Biografi Kedua Tokoh 1. Biografi Ibrahim Hosen

20

BAB II PEMIKIRAN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-QARADHAWI

TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA BANK

A. Biografi Kedua Tokoh 1. Biografi Ibrahim Hosen

Ibrahim Hosen dilahirkan pada tanggal 01 Januari 1917 1 di sebuah dusun perbatasan kota Tanjung Agung Bengkulu. Ia dilahirkan dari perkawinan seorang ulama sekaligus saudagar besar keturunan Bugis, KH. Hosen dengan anak bangsawan dari keluarga ningrat Kerajaan Salebar Bengkulu bernama Siti Zawiyah. Ia adalah anak kedelapan dari dua belas bersaudara. 2 Ibrahim Hosen kecil tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang religius tradisional dan disiplin. Oleh sebab itu, ayahnya tidak memasukkan Ibrahim Hosen kesekolah Belanda HIS, meskipun secara materi mampu membiayainya. Karena belajar pada sekolah Belanda, termasuk mempelajari bahasanya, bagi Ayahnya dan umumnya yang dianut para ulama waktu itu masih dianggap tabu. Ibrahim Hosen dididik Ayahnya sendiri dengan pemberlakuan jadwal yang ketat baginya. Pagi hari ia harus bangun sebelum Subuh, lalu shalat dan terus belajar mengaji, begitu juga 1 Tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya ini menurut penuturan Ibrahim kepada anak- anaknya adalah berdasarkan perkiraannya saja, yang pastinya ia tidak tahu karena dahulu tidak ada catatan akte lahir dari orang tuanya. Hasil wawancara Toha Andiko dengan Nadratuzzaman, Jakarta, 14 Januari 2008. 2 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,. Jakarta: Putra Harapan, 1990, h.1- 4. sore harinya hingga tengah malam. Sedangkan siang harinya ia belajar di Madrasah. Disamping itu, ia juga sering dibawa ayahnya berdakwah dari satu surau ke surau lainnya dan diajak mengunjungi para ulama terkenal yang ada pada masa itu. 3 Secara formal, Ibrahim Hosen melalui pendidikannya pada Madrasah As- Sagaf, tinggkat ibtidaiyah di Singapura tahun 1925. Menjelang duduk di kelas IV, ia mengikuti ayahnya dan seluruh keluarganya pindah ke Tanjung Karang. Di kota ini, ia melanjutkan pendidikannya di Mu’awanatul Khair Arabische School MAS, sekolah yang didirikan ayahnya pada tahun 1922. Pada kedua sekolah tersebut, prestasi Ibrahim Hosen tidak terlalu istimewa. Kalaupun ada kelebihan dalam beberapa mata pelajaran, seperti bahasa Arab dan penguasaan kitab kuning, ini karena ayah dan kakaknya Oesman Hosen secara khusus mengajarinya dirumah. Setelah Ibrahim Hosen melanjutkan pendidikannya ke tingkat Tsanawiyah mulai tahun 1932-1934 di Teluk Betung, mulailah terlihat perbedaannya dibanding dengan kawan-kawannya. Ia sangat tekun dalam belajar. Diluar waktu sekolah, ia menggunakan kesempatan untuk belajar agama dan bahasa Arab lewat kajian kitab- kitab kuning kepada Kyai Nawawi. 4 Dirumah Kyai Nawawi ini pula ia menamatkan kitab nahw, sharf, dan fiqih, termasuk Minhaj al-Abidin dalam bidang tasawuf. Jadi dari Kyai inilah Ibrahim Hosen secara serius lebih memperdalam penguasaannya terhadap ilmu-ilmu agama, terutama bahasa arab dan fiqih. 3 Ibid., h.5 4 Kyai Nawawi bukan Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama besar yang pernah belajar dan menjadi guru di Mekkah selama kurang lebih 12 tahun. Murid-muridnya, baik sewaktu di Makkah maupun setelah berada di Teluk Betung, bannyak yang menjadi ulama terpandang. Ibid., h.8. Setelah menyelesaikan jenjang Tsanawiyah, Ibrahim Hosen merasa bahwa ilmu yang didapatnya belum memadai. Oleh sebab itu, iapun bertekad harus mengelana mencari ilmu dengan memburu guru ke tempat asalnya. Hal itu ia lakukan demi mencapai cita-cita hidupnya, belajar untuk menjadi orang alim dalam bidang agama. Karena itu pula, pada tahun 1934 ia menuju pulau jawa. Tempat pertama yang ditujunya adalah pesantren Cibeber, Cilegon di kawasan Banten yang dipimpin oleh KH. Abdul Latif. Di Pesantren ini, Ibrahim Hosen hanya tinggal 2 bulan. Sebab apa yang diajarkan di Pesantren Cibeber ini tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah diterimanya sewaktu di Teluk Betung dari Kyai Nawawi. Selain itu, sistem pesantren yang sangat tradisional menjadi alasan lain baginya untuk pergi menuju Jami’at Khair Tanah Abang, sekolah semi Pesantren yang sangat terkenal pada, masa itu. Tujuan Ibrahim Hosen ke sekolah tersebut ingin belajar langsung kepada Sayyid Ahmad as-Segaf, seorang ulama yang sangat mahir dalam ilmu bahasa dan sastra Arab, yang juga pernah menjadi guru kakanya, Otsman Hosen. Namun sayang sang guru telah pindah ke Solo dan sudah tidak mengajar lagi. Hal menarik terjadi ketika Ibrahim Hosen datang ke Jami’at Khair, karena saat itu ia disangka datang akan mengajar. Ini karena perkenalannya dengan para guru dan pengurus sekolah melalui percakapan yang menggunakan bahasa Arab yang cukup fasih. Berulang kali ia meyakinkan pihak sekolah bahwa ia ingin belajar, bukan mengajar, tetapi pihak sekolah tidak percaya, bahkan mereka menawarkan ijazah kepada Ibrahim Hosen kalau memang membutuhkannya. Masih ditahun yang sama, Ibrahim Hosen lalu berangkat ke Serang Banten menuju Pesantren Lontar yang dipimpin oleh KH. TB. Sholeh Ma’mun Di Arab Saudi dikenal dengan Syekh Ma’mun al-Khusyairi yang ahli dalam ilmu qira’at dan tilawat al-Qur’an. Di sini ia diistimewakan dibanding santri lainnya dengan menempati sebuah kamar yang serumah dengan Kyai Sholeh dan belajar secara langsung darinya setiap pagi dan malam hari. Sedangkan siang harinya, ia belajar di Madrasah Khairul Huda, Kaujon, yang dipimpin Ustadz Khudhari. Walaupun di pesantren ini ia belajar tidak lebih dari 6 bulan, namun cukup banyak ia mewarisi ilmu dari gurunya tersebut. Selain ilmu fiqih dan penguasaan kitab-kitab kuning lainnya, ia juga mewarisi ilmu Qira’ah dan Tilawah serta lagu-lagu berirama qasidah, termasuk Barzanji, Mawalan, dan lainnya. Ilmu-ilmu inilah kiranya yang telah mempengaruhi dan memotivasi Ibrahim Hosen di kemudian hari untuk berusaha mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an PTIQ yang terwujud tahun 1971 dan Istitut Ilmu al-Qur’an IIQ pada tahun 1977. Dari Pesantren Lontar, Ibrahim Hosen melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Cirebon, tepatnya di Pesantren Buntet yang diasuh oleh KH. Abbas, murid kenamaan Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Pada saat itu, sebenarnya Kyai Abbas sudah tidak lagi mengajar secara langsung, tapi mendelegasikannya kepada adik-adik dan anggota keluarganya yang lain karena jumlah santri-santrinya yang cukup banyak. Biasanya orang yang datang ke Pesantren tersebut tidak bisa langsung bertemu Kyai Abbas, apalagi diajarinya. Berbeda halnya yang dialami Ibrahim Hosen, karena saat itu ia bisa langsung diterima Kyai Abbas dan diperlakukan secara khusus pula. “ Tuan sama saya saja di sini, di kamar tamu,” kata Kyai Abbas kepadanya. Di sinilah Ibrahim Hosen belajar dibawah bimbingan langsung Kyai Abbas secara intensif mulai pagi hari setelah Shubuh, lalu setelah Ashar, dan setelah Isya setiap harinaya, kecuali hari jum’at. Sehingga dalam waktu singkat, ia mampu menamatkan beberapa kitab tentang ilmu Manthiq, Fiqh, Ushul al-Fiqh, dan lainnya. 5 Begitu dekatnya hubungan Ibrahim Hosen dengan Kyai Abbas, sehingga tidak tampak lagi seperti hubungan Kyai dengan santrinya, tapi mirip pertemanan, padahal umur Ibrahim Hosen saat itu baru 18 tahun. Pada bulan puasa misalnya, keduanya tetap sahur bersama, begitu pula kalau Kyai Abbas pergi untuk mengajar, ceramah, atau pertemuan para ulama, Ibrahim selalu diajaknya. Kyai Abbas sendiri terkenal keluhuran ilmunya, prilakunya yang santun, ceramahnya yang memukau, dan kalau ditanya soal apa saja, selalu bisa menjawabnya dengan tepat dan sempurna, disamping dianggap keramat karena kalau cincinya tidak ditanggalkan, rambutnya susah dicukur. Dalam berbagai kesempatan itulah Ibrahim Hosen banyak belajar dari Kyai Abbas tentang bagaimana memecahkan masalah, berdiskusi, dan sekaligus bermasyarakat. Setelah 4 bulan, Ibrahim Hosen dianggap Kyai Abbas telah tamat belajar darinya. Selanjutnya, Kyai Abbas menganjurkannya agar melanjutkan belajarnya ke Solo atau ke Gunung Puyuh, Sukabumi. Tapi ia memilih ke Solo untuk menemui Sayyid Ahmad as-Segaf yang dulu pernah dicarinya di Jami’at Khair. Pada Sayyid Ahmad as-Segaf inilah ia memperdalam lagi bahasa Arab, sedangkan tentang fiqih, ia 5 Ibid., h. 12 belajar lagi kepada Muhsin as-Segaf, kakaknya Sayyid Ahmad as-Segaf. Setelah selesai belajar di Solo, ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Gunung Puyuh pada KH. Sanusi yang dikenal tinggi ilmunya dan sangat pandai dalam berdebat. Sama seperti di pesantren sebelumnnya, di Gunung Puyuh inipun Ibrahim Hosen mendapat perlakuan istimewa. Ia tidak tinggal di pesantren, melainkan di rumah salah seorang keluarga Kyai Sanusi. Di pesantren inilah ia belajar ilmu Balaghah, yakni Ma’ani, Bayan, Badi, dan kitab-kitab lainnya selama kurang dari 5 bulan. 6 Totalnya, kurangnya dari setahun Ibrahim Hosen menghabiskan waktunya untuk pengembaraan intelektualnya ke berbagai pesantren dari satu Kyai ke Kyai- Kyai lainnya. Hasilnya, Ibrahim dapat menguasai berbagai ilmu agama dan kemasyarakatan yang menjadi bekal dalam perjalanan hidupnya di kemudian hari sebagai ulama yang disegani karena kedalaman pemahamannya dan keluasan dan wawasannya. Ketika Ibrahim Hosen dipercaya menjabat sebagai Imam Besar di Bengkulu tahun 1942, Jepang memberinya kesempatan melanjutkan belajar ke Batu Sangkar untuk bersekolah di Gunsei Gakko sebelumnya bernama Jakiyu Kanri Gakko yang mendidik para pelajarnya yang sudah menjadi pegawai untuk menjadi asisten wedana Fuku Guncho. Tapi karena Ibrahim bukan seorang pegawai, maka ia dipersiapkan menjadi Syukiyo Gakari Pimpinan Urusan Agama pada Bun Kyoka Departemen 6 Ibid., h.14 PK Keresidenan Bengkulu. 7 Disekolah inilah tampaknya ia mulai mengenal dan banyak menimba ilmu pemerintahan dan persoalan-persoalan administrasi serta organisasi yang berperan besar dan sangat membantunya dalam pengembangan karirnya kelak sebagai pegawai pemerintah, baik pada Departemen Agama maupun dalam jabatan-jabatan struktural lainnya dalam organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Ketika Pemilu I RI baru saja selesai, tepatnya pada bulan September 1955, walaupun dalam keadaan sakit, Ibrahim Hosen yang selalu haus akan ilmu meneruskan kembali pengembaraan intelektualnya menuju Mesir. Sesampainya di Mesir, ia tidak dapat langsung kuliah, sebab peraturan yang berlaku saat itu mengharuskan semua mahasiswa asing yang tidak memiliki ijazah Madrasah Aliyah yang salah satu gurunya harus ada utusan dari al-Azhar, tidak bisa kuliah langsung di Universitas al-Azhar. Jadi harus melewati jenjang Aliyah di Mesir terlebih dahulu. Namun demi menjaga nama baik dan citranya sebagai ulama Ibrahim Hosen menempuh cara lain dengan menimba ilmu secara sorogan dari Syaikh Ied Washif dalam bidang fiqih dan belajar pada Prof. Dr. Hasan Jad dalam bidang sastra. Sehingga dalam waktu setahun, ia pun tercatat sebagai satu-satunya mahasiswa “mustami” yang mendapat beasiswa di Fakultas Sastra Universitas al-Azhar. 8 Selama 4 tahun menempuh kuliah di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, Ibrahim Hosen tidak hanya berkutat di bidang akademis dengan menimba ilmu 7 Ibid., h. 22-23 8 Ibid., h. 42-43 sebanyak-banyaknya dari berbagai ulama di sana, mamun ia juga berusaha mendalami adat istiadat yang berlaku di Mesir dan mencoba menyatu dengan masyarakatnya. Karena pergaulannya yang luas dan senioritasnya, iapun terpilih sebagi Ketua Umum Himpunan Pelajar Indonesia HPI di Kairo saat itu. Maka tak heran kiranya jika Ibrahim Hosen sangat dikenal oleh para mahasiswa Indonesia di Mesir dan orang-orang yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. 9 Ibrahim Hosen menamatkan pendidikan formalnya dan mendapat ijazah dari Universitas al-Azhar Kairo berupa Syahadat al-Aliyah li Kuliyat al-Syari’ah pada bulan Desember tahun 1960 M Rajab 1380 H. Yang menurut Undang-Undang Mesir, sama derajatnya dengan Licence dalam bidang syari’ah hukum Islam. Prestasinya sangat memuaskan mumtaz, sebab ia tercatat telah lulus dari semua ujian pada tahun 1959 M1379 H dengan nilai ushul al-fiqh mencapai 39 dan fiqih 38 dari nilai tertinggi 40. Iapun berada pada rangking ketiga dari keseluruhan mahasiswa al-Azhar dari Fakultas Syariah masa itu yang berjumlah 87 orang. Dan menurut ketentuan UU Mesir tahun 1936 yang berlaku hingga saat itu, bagi yang telah mendapatkan gelar Licence diperbolehkan langsung promosi doktor tanpa harus melewati jenjang S2. Dengan syarat, yang bersangkutan harus kuliah tiga tahun dan ditambah dua tahun untuk menyusun disertasi. Atau, bisa juga dengan mengajar selama lima tahun. Setelah lima tahun, lalu harus kembali lagi ke Mesir dengan 9 Toha Andiko, “Ijtihad Ibrahim Hosen Dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam di Indonesia,” Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h.29. membawa disertasi yang siap diuji, untuk meraih gelar doktor dari Universitas al- Azhar. 10 Bekal dari pendidikannya dari Fakultas Syari’ah di al-Azhar inilah kiranya yang telah mengubah pandangan Ibrahim Hosen tentang syari’ah dan fiqih. Ia yang sebelumnya sangat fanatik pada kebenaran pendapat dari mazhab Syafi’I kini mulai membuka diri terhadap kebenaran pendapat dari mazhab-mazhab lainnya. Di sini mulai terbuka cakrawala berfikirnya tentang keaneka ragaman fiqih dan kewajaran perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan imam mazhab dan pengikutnya karena memang watak fiqih itu sendiri “berbeda pendapat” sebagai hasil dari seorang mujtahid yang hanya mengikat bagi mujtahidnya saja, tapi tidak terhadap yang lainnya. Oleh sebab itu, iapun tidak terikat lagi hanya pada satu madzhab tertentu. Ibrahim Hosen lalu memutuskan untuk memilih alternatif kedua yaitu dengan pulang ke tanah air untuk mengajar di Universitas Islam Sumatra Utara UISU Medan, Jami’ah al-Washliyah, dan IAIN Raden Fatah Palembang. Disela-sela kesibukannya mengajar, ia tetap terus menulis disertasi untuk meraih gelar doktornya. Tapi, baru saja dua tahun berjalan pengabdiannya, tepatnya pada tanggal 17 Juli tahun 1962, Ibrahim Hosen mendapat anugerah gelar Profesor. Maka menurut kelaziman Universitas, promosi doktornya tidak perlu lagi diteruskan, sebab yang memberi gelar doktor adalah Profesor. Walupun demikian, tulisan untuk disertasinya tetap ia teruskan penyelesaiannya yang sebagiannya belakangan diterjemahkan ke 10 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen, h. 46. dalam bahasa Indonesia dengan judul “Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Thalaq, Ruju’ Dan Kewarisan” Jilid I . Tabel: Pendidikan Ibrahim Hosen No NamaTempat Tingkat Tahun Keterangan 1 Madrasah As-Sagaf Singapura Ibtidaiyah 1925-1930 2 Muawanatul Khair Arabische School MAS Teluk Betung Tsanawiyah 1932-1934 3 Pesantren Cibeber Cilegon - 1934 2 bulan 4 Pesantren Lontar Serang Banten - 1934 6 bulan 5 Pesantren Buntet Cirebon - 1934 4 bulan 6 Jami’at Khaer Solo - 1935 +1 bulan 7 Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi - 1942 8 Gunsei Gakko Batu Sangkar Tanah Datar Sumatra Barat Sekolah Karir 1942 9 Universitas Al-Azhar, Mesir Licence 1955-1959 Karya-Karyanya Ibrahim Hosen adalah seorang ulama yang aktif berdakwah melalui lisan dan tulisan. Namun kapasitasnya sebagai ulama ilmuwan lebih menonjol daripada sebagai ulama mubaligh. Terbukti, ia sangat produktif untuk masanya dalam hal penyampaian ide-idenya melalui berbagai tulisan, seperti dalam bentuk buku, tulisan di jurnal ilmiah, makalah-makalah seminar, maupun artikel ilmiah populer yang dimuat dimajalah dan koran. Tulisan-tulisannya mayoritas adalah counter dan tanggapan terhadap pendapat umum yang berkembang saat itu yang dianggapnya kurang sesuai, baik tidak sesuai dalam tujuan secara kebahasaan, dalil hukum dan kaedah- kaedahnya, maupun yang bertentangan dengan maqasid al-syari’ah dikaitkan dengan sosio kultural dan politik pada masa itu yang perlu diluruskan. Ada kalanya sebagai solusi untuk menjawab permasalahan yang masih samar sehingga terjadi kesimpang- siuran karena belum ditemukan jawabannya yang meyakinkan masyarakat, dan ada pula sebagai tawaran ilmiah yang lebih bersifat akademis. Tabel: Klasifiksi Karya-karya Ibrahim Hosen No Judul Jenis Tahun Tempat Penerbit Keterangan A. IBADAH 1 Sahkah Khutbah dengan bahsa ‘Ajam? Buku 1940 Bengkulu Belum ditemukan 2 Tuntutan Sabil Buku - Bengkulu Belum ditemukan 3 “Hukum Memakai JilbabKerudung Bagi Muslimah Menurut Hukum Islam” Artikel 1989 Jakarta Tempo 4 “Modernisasi Pengembangan dan Pemberdayagunaan Zakat” MDT 1991 Jakarta 5 “Sekitar Pengertian Islam dan Aurat Wanita Catatan Buat Dr. Nurcholis Madjid” MDT 1992 Jakarta Komisi Fatwa MUI 6 “Peranan Zakat Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan: Peningkatan Wawasan dan Pemahaman Terhadap Pensyari’atan Zakat” MDT 1993 Jakarta 7 “Hikmah Puasa dan Kaitannya Dengan Pemerataan Kesejahteraan Sosial” Artikel 1993 Jakarta Media Al-Furqan 8 “Konstribusi Ibadah Haji Bagi Kesejahteraan Umat Analisis Terhadap Pensyari’atan al-Hadyu ” MDT 1993 Jakarta Komisi Fatwa MUI 9 “Penetapan Awal Bulan Qaamariah Menurut Islam dan Permasalahannya” Artikel 1994 Jakarta Mimbar Hukum 10 “Pandangan Islam Tentang Patung” MDT - - Belum Ditemukan

B. MU’AMALAH