38. Haqiqat al-Tauhid
39. Nisa’un Mu’minatun
40. Al-Fiqh al-Islam bain al-Shalah wa al-Tajdid
41. Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi Al-Qur’an al-Karim
42. Syari’at al-Islam Shalihatun li kulli Zamanin wa Makanin
43. Madkhal li Dirasat al-Sunnah an-Nabawiyyah
44. Taisir al-Fiqh: Fiqh as-Shiyam
45. Al-Imam al-Ghazali baina Madihi wa Naqihi
46. Al-Ummah al-Slamiyah Haqiqah La Wahm
Penulis  hanya  mencantumkan  sebagian  dari  karya  beliau  dan  masih  banyak lagi kurang lebih masih ada sekitar 50 judul. Mengingat wawasan beliau yang cukup
luas,  meskipun  usianya  sudah  lanjut  penulis  yakin  al-Qaradhawi  masih  akan  cukup produktif  untuk  terus  berkarya  memperkaya  khazanah  ilmu  pengetahuan  dan
peradaban Islam dengan buku-bukunya yang mayoritas berisi komentar problematika kehidupan kontemporer.
B. Pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi Terhadap Status Hukum Bunga Bank
1. Pemikiran Ibrahim Hosen
Menurut Ibrahim Hosen, menentukan status hukum bunga bank apakah termasuk kategori  riba  yang  dilarang  ataukah  tidak,  dapat  dilakukan  lewat  dua  pendekatan,
sebagai berikut.
1. Mengaplikasikan  kaidah  Al-Ibrah  Bikhususissabab  La  Bi’umumilafdhi  yang
dijadikan  pedoman  atau  pegangan  adalah  khususnya  sebab,  bukan  umumnya lafadh.
Menurut Ibrahim  Hosen  mempelajari  ayat  yang  menerangkan  haramnya  riba latar belakang turunya adalah karena ada sebab, yaitu praktek riba di zaman jahiliyah
yang  dilakukan  perorangan  yang  didalamnya  terjadi  praktek  penindasan  terselubung yang dilakukan oleh  orang-orang kaya yang memberi pinjaman terhadap orang-orang
lemah  yang  mendapatkan  pinjaman  yang  seharusnya  dibantu.  Atas  dasar  ini  maka ayat riba tersebut hanya berlaku untuk praktik riba di zaman jahiliyah yang dilakukan
oleh  perorangan  dan  praktik  lain  yang  bisa  dikiaskan  seperti  renternir  atau  lintah darat.
Mengenai bunga bank tidak termasuk kedalam umumnya lafadh riba. Sebab bank adalah  badan  hukum, bukan perorangan, dimana sistem perbankan pada waktu
itu zaman jahiliyah atau permulaan Islam belum ada. Menurutnya jika melihat ayat-ayat riba maka dapat dipahami bahwa riba yang
dilarang itu adalah yang dilakukan oleh perorangan. Seperti salah satu ayat riba yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 278-280:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya:  “Hai  orang-orang  yang  beriman,  bertaqwalah  dan  tinggalkanlah sisa  riba  yang  belum  dipungut  jika  kamu  orang-orang  yang  beriman.maka
jika kamu tidak megerjakan meninggalkan sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah  dan  RasulNya  akan  memerangimu.  Dan  jika  kamu  bertaubat  dari
pengambilan  riba  maka  bagimu  pokok  hartamu;  kamu  tidak  boleh menganiaya  dan  tidak  boleh  dianiaya.  Dan  jika  orang  yang  berhutang  itu
dalam kesukaran maka berilah tagguh  waktu sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan  sebagian  atau  semua  hutang  itu  lebih  baik  bagimu  jika
kamu mengetahui”
Dalam  ayat-ayat  diatas  nampak  jelas  bahwa  khitab  riba  itu  ditujukan kepada  pribadi  atau  perorangan  tidak  kepada  lembaga  atau  badan  hukum.  Menurut
beliau  melihat  lafadh  riba  yang  bersifat  umum  itu  semestinya  tercakuplah  di dalamnya  pribadi  atau  perorangan  dan  badan  hukum.  Akan  tetapi  karena  melihat
fakta  yang  ada,  di  mana  waktu  itu  badan  hukum,  yaitu  bank  belum  ada  maka  jelas bank belum tercakup di dalamnya. Karena itu dalam hal ini tidak berlaku kaidah “AL
‘IBRAH BI’ UMUMILLAFDHI LA BIKHUSUSISSABAB.” Seandainya bank tercakup dalam  umumnya  lafadh  riba  tentu  untuk  mengeluarkannya  atau  mengecualikannya
diperlukan takhsis. Menurut beliau takhsis ini tidak diperlukan, karena tidak termasuk dalam umumnya lafadh riba tersebut.
Jadi  yang  berlaku  dalam  ayat  ini  adalah  kaidah  AL  ‘IBRAH BIKHUSUSISSABAB LA BI’UMUMILLAFDHI,  artinya  ayat  riba    itu  hanya  berlaku
untuk  riba  yang  karenanya  ayat  itu  diturunkan,  yaitu  riba  jahiliyah  dan  yang  sejenis seperti renternir atau lintah darat. Dengan demikian maka bank tidak tercakup dalam
ayat-ayat riba tersebut maka status hukumnya maskut ‘anhu, menurut Ibrahim Hosen dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya.
2. Adakah Fiqh Mengenal Badan Hukum Ataukah Tidak?
Menurut  Ibrahim  Hosen,  berdasarkan  kaidah-kaidah  Ushul  Fiqih Ushuliyyin Mutaqaddimin dapat diketahui bahwa Fiqih tidak mengenal badan hukum
badan hukum adalah badan atau lembaga yang oleh undang-undang dianggap seperti manusia  dalam  tindak-tindak  perdata  tertentu  dengan  pengertian  bahwa  badan
hukum bebas dari tuntutan khitab taklif, dengan uraian sebagai berikut: 1.
Mahkum  ‘alaih  pelaku  hukum  yang  terkena  khitab  adalah  manusia  dewasa yang memiliki ahliyah wujub dan ahliyah al-ada’.
2. Ahliyah wujud adalah kepatutan manusia untuk menerima hak dan kewajiban
yang  bersendikan  pada  sifat-sifat  khas  yang  diciptakan  oleh  Allah  untuk manusia  dan  dengan  sifat  khasnya  itu  manusia  dibedakan  dari  hewan.  Sifat-
sifat  khas  yang  ada  pada  manusia  itu  menurut  fuqaha  disebut  zimmah tanggung  jawab  yaitu sifat-sifat dasar yang terdapat pada manusia, di  mana
dengan adanya sifat-sifat itu manusia berhak menerima hak dari yang lain dan kewajiban-kewajiban terhadap yang lain.
3. Ahliyah  Wujub  tersebut  layak  diterima  oleh  manusia  dipandang  dari  sisi
bahwa ia adalah manusia baik lelaki, perempuan, janin, anak kecil yang telah mumayyiz  atau  belum,  telah  dewasa  atau  belum,  bodoh  atau  pandai,  sehat
atau  sakit.  Sebab  ‘illat  kenapa  manusia  itu  dipandang  layak  atau  pantas menerima  kewajiban  adalah  insaniyahnya.  Oleh  karena  itu  semua  manusia
dipandang sebagai Ahliyah Wujub.
4. Ahliyah ada’ adalah kepatutan manusia untuk di anggap atau dibenarkan oleh
Agama ucapan dan perbuatannya, sehingga apabila orang tersebut melakukan sesuatu,  transaksi  atau  tindakan  hukum  maka  apa  yang  dilakukan  itu  dinilai
oleh agama dan akan ada hukumnya. ‘Illat ahliyah ada’ pada manusia adalah akal dan dewasa.
23
5. Hukum  adalah  Khitab  Allah  yang  berhubungan  dengan  tingkah  laku  atau
perbuatan  orang-orang  dewasa.  Hukum  dalam  definisi  ini  erat  hubungannya dengan mahkum ‘alaih. Karena itu dapat diketahui bahwa objek hukum adalah
perbuatan yang pelakunya adalah manusia sebagai mahkum ‘alaih. Dari uraian di atas maka secara jelas dapat dipahami bahwa sesusai dengan
pengertian  mahkum  ‘alaih  dan  definisi  hukum  menurut  rumusan  Ushuliyyin,  fiqh tidak  mengenal  badan  hukum  dengan  arti  bahwa  badan  hukum  tidak  terkena  atau
bebas dari tuntutan khitab taklif. Kalau seandainya fiqh mengenal badan hukum tentu berkewajiban  melakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana  mukallaf, seperti shalat,
zakat, puasa, ibadah haji dan lain-lain. Hal ini jelas mustahil. Ibrahim Hosen juga mengungkapkan adanya pandangan pujangga-pujangga
fiqih  angkatan  baru  pendidikan  Barat  seperti  Mustafa  az-Zarqa’  dan  Yusuf  Musa yang  menyatakan  bahwa  fiqih  mengenal  badan  hukum  yang  dalam  bahasa  Arabnya
dikenal  dengan  istilah  “Syakhsiyah  Ma’nawiyah”  atau  “Syakhsiyah  I’tibariyah”. Akan tetapi menurut penelitian Ibrahim, yang kuat adalah pendapat yang mengatakan
23
Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqhi, cet.II, Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyah, 1986, h. 135- 136. dan lihat juga Abu Zahroh, Ushul Al-Fiqh, h. 327-333.
bahwa  fiqih  tidak  mengenal  badan  hukum.  Sebab,  hal  ini  sejalan  dengan  kaidah- kaidah  Ushul  Fiqih  yang  telah  disepakati.  Sementara  itu  dalil  yang  dijadikan  alasan
oleh ulama  yang  menyatakan bahwa  fiqih  mengenal  badan hukum,  menurut Ibrahim Hosen banyak mengandung kelemahan-kelemahan.
24
Bank  konvensional  adalah  badan  hukum.  Oleh  karena  itu  fiqih  tidak mengenal  badan  hukum,  bank  statusnya  adalah  bebas  dari  tuntutan  khitab  taklif.
Demikian menurut pandangan Ibrahim Hosen. Hukum umum mengakui adanya dua manusia. Pertama, manusia dalam arti
sebenarnya dan  kedua, sesuatu  yang dianggap sebagai  manusia,  yaitu badan hukum. Badan  hukum  adalah  persekutuan  sekelompok  manusia  yang  berdasarkan  undang-
undang dapat bertindak sebagai manusia dalam pergaulan hukum. Ia dapat melakukan jual-beli, sewa-menyewa, bisa memiliki, berhutang, mempunyai hak, dan kewajiban-
kewajiban.  Badan  hukum  ini  dalam  istilah  fiqih  baru  disebut  dengan  Syakhsiyah Ma’nawiyah atau Syakhsiyah I’tibariyah.
Bagaimana mengenai fiqih? Fiqih sesuai dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqih di atas memandang manusia menjadi dua kategori, yaitu:
1. Manusia muslim akil balighmanusia dewasa yang beriman.
2. Manusia non muslim.
Manusia  muslim  tidak  bebas  dari  khitab  taklif,  dengan  arti  di  pundaknya terpikul  pembebanan-pembebanan  hukum  taklif.  Mengenai  non  muslim,  ia  belum
24
Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990, h.196.
terkena khitab pembebanan hukum. Ia baru dituntut untuk beriman terlebih dahulu atas dasar prinsip tanpa ada paksaan sejalan dengan penegasan al-Qur’an “La ikraha
fi ad-din”.
25
Demikian  juga,  menurut  kaidah Ushul  Fiqih,  badan  hukum  yang dianggap sebagai  manusia  tersebut  adalah  bebas  dari  tuntutan  taklif,  sekalipun  ia  tidak  bebas
dari  tuntutan  undang-undang.  Nah,  sekarang  bagaimana  mengenai  bank  Islam berbeda  dengan  bank  konvensional.  Dalam  bank  Islam,  pemegang  saham  memberi
kuasa atau berwakil kepada pengurus bank untuk menjalankan bank tersebut menurut peraturan  dan  hukum  Islam.  Pengurusan  bank  itu  tidak  boleh  menyimpang  dari
hukum  dan  tata  aturan  Islam.  Di  sinilah  letak  perbedaan  antara  bank  konvensional dan  bank  Islam,  bank  konvensional  hanya  terikat  dan  tunduk  pada  peraturan  atau
perundang-undang yang berlaku di suatu negeri, sedangkan bank Islam, selain terikat dan  harus  tunduk  dengan  peraturan  atau  perundang-undang  yang  berlaku,  harus
dijalankan sesuai dengan hukum dan tata aturan Islam.
2. Pemikiran  Yusuf al-Qaradhawi