Analisis Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS HARGA TANDAN BUAH SEGAR (TBS) KELAPA

SAWIT DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

MAHRANI

077018039/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS HARGA TANDAN BUAH SEGAR (TBS) KELAPA

SAWIT DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

dalam Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAHRANI

077018039/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS HARGA TANDAN BUAH SEGAR (TBS) KELAPA SAWIT DI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Mahrani Nomor Pokok : 077018039

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr.Rahmanta, M.Si) (Drs.Rujiman,M.A)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr.Murni Daulay, M.Si) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 1 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Rahmanta, M.Si Anggota : 1. Drs Rujiman,M.A

1. Dr. Murni Daulay, S.E.M.Si 2. Dr Jonni Manurung, M.S. 3. Drs Rahmat Sumanjaya, M.Si


(5)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis harga Tandan Buah segar (TBS) Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Secara Spesifik tujuan penelitian adalah : (1) mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara harga Minyak Goreng dan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara, (2) mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara Nilai Tukar $ US dan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara, (3) mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara harga Minyak Kelapa dan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara.

Model Ekonometrika yang digunakan adalah Vector Auto Regression (VAR) empat variabel yaitu, Harga TBS (HTBS), Harga Minyak Goreng (HMG), Harga Minyak Kelapa (HMK), dan Nilai Tukar (ER). Data yang digunakan adalah data time series bulanan tahun 1998-2007. Mengingat data yang dipergunakan merupakan data

time series yang cenderung fluktuatif ataupun memiliki trend, maka uji unit root pada data tersebut perlu dilakukan. Uji stasioner yang digunakan adalah Augmented Dicky Fuller Test (ADF). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Efiews 4.1.

Berdasarkan hasil vector autoregression menunjukkan bahwa kontribusi yang paling besar dan positif terhadap Harga Tandan Buah Segar adalah Harga Minyak Kelapa t-1 sebesar 2802.73 kemudian disusul oleh Harga Minyak Goreng t-1 sebesar 1821.07 dan Nilai Tukar sebesar 1161.67. Berdasarkan hasil dari Impulse Respon Function menunjukkan bahwa satu standar deviasi dari HTBS akan berpengaruh terhadap HTBS, akan meningkatkan HTBS sendiri sebesar 9961.992 membawa efek kenaikan standar deviasi terhadap variabel Nilai Tukar sebesar 232.8556. Dari Hasil

Variance decomposition Harga Tandan Buah Segar (HTBS) diperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek dan menengah kontribusi Harga Minyak Goreng terhadap Harga Tandan Buah Segar (HTBS) lebih besar dibanding Harga Minyak Kelapa dan Nilai Tukar, hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar Harga Minyak Goreng ditentukan berdasarkan Harga Tandan Buah Segar. Untuk jangka panjang Harga Tandan Buah Segar digunakan sebagai nilai untuk dapat menentukan Harga Minyak Goreng.

Kata Kunci : HargaTandan Buah Segar, Nilai Tukar, Harga Minyak Goreng, Harga Minyak Kelapa


(6)

ABSTRACT

The objective of the research is to find out the price of fresh fruit bunch (FFB) in North Sumatera. Specificly the objective of this research are : to find out cointegration between the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of cooking oil and the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of foreign exchange rates and the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of coconut oil and the price of fresh fruit bunch (FFB).

By using monthly data 1998-2007 period, an econometric approach of econometrics specially a vector autoregression model was applied in this study, used four variables, the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of cooking oil, the price of foreign exchange rates and the price of coconut oil. Remembered that we used time series data, had trend and fluktuatif, unit root test must be done. The study uses Augmented Dicky Fuller Test (ADF) using software eviews 4.1.

The result of vector autoregression indicates that the best contribute of fresh fruit bunch price are coconut oil price (t-1) about 2802.73, followed by cooking oil price (t-1) about 1821,07, and the exchange rates about 1161,67. The result of impulse response function indicates that a standar deviation from fresh fruit bunch price will increase fresh fruit bunch about 9961,992 make the increase of standard deviation effect of exchange rates about 232,8336. The result of Variance Decomposition of Fresh Fruit Bunch Price indicates that in the middle and short term the contribution of cooking Oil to Fresh Fruit Bunch has more contribution than coconut oil and the exchange rates, indicates that a few of coconut oil price has been taken for Fresh Fruit Bunch price. For long term Fresh Fruit Bunch price taken for cooking oil.

Key Words : Price of Fresh Fruit Bunch (FFB), Exchange Rates, Price of Cooking Oil, Price of Coconut Oil


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, D.M.T.&H., Sp.A (K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Dr.Murni Daulay, M.Si. Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan Univesitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Pembanding atas arahan dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan pengerjaan tesis ini. 4. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si. selaku Ketua Pembimbing dan Bapak Drs Rujiman,

M.A. selaku Anggota Pembimbing yang telah memberikan berbagai masukan dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tulisan ini.

5. Bapak Dr. Jonni Manurung, M.S., dan Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya, M.Si. sebagai pembanding yang telah memberikan masukan dan saran atas penulisan tesis ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen beserta staf Administrasi pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

7. Teman-teman mahasiswa pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, Desi, Dona, Pak Lingga, Pak Yon, Bang Dodi, pak Idris, Bang Idham, Aulia, Bobbi, bang Adi, dan semua yang telah memberikan masukan, kritikan dan semangat dan bantuan serta wawasan yang luas terhadap penyelesaian penyusunan tesis ini.


(8)

8. Bapak dan Ibu dosen serta pegawai pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah, Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Agribisnis Universitas Al-Washliyah, dan rekan-rekan guru di SMP BAHARI dan MTs.PAB Helvetia yang telah memberikan dukungan serta berbagai kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Ayahanda Zulkifli / Ibunda Arbaiah, adik-adikku, atas do’a dan dukungannya, sahabat-sahabat, Juli ’thanx 4 ur help’, Lisna, Rini, Mayang, Santi, Dani, Fika ’thank’s for all ur support’, Diah ”u make me survive to face all” Kantun, Tutut, Ika, Ani, Thanks atas dukungannya, P’Ewin, P’Mun, K’Nci, atas semangat dan ”Motivasi”, Eka n Neneng ”Though u far, but u gave me so much”, last but not least to my ’Pirates’ ’Thanks for your support, pray n kindess that never end’

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan. Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2009 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Mahrani

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 03 Desember 1978

Alamat : Jl. Satu Ling.12 No.B29 P.Brayan Bengkel Medan Pekerjaan : Staf Pengajar FP.UMN-Al-Washliyah

Status : Menikah

Nama Orangtua :

Ayah : Zulkifli

Ibu : Arbaiah

Pendidikan :

a. SD : SDN No. 060863 Medan

b. SMP : SMP SWASTA PERTIWI Medan c. SMA : SMAN 3 Medan

d. S1 : Fak. Pertanian USU


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

1.1. Teori Harga ... 12

1.2. Struktur Pasar ... 16

1.3. Komoditas Kelapa Sawit... 17

1.4. Studi Terdahulu... 20


(11)

1.6. Hipotesis Penelitian... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Ruang Lingkup Penelitian... 29

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 29

3.3 Pengujian Stasioneritas ... 30

3.4 Uji Unit Root... 32

3.5 Kointegrasi ... 33

3.6 Kasus Univariate ... 34

3.7 Kasus Multivariate ... 35

3.8 Vector Autoregressive (VAR)... 36

3.9 Impulse Response Function... 37

3.10 Forecast Error Variance Decomposition... 39

3.11 Model Analisis ... 41

3.12 Metode dan Analisis Data ... 41

3.13 Definisi Operasional ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1.Perkembangan Harga TBS... 43

4.2.Perkembangan Harga Minyak Goreng... 45

4.3.Perkembangan Nilai Tukar ($US)... 48

4.4.Perkembangan Harga Minyak Kelapa ... 50

4.5.Hasil Penelitian ... 53


(12)

4.5.2. Kestasioneran Data... 54

4.5.3. The Granger Causality Test... 55

4.5.4. Uji Kointegrasi Johansen ... 57

4.5.5. Hasil Estimasi VAR ... 59

4.5.6. Impulse Response Function(IRF) dan Grafik Cholesky... 65

4.5.7. Variance Decomposition... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 83

5.1. Kesimpulan ... 83

5.2. Saran... 85


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1.1.Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Berdasarkan Pengusahaannya ...2

1.2.Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Tahun 1998-2006 Berdasarkan Pengusahaannya ...2

1.3.Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kabupaten Tahun 2004-2007 ...4

1.4.Perkembangan Harga TBS dan Bagian Harga Yang Diterima Petani di Sumatera Utara...8

4.1.Perkembangan Harga TBS Sumatera Utara Periode Januari 1998- Desember 2007 (Rupiah) ...44

4.2.Perkembangan Harga Minyak Goreng Sumatera Utara Periode Januari 1998-Desember 2007 (Rupiah) ...47

4.3.Perkembangan Nilai Tukar ($US) Sumatera Utara Periode Januari 1998-Desember 2007 (Rupiah) ...49

4.4.Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sumatera Utara Periode Januari 1998-Desember 2007 (Rupiah) ...52

4.5.Uji Akar Unit First Difference... 55

4.6.Uji Kausalitas Granger... 56

4.7.Uji Kointegrasi Johansen ... 58

4.8.Hasil Analisa VAR dengan dasar Lag 1 ... 59

4.9.Impulse Response Function HTBS ... 66

4.10. Impulse Response Function ER ... 69


(14)

4.12.Impulse Response Function HMK ... 73

4.13.Variance Decomposition HTBS... 76

4.14.Variance Decomposition ER... 78

4.15.Variance Decomposition HMG ... 79


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Tahun 1998-2006

Berdasarkan Pengusahaannya ... 3

1.2. Harga Riil dan Nominal CPO di Rotterdam (US$/kg) ... 7

2.1. Bagan Alur Produksi Kelapa Sawit ... 19

2.2. Skema Kerangka Pemikiran... 27

4.1. Diagram Perkembangan Harga TBS (Tandan Buah Segar) Periode Januari 1998 s/d Desember 2007 ... 45

4.2. Diagram Perkembangan Harga Minyak Goreng Periode Januari 1998 s/d Desember 2007 ... 46

4.3.Diagram Perkembangan Nilai Tukar ($US terhadap Rupiah) Periode Januari 1998 s/d Desember 2007 ... 50

4.4. Diagram Perkembangan Harga Minyak Kelapa Periode Januari 1998 s/d Desember 2007 ... 51

4.5. Stabilitas Vector Autoregression pada Lag 1... 62

4.6. Respon Variabel HTBS pada perubahan Variabel lain... 74


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Uji Kausalitas Granger... 88

2. Uji Kointegrasi Johansen ... 89

3. Unit Root Test Pada Level (HTBS) ... 92

4. Unit Root Test Pada Level (HMG) ... 93

5. Unit Root Test Pada Level (ER) ... 94

6. Unit Root Test Pada Level (HMK) ... 95

7. Unit Root Test Pada First Difference (HTBS)... 96

8. Unit Root Test Pada First Difference (HMG) ... 97

9. Unit Root Test Pada First Difference (ER)... 98

10. Unit Root Test Pada First Difference (HMK) ... 99

11. Penentuan Panjang Lag Pada Level ... 100

12. Regresi VAR Pada Lag 1 ... 101

13. Stabilitas VAR Pada Lag 1 ... 102

14. Tabel Impulse Response Function... 103

15. Impulse Response Function Tunggal ... 107

16. Impulse Response Function Ganda ... 108

17. Tabel Variance Decomposition... 109

18. Variance Decomposition Tunggal... 111


(17)

20. Perkembangan Harga TBS Sumatera Utara

Periode Januari 1998 - Desember 2007 (Rupiah) ... 113 21. Perkembangan Harga Minyak Goreng Sumatera Utara

Periode Januari 1998 - Desember 2007 (Rupiah) ... 114 22. Perkembangan Nilai Tukar ($US terhadap Rupiah) Sumatera Utara

Periode Januari 1998 - Desember 2007 ... 115 23. Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sumatera Utara


(18)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis harga Tandan Buah segar (TBS) Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Secara Spesifik tujuan penelitian adalah : (1) mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara harga Minyak Goreng dan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara, (2) mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara Nilai Tukar $ US dan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara, (3) mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara harga Minyak Kelapa dan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Sumatera Utara.

Model Ekonometrika yang digunakan adalah Vector Auto Regression (VAR) empat variabel yaitu, Harga TBS (HTBS), Harga Minyak Goreng (HMG), Harga Minyak Kelapa (HMK), dan Nilai Tukar (ER). Data yang digunakan adalah data time series bulanan tahun 1998-2007. Mengingat data yang dipergunakan merupakan data

time series yang cenderung fluktuatif ataupun memiliki trend, maka uji unit root pada data tersebut perlu dilakukan. Uji stasioner yang digunakan adalah Augmented Dicky Fuller Test (ADF). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Efiews 4.1.

Berdasarkan hasil vector autoregression menunjukkan bahwa kontribusi yang paling besar dan positif terhadap Harga Tandan Buah Segar adalah Harga Minyak Kelapa t-1 sebesar 2802.73 kemudian disusul oleh Harga Minyak Goreng t-1 sebesar 1821.07 dan Nilai Tukar sebesar 1161.67. Berdasarkan hasil dari Impulse Respon Function menunjukkan bahwa satu standar deviasi dari HTBS akan berpengaruh terhadap HTBS, akan meningkatkan HTBS sendiri sebesar 9961.992 membawa efek kenaikan standar deviasi terhadap variabel Nilai Tukar sebesar 232.8556. Dari Hasil

Variance decomposition Harga Tandan Buah Segar (HTBS) diperoleh hasil bahwa dalam jangka pendek dan menengah kontribusi Harga Minyak Goreng terhadap Harga Tandan Buah Segar (HTBS) lebih besar dibanding Harga Minyak Kelapa dan Nilai Tukar, hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar Harga Minyak Goreng ditentukan berdasarkan Harga Tandan Buah Segar. Untuk jangka panjang Harga Tandan Buah Segar digunakan sebagai nilai untuk dapat menentukan Harga Minyak Goreng.

Kata Kunci : HargaTandan Buah Segar, Nilai Tukar, Harga Minyak Goreng, Harga Minyak Kelapa


(19)

ABSTRACT

The objective of the research is to find out the price of fresh fruit bunch (FFB) in North Sumatera. Specificly the objective of this research are : to find out cointegration between the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of cooking oil and the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of foreign exchange rates and the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of coconut oil and the price of fresh fruit bunch (FFB).

By using monthly data 1998-2007 period, an econometric approach of econometrics specially a vector autoregression model was applied in this study, used four variables, the price of fresh fruit bunch (FFB), the price of cooking oil, the price of foreign exchange rates and the price of coconut oil. Remembered that we used time series data, had trend and fluktuatif, unit root test must be done. The study uses Augmented Dicky Fuller Test (ADF) using software eviews 4.1.

The result of vector autoregression indicates that the best contribute of fresh fruit bunch price are coconut oil price (t-1) about 2802.73, followed by cooking oil price (t-1) about 1821,07, and the exchange rates about 1161,67. The result of impulse response function indicates that a standar deviation from fresh fruit bunch price will increase fresh fruit bunch about 9961,992 make the increase of standard deviation effect of exchange rates about 232,8336. The result of Variance Decomposition of Fresh Fruit Bunch Price indicates that in the middle and short term the contribution of cooking Oil to Fresh Fruit Bunch has more contribution than coconut oil and the exchange rates, indicates that a few of coconut oil price has been taken for Fresh Fruit Bunch price. For long term Fresh Fruit Bunch price taken for cooking oil.

Key Words : Price of Fresh Fruit Bunch (FFB), Exchange Rates, Price of Cooking Oil, Price of Coconut Oil


(20)

BAB I PENDAHULUAN

3.1. Latar Belakang

Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila

pada tahun 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas

105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan

yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas

areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada

perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima

tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar

pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200

ribu hektar setiap tahunnya.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang pada tahun 1979/1980 seluas

289.526 Ha dan hanya diusahakan dalam bentuk usaha perkebunan besar, kemudian

berkembang sampai 5.972 Ribu Ha pada tahun 2006 setidaknya merupakan gambaran

keberhasilan kebijakan pemerintah di sektor bersangkutan dalam percepatan

pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Berikut adalah tabulasi mengenai perkembangan luas areal dan produksi TBS


(21)

Tabel 1.1. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Berdasarkan Pengusahaannya

Luas Areal (Ha) Tahun Perkebunan

Rakyat

Perkebunan Besar Negara

Perkebunan Besar

Swasta Total Nasional

1980 6.370,00 199.194,00 83.963,00 289.256,00

1990 360.537,00 236.602,00 529.538,00 1.126.677,00 1998 890.506,00 556.640,00 2.113.050,00 3.560.196,00 1999 1.041.046,00 576.999,00 2.283.757,00 3.901.802,00 2000 1.166.758,00 588.125,00 2.403.194,00 4.158.077,00 2001 1.561.031,00 609.943,00 2.542.457,00 4.713.431,00 2002 1.808.424,00 631.566,00 2.627.368,00 5.067.358,00 2003 1.854.394,00 662.803,00 2.766.360,00 5.283.557,00 2004 1.904.943,00 674.865,00 2.821.705,00 5.401.513,00 2005 1.917.038,00 676.408,00 2.914.773,00 5.508.219,00 2006 2.120.338,00 696.699,00 3.141.802,00 5.958.839,00 Sumber : BPS Indonesia, 2007

Produksi Tandan Buah Segar (TBS) perkebunan kelapa sawit pada kurun waktu 1998-2006 berdasarkan pengusahaannya dapat ditunjukkan dalam tabulasi data dan grafik sebagai berikut:

Tabel 1.2. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit pada Tahun 1998-2006 Berdasarkan Pengusahaannya

Produksi TBS (Ton) Tahun Perkebunan

Rakyat

Perkebunan Besar Negara

Perkebunan

Besar Swasta Total Nasional 1998 1.344.569,00 1.501.747,00 3.084.099,00 5.930.415,00 1999 1.547.881,00 1.468.949,00 3.438.830,00 6.455.660,00 2000 1.905.653,00 1.460.954,00 3.633.901,00 7.000.508,00 2001 2.798.032,00 1.519.289,00 4.079.151,00 8.396.472,00 2002 3.426.739,00 1.607.734,00 4.587.871,00 9.622.344,00 2003 3.517.324,00 1.750.651,00 5.172.859,00 10.440.834,00 2004 3.745.264,00 2.013.130,00 6.466.132,00 12.224.526,00 2005 3.873.677,00 2.158.684,00 7.079.579,00 13.111.940,00 2006 4.189.000,00 2.343.000,00 7.668.000,00 14.200.000,00 Sumber : BPS Indonesia, 2007


(22)

Gambar 1.1. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Tahun 1998 2006 Berdasarkan Pengusahaannya

Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan di Indonesia. Perkebunan di Sumatera Utara telah dibuka sejak penjajahan Belanda. Komoditi hasil perkebunan yang paling penting di Sumatera utara saat ini antara lain Sawit, Kopi, Cokelat dan Tembakau. Luas tanam kebun Kelapa Sawit rakyat di Sumatera Utara pada tahun 2007 sebesar 372.153,00 Ha dengan produksi 4.895.830,11 ton TBS (Tandan Buah Segar) Kelapa Sawit. Kabupaten Labuhan Batu merupakan pusat perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Sumatera Utara. Di daerah ini terdapat sebesar 132.670 Ha kebun Sawit rakyat atau 35,65 % dari seluruh perkebunan Kelapa Sawit rakyat Sumatera utara seperti disajikan dalam tabel berikut ini :


(23)

Tabel 1.3. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit Tanaman Perkebunan Rakyat menurut Kabupaten Tahun. 2004-2007

Luas Tanaman (Ha) No.

Kabupaten TBM TM TTM JLH.

Produksi TBS (Ton)

1 Nias - - - - -

2

Mandailing

Natal 5,708.00 8,367.50 - 14,075.50 176.353,80 3 Tapanuli Selatan 16,167.50 50,394.50 1,010.00 67,572.00 827.320,69 4 Tapanuli Tengah 1,001.00 1,258.00 - 2,259.00 24.140,98 5 Tapanuli Utara 17,5 2.50 17.50 37.50 3,87 6 Toba Samosir 152.00 607.00 10.00 769.00 11.243,62 7 Labuhan Batu 8,192.00 124,478.00 - 132.670,00 1.703.156,00 8 Asahan 9,92415 49,660.60 1,413.00 60997,75 797.129,98 9 Simalungun 1,650.35 24,038.90 59.00 25748,25 490.304,27 10 Dairi 41.00 92.00 - 133 739,00 11 Karo 330.00 867.00 - 1197 16.661,00 12 Deli Serdang 3,803.00 9,751.40 305.77 13860,17 177.267,80 13 Langkat 4,078.00 36,311.00 1,035.00 41424 534.762,00 14 Nias Selatan - - - - -

15

Humbang

Hasundutan 194.00 153.00 49.00 396 325,10 16 Pakpak Barat 306.68 1,202.15 - 1508,83 12.648,00 17 Samosir 1,859.00 7,646.00 - 9505 123.774,00 18 Serdang Bedagai - - - - -

19 Batubara - - - - -

20

Padang Lawas

Utara - - - - -

21 Padang Lawas - - - - - Total 53.424,18 314.829,55 3.899,27 372.153,00 4.895.830,11 2006 51,262.19 308.606,92 3.226,25 363.095,36 4.486.478,73 2005 40,149.21 262.877,35 3.187,37 314.213,93 4.167.262,98 2004 47,593.64 193.191,60 2.315,50 243.100,74 3.132.124,29

Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka, 2007

Harga Produk pertanian terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun secara politik. Dalam menganalisis kondisi pasar kebutuhan pokok, sebagai produk pertanian diperlukan metode yang mampu menggambarkan situasi yang mendekati kenyataan. Apabila kita mampu menggambarkan analisis sesuai yang diharapkan


(24)

maka kita dapat melakukan analisis lebih lanjut tentang kebijakan apa yang perlu atau yang mempengaruhi kondisi tersebut. Intervensi atau berbagai kebijaksanaan perlu dilakukan dalam upaya meningkatkan dan mengatur perdagangan berbagai komoditi tujuan agar perekonomian dapat berjalan lebih sesuai harapan atau sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi suatu negara.

Analisis harga merupakan suatu metodologi yang perlu dikuasai untuk menganalisis bagaimana pasar bergerak dan bagaimana intervensi yang dapat dilakukan. Hal ini menyangkut seluruh pelaku di pasar. Secara umum harga dibidang petanian, akan mempengaruhi beberapa agen ekonomi : produsen dan konsumen serta masyarakat secara luas.

Secara teoretis, harga akan mempengaruhi berbagai aspek melalui : a. Harga mempengaruhi pembentukan pendapatan.

b. Harga mempengaruhi kesejahteraan (produsen dan konsumen)

c. Harga mempengaruhi pendapatan ekspor (export earning) karena perdagangan memberlakukan tarif antarnegara termasuk berbagai ketentuan WTO (World Trade Organization)

d. Harga akan menyebabkan fluktuasi pendapatan e. Harga akan menyebabkan fluktuasi produk pertanian (Anindita, R. 2008)

Pada awal tahun 2002 harga rata - rata tandan buah segar (TBS) mencapai Rp 400 per kilogram. Pada akhir tahun 2002 sampai awal tahun 2003 harga TBS di tingkat petani mencapai lebih Rp 600 per kilogram. Meningkatnya harga TBS itu


(25)

dipengaruhi oleh membaiknya harga CPO di bursa minyak nabati dunia di Rotterdam, Belanda. Pada awal tahun 2003 harga minyak sawit dunia mengalami fluktuasi harga akibat krisis di Timur Tengah, namun harga komoditas kelapa sawit di pasar dunia terus berada di atas 420 dollar AS per metrik ton. Kenaikan harga ini diperkirakan tidak terlepas dari berkembangnya pasar minyak sawit, terutama dinegara-negara berkembang. Dengan kata lain, minyak sawit masih mempunyai prospek kedepan.

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di Kualalumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam industri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO merupakan acuan utama bagi harga TBS.


(26)

Gambar 1.2. Harga Riil dan Nominal CPO di Rotterdam (US$/kg)

Tingkat harga TBS pada tahun 2002 dan 2003 dapat dikatakan relatif tinggi dibandingkan harga CPO FOB. Selain itu, indeks K yang berada di atas 78,50% (batas indeks K minimal) mendorong bagian harga yang diterima petani relatif tinggi. Harga di pasar dunia dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak kedelai di pasar Chicago, serta merosotnya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Selain itu, kinerja pengembangan kelapa sawit nasional semakin baik. Pada tahun 2003 diperkirakan jumlah volume produksi meningkat kurang lebih mencapai 10 persen. Dari tiap metrik ton CPO yang berharga 440 dollar AS per metrik ton, pengusaha sawit nasional dapat memperoleh keuntungan sekitar Rp 143 per kilogram. Dibawah ini dapat dilihat perkembangan harga TBS serta bagian harga yang diterima petani di


(27)

Sumatera Utara tahun 2003 dan 2004 yang dijabarkan dengan harga bulanan, dimulai dari bulan Januari 2002 sampai dengan bulan Desember 2003.

Tabel 1.4. Perkembangan Harga TBS dan Bagian Harga Yang Diterima Petani di Sumatera Utara

No Bulan Rendemen Hcpo Rp/kg His Rp/kg Htbs Rp/kg Konversi Htbs Share (%) Tahun 2002

1 Januari 0.79 2,748.26 1,381.81 465.20 2,326.00 84.64 2 Februari 0.79 2,853.54 1,265.54 485.98 2,429.90 85.15 3 Maret 0.79 2,719.33 1,170.97 461.88 2,309.40 84.93 4 April 0.79 2,681.22 1,276.96 459.82 2,299.10 85.75 5 Mei 0.79 2,770.30 1,353.14 479.64 2,398.20 86.57 6 Juni 0.79 3,013.90 1,365.75 518.00 2,590.00 85.94 7 Juli 0.79 3,080.86 1,384.83 526.30 2,631.50 85.41 8 Agustus 0.79 3,189.96 1,408.82 548.32 2,741.60 85.94 9 September 0.79 3,070.50 1,344.84 527.56 2,637.80 85.91 10 Oktober 0.79 3,058.21 1,311.17 522.81 2,614.05 85.48 11 Nopember 0.80 3,213.44 1,446.54 555.44 2,777.20 86.42 12 Desember 0.80 3,322.98 1,498.02 579.73 2,898.65 87.23

Tahun 2003

13 Januari 0.80 3,493.66 1,583.80 606.55 3,032.75 86.81 14 Februari 0.80 3,499.23 1,589.44 605.20 3,026.00 86.48 15 Maret 0.80 3,342.56 1,470.47 576.67 2,883.35 86.26 16 April 0.79 3,173.76 1,333.46 540.22 2,701.10 85.11 17 Mei 0.79 3,101.13 1,240.72 526.43 2,632.15 84.88 18 Juni 0.79 3,162.86 1,249.35 538.92 2,694.60 85.20 19 Juli 0.79 3,069.05 1,251.80 518.80 2,594.00 84.52 20 Agustus 0.79 3,014.25 1,251.12 510.31 2,551.55 84.65 21 September 0.79 3,107.02 1,309.18 529.26 2,646.30 85.17 22 Oktober 0.79 3,337.51 1,476.15 576.59 2,882.95 86.38 23 Nopember 0.80 3,771.57 1,703.12 568.42 2,842.10 75.36 24 Desember 0.81 3,739.93 1,795.62 660.54 3,302.70 88.31 Sumber: Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2004.

Dari berbagai aspek ekonomi, harga merupakan salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian. Pentingnya harga terutama ditingkat petani produsen


(28)

(dengan tetap melindungi konsumen), dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara melalui kebijakan intervensi. Secara umum tujuan kebijakan pemerintah di bidang harga adalah untuk mencapai salah satu atau kombinasi dari beberapa hal berikut : (1) membantu meningkatkan pendapatan petani, (2) melindungi petani kecil untuk tetap memiliki insentif, (3) mengurangi ketergantungan impor, (4) menurunkan ketidakstabilan harga dan pendapatan petani, dan (5) memperhatikan daya beli konsumen agar kebutuhan pangan penduduk terpenuhi.

Beberapa instrument kebijakan harga dalam rangka melindungi petani produsen yang umum dilakukan pemerintah adalah melalui (1) penetapan harga tertinggi-terendah dan atau harga pembelian pemerintah, (2) penetapan waktu dan atau volume impor, (3) pengaturan volume stock (cadangan) pemerintah dan pelepasan stock ke pasar, dan (4) penetapan larangan ekspor.

Dari uraian di atas terlihat bahwa aspek harga dan kaitannya dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani merupakan salah satu elemen penting dalam ekonomi. Terkait dengan hal tersebut maka analisis harga menjadi hal penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi serta membuat peramalan harga kedepan.


(29)

3.2. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu : 1. Apakah terdapat hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah

Segar (TBS) kelapa sawit dan harga Minyak Goreng di Sumatera Utara.

2. Apakah terdapat hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dan Nilai Tukar $ US di Sumatera Utara.

3. Apakah terdapat hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dan Harga Minyak Kelapa di Sumatera Utara.

3.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dan harga Minyak Goreng di Sumatera Utara.

2. Mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dan Nilai Tukar $ US di Sumatera Utara.

3. Mengetahui hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dan Harga Minyak Kelapa di Sumatera Utara.


(30)

3.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan terkait dengan upaya perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi Tandan Buah Segar (TBS).

2. Sebagai informasi bagi petani, dan instansi-instansi yang terkait dalam rangka pengembangan komoditas perkebunan khususnya kelapa sawit.

3. Sebagai informasi bagi penulis dalam menambah wawasan serta melatih kemampuan analisis dalam memecahkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang terjadi

4. Sebagai informasi bagi pembaca yang tertarik serta sebagai bahan pertimbangan dan referensi peneliti lainnya untuk penelitian lebih lanjut.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Teoriharga

Harga suatu produk merupakan ukuran terhadap besar kecilnya nilai kepuasan seseorang terhadap produk yang dibeli. Selain itu, harga suatu produk juga pada dasarnya merupakan rangkuman dari sejumlah informasi yang menyangkut ketersediaan sumberdaya, kemungkinan produksi dan preferensi konsumen (Purnama, 2003). Dalam menunjang kegiatan transaksi perdagangan, informasi harga suatu komoditas merupakan faktor kunci besarnya penawaran dan permintaan.

Permintaan suatu komoditi merupakan jumlah total dari suatu komoditi yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga. Sementara itu, penawaran suatu komoditi adalah jumlah total dari suatu komoditi yang ingin dijual oleh suatu perusahaan (Lipsey, dkk. 1995). Harga keseimbangan pasar akan terbentuk ketika terjadi perpotongan antara kurva penawaran dengan kurva permintaan yang artinya jumlah barang yang diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan.

Jika jumlah barang yang diminta lebih besar daripada jumlah barang yang ditawarkan, maka akan terjadi excess demand atau jadi kekurangan kuantitas dan oleh karenanya mendorong harga yang sekarang naik. Sementara itu, jika jumlah barang yang ditawarkan lebih besar daripada jumlah barang yang diminta, maka akan terjadi

excess supply sehingga akan memaksa harga turun karena akan terjadi surplus atau kelebihan kuantitas.


(32)

Penawaran sejumlah barang untuk dijual per unit tergantung dengan harga, sedangkan faktor lain yang ada adalah konstan (ceteris paribus) Perubahan dalam berbagai harga produk pertanian mempunyai proporsi yang relatif sedikit dari total perubahan hasil produksi yang terjadi selama lebih beberapa tahun. Dalam jangka pendek perubahan produksi yang dihasilkan sering disebabkan oleh perbaikan teknologi yang menuntut petani untuk menghasilkan barang yang lebih banyak dengan harga yang sama disebut dengan pergeseran penawaran.

Pergeseran penawaran adalah sangat penting untuk diketahui, yaitu untuk melihat perubahan yang terjadi pada hasil produksi sebagai hasil dari pergeseran kurva penawaran statis (pergeseran pada kurva penawaran). Kenaikan kurva penawaran ke sebelah kanan (penambahan penawaran) mengandung arti bahwa jumlah produksi yang ditawarkan bertambah dengan harga sama, penurunan ke kiri mempunyai makna yang berkebalikan dengan hal diatas.

Ada beberapa faktor penting yang dapat menggeser penawaran statis (Supply Shifters) yaitu :

a. Perubahan harga input

b. Harga komoditi lain yang berhubungan c. Perubahan teknologi

d. Perubahan harga produk gabungan (joint product)

e. Ramalan penjual pada harga di masa yang akan datang f. Cuaca


(33)

Analisis perubahan jumlah yang diminta dengan menggunakan kurva permintaan tampak kondisi perubahan sangat cepat, dimana harga berubah maka jumlah yang diminta juga cepat berubah. Tetapi dalam kenyataan, perubahan jumlah yang diminta dan harga relatif lambat. Fakta di bidang pertanian menunjukkan bahwa perubahan jumlah produksi relatif lambat tetapi perubahan harga dan jumlah yang diminta tampak jelas akibat dari tidak stabilnya tingkat produksi.

Di bidang industri seringkali penggunaan kurva permintaan digunakan untuk menentukan tingkat produksi sesuai dengan harga yang diinginkan. Dalam jangka panjang, jumlah produksi relatif tetap untuk menjaga harga yang stabil.

Ahli ekonomi menggeneralisasi ada lima faktor utama, yang mengubah jumlah diminta atau konsumsi masyarakat yang sering disebut demand determinant yaitu : b. Harga komoditi itu sendiri. Kenaikan harga komoditi tersebut akan mengurangi

jumlah yang diminta dan penurunan harga akan terjadi sebaliknya.

c. Harga barang lain. Permintaan akan suatu komoditi tidak saja tergantung dari komoditi tersebut tetapi juga harga komoditi lain. Arah perubahan permintaan tergantung dari arah perubahan harga dan bagaimana komoditi tersebut dengan komoditi yang lain. Jika penurunan harga komoditi lain menyebabkan penurunan jumlah yang diminta maka hubungan komoditi tersebut dengan yang lain dinamakan substitute (hubungan negative). Sedangkan jika kenaikan harga komoditi lain menyebabkan kenaikan jumlah yang diminta pada komoditi lain, maka hubungan komoditi tersebut dinamakan complementer (hubungan positif).


(34)

d. Jumlah penduduk. Kenaikan jumlah penduduk berarti jumlah yang diminta bertambah

e. Pendapatan konsumen. Kenaikan pendapatan konsumen seringkali menjadi penyebab kenaikan permintaan produk pertanian. Bahwa elastisitas pendapatan penduduk Indonesia terhadap permintaan sayur-sayuran dan buah-buahan lebih dari satu yang berarti bahwa kenaikan pendapatan 1% menaikkan permintaan akan sayur-sayuran dan buah-buahan lebih dari 1%. Tetapi dapat terjadi sebaliknya bagi komoditi inferior bahwa kenaikan pendapatan menyebabkan jumlah yang diminta pada komoditi tersebut menurun, misalnya jagung sebagai bahan pangan.

f. Jumlah keluarga dan distribusi umur keluarga. Permintaan akan bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah keluarga. Pada umumnya keluarga yang mempunyai jumlah anggota besar, maka jumlah pendapatan yang dibelanjakan untuk pengeluaran akan bahan pangan akan lebih besar. Demikian juga perbedaan umur, dimana usia lanjut akan lebih banyak mengonsumsi makanan yang kandungan lemaknya lebih rendah.

Teori ekonomi menjelaskan bahwa teori permintaan didasarkan atas tingkat kepuasan dalam mengonsumsi barang dan pendapatan yang dibelanjakan, dimana konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan dengan keterbatasan/kendala pendapatan. Pengukuran tingkat kepuasan seseorang dapat digambarkan melalui kurva indiferen, yang menyatakan titik-titik kombinasi dari dua macam barang yang


(35)

dikonsumsi oleh seseorang pada tingkat kepuasan yang sama. Semakin tinggi kurva indiferen menunjukkan tingkat kepuasan yang semakin tinggi.

2.2.Struktur Pasar

Persaingan sempurna adalah suatu model struktur pasar dari sebuah industri, sementara monopoli adalah model yang lain. Secara tradisional, struktur pasar dikaitkan dengan jumlah perusahaan yang aktif dalam industri itu. Suatu kedaan monopoli terdapat bila industri hanya terdiri dari satu perusahaan tunggal. Bila perusahaan itu mampu mendepak pesaing-pesaing karena biaya-biaya produksinya lebih rendah, keadaan itu disebut “monopoli alamiah” (Natural Monopoly). Tetapi tidak semua monopoli bersifat “alamiah”. Suatu sumber monopoli lain yang penting adalah fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah, seperti dalam hal perusahaan umum yang diberi hak monopoli atau suatu hak paten. Kebalikan dari monopoli adalah terdapat banyak perusahaan atau persaingan.

Dalam suatu keadaan di mana terdapat banyak perusahaan, apa yang pokok adalah tingkah laku mengikuti harga saja (price taking behaviour), setiap perusahaan hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil atas harga sehingga harga itu bertindak seolah-olah bebas dari keputusan mengenai keluarannya sendiri.

Bila lebih dari satu tetapi masih hanya sedikit perusahaan yang tertinggal dalam suatu industri, struktur pasar itu disebut ‘oligopoli’ persaingan antara sedikit perusahaan. Dalam oligopoly setiap keputusan mengenai keluaran sesuatu perusahaan jelas mempengaruhi keadaan permintaan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan


(36)

lain, yang dapat diharapkan akan memberikan reaksinya. Akan tetapi ada interaksi yang disadari diantara perusahaan-perusahaan itu, suatu keadaan yang menjurus pada tingkah laku yang ‘strategis’ dan bukan hanya mengikuti harga saja.

2.3.Komoditas Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit di Indonesia diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor.

Kelapa sawit di Indonesia baru diusahakan sebagai tanaman komersial pada tahun 1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt seorang Jerman pada tahun 1911.

Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan


(37)

kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin.

Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Kelapa sawit berkembang biak dengan biji, tumbuh di daerah tropis, pada ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut. Kelapa sawit menyukai tanah yang subur, di tempat terbuka dengan kelembaban tinggi. Kelembaban tinggi itu antara lain ditentukan oleh adanya curah hujan yang tinggi, sekitar 2000-2500 mm setahun.

Produksi utama kelapa sawit adalah Tandan buah segar. Tandan buah segar dapat diolah menjadi biji sawit, daging buah, dan pakan ternak. Biji sawit diolah kembali menjadi bahan bakar, briket, minyak goreng, salad oil, pakan ternak dan tempurung arang.

Daging buah dapat menjadi minyak sawit, sebagai bahan baku margarine, minyak kasar (minyak makan), suldge, sabun dan bahan pakan ternak. Minyak sawit (CPO) dapat juga digunakan sebagai bahan bakar nabati (biofuel) pengganti bahan bakar minyak fosil, sehingga potensi pengunaan CPO akan terus meningkat pada masa yang akan datang. Hal ini menunjukan kelapa sawit mempunyai nilai investasi yang baik untuk dikembangkan. Berikut ini dapat dilihat bagan alur produksi kelapa sawit.


(38)

(39)

2.4.Studi Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan memaparkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menyangkut komoditas kelapa sawit. Bagian kedua akan memaparkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan tentang analisis harga. Sedangkan bagian ketiga akan memaparkan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan metode analisis yang digunakan yaitu kointegrasi.

Budiyanto, dkk (2005) melakukan penelitian mengenai kelapa sawit dengan judul Kajian Perbedaan Tandan Buah Segar yang dihasilkan oleh Perkebunan Rakyat dan Perkebunan Besar. Penelitian dilakukan menggunakan data primer yaitu di Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan menggunakan dua varietas yang diambil dari petani di tiga lokasi/ desa berbeda. Dilakukan analisis rendemen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan budidaya tanaman kelapa sawit pada lokasi yang berbeda tidak terlihat dampaknya pada rendemen CPO TBS yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena sampel yang digunakan dipilih berdasarkan berat yang relatif sama.

Penelitian mengenai analisis harga pernah dilakukan oleh Mulyana (2002) melakukan analisa terhadap harga Tandan Buah Segar Kelapa sawit (TBS) di daerah Sumatera Selatan dengan judul Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Selatan dari Perspektif Pasar Monopoli Bilateral. Peneltian dilakukan posisi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam rentang harga hasil pendekatan pasar monopoli bilateral,


(40)

dalam pengertian apakah telah memberikan perlindungan kepada petani dan mendekati harga yang mencerminkan kekuatan tawar menawar yang seimbang, atau lebih mengarah pada harga monopsonis, atau malah mengarah pada harga monopoli. Tiga pola perusahaan inti rakyat (PIR) menjadi sampel untuk dikaji kondisi dan datanya (1998-2002) dalam penelitian ini, yaitu PIR-Transmigrasi manajemen swasta dan BUMN, dan PIR-KUK. Alat analisis yang digunakan adalah model ekonometrika persamaan tunggal permintaan dan penawaran TBS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga TBS ketetapan pemerintah daerah telah melindungi petani plasma dari kemungkinan penerapan harga pasar monopsoni yang dapat terjadi tanpa intervensi kebijakan tersebut. Namun tingkat harga TBS tersebut dalam perspektif pasar monopoli bilateral, dimana KUD merepresentasikan petani sebagai monopolis, masih cenderung lebih dekat ke harga monopsonis. Hal ini juga mencerminkan lebih kuatnya posisi tawar perusahaan inti ketimbang petani, dan posisi harga TBS sebagai turunan harga CPO dunia.

Sementara itu Handewi (2005), melakukan analisis harga pangan yang berjudul Metode Analisis Harga Pangan . penelitian ini membahas tentang metode analisis harga pangan dan alternative teknik analisis harga pangan dan pemanfaatan analisis harga pangan.metode analisis yang digunakan yaitu analisis kuantitatif yang didasarkan pada pola perilaku yang terjadi pada deret waktu (time series data), pendekatan neraca (Balance Sheet Approach), dan pendekatan kuntitatif dengan memperhatikan keterkaitan antar variabel (fungsi permintaan dan penawaran harga). Dan juga menggunakan teknik riset operasi Linier Programming.


(41)

Sementara itu, Hutabarat (2006), melakukan penelitian mengenai analisa harga kopi dengan judul Analisis Saling Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia. Penelitian ini bertjuan untuk mengevaluasi perkembangan dan keragaman harga di dua lokasi produsen di Indonesia dan beberapa lokasi konsumen di luar negeri, meganalisis perubahan nilai tukar dollar AS serta kecenderungan orientasi dan dampaknya dalam menuju hubungan sesamanya dan dampaknya dalam jangka panjang. Alat analisis digunakan yaitu metode kointegrasi.data yang digunakan adalah data sekunder meliputi harga kopi dalam negeri di tingkat produsen, pedagang dan ekspor, dan harga eceran konsumen negara pengimpor utama dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga eceran di Jepang selalu lebih tinggi dari harga-harga di negara-negara konsumen seperti AS, Jerman, Italia dan Belanda dan tren perkembangan harga cenderung positive sampai tahun 1995 dan negative sesudahnya.

Penelitian mengenai kointegrasi dilakukan oleh Munadi ( 2007) dengan judul Penurunan Pajak Ekspor dan Dampaknya terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ke India (Pendekatan Error Correction Model). Dalam penelitian ini bertujuan Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri minyak goreng dalam negeri, pajak ekspor terhadap minyak kelapa sawit digunakan sebagai instrumen untuk memonitor keluar masuknya minyak kelapa sawit ke pasar ekspor yang relatif lebih menguntungkan setiap saat.

Berdasarkan uji kointegrasi dan estimasi Error Correction Model (ECM)


(42)

ke India tidak terdapat hubungan dalam jangka panjang yang diindikasikan dengan pengaruh yang tidak nyata dari Faktor error correction model (ECM). Dalam jangka pendek permintaan ekpor kelapa sawit oleh India sangat dipengaruhi oleh rasio antara harga minyak kedelai dan harga minyak kelapa sawit dunia dengan elastis sebesar 2,74, Indeks produksi dengan elastisitas sebesar 2,69 dan koefisien penyesuaian yang direfleksikan dengan permintaan ekspor ke India tahun lalu sebesar 0,89. Penurunan pajak ekspor akan diikuti oleh meningkatnya jumlah minyak sawit yang diekspor. Penurunan pajak ekspor sebesar 10% akan meningkatkan harga minyak sawit dalam negeri sebesar 14.83 persen.

Sementara itu, Riyadh (2007) dengan judul Analisis Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Indonesia Periode 1999 – 2006. Dalam penelitian ini bertujuan Menganalisis Respon variabel Industrial production index, uang beredar dan perbedaan suku bunga apabila terjadi shock terhadap variabel nilai tukar dan inflasi, menjelaskan secara empiris variabel-variabel makro yaitu industrial production index, tingkat inflasi, uang beredar dan perbedaan suku bunga dapat menjelaskan fluktuasi nilai tukar rupiah dan inflasi di Indonesia, merumuskan implikasi kebijakan moneter dari hasil-hasil analisis dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah dan inflasi.

Berdasarkan hasil analisis impulse respon dapat disimpulkan bahwa guncangan nilai tukar mengakibatkan depresiasi yang sangat tinggi terhadap nilai tukar rupiah yang akibatnya fluktuasi pada variabel makroekonomi dalam waktu yang lebih cepat menuju ke kondisi kestabilan dibandingkan variabel makroekonomi


(43)

lainnya, terkait dengan hal itu maka depresiasi dari guncangan nilai tukar akan direspon dengan meningkatnya jumlah uang beredar secara langsung. Hal itu terjadi karena simpanan dalam nominasi mata uang dolar juga termasuk dalam perhitungan jumlah uang beredar (M2) sehingga depresiasi nilai tukar rupiah secara otomatis meningkatkan jumlah uang beredar yang mengarah pada kenaikan tingkat harga dan membuat daya beli masyarakat menurun akibatnya industrial production index juga menurun, untuk menyeimbangi besarnya laju depresiasi yang terjadi, bank sentral seyogyanya melakukan kebijakan moneter berupa peningkatan sukubunga SBI mendorong terjadinya capital inflow yang akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar rupiah.

Berdasarkan hasil Forecast Error Variance Decomposition menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah secara dominan ditentukan oleh Shock terhadap dirinya sendiri, yaitu sebesar 75,15 % diikuti sukubunga SBI memberikan kontribusi sebesar 9,88 %. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah cenderung bersifat eksogen sehingga sulit untuk dikendalikan secara langsung, sedangkan inflasi masih relatif memungkinkan dikendalikan melalui guncangan sukubunga SBI. Hasil ini juga menunjukkan bahwa Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan inflation targetting dimana SBI digunakan sebagai sasaran antara untuk mengontrol inflasi, bukan sebagai sasaran akhir.

Bafadal melakukan penelitian mengenai Dampak Defisit dan Utang Pemerintah terhadap Stabilitas Makroekonomi, yang bertujuan menganalisis dampak defisit dan utang pemerintah terhadap stabilitas makroekonomi. Model


(44)

ekonometrika yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Data yang digunakan adalah data time series tiga bulanan tahun 1980-2003.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa utang dalam negeri sebagai komponen pembiayaan anggaran mulai ada sejak krisis tahun 1998. kondisi fiskal adalah

sustainable dalam jangka panjang dengan rasiodefisit terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,35 %, dan rasio total utang terhadap PDB sebesar 75 %.

Hadi melakukan penelitian dengan judul Analisis Vector Auto Regression (VAR) terhadap Korelasi antara Pendapatan Nasional dan Investasi Pemerintah di Indonesia. Penelitian ini mencoba mencari ada tidaknya korelasi timbal balik (interrelationship) antara pertumbuhan ekonomi dan investasi pemerintah di Indonesia.Hasil yang diperoleh bahwa antara pengeluaran pembangunan rupiah yang mewakili investasi pemerintah dengan PDB yang mewakili pendapatan nasional dalam kurun waktu 1983/1984 hingga 1999/2000 tidak terbukti. Dalam periode yang diamati, investasi pemerintah di sektor fiskal, khususnya pengeluaran pembangunan rupiah ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagaimana menurut aliran klasik terdapat dichotomy antara sektor riil dan sektor monter, dalam studi ini juga ditemukan dichotomy antara sektor riil dan sektor fiskal di Indonesia.


(45)

2.5. Kerangka Pemikiran

Harga TBS ditentukan berdasarkan harga ekspor (FOB) minyak kelapa sawit. Hal ini berarti kemampuan petani kelapa sawit dalam berproduksi sangat tergantung pada perekonomian dunia. Sejak tahun 1978 harga TBS ditentukan sebesar 14 persen dari harga ekspor CPO-FOB pelabuhan Belawan. Kemudian pada tahun 1987 harga pembelian dari perusahaan inti harus didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 43/Kpts/Kb.3202/1987 dengan ketentuan bahwa harga TBS sebesar 14 persen dari harga ekspor CPO dan harga ekspor minyak inti sawit.

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di Kualalumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam indutri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO merupakan acuan utama bagi harga TBS

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, maka diperlukan suatu analisis untuk menggambarkan perkembangan harga komoditas Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Analisis perkembangan harga ini dilakukan di Sumatera Utara sebagai dasar informasi harga bagi konsumen maupun produsen di dalam memperkirakan kecenderungan gerak harga serta sebagai data perbandingan harga saat ini terhadap harga masa lalu.


(46)

Gambar 2.2. Skema Kerangka Pemikiran Harga TBS

Nilai Tukar Harga M. Kelapa


(47)

2.6.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, serta tujuan penelitian yang telah dipaparkan, maka hipotesa yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah : 1. Ada hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS)

Kelapa Sawit dan Harga Minyak Goreng di Sumatera Utara.

2. Ada hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit dan Nilai Tukar $ US di Sumatera Utara.

3. Ada hubungan saling mempengaruhi antara Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit dan Harga Minyak Kelapa di Sumatera Utara.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah perkembangan harga TBS (Tandan Buah Segar) di Sumatera Utara, data harga Minyak Goreng, data harga Minyak Kelapa, serta Nilai Tukar Rupiah. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan data sekunder yang dimulai dari tahun 1998 sampai tahun 2007.

Penelitian ini membahas Apakah terdapat hubungan saling mempengaruhi antara harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit, Harga Minyak Goreng, Nilai Tukar $ US, dan Harga Minyak Kelapa di Sumatera Utara, yang dijelaskan melalui pendekatan Vector Auto Regression (VAR).

3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam bentuk

time series dimulai pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 meliputi Harga TBS Sumatera Utara, Harga Minyak Goreng, Harga Minyak Kelapa, Nilai Tukar ($ US). Data tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, Biro Pusat Statistik, Dinas Perkebunan Sumatera Utara.


(49)

3.3. Pengujian Stasioneritas

Langkah pertama yang dilakukan dalam proses pengolahan data adalah memeriksa kondisi stasionernya, melalui unit root test. Untuk keperluan ini digunakan test Dickey Fuller (DF) dan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Menurut Enders, perlunya test ini karena inferensia ekonometrika biasa seperti Ordinary Least Square (OLS) dan Vector Autoregression (VAR) hanya berlaku untuk data yang bersifat stasioner. Sehingga apabila hasil pengujian stasionaritas menunjukkan bahwa seri data suatu variabel tidak stasioner, maka harus dilihat perbedaan tingkat pertamanya (first difference). Bila tingkat pertama menunjukkan kondisi belum stasioner juga, maka dilanjutkan dengan melihat perbedaan tingkat kedua, dan seterusnya sampai diperoleh kondisi yang stasioner. Pada akhirnya, proses ini akan menghasilkan tingkat atau order integrasi dari variabel tersebut.

Suatu data time series dikatakan stasioner jika mean (μ), variance (σ2y) dan

autovariance ( s) bersifat terhingga (finite). Secara statistik variabel yt dikatakan stasioner bila memenuhi kondisi sebagai berikut (Enders, 1995):

E(yt) = E(yt-s) = μ... (3.1) E(yt- μ)2 = E [(yt-s- μ)2] = σ2y ... (3.2) E [(yt-s- μ) (yt-s- μ)] = E [(yt-s- μ) (yt-j-s- μ)] = s... (3.3) Dimana : μ, σ2y dan s adalah konstan.

Analisa stasioneritas pada persamaan autoregressive 1 atau AR (1) ditunjukkan dengan :


(50)

i=0

t-1 t-1

i=0

i=0 t=1

i=0 t+s-1

i=0 t+∞

i=0 t-1

dimana εt adalah white noise dan i.i.d (identically, independently, distributive). Kondisi intertemporal dinyatakan sebagai :

yt = a0 ∑ a1i + a1ty0 + ∑ a1iεt -1... (3.5)

dengan nilai harapannya (expected value)

E(yt) = a0 ∑ a1i + a1ty0... (3.6)

Nilai harapan pada periode s adalah :

E(yt+s) = a0 ∑ a1i + a1t+s y0... (3.7)

Jika persamaan (3.6) dan (3.7) dibandingkan, kedua mean adalah time-dependent.

Karena Eyt tidak sama dengan Eyt+s, maka urutannya (sequence) tidak dapat stasioner. Namun demikian, jika t besar maka kita dapat mencari nilai limit yt pada persamaan (4.5). jika | a1 | <1, maka (a1)ty0 akan cenderung mengarah ke nol. Karena t menjadi

besar tak terhingga dan jumlah ∑ a1i mengarah ke a0 / (1-a1). Dengan demikian, jika

t menuju tak hingga ( t ∞ ) dan | a1 | <1, maka :


(51)

dan nilai harapan menjadi

E(yt) = a0 / (1-a1) ... (3.9)

Dengan demikian, nilai mean dari yt adalah terhingga (finite) dan independent terhadap waktu (time-independent), sehingga E(yt) = E [(yt-s) = μ untuk semua t. Nilai variance diperoleh dari :

E(yt- μ)2 = E [(εt + a1 εt-1 + (a1)2εt-2 + ...)2] ... (3.10) = σ2 [ 1 + (a1)2 + (a1)4 + ...] = σ2 / [1 - (a1)2] ... (3.11) Persamaan (4.10) menunjukkan bahwa variance terhingga (finite) dan time-independent. Nilai autocovariance juga finite dan time dependent :

E(yt- μ)(yt-s- μ) = E {[(εt + a1 εt-1 + (a1)2εt-2 + ...][ εt-s + a1 εt-s-1 + (a1)2 εt-s-2 + ...]} = σ2 (a1)s [1+ (a1)2 + (a1)4 + ...]

= σ2(a1)s / [1 - (a1)2]... (3.12)

3.4. Uji Unit Root

Suatu time series dapat dikatakan integrated of order k atau ditulis dengan I(k), jika setelah diferensiasi sebanyak k kali menjadi seri yang stasioner. Berbagai seri ekonomi integrated of order one, I(1), karena seri tersebut menjadi stasioner setelah dilakukan diferensiasi satu kali. Jika seri xt dan diferensiasi pertamanya ∆xt tidak stasioner, tetapi diferensiasi kedua ∆xt2 = ∆xt - ∆xt-1 adalah stasioner maka dikatakan integrated of order two, I(2). Beberapa variabel ekonomi menunjukkan suatu seri yang stasioner tanpa perlu melakukan diferensiasi, yang disebut integrated of order zero, I(0). Namun demikian, suatu seri mungkin saja tidak pernah menjadi


(52)

stasioner, walaupun telah dilakukan diferensiasi beberapa kali. Suatu seri semacam ini dikatakan non-integrated.

Suatu shocks yang terjadi pada seri data stasioner bersifat temporer sepanjang waktu dan akan segera menghilang dan kembali pada keseimbangan jangka panjangnya. Oleh karena itu, peramalan jangka panjang terhadap pergerakan seri stasioner cenderung menuju pada arah unconditional mean. Suatu seri stasioner mempunyai sifat (Enders, 1995) :

1. Adanya gejala mean reversion, dimana nilainya berfluktuasi di sekitar mean

jangka panjang yang konstan.

2. Mempunyai variance yang terhingga (finite) dan time-invariant

3. Mempunyai korelogram yang cenderung menurun dengan bertambahnya lag. Pengujian unit root menggunakan test Dickey-Fuller (DF) dan Augmented

Dickey-Fuller(ADF). Pengujian dilakukan pada tingkat (level) dan perbedaan (difference) pada variabel. Maksud pengujian ini untuk mengetahui stasioner dan order integrasi dari variabel (Rao, 1994).

3.5. Kointegrasi

Setelah mendapatkan order dari integrasi maka langkah berikutnya adakah menentukan apakah variabelnya berkointegrasi. Mendiferensiasi variabel-variabel agar menjadi stasioner akan menyebabkan hilangnya sifat-sifat jangka panjang. Implikasi dan konsep kointegrasi menurut Were (2000) yaitu jika terdapat


(53)

hubungan jangka panjang antara dua atau lebih variabel non-stasioner, maka deviasi dari lintasan jangka panjangnya akan stasioner.

Ada dua macam pengujian kointegrasi, yaitu univariate dan multivariate.

Univariate digunakan untuk mengetahui kondisi kointegrasi antara dua variabel. Sedangkan multivariate digunakan untuk mengetahui kondisi kointegrasi pada lebih dari dua variabel (Thomas, 1995). Antara dua variabel mungkin saja secara individu mereka non-stasioner, tetapi bisa terjadi kombinasi linier antara keduanya, sehingga dikatakan terjadi kointegrasi antara dua variabel tersebut.

3.6. Kasus Univariate

Bila kita mempunyai error correction model sederhana seperti :

yt = 0 + 1 xt... (3.13) maka disequilibrium error ditulis sebagai :

ut = yt - 0 - 1 xt... (3.14) menurut Engel dan Granger, jika ada hubungan jangka panjang seperti pada persamaan (3.13) maka disequilibrium error seperti persamaan (3.14) akan berbentuk

time series stasioner dan mempunyai mean sama dengan nol. Oleh karena itu ut seharusnya I(0) dengan E(ut) = 0.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan jangka panjang yang unik antara dua time seri xt dan yt jika (Thomas, 1995) :

1. Keadaan time series xt dan yt adalah I(1), sehingga menjadi stasioner dengan diferensiasi pertama.


(54)

2. Ada beberapa kombinasi linier antara xt dan yt yaitu I(0) yang stasioner.

Bila kedua syarat diatas dipenuhi maka xt dan yt dikatakan cointegrated. Langkah-langkah test kointegrasi adalah :

2. Membentuk kedua xt dan yt sebagai I(1), dengan menggunakan test DF dan ADF. 3. Jika keduanya xt dan yt sudah I(1), maka uji apakah disequilibrium error ut pada

persamaan (3.14) adalah I(0). Jika kondisi ini terpenuhi maka terdapat hubungan jangka panjang diantara kedua variabel tersebut.

3.7. Kasus Multivariate

Kasus multivariate adalah untuk melihat hubungan jangka panjang yang mempunyai lebih dari dua variabel. Misal, dalam jangka panjang kita menghipotesakan :

zt = 0 + 1 xt + 2 yt + 3 wt... (3.15) dimana xt , yt , wt dan zt adalah variabel I(1).

Apabila terdapat hubungan jangka panjang, maka disequilibrium errors yang timbul dari persamaan (3.15) harus I(0), sehingga :

ut = zt - 0 - 1 xt - 2 yt - 3 wt... (3.16) harus dalam bentuk stasionarity time series, dimana koefisien-koefisiennya disebut vektor kointegrasi (cointegration vector).

Dalam kasus multivariate mungkin ada lebih dari satu kombinasi linier stasioner yang berkaitan dengan variabel-variabel yang berkointegrasi. Pada persamaan (3.16), ut adalah kombinasi linier dari empat variabel x, y, w dan z, dimana


(55)

ada lebih dari satu kombinasi linier dari empat variabel tersebut adalah stasioner. Adanya hubungan tunggal jangka panjang antara lebih dari dua variabel yang I(1) mengimplikasikan bahwa variabel-variabel tersebut berkointegrasi. Kointegrasi mengisyaratkan bahwa paling sedikit ada satu hubungan jangka panjang diantara dua variabel. Bila terjadi lebih dari satu kombinasi linier atau lebih dari dua variabel I(1) yang berkointegrasi, maka mungkin akan ada lebih dari satu vektor kointegrasi.

Untuk menguji kointegrasi multivariate pada empat variabel x, y, z dan w, maka langkah pertama adalah mengestimasi suatu kointegrasi :

zt = 0 + 1 xt + 2 yt + 3 wt + εt... (3.17) residual εt dari regresi tersebut dapat diuji stasionernya dengan menggunakan uji DF dan ADF. Jika hasilnya stasioner maka dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel tersebut berkointegrasi, dan akan ada kombinasi linier diantara variabel-variabel tersebut yang I(0).

3.8. Vector Autoregressive (VAR)

VAR (k), Zt = A1Zt-1 + A2 Zt-2 + ... + Ak Zt-k + εt... (3.18) Ordo VAR (k) yang optimal ditentukan berdasarkan uji likelihood-Ratio (LR test). Apabila k=3 maka spesifikasi model VAR adalah :

HTBSt = a11HTBSt-p + a12 HMGt-p + a13 ERt-p + a14 HMKt-p +ε1t...(3.19) HMGt = a11HTBSt-p + a12 HMGt-p + a13 ERt-p + a14 HMKt-p + ε3t ...(3.20) ERt = a11HTBSt-p + a12 HMGt-p + a13 ERt-p + a14 HMKt-p + ε4t...(3.21)


(56)

i=1

p

j=0

HMKt = a11HTBSt-p + a12 HMGt-p + a13 ERt-p + a14 HMKt-p + ε5t...(3.22) Dimana :

εt = Guncangan acak (random disturbance) p = Panjang Lag

Hasil estimasi VAR diatas digunakan untuk memperoleh inovasi (residual) yang akan digunakan untuk analisis IRF dan FEVD. Pada penelitian ini akan lebih ditekankan pada error termnya. Oleh karena itu, tidak dilakukan over-identifying restriction atau analisis persisten. Error term (εit) dapat diinterpretasikan sebagai inovasi atau shock dari variabel yang diinginkan, sehingga penelusuran dampak Harga TBS terhadap variabel lainnya dapat ditelusuri.

3.9. Impulse Response Function

Impulse response Function (IRF) dapat dijelaskan dengan menggunakan representasi model Autoregressive (AR) dan model Moving Average (MA) atas model VAR. Secara umum representasi AR (3.4) tersebut diatas dapat dituliskan sebagai berikut :

Yt = ∑Гiyt-i+1 + et ... (3.23)

Sedangkan representasi model MA (3.10) diatas dituliskan sebagai berikut :

Yt = ∑Cjet-ij ...(3.24)


(57)

j=0

j=0

j=0

j=0

j=k+1 i=1

p ∞

j=k+1 i=1

∞ p

p

i=1

Cjet-j = Г1∑Cjej-i-1 + Г2∑Cjej-i-2 + .... + ГpCjej-i-k + et ... (3.25)

Selanjutnya dengan menyederhanakan persamaan (3.20) maka diperoleh seperti berikut di bawah ini :

C(C0-1)et + (C1 – Г1C0)et-1 + (C2 – Г1C1- Г2(0)et-2 + ...

.... + ∑ (Cj - ∑ Гi(j-i)et-j = 0 ... (3.26)

Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi persamaan (3.32) maka diperoleh seperti berikut dibawah ini:

(C0-T)et + (C1 – Г1C0)et-1 + (C2 – Г1C1- Г2C0)et-2 + ...

.... + ∑ (Cj - ∑ Г(j-i)et-j = 0... (3.27)

Secara umum error term adalah tidak sama dengan nol, dan untuk memenuhi persamaan (3.10) maka diperlukan bahwa masing-masing ekspresi didalam kurung harus sama dengan nol. Sehingga secara berulang Cj dapat dihitung sebagai berikut :

C0 = I

C1 = Г1C0

... ...


(58)

∞ j=0

j=0

Setelah diperoleh Cj selanjutnya dapat dibuat model representasi MA berkaitan dengan structural shock εt berdsarkan identifikasi matrik A dan hubungan pada persamaan (3.12), maka persamaan (3.19) dapat ditulis sebagai berikut :

Yt=∑ CjA0-1εt-j ... (3.29)

Yt =∑ ψjCεt-j, ... (3.30)

Impulse Response Function (IRF) dilakukan agar dapat diketahui respon dinamik atau pola / time path setiap variabel akibat adanya shocks atau guncangan tertentu dari variabel lain atau variabel itu sendiri. Selain itu pula IRF bertujuan untuk mengisolasi suatu shocks agar lebih spesifik, artinya dapat dilihat variabel makroekonomi akibat dari shocks tertentu saja. Dengan kata lain, analisis IRF digunakan untuk melihat pengaruh dinamis dari adanya suatu guncangan tertentu terhadap variabel karena adanya suatu inovasi (shocks) tertentu sebesar satu standard error pada setiap persamaan.

3.10. Forecast Error Variance Decomposition

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) menjelaskan proporsi pergerakan suatu variabel akibat shock dari variabel itu sendiri relative terhadap dampaknya terhadap pergerakan variabel lain secara berurutan. Dengan kata lein,


(59)

j=0

j=0

h-j

h-1

j=0

j=0 h-1

sebenarnya FEVD memberikan informasi secara rrelatif tentang seberapa penting setiap inovasi terhadap perubahan variabel lain dalam VAR (Gottschalk, 2001).

Berdasarkan representasi MA persamaan (3.23) dapat dibuat deviasi dari peramalan h periode kedepan Et(Xt+h) dari nilai aktual Xt+h, yaitu sebagai berikut :

Yt+h – Et (Yt+h) = ∑ ψj(εt+h-j - Etεt+h-j)

= ∑ ψjεt+h-j ... (3.31)

Dan Forecast Error Variance dihitung melalui komponen diagonal sebagai berikut :

E(Yt+h – Et Yt+h)2 = ∑ ψj∑eψ’j ... (3.32)

Atau secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Forecast Error Variance dari variabel

k dihitung sebagai berikut :

= ∑ ψj,k∑eψ’j,k ... (3.33)

Dekomposisi Ragam Kesalahan Peramalan (Forecast Error Variance Decomposition, FEVD) juga dilakukan pada penelitian ini dengan tujuan melakukan evaluasi terhadap peran yang dimainkan sebagai shocks dengan menjelaskan variabilitas variabel tertentu. Dengan kata lain FEVD gunanya untuk melihat


(60)

seberapa besar (persen) variasi dari variabel makroekonomi apabila dikenai shocks

tertentu. Sehingga diharapkan dapat diketahui peran relatif setiap shocks variabel makroekonomi dalam menjelaskan variabel harga Tandan Buah segar, harga Minyak goreng, harga minyak kelapa dan Nilai Tukar Rupiah.

3.11. Model Analisis

Model analisis yang akan digunakan adalah model Vector Autoregressive

(VAR), Impulse Response Function (IRF) lima variabel yaitu, Harga TBS (HTBS), Harga Minyak Kelapa Sawit (HMKS), Harga Minyak Kelapa (HMK), dan Nilai Tukar (ER), serta Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).

3.12.Metode dan Analisis Data

Model analisis yang akan digunakan adalah model Vector Autoregressive

(VAR). Empat variabel yaitu, Harga TBS (HTBS), Harga Minyak Goreng (HMG), Harga Minyak Kelapa (HMK), dan Nilai Tukar (ER), dengan menggunakan model

Vector Autoregressive (VAR). Mengingat data yang dipergunakan merupakan data

time series yang cenderung fluktuatif ataupun memiliki trend, maka uji unit root pada data tersebut perlu dilakukan. Apabila dibiarkan, maka jika data time series tersebut diregresikan akan terjadi spurrious regression. Uji stasioner yang digunakan adalah

Augmented Dicky Fuller Test (ADF). Pengolahan data sekunder dilakukan dengan menggunakan software Efiews 4.1.


(61)

3.13. Definisi Operasional

Untuk memberikan batasan penelitian yang memudahkan analisis, dijabarkan beberapa definisi operasional dan indikator dalam penelitian ini.

1. Harga TBS adalah harga ketetapan menurut Dinas Perkebunan Sumatera Utara, menggunakan data sekunder deret waktu (time series) bulanan dimulai tahun 1998-2007 dalam satuan Rupiah.

2. Nilai tukar adalah nilai tukar nominal Rupiah terhadap $ US yang dilihat secara bulanan dimulai dari tahun 1998-2007.

3. Harga Minyak Goreng adalah harga minyak goreng yang diperoleh dari Dinas Perindustrian yang dilihat secara bulanan dimulai dari tahun 1998-2007 diukur dalam satuan Rupiah.

4. Harga Minyak Kelapa adalah harga Minyak Kelapa yang diperoleh dari BPS yang dilihat secara bulanan dimulai dari tahun 1998-2007 diukur dalam satuan Rupiah.


(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Harga TBS

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di Kualalumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam indutri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO merupakan acuan utama bagi harga TBS.

Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan dunia, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan harga TBS yang diharapkan dapat melindungi petani. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Sumatera Utara ditetapkan oleh dinas perkebunan Sumatera Utara, sehingga petani memiliki kepastian harga. Adapun perkembangan harga TBS Sumatera Utara dari tahun 1998 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Dari Tabel tersebut dapat diketahui bahwa harga TBS Sumatera Utara mengalami penurunan harga antara tahun 2000-2001 dan mulai meningkat pada tahun 2004 meskipun ada penurunan pada bulan-bulan terakhir namun harga sedikit-sedikit mulai meningkat dan mencapai harga tertinggi pada tahun 2007.


(63)

Tabel 4.1. Perkembangan Harga TBS Sumatera Utara Periode Januari 1998 - Desember 2007 (Rupiah) HARGA TBS

Bulan

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Januari 457,70 500,81 431,62 283,53 507,47 694,90 728,75 631,72 677,21 913,74

Februari 457,70 512,06 421,23 293,86 545,70 705,40 760,96 628,82 695,14 944,25

Maret 457,70 521,49 404,62 303,44 547,00 686,80 805,92 700,11 694,97 999,38

April 457,70 513,17 467,41 379,25 542,35 649,89 833,25 714,00 671,50 1.113,29

Mei 457,70 561,66 478,55 384,74 569,28 624,80 842,84 695,48 682,33 1.217,57

Juni 423,95 366,32 425,75 401,18 615,17 616,16 691,53 689,15 698,59 1.288,61

Juli 654,95 310,02 434,46 484,60 623,97 613,82 637,11 699,97 698,09 1.242,84

Agustus 709,99 303,03 428,54 519,34 632,40 598,78 639,06 698,95 747,24 1.318,57

September 728,51 454,04 360,38 411,32 618,99 576,18 676,48 715,30 732,40 1.336,08

Oktober 659,75 504,97 313,51 374,38 623,40 554,35 667,45 721,99 724,59 1.354,88

Nopember 431,56 393,89 321,73 426,10 680,66 576,16 662,52 696,08 785,35 1.483,40

Desember 410,90 431,42 322,23 482,88 685,42 553,45 652,16 675,03 868,38 1.495,04

Total 6.308,11 5.372,88 4.810,03 4.744,59 7.191,81 7.450,68 8.598,02 8.266,59 8.675,78 14.707,64 Rataan 525,68 447,74 400,84 395,38 599,32 620,89 716,50 688,88 722,98 1.225,64 Sumber : Data BPS, diolah


(64)

Selanjutnya agar lebih terlihat fluktuasi harga TBS dapat dilihat pada gambar seperti berikut ini :

0,00 200,00 400,00 600,00 800,00 1.000,00 1.200,00 1.400,00 1.600,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan H a rg a ( R 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Gambar 4.1. Diagram Perkembangan Harga TBS (Tandan Buah Segar) Periode Januari 1998 s/d Desember 2007

4.2. Perkembangan Harga Minyak Goreng

Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Pentingnya kelapa sawit bagi ekonomi Indonesia bukan saja disebabkan karena kelapa sawit merupakan salah satu sumber pendapatan devisa negara tetapi kelapa sawit juga merupakan sumber makanan bagi rakyat Indonesia yaitu sebagai bahan baku industri minyak goreng.

Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri minyak goreng dalam negeri, pajak ekspor terhadap minyak kelapa sawit digunakan sebagai instrumen untuk memonitor keluar masuknya minyak kelapa sawit ke pasar ekspor yang relatif lebih menguntungkan setiap saat. Berbagai bentuk campur tangan telah diambil untuk


(65)

menjaga harga dalam negeri supaya lebih rendah dibanding harga dunia dan harga yang stabil bagi konsumen dalam negeri. Untuk dapat melihat perkembangan harga minyak goreng Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel dan diagram berikut ini :

Dari tabel serta gambar berikut dapat dilihat bahwa harga minyak goreng mengalami kenaikan pada tahun 1998 dan tahun tahun berikutnya namun mengalami penurunan harga tahun 2005 dan 2006, meskipun tahun 2007 harga minyak goreng adalah yang paling rendah namun grafiknya menunjukkan kenaikan harga yang konstan pada tiap bulannya.

0,00 1.000,00 2.000,00 3.000,00 4.000,00 5.000,00 6.000,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan H a rga ( R P 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Gambar 4.2. Diagram Perkembangan Harga Minyak Goreng Sumatera Utara Periode Januari 1998 - Desember 2007 (Rupiah)


(1)

Lampiran 15.

Impulse Response Function

Tunggal

-.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4 .5

25 50 75 100

ER HMG

HMK HTBS Response of ER to Cholesky

One S.D. Innovations

-.04 .00 .04 .08 .12 .16 .20 .24 .28

25 50 75 100

ER HMG

HMK HTBS Response of HMG to Cholesky

One S.D. Innovations

-.04 .00 .04 .08 .12 .16

25 50 75 100

ER HMG

HMK HTBS Response of HMK to Cholesky

One S.D. Innovations

-2000 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

25 50 75 100

ER HMG

HMK HTBS Response of HTBS to Cholesky


(2)

Lampiran 16.

Impulse Response Function

Ganda

-.3 -.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4 .5

25 50 75 100

Response of ER to ER

-.3 -.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4 .5

25 50 75 100

Response of ER to HMG

-.3 -.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4 .5

25 50 75 100

Response of ER to HMK

-.3 -.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4 .5

25 50 75 100

Response of ER to HTBS

-.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4

25 50 75 100

Response of HMG to ER

-.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4

25 50 75 100

Response of HMG to HMG

-.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4

25 50 75 100

Response of HMG to HMK

-.2 -.1 .0 .1 .2 .3 .4

25 50 75 100

Response of HMG to HTBS

-.10 -.05 .00 .05 .10 .15 .20

25 50 75 100

Response of HMK to ER

-.10 -.05 .00 .05 .10 .15 .20

25 50 75 100

Response of HMK to HMG

-.10 -.05 .00 .05 .10 .15 .20

25 50 75 100

Response of HMK to HMK

-.10 -.05 .00 .05 .10 .15 .20

25 50 75 100

Response of HMK to HTBS

-4000 0 4000 8000 12000

25 50 75 100

Response of HTBS to ER

-4000 0 4000 8000 12000

25 50 75 100

Response of HTBS to HMG

-4000 0 4000 8000 12000

25 50 75 100

Response of HTBS to HMK

-4000 0 4000 8000 12000

25 50 75 100

Response of HTBS to HTBS


(3)

Lampiran 17.

Variance Decomposition

Variance Decomposition of ER:

Period S.E. ER HMG HMK HTBS

1 0.436853 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.569292 99.32464 0.215680 0.321461 0.138218 3 0.646959 98.01393 0.592474 1.013734 0.379863 4 0.697494 96.31099 1.026589 2.004474 0.657951 5 0.732159 94.41770 1.446160 3.210392 0.925750 6 0.756776 92.48803 1.808660 4.547832 1.155476 7 0.774730 90.62979 2.095083 5.940374 1.334757 8 0.788128 88.91102 2.303145 7.323523 1.462308 9 0.798339 87.36840 2.440925 8.646888 1.543787 10 0.806278 86.01548 2.521704 9.874448 1.588370 11 0.812570 84.85009 2.560222 10.98347 1.606224 12 0.817645 83.86029 2.570275 11.96258 1.606853 24 0.840481 79.61889 2.532491 16.21262 1.635993 36 0.842790 79.31078 2.589424 16.36731 1.732479 48 0.842869 79.30162 2.591241 16.36675 1.740394 60 0.842871 79.30132 2.591476 16.36673 1.740475 72 0.842871 79.30121 2.591582 16.36672 1.740482 84 0.842871 79.30120 2.591595 16.36672 1.740485 96 0.842871 79.30120 2.591596 16.36672 1.740485 108 0.842871 79.30120 2.591596 16.36672 1.740485 120 0.842871 79.30120 2.591596 16.36672 1.740485

Variance Decomposition of HMG:

Period S.E. ER HMG HMK HTBS

1 0.268777 1.025695 98.97431 0.000000 0.000000 2 0.372375 0.915913 98.97999 0.003559 0.100540 3 0.446035 0.826863 98.88071 0.010767 0.281661 4 0.503012 0.754577 98.72042 0.020722 0.504280 5 0.548651 0.695846 98.52794 0.032737 0.743478 6 0.585854 0.648083 98.32203 0.046272 0.983613 7 0.616470 0.609206 98.11477 0.060886 1.215135 8 0.641800 0.577539 97.91375 0.076213 1.432499 9 0.662817 0.551729 97.72355 0.091939 1.632783 10 0.680280 0.530683 97.54674 0.107795 1.814780 11 0.694796 0.513517 97.38455 0.123549 1.978386 12 0.706863 0.499515 97.23729 0.139001 2.124193 24 0.759137 0.443712 96.36293 0.266367 2.926991 36 0.764188 0.440305 96.21533 0.299062 3.045306 48 0.764615 0.440375 96.19786 0.303334 3.058429 60 0.764647 0.440409 96.19629 0.303697 3.059604 72 0.764649 0.440412 96.19618 0.303721 3.059690 84 0.764649 0.440412 96.19617 0.303722 3.059695 96 0.764649 0.440412 96.19617 0.303722 3.059696 108 0.764649 0.440412 96.19617 0.303722 3.059696 120 0.764649 0.440412 96.19617 0.303722 3.059696


(4)

Lanjutan Lampiran 17

Variance Decomposition of HMK:

Period S.E. ER HMG HMK HTBS

1 0.164052 0.200461 15.88868 83.91086 0.000000 2 0.226266 0.152415 17.53936 82.16481 0.143413 3 0.270474 0.377891 19.06514 80.12616 0.430810 4 0.304915 0.759894 20.45731 77.96617 0.816628 5 0.332815 1.217096 21.71431 75.80560 1.262996 6 0.355853 1.695511 22.83931 73.72526 1.739919 7 0.375052 2.161118 23.83847 71.77587 2.224540 8 0.391113 2.593949 24.71971 69.98628 2.700063 9 0.404555 2.983623 25.49186 68.36989 3.154633 10 0.415786 3.326102 26.16412 66.92947 3.580317 11 0.425141 3.621397 26.74570 65.66066 3.972244 12 0.432903 3.871976 27.24563 64.55451 4.327892 24 0.463990 4.869727 29.51533 59.36183 6.253114 36 0.465614 4.905994 29.66069 59.00414 6.429175 48 0.465647 4.906083 29.66306 58.99597 6.434890 60 0.465647 4.906082 29.66305 58.99593 6.434931 72 0.465647 4.906082 29.66306 58.99592 6.434931 84 0.465647 4.906082 29.66307 58.99592 6.434931 96 0.465647 4.906082 29.66307 58.99592 6.434931 108 0.465647 4.906082 29.66307 58.99592 6.434931 120 0.465647 4.906082 29.66307 58.99592 6.434931

Variance Decomposition of HTBS:

Period S.E. ER HMG HMK HTBS

1 9990.144 0.054329 0.495980 0.012492 99.43720 2 12735.22 0.143316 0.880375 0.022562 98.95375 3 14296.63 0.261728 3.133635 0.078373 96.52626 4 15376.45 0.394220 6.946978 0.170055 92.48875 5 16241.88 0.525423 11.79096 0.283492 87.40013 6 17006.94 0.643740 17.08902 0.404591 81.86265 7 17717.52 0.742843 22.35945 0.522366 76.37534 8 18388.08 0.821056 27.27785 0.629994 71.27110 9 19019.60 0.879772 31.67159 0.724322 66.72432 10 19608.53 0.921894 35.48163 0.804748 62.79173 11 20151.01 0.950738 38.71998 0.872144 59.45714 12 20644.45 0.969424 41.43598 0.928057 56.66654 24 23427.21 0.963733 52.92578 1.172050 44.93844 36 23788.21 0.949651 53.93478 1.206321 43.90925 48 23820.18 0.948306 54.01106 1.211304 43.82933 60 23822.56 0.948234 54.01610 1.211841 43.82383 72 23822.72 0.948233 54.01640 1.211884 43.82349 84 23822.73 0.948233 54.01641 1.211887 43.82347 96 23822.73 0.948233 54.01641 1.211887 43.82347 108 23822.73 0.948233 54.01641 1.211887 43.82347 120 23822.73 0.948233 54.01641 1.211887 43.82347


(5)

Lampiran 18.

Variance Decomposition

Tunggal

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100

LOG(ER) LOG(HTBS)

LOG(HMK) LOG(HMG)

Variance Decomposition of LOG(ER)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100

LOG(ER) LOG(HTBS)

LOG(HMK) LOG(HMG)

Variance Decomposition of LOG(HTBS)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100

LOG(ER) LOG(HTBS)

LOG(HMK) LOG(HMG)

Variance Decomposition of LOG(HMK)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

25 50 75 100

LOG(ER) LOG(HTBS)

LOG(HMK) LOG(HMG)


(6)

Lampiran 19.

Variance Decomposition

Ganda

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(ER) variance due to LOG(ER)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(ER) variance due to LOG(HTBS)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(ER) variance due to LOG(HMK)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(ER) variance due to LOG(HMG)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HTBS) variance due to LOG(ER)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HTBS) variance due to LOG(HTBS)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HTBS) variance due to LOG(HMK)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HTBS) variance due to LOG(HMG)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HMK) variance due to LOG(ER)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HMK) variance due to LOG(HTBS)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HMK) variance due to LOG(HMK)

0 20 40 60 80 100

25 50 75 100 Percent LOG(HMK) variance due to LOG(HMG)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

25 50 75 100 Percent LOG(HMG) variance due to LOG(ER)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

25 50 75 100 Percent LOG(HMG) variance due to LOG(HTBS)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

25 50 75 100 Percent LOG(HMG) variance due to LOG(HMK)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

25 50 75 100 Percent LOG(HMG) variance due to LOG(HMG) Variance Decomposition