20
BAB II PEMIKIRAN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-QARADHAWI
TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA BANK
A. Biografi Kedua Tokoh 1. Biografi Ibrahim Hosen
Ibrahim  Hosen  dilahirkan  pada  tanggal  01  Januari  1917
1
di  sebuah  dusun perbatasan  kota  Tanjung  Agung  Bengkulu.  Ia  dilahirkan  dari  perkawinan  seorang
ulama sekaligus saudagar besar keturunan Bugis, KH. Hosen dengan anak bangsawan dari  keluarga  ningrat  Kerajaan  Salebar  Bengkulu  bernama  Siti  Zawiyah.  Ia  adalah
anak kedelapan dari dua belas bersaudara.
2
Ibrahim  Hosen  kecil  tumbuh  dan  dibesarkan  dalam  keluarga  yang  religius tradisional  dan  disiplin.  Oleh  sebab  itu,  ayahnya  tidak  memasukkan  Ibrahim  Hosen
kesekolah  Belanda  HIS,  meskipun  secara  materi  mampu  membiayainya.  Karena belajar  pada  sekolah  Belanda,  termasuk  mempelajari  bahasanya,  bagi  Ayahnya  dan
umumnya  yang  dianut  para  ulama  waktu  itu  masih  dianggap  tabu.  Ibrahim  Hosen dididik  Ayahnya  sendiri  dengan  pemberlakuan  jadwal  yang  ketat  baginya.  Pagi  hari
ia  harus  bangun  sebelum  Subuh,  lalu  shalat  dan  terus  belajar  mengaji,  begitu  juga
1
Tanggal,  bulan,  dan  tahun  kelahirannya  ini  menurut  penuturan  Ibrahim  kepada  anak- anaknya  adalah  berdasarkan  perkiraannya  saja,  yang  pastinya  ia  tidak  tahu  karena  dahulu  tidak  ada
catatan akte lahir dari orang tuanya. Hasil wawancara Toha Andiko dengan Nadratuzzaman, Jakarta, 14 Januari 2008.
2
Panitia  Penyusun  Biografi,  Prof.  KH.  Ibrahim  Hosen  dan  Pembaharuan  Hukum  Islam  di Indonesia,. Jakarta: Putra Harapan, 1990, h.1- 4.
sore harinya hingga tengah  malam. Sedangkan siang harinya  ia belajar di Madrasah. Disamping  itu,  ia  juga  sering  dibawa  ayahnya  berdakwah  dari  satu  surau  ke  surau
lainnya dan diajak mengunjungi para ulama terkenal yang ada pada masa itu.
3
Secara  formal,  Ibrahim  Hosen  melalui  pendidikannya  pada  Madrasah  As- Sagaf, tinggkat ibtidaiyah di Singapura tahun 1925. Menjelang duduk  di kelas IV, ia
mengikuti ayahnya dan seluruh keluarganya pindah ke Tanjung Karang. Di kota ini, ia  melanjutkan  pendidikannya  di  Mu’awanatul  Khair  Arabische  School  MAS,
sekolah  yang  didirikan  ayahnya  pada  tahun  1922.  Pada  kedua  sekolah  tersebut, prestasi  Ibrahim  Hosen  tidak  terlalu  istimewa.  Kalaupun  ada  kelebihan  dalam
beberapa mata pelajaran, seperti bahasa Arab dan penguasaan kitab kuning, ini karena ayah dan kakaknya Oesman Hosen secara khusus mengajarinya dirumah.
Setelah  Ibrahim  Hosen  melanjutkan  pendidikannya  ke  tingkat  Tsanawiyah mulai  tahun  1932-1934  di  Teluk  Betung,  mulailah  terlihat  perbedaannya  dibanding
dengan  kawan-kawannya.  Ia  sangat  tekun  dalam  belajar.  Diluar  waktu  sekolah,  ia menggunakan  kesempatan  untuk  belajar  agama  dan  bahasa  Arab  lewat  kajian  kitab-
kitab kuning kepada Kyai Nawawi.
4
Dirumah Kyai Nawawi ini pula ia menamatkan kitab  nahw,  sharf,  dan fiqih, termasuk  Minhaj  al-Abidin  dalam  bidang tasawuf.  Jadi
dari  Kyai  inilah  Ibrahim  Hosen  secara  serius  lebih  memperdalam  penguasaannya terhadap ilmu-ilmu agama, terutama bahasa arab dan fiqih.
3
Ibid., h.5
4
Kyai Nawawi bukan Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama besar yang pernah belajar dan menjadi guru di Mekkah selama kurang lebih 12 tahun. Murid-muridnya, baik sewaktu di Makkah
maupun setelah berada di Teluk Betung, bannyak yang menjadi ulama terpandang. Ibid., h.8.
Setelah  menyelesaikan  jenjang  Tsanawiyah,  Ibrahim  Hosen  merasa  bahwa ilmu  yang  didapatnya  belum  memadai.  Oleh  sebab  itu,  iapun  bertekad  harus
mengelana mencari ilmu dengan memburu guru ke tempat asalnya. Hal itu ia lakukan demi  mencapai  cita-cita  hidupnya,  belajar  untuk  menjadi  orang  alim  dalam  bidang
agama. Karena itu pula, pada tahun 1934 ia menuju pulau jawa. Tempat pertama yang ditujunya adalah pesantren Cibeber, Cilegon di kawasan Banten  yang dipimpin oleh
KH. Abdul Latif. Di Pesantren  ini, Ibrahim Hosen hanya tinggal 2 bulan. Sebab apa yang  diajarkan  di  Pesantren  Cibeber  ini  tidak  jauh  berbeda  dengan  apa  yang  pernah
diterimanya sewaktu di Teluk Betung dari Kyai Nawawi. Selain itu, sistem pesantren yang sangat tradisional menjadi alasan lain baginya untuk pergi menuju Jami’at Khair
Tanah Abang, sekolah semi Pesantren yang sangat terkenal pada, masa itu. Tujuan  Ibrahim  Hosen  ke  sekolah  tersebut    ingin  belajar  langsung  kepada
Sayyid  Ahmad  as-Segaf,  seorang  ulama  yang  sangat  mahir  dalam  ilmu  bahasa  dan sastra Arab, yang juga pernah menjadi guru kakanya, Otsman Hosen. Namun sayang
sang  guru  telah  pindah  ke  Solo  dan  sudah  tidak  mengajar  lagi.  Hal  menarik  terjadi ketika  Ibrahim  Hosen  datang  ke  Jami’at  Khair,  karena  saat  itu  ia  disangka  datang
akan  mengajar.  Ini  karena  perkenalannya  dengan  para  guru  dan  pengurus  sekolah melalui percakapan yang menggunakan bahasa Arab yang cukup fasih. Berulang kali
ia  meyakinkan  pihak  sekolah  bahwa  ia  ingin  belajar,  bukan  mengajar,  tetapi  pihak sekolah  tidak  percaya,  bahkan  mereka  menawarkan  ijazah  kepada  Ibrahim  Hosen
kalau memang membutuhkannya.
Masih  ditahun  yang  sama,  Ibrahim  Hosen  lalu  berangkat  ke  Serang  Banten menuju  Pesantren  Lontar  yang  dipimpin  oleh  KH.  TB.  Sholeh  Ma’mun  Di  Arab
Saudi dikenal dengan Syekh Ma’mun al-Khusyairi yang ahli dalam ilmu qira’at dan tilawat  al-Qur’an.  Di  sini  ia  diistimewakan  dibanding  santri  lainnya  dengan
menempati  sebuah  kamar  yang  serumah  dengan  Kyai  Sholeh  dan  belajar  secara langsung darinya setiap pagi dan  malam  hari. Sedangkan siang harinya, ia belajar di
Madrasah  Khairul  Huda,  Kaujon,  yang  dipimpin  Ustadz  Khudhari.  Walaupun  di pesantren  ini  ia  belajar  tidak  lebih  dari  6  bulan,  namun  cukup  banyak  ia  mewarisi
ilmu  dari  gurunya  tersebut.  Selain  ilmu  fiqih  dan  penguasaan  kitab-kitab  kuning lainnya, ia juga mewarisi ilmu Qira’ah dan Tilawah serta lagu-lagu berirama qasidah,
termasuk  Barzanji,  Mawalan,  dan  lainnya.  Ilmu-ilmu  inilah  kiranya  yang  telah mempengaruhi  dan  memotivasi  Ibrahim  Hosen  di  kemudian  hari  untuk  berusaha
mendirikan  Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an PTIQ yang terwujud tahun 1971 dan Istitut Ilmu al-Qur’an IIQ pada tahun 1977.
Dari  Pesantren  Lontar,  Ibrahim  Hosen  melanjutkan  pengembaraan intelektualnya ke Cirebon, tepatnya di Pesantren Buntet yang diasuh oleh KH. Abbas,
murid  kenamaan  Kyai  Hasyim  Asy’ari,  pendiri  NU.  Pada  saat  itu,  sebenarnya  Kyai Abbas  sudah  tidak  lagi  mengajar  secara  langsung,  tapi  mendelegasikannya  kepada
adik-adik  dan  anggota  keluarganya  yang  lain  karena  jumlah  santri-santrinya  yang cukup banyak. Biasanya orang yang datang ke Pesantren tersebut tidak bisa langsung
bertemu  Kyai  Abbas,  apalagi  diajarinya.  Berbeda  halnya  yang  dialami  Ibrahim Hosen, karena saat itu ia bisa langsung diterima Kyai Abbas dan diperlakukan secara
khusus  pula.  “  Tuan  sama  saya  saja  di  sini,  di  kamar  tamu,”  kata  Kyai  Abbas kepadanya.  Di  sinilah  Ibrahim  Hosen  belajar  dibawah  bimbingan  langsung  Kyai
Abbas secara intensif mulai pagi hari setelah Shubuh, lalu setelah Ashar, dan setelah Isya  setiap  harinaya,  kecuali  hari  jum’at.  Sehingga  dalam  waktu  singkat,  ia  mampu
menamatkan beberapa kitab tentang ilmu Manthiq, Fiqh, Ushul al-Fiqh, dan lainnya.
5
Begitu dekatnya hubungan Ibrahim Hosen dengan Kyai Abbas, sehingga tidak tampak lagi seperti hubungan Kyai dengan santrinya, tapi mirip pertemanan, padahal
umur  Ibrahim  Hosen  saat  itu  baru  18  tahun.  Pada  bulan  puasa  misalnya,  keduanya tetap  sahur  bersama,  begitu  pula  kalau  Kyai  Abbas  pergi  untuk  mengajar,  ceramah,
atau  pertemuan  para  ulama,  Ibrahim  selalu  diajaknya.  Kyai  Abbas  sendiri  terkenal keluhuran  ilmunya,  prilakunya  yang  santun,  ceramahnya  yang  memukau,  dan  kalau
ditanya  soal  apa  saja,  selalu  bisa  menjawabnya  dengan  tepat  dan  sempurna, disamping  dianggap  keramat  karena  kalau  cincinya  tidak  ditanggalkan,  rambutnya
susah dicukur. Dalam berbagai kesempatan itulah Ibrahim Hosen banyak belajar dari Kyai  Abbas  tentang  bagaimana  memecahkan  masalah,  berdiskusi,  dan  sekaligus
bermasyarakat.  Setelah  4  bulan,  Ibrahim  Hosen  dianggap  Kyai  Abbas  telah  tamat belajar darinya.
Selanjutnya,  Kyai  Abbas  menganjurkannya  agar  melanjutkan  belajarnya  ke Solo  atau  ke  Gunung  Puyuh,  Sukabumi.  Tapi  ia  memilih  ke  Solo  untuk  menemui
Sayyid  Ahmad  as-Segaf  yang  dulu  pernah  dicarinya  di  Jami’at  Khair.  Pada  Sayyid Ahmad as-Segaf inilah ia memperdalam lagi bahasa Arab, sedangkan tentang fiqih, ia
5
Ibid., h. 12
belajar  lagi  kepada  Muhsin  as-Segaf,  kakaknya  Sayyid  Ahmad  as-Segaf.  Setelah selesai  belajar  di  Solo,  ia  melanjutkan  pendidikannya  di  Pesantren  Gunung  Puyuh
pada  KH.  Sanusi  yang  dikenal  tinggi  ilmunya  dan  sangat  pandai  dalam  berdebat. Sama  seperti  di  pesantren  sebelumnnya,  di  Gunung  Puyuh  inipun  Ibrahim  Hosen
mendapat perlakuan istimewa. Ia tidak tinggal di pesantren, melainkan di rumah salah seorang  keluarga  Kyai  Sanusi.  Di  pesantren  inilah  ia  belajar    ilmu  Balaghah,  yakni
Ma’ani, Bayan, Badi, dan kitab-kitab lainnya selama kurang dari 5 bulan.
6
Totalnya,  kurangnya  dari  setahun  Ibrahim  Hosen  menghabiskan  waktunya untuk  pengembaraan  intelektualnya  ke  berbagai  pesantren  dari  satu  Kyai  ke  Kyai-
Kyai  lainnya.  Hasilnya,  Ibrahim  dapat  menguasai  berbagai  ilmu  agama  dan kemasyarakatan  yang  menjadi  bekal  dalam  perjalanan  hidupnya  di  kemudian  hari
sebagai  ulama  yang  disegani  karena  kedalaman  pemahamannya  dan  keluasan  dan wawasannya.
Ketika  Ibrahim  Hosen  dipercaya  menjabat  sebagai  Imam  Besar  di  Bengkulu tahun  1942,  Jepang  memberinya  kesempatan  melanjutkan  belajar  ke  Batu  Sangkar
untuk bersekolah di Gunsei Gakko sebelumnya bernama Jakiyu Kanri Gakko yang mendidik para pelajarnya yang sudah menjadi pegawai untuk menjadi asisten wedana
Fuku  Guncho.  Tapi  karena  Ibrahim  bukan  seorang  pegawai,  maka  ia  dipersiapkan menjadi  Syukiyo  Gakari  Pimpinan  Urusan  Agama  pada  Bun  Kyoka  Departemen
6
Ibid., h.14
PK  Keresidenan  Bengkulu.
7
Disekolah  inilah  tampaknya  ia  mulai  mengenal  dan banyak  menimba  ilmu  pemerintahan  dan  persoalan-persoalan  administrasi  serta
organisasi  yang  berperan  besar  dan  sangat  membantunya  dalam  pengembangan karirnya  kelak  sebagai  pegawai  pemerintah,  baik  pada  Departemen  Agama  maupun
dalam  jabatan-jabatan  struktural  lainnya  dalam  organisasi  kemasyarakatan  dan keagamaan.
Ketika  Pemilu  I  RI  baru  saja  selesai,  tepatnya  pada  bulan  September  1955, walaupun  dalam  keadaan  sakit,  Ibrahim  Hosen  yang  selalu  haus  akan  ilmu
meneruskan  kembali  pengembaraan  intelektualnya  menuju  Mesir.  Sesampainya  di Mesir,  ia  tidak  dapat  langsung  kuliah,  sebab  peraturan  yang  berlaku  saat  itu
mengharuskan semua  mahasiswa asing  yang tidak memiliki  ijazah Madrasah  Aliyah yang salah satu gurunya harus ada utusan dari al-Azhar, tidak bisa kuliah langsung di
Universitas  al-Azhar.  Jadi  harus  melewati  jenjang  Aliyah  di  Mesir  terlebih  dahulu. Namun  demi  menjaga  nama  baik  dan  citranya  sebagai  ulama  Ibrahim  Hosen
menempuh  cara  lain  dengan  menimba  ilmu  secara  sorogan    dari  Syaikh  Ied  Washif dalam  bidang  fiqih  dan  belajar  pada  Prof.  Dr.  Hasan  Jad  dalam  bidang  sastra.
Sehingga  dalam  waktu  setahun,  ia  pun  tercatat  sebagai  satu-satunya  mahasiswa “mustami” yang mendapat beasiswa di Fakultas Sastra Universitas al-Azhar.
8
Selama  4  tahun  menempuh  kuliah  di  Universitas  al-Azhar  Kairo,  Mesir, Ibrahim  Hosen  tidak  hanya  berkutat  di  bidang  akademis  dengan  menimba  ilmu
7
Ibid., h. 22-23
8
Ibid., h. 42-43
sebanyak-banyaknya  dari  berbagai  ulama  di  sana,  mamun  ia  juga  berusaha mendalami  adat  istiadat  yang  berlaku  di  Mesir  dan  mencoba  menyatu  dengan
masyarakatnya.  Karena  pergaulannya  yang  luas  dan  senioritasnya,  iapun  terpilih sebagi  Ketua  Umum  Himpunan  Pelajar  Indonesia  HPI  di  Kairo  saat  itu.  Maka tak
heran  kiranya  jika  Ibrahim  Hosen  sangat  dikenal  oleh  para  mahasiswa  Indonesia  di Mesir dan orang-orang yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia.
9
Ibrahim  Hosen  menamatkan  pendidikan  formalnya  dan  mendapat  ijazah  dari Universitas  al-Azhar  Kairo  berupa  Syahadat  al-Aliyah  li  Kuliyat  al-Syari’ah  pada
bulan  Desember  tahun  1960  M  Rajab  1380  H.  Yang  menurut  Undang-Undang Mesir,  sama  derajatnya  dengan  Licence  dalam  bidang  syari’ah  hukum  Islam.
Prestasinya  sangat  memuaskan  mumtaz,  sebab  ia  tercatat  telah  lulus  dari  semua ujian pada tahun 1959 M1379 H dengan nilai ushul al-fiqh mencapai 39 dan fiqih 38
dari nilai tertinggi 40. Iapun berada pada rangking ketiga dari keseluruhan mahasiswa al-Azhar  dari  Fakultas  Syariah  masa  itu  yang  berjumlah  87  orang.  Dan  menurut
ketentuan  UU  Mesir  tahun  1936  yang  berlaku  hingga  saat  itu,  bagi  yang  telah mendapatkan  gelar  Licence  diperbolehkan  langsung  promosi  doktor  tanpa  harus
melewati jenjang S2.  Dengan syarat, yang bersangkutan harus kuliah tiga tahun dan ditambah  dua  tahun  untuk  menyusun  disertasi.  Atau,  bisa  juga  dengan  mengajar
selama  lima  tahun.  Setelah  lima  tahun,  lalu  harus  kembali  lagi  ke  Mesir  dengan
9
Toha  Andiko,  “Ijtihad  Ibrahim  Hosen  Dalam  Dinamika  Pemikiran  Hukum  Islam  di Indonesia,”  Disertasi  Sekolah  Pascasarjana  Universitas  Islam  Negeri  Syarif  Hidayatullah  Jakarta,
2009, h.29.
membawa  disertasi  yang  siap  diuji,  untuk  meraih  gelar  doktor  dari  Universitas  al- Azhar.
10
Bekal  dari  pendidikannya  dari  Fakultas  Syari’ah  di  al-Azhar  inilah  kiranya yang  telah  mengubah  pandangan  Ibrahim  Hosen  tentang  syari’ah  dan  fiqih.  Ia  yang
sebelumnya  sangat  fanatik  pada  kebenaran  pendapat  dari  mazhab  Syafi’I  kini  mulai membuka  diri  terhadap  kebenaran  pendapat  dari  mazhab-mazhab  lainnya.  Di  sini
mulai  terbuka  cakrawala  berfikirnya  tentang  keaneka  ragaman  fiqih  dan  kewajaran perbedaan  pendapat  yang  terjadi  dikalangan  imam  mazhab  dan  pengikutnya  karena
memang  watak  fiqih  itu  sendiri  “berbeda  pendapat”    sebagai  hasil  dari  seorang mujtahid  yang  hanya  mengikat  bagi  mujtahidnya  saja,  tapi  tidak  terhadap  yang
lainnya. Oleh sebab itu, iapun tidak terikat lagi hanya pada satu madzhab tertentu. Ibrahim Hosen lalu memutuskan untuk memilih alternatif kedua yaitu dengan
pulang  ke  tanah  air  untuk  mengajar  di  Universitas  Islam  Sumatra  Utara  UISU Medan,  Jami’ah  al-Washliyah,  dan  IAIN    Raden  Fatah  Palembang.  Disela-sela
kesibukannya mengajar, ia tetap terus menulis disertasi untuk meraih gelar doktornya. Tapi,  baru  saja  dua  tahun  berjalan  pengabdiannya,  tepatnya  pada  tanggal  17  Juli
tahun  1962,  Ibrahim  Hosen  mendapat  anugerah  gelar  Profesor.  Maka  menurut kelaziman  Universitas,  promosi  doktornya  tidak  perlu  lagi  diteruskan,  sebab  yang
memberi gelar doktor adalah Profesor. Walupun demikian, tulisan untuk disertasinya tetap  ia  teruskan  penyelesaiannya  yang  sebagiannya  belakangan  diterjemahkan  ke
10
Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen, h. 46.
dalam  bahasa  Indonesia  dengan  judul  “Fiqh  Perbandingan  Dalam  Masalah  Nikah, Thalaq, Ruju’ Dan Kewarisan” Jilid I .
Tabel: Pendidikan Ibrahim Hosen
No NamaTempat
Tingkat Tahun
Keterangan 1
Madrasah As-Sagaf Singapura Ibtidaiyah
1925-1930 2
Muawanatul  Khair  Arabische School MAS Teluk Betung
Tsanawiyah 1932-1934
3 Pesantren Cibeber Cilegon
- 1934
2 bulan 4
Pesantren Lontar Serang Banten -
1934 6 bulan
5 Pesantren Buntet Cirebon
- 1934
4 bulan 6
Jami’at Khaer Solo -
1935 +1 bulan
7 Pesantren
Gunung Puyuh
Sukabumi -
1942 8
Gunsei  Gakko  Batu  Sangkar Tanah Datar Sumatra Barat
Sekolah Karir 1942
9 Universitas Al-Azhar, Mesir
Licence 1955-1959
Karya-Karyanya
Ibrahim Hosen adalah seorang ulama yang aktif berdakwah melalui lisan dan tulisan. Namun kapasitasnya sebagai ulama ilmuwan lebih menonjol daripada sebagai
ulama mubaligh. Terbukti, ia sangat produktif untuk masanya dalam hal penyampaian ide-idenya  melalui  berbagai  tulisan,  seperti  dalam  bentuk  buku,  tulisan  di  jurnal
ilmiah,  makalah-makalah  seminar,  maupun  artikel  ilmiah  populer  yang  dimuat dimajalah  dan  koran.  Tulisan-tulisannya  mayoritas  adalah  counter  dan  tanggapan
terhadap pendapat umum yang berkembang saat itu yang dianggapnya kurang sesuai, baik  tidak  sesuai  dalam  tujuan  secara  kebahasaan,  dalil  hukum  dan  kaedah-
kaedahnya, maupun yang bertentangan dengan maqasid al-syari’ah dikaitkan dengan sosio kultural dan politik pada  masa  itu  yang perlu diluruskan. Ada kalanya sebagai
solusi untuk menjawab permasalahan yang masih samar sehingga terjadi kesimpang- siuran  karena  belum  ditemukan  jawabannya  yang  meyakinkan  masyarakat,  dan  ada
pula sebagai tawaran ilmiah yang lebih bersifat akademis.
Tabel: Klasifiksi Karya-karya Ibrahim Hosen
No Judul
Jenis Tahun  Tempat
Penerbit Keterangan
A. IBADAH 1
Sahkah  Khutbah  dengan  bahsa ‘Ajam?
Buku 1940
Bengkulu Belum
ditemukan 2
Tuntutan Sabil Buku
- Bengkulu
Belum ditemukan
3 “Hukum
Memakai JilbabKerudung  Bagi  Muslimah
Menurut Hukum Islam” Artikel
1989 Jakarta
Tempo
4 “Modernisasi  Pengembangan  dan
Pemberdayagunaan Zakat” MDT
1991 Jakarta
5 “Sekitar  Pengertian  Islam  dan
Aurat  Wanita  Catatan  Buat  Dr. Nurcholis Madjid”
MDT 1992
Jakarta Komisi
Fatwa MUI
6 “Peranan  Zakat  Dalam  Upaya
Pengentasan Kemiskinan:
Peningkatan Wawasan
dan Pemahaman
Terhadap Pensyari’atan Zakat”
MDT 1993
Jakarta
7 “Hikmah  Puasa  dan  Kaitannya
Dengan Pemerataan Kesejahteraan Sosial”
Artikel 1993
Jakarta Media
Al-Furqan
8 “Konstribusi  Ibadah  Haji  Bagi
Kesejahteraan Umat
Analisis Terhadap  Pensyari’atan  al-Hadyu
” MDT
1993 Jakarta
Komisi Fatwa MUI
9 “Penetapan
Awal Bulan
Qaamariah  Menurut  Islam  dan Permasalahannya”
Artikel 1994
Jakarta Mimbar
Hukum
10 “Pandangan
Islam Tentang
Patung” MDT
- -
Belum Ditemukan
B. MU’AMALAH