1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan Islam sekarang telah menjadi istilah yang terkenal luas baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu
bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan- layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah. Para pendukung perbankan Islam
berpendapat bahwa bunga adalah riba dan karenanya, menurut hukum Islam bunga bank diharamkan. Sikap terhadap bunga yang seperti ini mendorong
beberapa sarjana dan praktisi perbankan Muslim untuk menemukan sejumlah cara dan alat guna mengembangkan sistem perbankan alternative yang sesuai
dengan ajaran-ajaran hukum Islam, khususnya, aturan-aturan yang terkait dengan pengharaman riba.
1
Sebelum penulis mengupas lebih dalam masalah bunga bank, penulis terlebih dahulu membahas asal mula berdiri atau terbentuknya bank, karena
sistem bunga muncul ketika bank itu terbentuk. Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya didunia ekonomi
dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, karena bank adalah salah satu lembaga ekonomi yang sudah sangat tua keberadaannya.
1
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo- Revivalis, cet.III, Jakarta: Paramadina, 2004, h. Xiii.
Kita tidak tahu sejak kapan bank pertama diorganisir, dan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa usaha-usaha perbankan telah ada dalam peradaban kuno.
Lempengan-lempengan tanah liat di puing-puing kota Babylonia pada tahun 2000 SM, telah ada pelayanan seperti bank yaitu untuk menyimpan harta, dan
berkembangnya perekonomian uang dan kredit. Lempengan-lempengan tanah liat tersebut merupakan bentuk-bentuk janji dan perintah untuk membayar
mata uang atau perak, mirip dengan promes dan cek yang kita kenal saat ini. Misalnya, salah satu lempengan tanah liat kuno tersebut merupakan sebuah
prasasti yang jelas mencerminkan promes oleh seorang petani kepada bank sebagai tanda terima pinjaman yang diterimanya.
Inskripsi tersebut berbunyi: “Warad-Ilish, anak laki-laki dari Taribaum, telah menerima dari pendeta
wanita matahari, puteri dari Ibbatum, satu shekel perak menurut timbangan dewa matahari. Jumlah ini akan digunakan untuk membeli wijen, pada waktu
panen wijen, ia akan membayar kembali dalam bentuk wijen menurut harga pasar yang berlaku kepada pembawa dokumen ini”.
2
Prasasti tersebut telah secara jelas menunjukkan adanya transaksi pinjam meminjam dan bentuk promes yang dapat diperjual belikan.
Tampaknya pada awal perkembangannya kegiatan usaha perbankan dimonopoli oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti kuil-kuil di
Babylonia tersebut. Terdapat alasan yang kuat mengapa kegiatan usaha
2
Bank Indonesia, “Sistem Perbankan dan Peran Perbankan dan Dampaknya Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi. Keputusan dan Makalah Lokakarya Bunga Bank dan
Perbankan”, Safari Garden Hotel, Cisarua – Bogor, 19-22 Agustus 1990, h. 1.
perbankan tersebut hanya dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan. Organisasi keagamaan pada masa itu memiliki tanah-tanah yang
luas yang dapat menjadi sumber penghasilan besar bagi organisasi. Disamping itu karena kuil-kuil dianggap suci dan dapat menyimpan
rahasia, maka sangat dipercaya oleh masyarakat. Dengan demikian wajarlah bila masyarakat Babylonia menganggap kuil-kuil itu sebagai tempat yang
aman untuk menyimpan emas, perak dan uang mereka. Dalam perkembangan selanjutnya kuil-kuil tersebut selain menerima tabungan dari masyarakat dan
menyediakan kredit, mereka juga menyediakan fasilitas penyimpanan barang- barang berharga safe deposit. Praktek-praktek perbankan tampaknya telah
dilaksanakan pula dikerajaan Romawi kuno, dimana para banker telah menerima simpanan, mengeluarkan promes, menyediakan pinjaman, membeli
dan menjual surat-surat hipotik serta mengeluarkan LC.
3
Kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan sangat dibutuhkan didalam dunia perekonomian karena jika kita melihat fungsinya yaitu sebagai
pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Selain alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini
mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh
pemerintah. Demikian pula lembaga keuangan ini dapat menyediakan dana
3
Ibid., h. 2
bagi pengusaha-pengusaha swasta atau kalangan rakyat pengusaha lemah yang membutuhkan dana bagi kelangsungan usahanya. Dan juga sebagai
fungsi lain yang berupa jasa bagi kelancaran lalu lintas dan peredaran uang baik nasional maupun antar Negara
4
. Permasalahan muncul dipertengahan tahun 1990 yaitu masalah bunga
bank, yang terjadi setelah pemerintah menempuh kebijaksanaan baru dalam masalah perbankan, karena itu banyak bermunculan di mana-mana bak jamur
musim hujan. Yang menjadi permasalahan di kalangan ulama dan bahkan menjadi polemik berkepanjangan adalah tentang penentuan bunga pada
lembaga keuangan yang berkembang selama ini. Apakah bunga yang diperlakukan didalam lembaga keuangan termasuk di dalam unsur riba, atau
bahkan praktik riba itu sendiri? Bunga dijadikan sebagai penopang hidup dan berkembangnya lembaga keuangan. Oleh para kaum kapitalis dianggap
sebagai penggerak ekonomi, tanpa bunga perekonomian dunia tidak akan pernah berkembang. Para ulama dan cendikia muslim berbeda pendapat dalam
memahami dan menentukan apakah bunga boleh diperlakukan dalam kegiatan ekonomi dengan dikaitkan pada nash tentang riba.
5
Masalah status hukum bunga bank apakah termasuk kategori riba ataukah tidak sampai saat ini masih kontroversial. Ada yang mengatakan,
4
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, cet.II, Jakarta: Kencana, 2004, h. 53.
5
Nadratuzzaman Hosen, dkk, Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah, cet.I, Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007, h. 3.
bunga bank termasuk kategori riba yang hukumnya haram. Dipihak lain, ada pula yang mentolelir bahkan memperbolehkan bunga bank dengan berbagai
alasan.
6
Kata riba telah disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an atau hadits. Maka konotasinya tidak lain dari riba yang hakiki, yaitu apa yang dikenal
pada era jahiliyah, dan yang populer dengan istilah “ riba nasi’ah” ‘riba utang’. Namun ada lagi jenis riba lain dalam hadits disebut “riba fadl” ‘riba
jual beli’. Jenis ini diharamkan oleh Sunnah melalui pintu “sadd az-zara’i” tindakan preverentif bagi terjadinya riba yang asli. Jadi ini diharamkan,
karena fungsinya sebagai mediator wasilah, bukan karena substansinya.
7
Sebenarnya inti permasalahan yang disini adalah masalah prinsip. Yang menjadi prinsip bank adalah “bunga” interest. Yakni, tambahan uang
yang sudah ditetapkan sebelumnya berapapun besarnya, apapun jenis uangnya, dan dalam kondisi apapun.
Dalam riba jahiliyah mereka yang meminjamkan uang pada awalnya tidak memakai riba tambahan. Riba baru muncul bila jangka waktu
pembayaran yang telah ditentukan semula telah berakhir, sementara peminjam belum juga melunasi utangnya. Jadi konsekuensinya, orang yang menetapkan
sejak awal bahwa pihaknya tidak akan memberi pinjaman, kecuali dengan
6
Yusuf Al-Qardawi, Bunga Bank, Haram, cet.III, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, h. 4.
7
Ibid., h.33
memakai riba bunga, berarti lebih bejat dan lebih haram lagi, ketimbang praktik yang terjadi pada riba jahiliyah. Inilah praktek-praktek yang berlaku
pada bank sekarang ini. Karena bunga bank dihitung bagi peminjam sejak hari pertama seseorang mengambil uang dari bank.
8
Akan tetapi menurut ulama lainnya bunga bank itu tidak termasuk ke dalam umumnya lafadh riba. Sebab bank adalah badan hukum, bukan
perorangan, di mana sistem perbankan pada waktu itu zaman jahiliyah permulaan Islam belum ada.
9
Apabila kita melihat semangat ayat-ayat riba maka dapat kita fahami bahwa riba yang dilarang itu adalah yang dilakukan
oleh perorangan. Mari kita renungkan secara seksama ayat riba dalam surat al- Baqarah ayat 278-280:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman.maka
jika kamu tidak megerjakan meninggalkan sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat dari
pengambilan riba maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya. Dan jika orang yang berhutang itu
8
Ibid., h. 77
9
Ibrahim Hosen, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, makalah disampaikan pada “Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan”. Cisarua-Bogor, 19-22 Agustus 1990, h. 27.
dalam kesukaran maka berilah tagguh waktu sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui”
Dalam ayat diatas nampak jelas bahwa khitab riba itu ditujukan kepada pribadiperorangan tidak lembaga atau badan hukum. Memang,
melihat lafadh riba yang bersifat umum itu semestinya tercakuplah di dalamnya pribadiperorangan dan badan hukum. Akan tetapi karena melihat
fakta yang ada, dimana waktu itu badan hukum, yaitu bank belum ada maka jelas bank belum tercakup di dalamnya.
Dengan adanya beberapa pendapat mengenai bunga bank dan riba, maka di sini penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi tentang bunga bank
apakah termasuk riba atau bukan. Dalam hal ini penulis akan membandingkan pendapat Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi mengenai status hukum
tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul
“Pandangan Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi Mengenai Status Hukum Bunga Bank”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah