejahteraan sosial, maka harus disosialisasikan secara intensif agar wakaf tunai dapat diterima lebih cepat oleh masuarakat banyak dan segera memberikan jawaban konkrit atas permasalahan ekonomi umat. Mengacu pada keberhasilan negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Maroko, Kuwait, Turki, Qatar dan lainnya yang telah memberdayakan wakaf tunai secara maksimal, saatnya kita melangkah menuju kearah tersebut.56

55

Ibid.,h. 7

56

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), h. 15


(50)

3. Mengoptimalkan potensi harta benda wakaf sesuai kondisi dan fungsinya.57

Contoh dari model pengembangan ini adalah jika ada tanah yang kurang strategis letaknya untuk dibangun perkantoran atau pertokoan, maka bisa dipertimbangkan untuk ditanami tanaman tertentu yang laku di pasar atau sangat baik prospeknya dalam dunia ekonomi, seperti ditanami pohon jarak yang saat ini sedang digalakkan, atau tanaman tertentu yang secara ekonomis menguntungkan, bekerjasama dengan pihak-pihak terkait.

Selanjutnya jika ditinjau dari pengembangan hasil harta wakaf, maka dapat dilakukan dua pola pengembangan wakaf :

1. Pengembangan wakaf untuk kegiatan sosial.58

Contoh pengembangan ini adalah pengembangan pendidikan dan sarana kesehatan. Survei menunjukkan bahwa bentuk pengembangan wakaf yang pertama yaitu sarana pendidikan (65%) dan sarana kesehatan (11%) lebih diprioritaskan oleh pengelola wakaf. Namun karena sarana pendidikan dan kesehatan sering membutuhkan biaya yang besar diluar kesanggupan lembaga wakaf, maka para pengeloala wakaf tersebut biasanya membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) (59%) untuk menunjang pembiayaannya. Dengan kata lain, pembentukan LAZ menjadi

57

Suparman Usman, Pengamanan dan Pengembangan Wakaf Bagi Kesejahteraan Umat,h. 7

58

Andi Agung Prihatna, dkk, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, h. 143


(51)

andalan utama para nazhir guna membiayai kebutuhan operasional dan pelayanan wakaf. cara ini sering ditempuh oleh pengelola wakaf mengingat pembiayaan operasional lembaga dan kegiatan pelayanannya dapat dipenuhi dengan sumbangan dari masyarakat, baik berupa zakat, sedekah dan infak.

2. Pengembangan yang bernilai ekonomi.59

Contoh pengembangan ini adalah pengembangan perdagangan, industri, pembelian properti dan sebagainya. Pengembangan wakaf model ini tampaknya belum memasyarakat dalam praktek perwakafan. Dengan kata lain, pengembangan model ini terpaut jauh dibawah pengembangan model pertama. Namun demikian beberapa sector pengembangan ekonomi telah dilakukan para nazhir, diantaranya pada sector agrobisnis, perdagangan, property, pertambangan dan perindustrian, namun masih dalam jumlah terbatas.

Rendahnya pengembangan model ini mungkin disebabkan kehati-hatian para nazhir dalam berinvestasi, takut merugi jika diinvestasikan atau bahkan bias jadi karena ketidakmengertian para nazhir dalam hal pengembangan ekonomis tersebut, karena lemahnya SDM mereka.60

Adanya dana yang berasal dari hibah masyarakat (zakat, infak dan shadaqoh) dan kemudian di “injeksikan” kedalam tanah dan bangunan harta

59

Ibid.,h. 143

60


(52)

wakaf untuk mengoptimalkan fungsinya merupakan suatu kegiatan yang sudah lama berjalan. Tetapi apabila dana yang diinjeksikan itu berasal dari suatu lembaga yang mengelola dana wakaf atau lembaga pembiayaan, maka hal ini merupakan hal yang baru dan biasanya akan menyangkut berbagai persyaratan formal.

Dalam catatan sejarah Islam, abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah, selain menjadi zaman kejayan Islam juga dipandang sebagai masa keemasan wakaf. Pada masa itu wakaf meliputi berbagai benda yakni masjid, musholla, sekolahan, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan dan perniagaan, bazaar, pasar, tempat pemandian, tempat pemangkas rambut, gudang beras, pabrik sabun, pabrik penetasan telur dan lain-lain. Saat itu harta wakaf tidak hanya dimanfaatkan untuk menyediakan layanan gratis seperti masjid yang digunakan sebagai tempat ibadah, sekolah gratis bagi yang tidak mampu, namun juga sebagai penghasil dana seperti pusat perbelanjaan yang menghasilkan uang sewa.61

2. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Positif.

Dalam konteks hukum positif di Indonesia, dalam hal ini Undang-undang Nomr 41 Tahun 2004 dalam bab II disebutkan, bahwa nazhir, sebagai pihak

61

Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Direktorat Pengembanga Zakat dan Wakaf, Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta, 2005) h.62.


(53)

yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya, dalam asal 11 disebutkan memiliki tugas :

a). melakukan pengadministrasian harta benda wakaf:

b). mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;

c). mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d). melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.62

Selanjutnya dalam pasal 22 disebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: a). sarana dan kegiatan ibadah;

b). sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c). bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; d). kemajuan dan peningkatan ekonomi umat dan/atau

e). kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal 42 disebutkan bahwa nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.

62


(54)

Selanjutnya pada Pasal 43 dinyatakan:

(1). Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.

(2). Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.

(3). Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.63

63


(55)

BAB III

GAMBARAN UMUM YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA

A. Sejarah Berdirinya Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa

Berdirinya Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa yang beralamat di kampung warung Mangga Rt 03/02 Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang berawal dari tahun 1984. Berawal dari adanya perubahan tata ruang kota selanjutnya terpaksa dilakukanlah relokasi bangunan yang berlokasi di RT 01/02 Kampung Warung Mangga Desa Panunggangan Kecamatan Cipondoh (sekarang Kecamatan Pinang), termasuk didalamnya adalah bangunan masjid At-Taqwa, Karena daerah tersebut akan dibangun jalan tol dan Fly Over/jembatan tol.

Selanjutnya lokasi masjid At-Taqwa dipindahkan ke lokasi yang sekarang yaitu di RT 03/02 Kelurahan Panunggangan Kecamatan Cipondoh (sekarang Kecamatan Pinang) dan menempati tanah seluas 750 m2 yang merupakan tanah wakaf dari Bpk. H. Saarih bin Nasirin. Sejak itu mulai dibangunlah masjid At-Taqwa dengan biaya pembangunannya dari swadaya masyarakat dan sebagian lagi dari biaya hasil relokasi masjid tersebut.64

Sejak awal berdirinya telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka memakmurkan masjid, dan beberapa kegiatan tersebut banyak dimotori oleh salah seorang ulama setempat yang bernama KH. Irsyad bin H. Abbas, yang tak lain

64

Wawancara Pribadi dengan Arif Rahman, Ketua Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa. Tangerang. 15 September 2010


(56)

merupakan tokoh penting dalam proses berdiri dan berkembangnya Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa di kemudian hari.

Pada awalnya (tahun 1984) oleh KH. Irsyad dilaksanakan kegiatan pengajian untuk anak-anak disekitar masjid yang dilaksanakan pada setiap ba’da maghrib, dengan nama Majlis Ta’lim Miftahus Shudur. Yaitu berupa pengajian cara belajar membaca al-Qur’an untuk anak-anak. Kegiatan tersebut awalnya diikuti oleh hanya beberapa anak saja. Namun seiring berjalannya waktu kegiatan pengajian tersebut kemudian diikuti oleh banyak anak-anak yang tidak hanya dari lokasi dekat masjid saja, namun juga anak-anak dari lokasi yang cukup jauh dari masjid hingga berjumlah lebih kurang 50 anak.65

Selanjutnya pada tahun 1990, dengan cikal bakal majlis ta’lim tersebut oleh KH. Irsyad didirikanlah Madrasah Diniyah At-Taqwa, dengan didasari pemikiran bahwa untuk anak-anak tidak hanya diperlukan ilmu pengetahuan tata baca al-Qur’an saja, namun sangat diperlukan juga ilmu pengetahuan keagamaan yang lebih luas, yaitu ilmu fikih, hadits, aqidah akhlaq dan lainnya. Dengan menggunakan serambi masjid untuk kegiatan belajar madrasah diniyah tersebut, dibuatlah dua lokal kelas untuk kegiatan belajar yang dilaksanakan pada tiap sore hari. Madrasah diniyah At-Taqwa tersebut memiliki murid sejumlah 50 murid dengan beberapa orang guru.

Seiring berjalannya waktu, ada keinginan dari beberapa pengurus masjid At-Taqwa (para nazhir wakaf tanah tersebut) terutama KH. Irsyad yang sejak awal telah banyak berkecimpung dalam kegiatan takmir masjid sebagaimana telah disebutkan

65


(57)

diatas untuk lebih mengembangkan potensi yang ada, baik potensi sumber daya manusia maupun permodalan/sumber dana. Karena melihat masih banyak ruang kosong dari tanah wakaf masjid tersebut (sekitar 200 m2), dan juga melihat lokasi tanah wakaf yang cukup strategis karena berada persis di pinggir jalan raya antara Kota Tangerang dan daerah BSD Serpong, maka ada keinginan selanjutnya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan anak-anak, yaitu Taman Kanak-Kanak Islam (TK Islam), Madrasah Ibtidaiyyah dan juga dimungkinkan untuk dibentuk Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).

Namun demikian maksud dan tujuan besar para nazhir wakaf tersebut waktu itu terganjal oleh salah satu persyaratan formal, yaitu adanya peraturan yang mengharuskan sebuah lembaga pendidikan harus dilaksanakan di bawah naungan sebuah yayasan. Dengan dasar itulah maka kemudian dibentuklah Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa pada tahun 1995, dengan dasar pendiriannya berupa Akta Notaris Izzat Chanun Sukowijono, SH Nomor 20 tanggal 18 Nopember 1995.66

B. Struktur Organisasi Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa

Berdasarkan akta notaris Sukri, SH, Nomor 04 tanggal 07 Desember 2006,67 struktur pengurus Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa saat ini adalah :

66

Akta Notaris Izzat Chanun Sukowijoyo, SH Nomor 20, Tentang Pendirian Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa. Tanggal 18 Nopember 1995. h.1

67


(58)

1. Pembina : Hj. CICIH QURAISYIH

2. Pengurus :

Ketua : H. ARIF RAHMAN, S.Ag

Sekretaris : ENDANG RAHMAT

Bendahara : SOFWATUN NIDA

3. Pengawas : MA’RIFULLAH, SE

Tugas dan Wewenang Pembina :

1. Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;

2. mengangkat dan memberhentikan anggota Pengurus dan anggota Pengawas; 3. menetapkan kebijakan umum yayasan;

4. mengesahkan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan; 5. mengesahkan laporan tahunan;

6. menunjuk likuidator dalam hal yayasan dibubarkan. Tugas dan wewenang pengurus :

1. melaksanakan kebijakan umum yayasan;

2. menyusun dan melaksanakan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan;


(59)

Tugas dan wewenang Pengawas :

1. Memasuki bangunan, halaman atau tempat lain yang dipergunakan yayasan; 2. memeriksa dokumen;

3. memeriksa pembukuan dan keuangan; 4. menerima laporan segala kegiatan pengurus; 5. memberi peringatan kepada pengurus.68

C. Visi dan Misi Yayasan

Visi Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa :

“Menjadikan yayasan sebagai bagian dari komponen masyarakat yang turut serta dalam pembangunan nasional Indonesia dalam bidang pendidikan, sosial dan keagamaan, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa serta berahlak mulia dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap masyarakat menuju keridhoan Allah SWT dunia dan akherat”

Misi Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa :

1. Meningkatkan kegiatan pengembangan Pendidikan Agama Islam dan kualitas sumber daya manusia dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa. 2. Mengembangkan potensi siswa untuk menghafal, menghayati dan mengamalkan

Al-Qur’an agar menjadi pribadi yang berahlakul karimah;

68


(60)

3. Bekerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka usaha pengembangan pendidikan dan sosial keagamaan.

4. Menyelenggarakan bimbingan ibadah haji dan umroh yang baik, amanah dan 5. professional.

6. Memberdayakan sarana dalam menunjang pembangunan infrastruktur.

7. Meningkatkan interaksi dan kepekaan sosial dengan masyarakat yang lebih maju dan yang berahlakul karimah.69

D. Ruang Lingkup dan Program Kerja Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa

Berdasarkan dasar pendiriannya yaitu akta notaris Izzat Chanun Sukowijono, SH, Nomor 20, tanggal 18 Nopember 1995, bahwa ruang lingkup Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa adalah di bidang pendidikan, sosial, kemanusiaan dan keagamaan.70

1. Bidang Pendidikan.

1.1. Madrasah Diniyah At-Taqwa

Madrasah Diniyah At-Taqwa didirikan pada tahun 1990 oleh KH Irsyad dengan mengambil tempat di serambi masjid At-Taqwa. Tujuan awal didirikannya Madrasah Diniyah ini adalah sebagai sarana pendidikan keislaman tingkat dasar yang hanya mengajarkan baca tulis al-Qur’an saja,

69

Berdasarkan data Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah At-Taqwa Pinang. h.2

70

Akta Notaris Izzat Chanun Sukowijoyo, SH Nomor 20, Tentang Pendirian Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa. Tanggal 18 Nopember 1995. h.3


(61)

namun juga didalamnya terdapat kurikulum pendidikan keislaman yang lebih luas.

Jadi madrasah diniyah At-Taqwa ini merupakan lembaga pendidikan pelengkap dari lembaga pendidikan yang sudah ada yaitu majlis ta’lim Miftahus Shudur yang dirasakan kurang karena hanya mengajarkan baca tulis al-Qur’an. Dalam madrasah diniyah ini diajarkan pula berbagai macam ilmu pengetahuan keislaman secara lebih luas diantaranya yaitu ilmu fikih, ilmu hadits, akidah akhlaq, sejarah Islam dan lain sebagainya.

Pada awal didirikannya madrasah diniyah ini hanya memiliki dua ruang kelas. Namun seiring berjalannya waktu sampai saat ini MD At-Taqwa ini telah memiliki empat ruang kelas yang sekaligus juga sebagai ruang kelas Madrasah Ibtidaiyyah, dengan jumlah murid sebanyak 40 siswa yang merupakan warga baik yang berlokasi dekat maupun yang jauh dari masjid. Sedangkan jumlah guru yang mengajar sejumlah 3 (tiga) orang guru dan waktu pembelajarannya adalah sore hari.71

1.2.Taman Kanak-Kanak (TK) At-Taqwa

Taman Kanak-Kanak (TK) At-Taqwa didirikan pada tahun 1996, tidak lama setelah terbitnya akta notaris pendirian Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa. Taman Kanak-Kanak ini didirikan dengan dasar Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan

71

Wawancara Pribadi dengan Arif Rahman, Ketua Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa. Tangerang. 15 September 2010


(62)

Kebudayaan Propinsi Jawa Barat Nomor : 1175/102.1/Kep./OT/96, tentang Pemberian izin pendirian Taman Kanak-Kanak (TK) At-Taqwa di Kelurahan Panunggangan Kecamatan Cipondoh Kodya Tangerang mulai tahun pelajaran 1996/1997.72

Taman Kanak-kanak Taqwa ini didirikan dibelakang masjid At-Taqwa, sedangkan maksud didirikannya TK ini adalah sebagai wadah pendidikan dasar bagi anak-anak disekitar lokasi masjid terutama pendidikan dasar keislaman. Karena dirasakan oleh para nazhir akan pentingnya hadir sebuah lembaga pendidikan dasar Islam di daerah ini sebagai modal untuk menanamkan nilai-nilai keislaman dan akhlakul karimah bagi anak-anak yang berada di daerah sekitar lokasi wakaf yang merupakan daerah perkotaan.

Saat ini TK At-Taqwa memiliki 4 (empat) lokal/ruang belajar dengan jumlah siswa/i sebanyak 39 siswa dan jumlah pengajar sebanyak 5 (lima) orang guru kelas dan 3 (tiga) orang guru ekstra kurikuler, yang terdiri dari guru drumband, lukis dan menari.

Program kerja TK At-Taqwa adalah sebagai berikut : Program kerja jangka pendek :

1. Melaksanakan penerimaan murid baru pada setiap tahun ajaran baru.

72

Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat Nomor : 1175/102.1/Kep/OT/96 Tentang Izin Pendirian TK. At-Taqwa


(63)

2. Mengirimkan pengurus yayasan, Kepala Sekolah dan Guru-guru untuk mengikuti penataran yang diloaksanakan oleh Dinas Pendidikan.

3. Mengadakan dan menyempurnakan alat-alat peraga dan bermain serta menyempurnakan tata ruang belajar yang sesuai dengan keadaan murid serta ketentuan yang berlaku.

4. Meningkatkan usaha kesehatan anak dengan hubungan Puskesmas, dokter serta psiolog.

5. Mengadakan perluasan kerjasama, baik dengan pemerintah maupun swasta, demi terwujudnya sekolah yang ideal.

6. Melaksanakan studi banding pada sekolah-sekolah lain demi meningkatkan kualitas sekolah.73

Program Jangka Panjang :

1. Menyempurnakan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, khususnya penggantian/perbaikan alat-alat sekolah dan untuk keperluan guru. 2. Membangun/memperluas areal sekolah.

1.3. Madrasah Ibtidaiyyah (MI) At-Taqwa

MI At-Taqwa didirikan pada tanggal 14 Juli 1996. Lembaga pendidikan inipun seperti halnya lembaga pendidikan lain yang ada di Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa didirikan dengan pertimbangan akan perlunya kehadiran lembaga pendidikan dasar yang bersifat islami yang didalamnya tidak hanya berisikan kurikulum/ materi pelajaran

73


(64)

umum seperti bahasa Indonesia, matematika, PPKn, IPA dan lain sebagainya, tetapi juga banyak dipelajari ilmu pengetahuan keislaman secara luas, seperti ilmu fikih, bahasa Arab, al-Qur’an hadits, akidah akhlaq dan sebagainya yang tidak terdapat pada sekolah-sekolah umum.

Program kerja MI At-Taqwa terbagi menjadi : Program Kerja Jangka pendek :74

1. Kehadiran peserta didik, guru dan karyawanlebih dari 90 %. 2. Target pencapaian rata-rata nilai UASBN 4.0

3. 10 % lulusan dapat masuk di SMP/sederajat Negeri.

4. 50 % peserta didik mampu membaca Al-qur’an dengan baik dan benar.

5. 25 % peserta didik dapat menguasai kosa kata bahasa inggris dan bahasa arab.

Program Kerja Jangka Menengah :

1. Kehadiran peserta didik, guru dan karyawanlebih dari 95 %. 2. Target pencapaian rata-rata nilai UASBN 6.0

3. 20 % lulusan dapat masuk di SMP/sederajat Negeri.

4. 75 % peserta didik mampu membaca Al-qur’an dengan baik dan benar.

74

Berdasarkan data Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah At-Taqwa Pinang. h.3-4


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)