Pendapat Ulama dan Para Ahli Terhadap Status Hukum Bunga Bank Argumen Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi

BAB III ARGUMEN

IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-QARADHAWI TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA BANK

A. Pendapat Ulama dan Para Ahli Terhadap Status Hukum Bunga Bank

Dalam pembahasan bab ini penulis akan memaparkan pendapat status hukum bunga bank dari berbagai macam pendapat ulama dan para ahli, kemudian Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi memberikan argumen dari pendapat itu. 1. Pendapat Yang Mengatakan Bahwa Bunga Bank Tidak Termasuk Kategori Riba Yang Terlarang. Sebab yang dilarang adalah pinjaman yang bunganya berlipat ganda sebagaimana yang terjadi di zaman Jahiliyah, sejalan dengan mafhum mukhalafah ayat:               Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Ali Imran, 130 Demikian pandangan Syekh Abdul Aziz Jawaisy. 1 Sementara kalangan masyarakat kita juga ada yang berpendapat demikian. 1 Ibrahim Hosen, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, makalah disampaikan pada “Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan”. Cisarua-Bogor, 19-22 Agustus 1990, h. 13. 63

B. Argumen Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi

Menurut Ibrahim Hosen ushuliyyin telah konsensus bahwa qaid atau keterangan yang sudah ada faidahnya tidak ada mafhum mukhalafah. Qaid atau keterangan yang sudah ada faedahnya antara lain: a. Untuk menyesuaikan jawaban dengan pertanyaan. Misalnya seorang mahasiswa bertanya kepada dosen: “ Apakah mahasiswa yang berbaju putih itu boleh masuk?”. Maka dosen menjawab: “ Oh ya, mahasiswa yang bajunya putih itu boleh masuk”. Ucapan dosen ini tidak bisa dipahami sebagai mafhum mukhalafahnya bahwa yang bajunya tidak putih tidak boleh masuk, itu tidak. Karena keterangan yang berbaju putih tadi sudah ada faedahnya, yaitu sekedar untuk menyesuaikan dengan pertanyaan yang diajukan. b. Menerangkan fakta atau kejadian yang terjadi Contohnya seperti ayat 130 Ali Imran diatas. Kata “Adl’afan Mudla’afah”, yang artinya “berlipat ganda” dalam ayat tersebut sudah ada faedahnya, yaitu menerangkan fakta atau kejadian yang terjadi, dimana riba yang terjadi di zaman jahiliyah itu pada umumnya bunganya berlipat ganda. Oleh karena itu “Adl’afan Mudha’afah” tidak ada mafhum mukhalafahnya, sehingga tidak dapat dipahami bahwa riba yang bunganya tidak berlipat ganda maka hukumnya halal atau boleh. Itu tidak. Dalam hal ini Ulama telah konsensus. Kalau seandainya ayat 130 Ali Imran di atas ada mafhum mukhalafahnya maka nash-nash lain yang senada atau sejenis harus pula dipahami demikian ada mafhum mukhalafahnya. Misalnya: 1. Al-Isra’, 31:      “ Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan”. Sebagai mafhum mukhalafahnya maka kita tidak boleh membunuh anak-anak kita kalau motivasinya bukan karena khawatir miskin atau tidak bisa memberi makan. Nah apakah memang demikian? 2. Al-Nisa’, 101:                    “ Apabila kamu berpergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut di serang orang-orang kafir ” . Sebagai mafhum mukhalafahnya berarti dalam kondisi aman kita tidak dibenarkan mengqasar shalat dalam berpergian. Nah apakah memang demikian? Ulama ’ telah konsensus bahwa kebolehan mengqashar sholat bagi musafir adalah mutlak, baik -dalam kondisi khawatir diserang musuh atau dalam keadaan aman. 3. Al-Nisa ’ , 23:            “ Dan haram menikahi anak-anak istrimu anak tiri yang dalam pemeliharaan atau asuhanmu dari istri yang telah kamu campuri ” . Sebagai mafhum mukhalafahnya berarti boleh menikahi anak tiri, kalau anak tiri itu tidak dalam pemelliharaan atau asuhan kita. Nah, apakah memang demikian? 4. Hadits Nabi Disamping itu juga pemahaman tersebut Adl ’ afan Mudla ’ afah ada mafhum mukhalafahnya juga kontra dengan mantuq pengesahan tekstual ayat 279 Al- Baqarah:            “ Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba maka bagimu pokok hartamu, tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya ” Menurut kaidah Ushul Fiqih apabila mafhum pemahaman kontekstual atau pengertian tersirat berlawanan dengan mantuq pengesahan tekstual atau pengertian tersurat maka yang dimenangkan adalah mantuq. Pemahaman mafhum semacam itu menjadi gugur. Atas dasar itu semua maka sekali lagi pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu boleh atau halal apabila tidak berlipat ganda adalah tidak benar. Hal itu muncul dari orang-orang yang tidak memahami metodelogi pengambilan hukum Islam sebagaimana diuraikan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Dengan tidak berpedoman dan tidak mengikuti kaidah-kaidah hukum yang telah disepakati oleh para ulama tersebut akibatnya akan merusak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Ini berbahaya. Argumen Yusuf al-Qaradhawi Menurut Yusuf al-Qaradhawi orang-orang yang memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami retrorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini “adh’afan mudha’afah” adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya. Mereka telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipat gandakan bunga. Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kriteria syarat dalam pelarangan riba. Dalam arti bahwa yang tidak berlipat ganda, hukumnya boleh. Jika kita mau berpegang kepada makna eksplisit ayat, maka yang disebut berlipat ganda itu besarnya 600 sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Prof. Dr. Muhammad Daraz kata “adh’af” itu sendiri bentuk jamak, paling sedikitnya tiga. Maka, jika tiga dilipatgandakan walau sekali, maka akan menjadi enam. Adakah yang membenarkan hal ini? Dalam surat al-Baqarah, yaitu pada ayat terakhir turun dari Al- Qur’an, terdapat penghapusan riba secara total, 2                                  “Wahai orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah semua sisa atau peninggalan-peningggalan riba, jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melepaskan seluruh sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat, maka bagimu modalmu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” al- Baqarah: 278-279 2. Pendapat Yang Mengatakan Bahwa Bunga Bank Untuk Tujuan Produktif HalalBoleh, Sedangkan Untuk Tujuan Konsumtif Haram. 2 Yusuf al-Qaradhawi, Bunga Bank, Haram, cet III, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, h.75. Menurut Wahbah al-Zuhaili sebab riba yang dilarang pada zaman Jahiliyah adalah bersifat konsumtif. 3 Argumen Ibrahim Hosen Menurut Ibrahim Hosen Tepatkah pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank untuk tujuan produktif boleh atau halal dan untuk tujuan konsumtif haram, dengan alasan karena riba di zaman Jahiliyah adalah bersifat komsumtif? Pendapat ini menurut pendapat Ibrahim Hosen juga tidak tepat. Kenapa? Karena kata RIBA dalam ayat Al-Qur ’ an adalah memakai al AL-RIBA. Al disini adalah Liljinsi atau Lil-Istighraq yang berarti umum. Jadi mencangkup yang produktif dan konsumtif. Keduanya sama-sama tidak ada bedanya, yakni sama-sama haram. Menurut kaidah-kaidah hukum Islam untuk mengeluarkan atau mengecualikan sesuatu diperlukan dalil yang mentakhsis atau mengecualikannya baik naqli maupun aqli. Disini tidak ada dalil yang mentakhis baik naqli maupun aqli. Mengadakan pentakhsisan pengecualian tanpa dalil adalah Tahakkum membuat- buat hukum sendiri atau mengada-ngada. Hal ini sangat berbahaya. Demikian juga apabila Al yang ada di kata RIBA tersebut dimaksudkan sebagai Al-Lil ’ ahdi, yang berarti menunjuk kepada riba yang berlaku dizaman Jahilliyah maka kesimpulannya juga sama saja, yakni tidak dapat dikatakan bahwa riba atau bunga produktif itu boleh. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa 3 Wahbah al-Zuhaili, Nadzariyah al-Dlarurah al-Syar’iyah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985, h. 232. riba Jahiliyah yang dilarang itu adalah bersifat konsumtif saja, sedangkan yang produktif boleh atau halal. Itu tidak. Argumen Yusuf al-Qaradhawi Menurut Yusuf al-qaradhawi, pada tahapan justifikasi sistem bunga yang konvensional, ada sementara orang berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, adalah jenis yang dikenal sebagai bunga konsumtif. Yaitu bunga yang khusus dibebankan bagi orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, seperti makan, minum, dan pakaiannya serta orang yang berada dalam tanggungannya. Hal ini terjadi karena dalam jenis riba tersebut terdapat unsur pemerasan eksploitasi terhadap kepentingan orang yang sedang membutuhkan. Karena itu, ia terpaksa meminjam. Namun sipemilik uang menolak untuk memberi pinjaman, kecuali dengan riba bunga, agar jumlah uang yang dikembalikan nanti bertambah. 4 Menurut Yusuf Qardhawi ungkapan ini tidak pernah keluar dari mulut seorang faqih ahli syariah pun sepanjang tiga belas abad yang silam. Ini jelas merupakan pembatasan terhadap nash-nash yang umum berdasarkan selera dan asumsi belaka. Perbuatan ini sangat dikecam Allah dalam firman-Nya.                             4 Al-Qardhawi, Bunga Bank, Haram, h.47 “Mereka tidak lain hanya mengikut perasangka dan kecendrungan selera nafsu. Padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.” an-Najm:23 Fakta sejarah membantah penafsiran ngawur seperti ini. Karena jenis riba yang dominan pada era jahiliah bukanlah riba konsumtif. Sebab, waktu itu tidak ada orang yang berutang karena untuk makan. Juga tidak pernah dikenal bahwa seorang arab yang kaya menimpakan riba kepada orang yang datang kepadanya untuk mendapatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan hidupnya seperti makan dan minum. Kalaupun ada, kasusnya amat langka sehingga tidak dapat dijadikan tolok ukur. 5 Sekiranya jenis riba yang diharamkan Allah dan Rasul itu hanyalah riba konsumtif-maksudnya, bunga yang dikenakan bagi orang yang berutang untuk kebutuhan pribadi dan keluarganya, seperti yang dilontarkan sebagian orang sekarang ini tentu saja Rasulullah saw. Tidak perlu melaknat si debitor pemberi bunga orang yang berutang, sebagai mana beliau melaknat kreditor pemakan riba pihak yang menerima bunga. Karena, bagaimana mungkin seseorang bisa dilaknat karena berutang untuk makan, padahal Allah dan Rasul sendiri membolehkan memakan bangkai, darah, dan daging babi dalam kondisi terpaksa akibat lapar yang sangat. Firman Allah.                             5 Ibid., h.48 “Tetapi, barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya, sedang ia tidak ingin dan tidak melampaui batas, maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” al-Baqarah:173 Akan tetapi, Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Jabir r.a. Ia berkata, “Rasulullah saw. Melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatat administrasi, dan para saksinya notariat.” Dan katanya, “Status hukum mereka sama.” Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah saw, melaknat penerima bunga dan pemberinya.” Hadits ini diriwayatkan juga oleh sahabat-sahabat lain. 6 3. Ada Yang Benpendapat Bahwa Bunga Bank itu Bukan Riba. Sebab Pada Hakikatnya Sistem Yang Ada Pada Bank Itu Adalah Sewa-menyewa. Pendapat ini berdasarkan pandangan kepada pengertian bahasa dan perkembangan perekonomian yang menhendaki adanya pasar uang di samping pasar barang. Hal mana yang menunjukkan bahwa uang termasuk kategori komoditi. 7 Argumen Ibrahim Hosen Menurut Ibrahim Hosen Berdasarkan kaidah-kaidah ilmu Fiqih, pendapat ini juga tidak tepat. Sebab dalam ilmu Fiqih disebutkan bahwa di antara syarat sewa- menyewa adalah hendaknya barang yang disewakan zatnya tetap Baqa ’ ‘ ainihi. Untuk itu maka tidak sah menyewakan makanan atau minuman. Sebab makanan atau minuman bila diambil manfaatnya dimakan atau diminum barangnya atau zatya 6 Ibid., h.50 7 Hosen, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, h.14. menjadi abis. Demikian juga uang zatnya atau bendanya tidak tetap, sebab ia berputar. Karena itu tidak sah ntuk disewakan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu fiqih. Atas dasar ini maka tidak tepat kalau hal itu dijadikan argumentasi bagi halalnya atau bolehnya melakukan bunga bank. Argumen Yusuf al-Qaradhawi Dalam menyikapi pendapat ini Yusuf al-Qaradhawi menyinggung sewa tanah. Sebagian pihak pembela riba mengatakan bahwa orang yang menyerahkan uangnya kepada bank untuk didagangkan kemudian mengambil bunga tertentu, sama seperti seseorang yang menyewakan tanahnya kepada orang lain yang menanaminya, dan mengambil sewa dengan jumlah tertentu. Baginya tidak menjadi persoalan, apakah pertanian itu menghasilkan atau tidak. Yang jelas, ia berhak menerima upahsewa sebagai imbalan dari penyerahan tanah tersebut. Sedangkan, risiko bukanlah tanggungannya. Ungkapan ini menurut Yusuf al-Qaradhawi mengandung kekeliruan yang sangat besar. Kalau kita mau menggunakan “bahasa fikih”, maka analogi di atas adalah “mengkiaskan uang dengan tanah” dan “mengkiaskan bunga dengan sewa”. Analogi seperti ini batal dari asasnya. Karena syarat sahnya kias analogi, mesti terdapat persamaan “illat”. Dalam kasus ini persamaan itu tidak ditemukan. “illat” dalam menyewakan tanah, adalah memanfaatkan tanah itu sendiri dengan menanaminya. Sedangkan, uang itu sendiri bendanya tidak dimanfaatkan. Tidak ada orang yang berkeinginan dengan benda “uang” itu, seperti yang dikatakan Imam al-Ghazali. Oleh sebab itu, berbeda sekali antara “uang” dan “tanah pertanian”. Selama ada perbedaan, maka tidak bisa dikiaskan. Sejak dahulu kala, kaum filsuf telah membantah riba dan menganggapnya suatu kejahatan. Karena, riba adalah menyewakan uang, yakni menyewakan benda yang tidak mungkin disewakan bukan objek sewa. Meskipun demikian, sebenarnya masalah menyewakan tanah dengan imbalan uang bukanlah suatu masalah yang disepakati secara konsensus ijma tentang bolehnya oleh seluruh ulama. Ada diantara dua salaf terdahulu yang tidak menyetujui masalah penyewaan tanah dengan emas atau perak. Mazhab ini dilakukan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al- Muhalla. Ia berpendapat bahwa mu’ajarah ‘sewa-menyewa’ dan menyewakan tanah itu hukumnya haram. Yusuf al-Qaradhawi cenderung kepada pendapat ini. Ada pula diantara fuqaha yang membolehkan sewa-menyewa tanah dengan imbalan uang, dengan syarat wajib memperhitungkan kerugian pihak penyewa. Maksudnya, pemilik tanah rela mengurangi sewa yang disepakati semula, sebesar kerugian yang menimpa tanaman karena hama. Pendapat inilah yang dilakukan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ah Fatawa-nya. 8 4. Pendapat Yang Mengatakan Bahwa Bunga Bank Bukan Riba, Karena itu Hukumnya HalalBoleh. Sebab Bunga Bank itu Adalah Pemanfaatan Uang. 8 Al-Qaradhawi, Bunga Bank, Haram, h.78 Argumen Ibrahim Hosen Tepatkah pendapatkan ini untuk dijadikan alasan bagi pembenaran bunga bank? Menurut Ibrahim Hosen, pendapat ini juga tidak tepat. Sebab berlawanan dengan Hadits Nabi: ini merupakan tasybih maqlub menutut Ilmu Balaghah untuk menunjukkan menurut mereka bahwa riba itu sama atau persis dengan jual beli, tidak ada bedanya. Ungkapan mereka yang menyamakan, riba dengan jual beli itu jelas tidak benar. Dan untuk itulah Allah membantah dengan penegasannya:       “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ” Al-Baqarah.275 Artinya riba itu tidak sama dengan jual beli, sebab riba itu haram sedangkan jual beli itu hukumnya halal. Pandangan Jahiliyah ini rupanya sampai hari ini masih ada yang meneruskan, mereka menyatakan bahwa bunga bank itu halal dengan alasan karena hal itu termasuk bisnis atau perniagaan yang dilakukan atas dasar saling ridla sama ridla suka sama suka, sejalan dengan ayat “ ILAA ANTAKUNA TIJARATAN ‘ ANTARAADLIN ” . Pandangan ini sama saja dengan pandangan orang-orang Jahiliyah yang mengatakan bahwa riba sama dengan jual beli. Sebab tijarah atau bisnis atau perdagangan itu sinonim dengan jual beli atau bai’. Perlu diketahui bahwa ridla sama ridla atau suka sama suka hanyalah merupakan salah satu syarat sahnya tijarah atau perdagangan atau jual beli. Selain itu masih ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yang dapat kita ketahui dari Hadits Nabi. Kalau ridla sama ridla atau suka sama suka ini merupakan satu-satunya syarat syahnya akad maka zina bisa jadi halal kalau dilakukakan atas dasar suka sama suka. Nah, apakah demikian? Istisna ’ dalam ayat ini ILLAA ANTAKUNA TIJARATAN ‘ ANTARADLIN adalah istisna ’ munqathi ’ mustasna atau yang dikecualikan bukan jenisnya mustasna minhu atau sesuatu dari mana mustasna itu dikecualikan. Artinya janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara batil seperti menipu, mencuri, riba, berkhianat, merampok, dan lain-lain, kecuali harta yang diperoleh lewat perdagangan atau jual beli yang didasari ridla sama ridla. Dalam hal ini kita tentu harus menyadari bahwa syarat sahnya perdagangan atau jual beli itu bukan hanya ridla sama ridla, tetapi masih ada beberapa syarat lain yang mesti dipenuhi yang dapat kita ketahui dari Hadits Nabi. Mengenai perbedaan jual beli dengan riba ini pengarang Tafsir Al-Manar menyebutkan antara lain bahwa jual beli adalah trasaksi dalam bentuk penukaran barang yang satu dengan barang yang lain, sedangkan riba adalah tambahan yang diambil dari orang yang berhutang sebagai imbalan dari tempo penundaan pembayaran hutangnya. Jadi tidak sama. Sisi lain, Islam hanya menghalalkan suatu keuntungan yang diperoleh lewat usaha, seperti keuntungan jual beli. Islam melarang menarik keuntungan dari orang lain yang tidak ada imbalan yang kongkrit, yang pada hakikatnya hal ini adalah memakan harta benda orang lain dengan cara batil, seperti yang terjadi pada praktek riba. 10 Argumen Yusuf al-Qaradhawi 10 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar. Juz III, Kairo: al-Manar, 1954, h.97 dan 108. Yusuf al-Qaradhawi memiliki beberapa alasan dari pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank boleh atau halal karena adanya pemanfaatan uang tersebut. Alasanya antara lain: 1. Orang yang mengamati secara cermat hukum-hukum syariat, akan mengetahui secara yakin bahwa Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak akan mengharamkan bagi manusia terhadap sesuatu yang baik dan dapat mendatangkan manfaat yang sesungguhnya. Akan tetapi, Allah mengharamkan bagi manusia semua yang keji, yang bisa mendatangkan bahaya mudharat terhadap mereka, baik secara pribadi atau komunitas. Oleh karena itu, sifat Rasulullah saw. Yang tercantum dalam kitab-kitab suci terdahulu yang dicatat oleh Al-Qur’an adalah,               Artinya: “Menyuruh mereka mengerjakan yang maruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang keji.” Ada sebagian orang yang berkata bahwa “di mana ada maslahat, maka di sana terdapat hukum Allah”. Ungkapan ini benar tetapi hanya mengenai kasus-kasus yang tidak ditegaskan oleh Allah dan kasus-kasus yang untuk mengambil keputusannya diserahkan kepada kebijaksanaan ijtihad dan intelektualitas kita. Sedangkan, masalah-masalah yang di luar cakupan itu, kaidah yang tepat adalah “ di mana ada hukum Allah, maka pasti terdapat maslahat kebaikan”. Inilah yang sudah dibuktikan oleh sejarah, dikuatkan oleh fakta, dan dikukuhkan oleh hasil penelitian yang objektif. 2. Dari sudut pandang teori ekonomi, banyak ahli di bidang ekonomi dan politik menguatkan pendapat bahwa bunga bank merupakan faktor penyebab mayoritas krisis yang menimpa dunia. Perekonomian dunia tidak akan membaik sampai tingkat bunga dapat ditekan menjadi nol, artinya penghapusan bunga secara total. 3. Dari sisi empiris praktik ekonomi, dalam konteks negara-negara Arab dan negara muslim, perlu kita bertanya, “Selama menganut sistem bunga, apa yang mereka hasilkan dari riba, yang mereka sebut ‘bunga’ ini?” Di dalam negeri ia riba merugikan banyak pengusaha kecil yang mempunyai kemampuan terbatas, sehingga yang kaya semakin kaya. Karena bank-bank itu memberikan kepada si kaya modal yang besar untuk memperluas usahanya dengan aset yang bukan miliknya, dengan mengorbankan mayoritas besar konsumen dan kaum lemah. Sejak masuknya kolonialisme ke negeri kita, kita telah bertransaksi dengan riba. Namun, selama itu pula kita belum pernah keluar dari lingkaran “keterbelakangan” ke tingkat “kemajuan”. Maka kita juga belum juga sampai pada era “kemandirian” dalam bidang pertanian, industri sipil atau militer. Kita masih terus dilanda oleh kutukan berupa “peperangan dari Allah dan Rasul-Nya” yang telah dimaklumatkan Allah sebelumnya bagi pelaku riba dengan firman-Nya, “Allah mamusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” al-Baqarah: 276 Memang, riba benar-benar seperti yang pernah diungkapkan oleh seorang pakar ekonomi bahwa riba merupakan AIDS dalam kehidupan dunia ekonomi yang bisa merontokkan kekebalan dan mengancamnya dengan kemusnahan serta keruntuhan. .

BAB IV KONTRIBUSINYA TERHADAP PERTUMBUHAN PERBANKAN SYARIAH