Pemikiran Ibrahim Hosen Pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi Terhadap Status Hukum Bunga Bank

38. Haqiqat al-Tauhid 39. Nisa’un Mu’minatun 40. Al-Fiqh al-Islam bain al-Shalah wa al-Tajdid 41. Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi Al-Qur’an al-Karim 42. Syari’at al-Islam Shalihatun li kulli Zamanin wa Makanin 43. Madkhal li Dirasat al-Sunnah an-Nabawiyyah 44. Taisir al-Fiqh: Fiqh as-Shiyam 45. Al-Imam al-Ghazali baina Madihi wa Naqihi 46. Al-Ummah al-Slamiyah Haqiqah La Wahm Penulis hanya mencantumkan sebagian dari karya beliau dan masih banyak lagi kurang lebih masih ada sekitar 50 judul. Mengingat wawasan beliau yang cukup luas, meskipun usianya sudah lanjut penulis yakin al-Qaradhawi masih akan cukup produktif untuk terus berkarya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban Islam dengan buku-bukunya yang mayoritas berisi komentar problematika kehidupan kontemporer.

B. Pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi Terhadap Status Hukum Bunga Bank

1. Pemikiran Ibrahim Hosen

Menurut Ibrahim Hosen, menentukan status hukum bunga bank apakah termasuk kategori riba yang dilarang ataukah tidak, dapat dilakukan lewat dua pendekatan, sebagai berikut. 1. Mengaplikasikan kaidah Al-Ibrah Bikhususissabab La Bi’umumilafdhi yang dijadikan pedoman atau pegangan adalah khususnya sebab, bukan umumnya lafadh. Menurut Ibrahim Hosen mempelajari ayat yang menerangkan haramnya riba latar belakang turunya adalah karena ada sebab, yaitu praktek riba di zaman jahiliyah yang dilakukan perorangan yang didalamnya terjadi praktek penindasan terselubung yang dilakukan oleh orang-orang kaya yang memberi pinjaman terhadap orang-orang lemah yang mendapatkan pinjaman yang seharusnya dibantu. Atas dasar ini maka ayat riba tersebut hanya berlaku untuk praktik riba di zaman jahiliyah yang dilakukan oleh perorangan dan praktik lain yang bisa dikiaskan seperti renternir atau lintah darat. Mengenai bunga bank tidak termasuk kedalam umumnya lafadh riba. Sebab bank adalah badan hukum, bukan perorangan, dimana sistem perbankan pada waktu itu zaman jahiliyah atau permulaan Islam belum ada. Menurutnya jika melihat ayat-ayat riba maka dapat dipahami bahwa riba yang dilarang itu adalah yang dilakukan oleh perorangan. Seperti salah satu ayat riba yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 278-280:                                                   Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman.maka jika kamu tidak megerjakan meninggalkan sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya. Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran maka berilah tagguh waktu sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” Dalam ayat-ayat diatas nampak jelas bahwa khitab riba itu ditujukan kepada pribadi atau perorangan tidak kepada lembaga atau badan hukum. Menurut beliau melihat lafadh riba yang bersifat umum itu semestinya tercakuplah di dalamnya pribadi atau perorangan dan badan hukum. Akan tetapi karena melihat fakta yang ada, di mana waktu itu badan hukum, yaitu bank belum ada maka jelas bank belum tercakup di dalamnya. Karena itu dalam hal ini tidak berlaku kaidah “AL ‘IBRAH BI’ UMUMILLAFDHI LA BIKHUSUSISSABAB.” Seandainya bank tercakup dalam umumnya lafadh riba tentu untuk mengeluarkannya atau mengecualikannya diperlukan takhsis. Menurut beliau takhsis ini tidak diperlukan, karena tidak termasuk dalam umumnya lafadh riba tersebut. Jadi yang berlaku dalam ayat ini adalah kaidah AL ‘IBRAH BIKHUSUSISSABAB LA BI’UMUMILLAFDHI, artinya ayat riba itu hanya berlaku untuk riba yang karenanya ayat itu diturunkan, yaitu riba jahiliyah dan yang sejenis seperti renternir atau lintah darat. Dengan demikian maka bank tidak tercakup dalam ayat-ayat riba tersebut maka status hukumnya maskut ‘anhu, menurut Ibrahim Hosen dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya. 2. Adakah Fiqh Mengenal Badan Hukum Ataukah Tidak? Menurut Ibrahim Hosen, berdasarkan kaidah-kaidah Ushul Fiqih Ushuliyyin Mutaqaddimin dapat diketahui bahwa Fiqih tidak mengenal badan hukum badan hukum adalah badan atau lembaga yang oleh undang-undang dianggap seperti manusia dalam tindak-tindak perdata tertentu dengan pengertian bahwa badan hukum bebas dari tuntutan khitab taklif, dengan uraian sebagai berikut: 1. Mahkum ‘alaih pelaku hukum yang terkena khitab adalah manusia dewasa yang memiliki ahliyah wujub dan ahliyah al-ada’. 2. Ahliyah wujud adalah kepatutan manusia untuk menerima hak dan kewajiban yang bersendikan pada sifat-sifat khas yang diciptakan oleh Allah untuk manusia dan dengan sifat khasnya itu manusia dibedakan dari hewan. Sifat- sifat khas yang ada pada manusia itu menurut fuqaha disebut zimmah tanggung jawab yaitu sifat-sifat dasar yang terdapat pada manusia, di mana dengan adanya sifat-sifat itu manusia berhak menerima hak dari yang lain dan kewajiban-kewajiban terhadap yang lain. 3. Ahliyah Wujub tersebut layak diterima oleh manusia dipandang dari sisi bahwa ia adalah manusia baik lelaki, perempuan, janin, anak kecil yang telah mumayyiz atau belum, telah dewasa atau belum, bodoh atau pandai, sehat atau sakit. Sebab ‘illat kenapa manusia itu dipandang layak atau pantas menerima kewajiban adalah insaniyahnya. Oleh karena itu semua manusia dipandang sebagai Ahliyah Wujub. 4. Ahliyah ada’ adalah kepatutan manusia untuk di anggap atau dibenarkan oleh Agama ucapan dan perbuatannya, sehingga apabila orang tersebut melakukan sesuatu, transaksi atau tindakan hukum maka apa yang dilakukan itu dinilai oleh agama dan akan ada hukumnya. ‘Illat ahliyah ada’ pada manusia adalah akal dan dewasa. 23 5. Hukum adalah Khitab Allah yang berhubungan dengan tingkah laku atau perbuatan orang-orang dewasa. Hukum dalam definisi ini erat hubungannya dengan mahkum ‘alaih. Karena itu dapat diketahui bahwa objek hukum adalah perbuatan yang pelakunya adalah manusia sebagai mahkum ‘alaih. Dari uraian di atas maka secara jelas dapat dipahami bahwa sesusai dengan pengertian mahkum ‘alaih dan definisi hukum menurut rumusan Ushuliyyin, fiqh tidak mengenal badan hukum dengan arti bahwa badan hukum tidak terkena atau bebas dari tuntutan khitab taklif. Kalau seandainya fiqh mengenal badan hukum tentu berkewajiban melakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana mukallaf, seperti shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan lain-lain. Hal ini jelas mustahil. Ibrahim Hosen juga mengungkapkan adanya pandangan pujangga-pujangga fiqih angkatan baru pendidikan Barat seperti Mustafa az-Zarqa’ dan Yusuf Musa yang menyatakan bahwa fiqih mengenal badan hukum yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah “Syakhsiyah Ma’nawiyah” atau “Syakhsiyah I’tibariyah”. Akan tetapi menurut penelitian Ibrahim, yang kuat adalah pendapat yang mengatakan 23 Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqhi, cet.II, Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyah, 1986, h. 135- 136. dan lihat juga Abu Zahroh, Ushul Al-Fiqh, h. 327-333. bahwa fiqih tidak mengenal badan hukum. Sebab, hal ini sejalan dengan kaidah- kaidah Ushul Fiqih yang telah disepakati. Sementara itu dalil yang dijadikan alasan oleh ulama yang menyatakan bahwa fiqih mengenal badan hukum, menurut Ibrahim Hosen banyak mengandung kelemahan-kelemahan. 24 Bank konvensional adalah badan hukum. Oleh karena itu fiqih tidak mengenal badan hukum, bank statusnya adalah bebas dari tuntutan khitab taklif. Demikian menurut pandangan Ibrahim Hosen. Hukum umum mengakui adanya dua manusia. Pertama, manusia dalam arti sebenarnya dan kedua, sesuatu yang dianggap sebagai manusia, yaitu badan hukum. Badan hukum adalah persekutuan sekelompok manusia yang berdasarkan undang- undang dapat bertindak sebagai manusia dalam pergaulan hukum. Ia dapat melakukan jual-beli, sewa-menyewa, bisa memiliki, berhutang, mempunyai hak, dan kewajiban- kewajiban. Badan hukum ini dalam istilah fiqih baru disebut dengan Syakhsiyah Ma’nawiyah atau Syakhsiyah I’tibariyah. Bagaimana mengenai fiqih? Fiqih sesuai dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqih di atas memandang manusia menjadi dua kategori, yaitu: 1. Manusia muslim akil balighmanusia dewasa yang beriman. 2. Manusia non muslim. Manusia muslim tidak bebas dari khitab taklif, dengan arti di pundaknya terpikul pembebanan-pembebanan hukum taklif. Mengenai non muslim, ia belum 24 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990, h.196. terkena khitab pembebanan hukum. Ia baru dituntut untuk beriman terlebih dahulu atas dasar prinsip tanpa ada paksaan sejalan dengan penegasan al-Qur’an “La ikraha fi ad-din”. 25 Demikian juga, menurut kaidah Ushul Fiqih, badan hukum yang dianggap sebagai manusia tersebut adalah bebas dari tuntutan taklif, sekalipun ia tidak bebas dari tuntutan undang-undang. Nah, sekarang bagaimana mengenai bank Islam berbeda dengan bank konvensional. Dalam bank Islam, pemegang saham memberi kuasa atau berwakil kepada pengurus bank untuk menjalankan bank tersebut menurut peraturan dan hukum Islam. Pengurusan bank itu tidak boleh menyimpang dari hukum dan tata aturan Islam. Di sinilah letak perbedaan antara bank konvensional dan bank Islam, bank konvensional hanya terikat dan tunduk pada peraturan atau perundang-undang yang berlaku di suatu negeri, sedangkan bank Islam, selain terikat dan harus tunduk dengan peraturan atau perundang-undang yang berlaku, harus dijalankan sesuai dengan hukum dan tata aturan Islam.

2. Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi