Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama Novel Forgiven Karya Morra Quatro : Analisis Psikologi Sastra

(1)

PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL FORGIVEN KARYA MORRA QUATRO : ANALISIS PSIKOLOGI

SASTRA

SKRIPSI

DESY ARYANTI NIM 100701040

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang ditulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2014

Penulis,


(3)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan hasil akhir dari kegiatan akademik selama penulis menuntut ilmu di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini adalah Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama Novel Forgiven Karya Morra Quatro : Analisis Psikologi Sastra.

Pemilihan judul dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana penokohan dan konflik batin tokoh utama dalam novel Forgiven

untuk memperkaya pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu sastra.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moral maupun material serta secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Dr. Syamsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, Bapak Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia.

4. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia dan Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memberikan saran-saran yang sangat membangun untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Yulizar Yunas, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang selalu memberi saran-saran yang cukup berharga kepada penulis.

6. Ibu Dr. Dwi Widayati, M. Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan motivasi belajar bagi penulis.

7. Seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.

8. Ayahanda J.P Panggabean dan Ibunda M. br Lubis yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan.

9. Kepada keluarga saya terkhusus Bapaktua E. Panggabean yang tidak henti – hentinya selalu memberikan dukungan positif bagi penulis.

10. Teman – teman seperjuangan Ervina Silalahi, Basaria Simanjuntak, Pesta Natalia Sinaga, Retta Silitonga, Eli Fernando, Melda Gultom, Chintya, Osen, Bunga, Hotman, Irhamna, Evi Marlina, Sri Purwanti, Indira Ginanti, Gledis, dan Novalia.


(5)

11. Teman – teman terdekat penulis yang selalu memberikan nasehat dan dukungan positif bagi penulis Emilia Pranata, Yanti Hutagaol, Nela Neli Nasution yang jauh di Padangsidimpuan, dan Adli Abdillah Nababan. 12. Saudara – saudara KTB “Erga Agatha” KMK FIB USU Ka Novita,

Siska, Mia, dan Sheba yang selalu memberikan dukungan dan doa.

13. Teman – teman stambuk 2010 yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun penyajiannya karena itu penulis berharap kiranya pembaca memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga seluruh pihak yang berjasa kepada penulis, senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juni 2014


(6)

ABSTRAK

PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL FORGIVEN KARYA MORRA QUATRO : ANALISIS PSIKOLOGI

SASTRA Oleh Desy Aryanti

Penelitian ini mendeskripsikan tentang bagaimana penokohan dan konflik batin tokoh utama yang bernama Karla dalam novel Forgiven dengan mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud.

Pendekatan psikoanalisis meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego, dan

superego. Id adalah aspek kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu – nafsu yang sering disebut “energi buta”, sedangkan ego

berkembang atas prinsip kenyataan, selanjutnya superego mengontrol energi – energi buta dari id tersebut.

Berdasarkan analisis penokohan ditemukan penokohan tokoh utama adalah seorang gadis yang tomboy, memiliki rambut panjang, bermata sipit seperti orang Tionghoa, dan setia kawan. Berdasarkan analisis psikologis, dapat diungkapkan, pertama, munculnya konflik batin tokoh utama yang dipicu berbagai peristiwa, yaitu perceraian orangtuanya, pengkhianatan kekasihnya sewaktu SMA, dan dengan Will orang yang paling istimewa di hidupnya. Kedua, solusi yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya adalah proyeksi, represi, dan regresi. Ketiga, kepribadian tokoh utama didominasi oleh superego meskipun terdapat satu kegagalan superego dalam mengatasi konflik batin tokoh.


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

Daftar isi

BAB 1 PENDAHULUAN………... 1

1.1Latar Belakang………..……….. 1

1.2Rumusan Masalah……….. 4

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian…..………. 4

1.3.1 Tujuan Penelitian……….. 4

1.3.2 Manfaat Penelitian……….………... 4

1.3.2.1Manfaat Teoritis……….……….. 4

1.3.2.2Manfaat Praktis……….……… 4

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Konsep……… 5

2.1.1 Forgiven……….……….. 5

2.1.2 Tokoh………..…….……… 6

2.1.3 Penokohan……… 8

2.1.4 Psikologi Sastra……… 8

2.1.5 Konflik Batin……….. 9

2.2 Landasan Teori..………..12


(8)

BAB III METODE PENELITIAN……… 17

3.1 Metode Penelitian……….. 17

3.2 Teknik Pengumpulan Data……… 18

3.3 Teknik Analisis Data………. 19

BAB IV Analisis Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Forgiven………..…22

4.1 Tokoh dan Penokohan Tokoh Utama……….…………22

4.2 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Forgiven………27

4.2.1 Beberapa Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama………28

4.2.1.1 Konflik Batin Tokoh Utama Dipicu Perceraian Orangtuanya……….………30

4.2.1.2 Konflik Batin dengan Kekasihnya………32

4.2.1.3 Konflik Batin dengan Will……….…35

4.2.2 Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama……….……….….48

4.2.2.1 Proyeksi……….………..49

4.2.2.2 Represi……….………50


(9)

BAB V PENUTUP……….……….………52

5.1 Simpulan……….52

5.2 Saran………...53

Daftar Pustaka………...54 Lampiran

                         


(10)

ABSTRAK

PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL FORGIVEN KARYA MORRA QUATRO : ANALISIS PSIKOLOGI

SASTRA Oleh Desy Aryanti

Penelitian ini mendeskripsikan tentang bagaimana penokohan dan konflik batin tokoh utama yang bernama Karla dalam novel Forgiven dengan mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud.

Pendekatan psikoanalisis meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego, dan

superego. Id adalah aspek kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu – nafsu yang sering disebut “energi buta”, sedangkan ego

berkembang atas prinsip kenyataan, selanjutnya superego mengontrol energi – energi buta dari id tersebut.

Berdasarkan analisis penokohan ditemukan penokohan tokoh utama adalah seorang gadis yang tomboy, memiliki rambut panjang, bermata sipit seperti orang Tionghoa, dan setia kawan. Berdasarkan analisis psikologis, dapat diungkapkan, pertama, munculnya konflik batin tokoh utama yang dipicu berbagai peristiwa, yaitu perceraian orangtuanya, pengkhianatan kekasihnya sewaktu SMA, dan dengan Will orang yang paling istimewa di hidupnya. Kedua, solusi yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya adalah proyeksi, represi, dan regresi. Ketiga, kepribadian tokoh utama didominasi oleh superego meskipun terdapat satu kegagalan superego dalam mengatasi konflik batin tokoh.


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah suatu bentuk hasil dari imajinasi seorang pengarang yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Biasanya yang menjadi topik dari karya sastra adalah tentang kehidupan manusia, baik itu pengalaman dari pengarang itu sendiri, maupun fenomena yang terjadi di sekitarnya. Karya sastra adalah konsumsi masyarakat sebagai pembacanya baik itu untuk kesenangan di saat senggang maupun untuk penelitian di bidangnya.

Sebagai penikmat karya sastra tentu kita harus mempunyai pengetahuan lain untuk dapat menemukan hubungan karya sastra dengan hidup (kehidupan). Dengan kemampuan yang baik dalam menganalisis karya sastra itu, maka kita akan menemukan manfaat lain dari karya itu selain dari unsur kenikmatan.Karena itu lahirlah metode penelitian psikologi sastra yang selanjutnya akan menjelaskan bagaimana teori psikologi itu sangat berpengaruh dalam menganalisis karya sastra dengan pengarangnya atau karya sastra dengan pembacanya.

Endaswara (2008 : 96) menyatakan asumsi dasar penelitian psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1. Adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar atau

subconscious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar atau tidak


(12)

sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.

2. Kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek – aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan – sentuhan emosi melalui dialog ataupun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinilitas karya.

Hal ini secara gamblang dikemukakan oleh Jatman (Endaswara, 2008 : 97) sebagai berikut :

”Karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan yang fungsional karena sama – sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.”

Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah gambaran kehidupan manusia yang memiliki unsur kejiwaan yang disampaikan dalam bentuk tulisan.

Pengamatan penelitian ini dilakukan terhadap perilaku psikis tokoh utama dalam novel Forgiven karya Morra Quatro. Dalam novel ini banyak sekali dikisahkan tentang polemik kehidupan antar manusia yang saling berinteraksi. Hal yang menjadi sorotan peneliti dalam novel ini adalah kondisi kepribadian tokoh utama yang sangat kompleks. Cinta pertama pada saat duduk di bangku sekolah menengah, cinta terpendam, kekecewaan, rindu akan masa lalu yang


(13)

tidak dapat dilupakan semuanya dirangkai dengan rapi dalam novel ini sehingga mampu mengajuk perasaan para penikmat novel. Gaya penulisan Morra yang ringan mampu menciptakan rasa penasaran pada diri kita sebagai pembaca, dan cerita dari novel ini benar-benar mampu memainkan emosi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dikaji adalah : 1. Bagaimanakah penokohan tokoh utama dalam novel Forgiven ? 2. Bagaimanakah konflik batin tokoh utama dalam novel Forgiven ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menemukan gambaran tentang : 1. Penokohan dalam novel Forgiven karya Morra Quatro. 2. Konflik bathin tokoh utama dalam novel Forgiven.

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1 Manfaat Teoritis

1. Pembaca dapat memahami teori psikologi sastra yang saat ini sering dipergunakan dalam pengkajian karya sastra.

2. Penelitian ini dapat memberi manfaat kepada pengamat sastra dalam bidang pengkajian perilaku psikis dalam karya sastra.

3. Memperkaya pengkajian Sastra Indonesia, khususnya kajian psikologi sastra.


(14)

4. Menjadi bahan bacaan bagi pengkaji sastra dalam sudut pandang lain.

1.4.2.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala apresiasi pembaca umum terhadap studi psikologi sastra.

2. Hasil penelitian ini dapat menambah perkembangan penelitian karya sastra dengan pengkajian psikologi sastra.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti psikosastra berikutnya.


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep 2.1.1 Forgiven

Forgiven merupakan bentuk ketiga dari forgive (maaf). Forgiven adalah bentuk pasif, dalam bahasa Indonesia dibubuhkan awalan di- sehingga mempunyai arti “yang dimaafkan”.

Menurut kamus Oxford (1942) forgiven adalah keinginan seseorang untuk memaafkan seorang yang lain tanpa syarat dan tidak mempunyai hasrat untuk menghukum atau membalas dendam.

Forgiven (past participle) means one no longer has the wish to punish somebody.”

Selanjutnya dalam Wikipedia, forgiven berasal dari kata forgiveness yang berarti “memaafkan”. Kata ini sudah dikategorikan ke dalam konsep psikologi dan kebajikan. Memaafkan (forgiveness) juga dapat dikategorikan dalam hal seseorang yang memaafkan tanpa menuntut balasan, yang meliputi memaafkan diri sendiri, dan dalam hubungan; orang yang memaafkan dan dimaafkan (in terms of the relationship between the forgiver and the person forgiven). Dalam banyak konteks memaafkan dapat ditafsirkan sebagai harapan tanpa merusak keadilan, tanpa balasan dari orang yang disakiti kepada orang yang dimaafkan (forgiven).

As a psychological concept and virtue, the benefits of forgiveness have been explored in religious thought, the


(16)

social sciences and medicine. Forgiveness may be considered simply in terms of the person who forgives including forgiving themselves, in terms of the person forgiven or in terms of the relationship between the forgiver and the person forgiven. In most contexts, forgiveness is granted without any expectation of restorative justice, and without any response on the part of the offender (for example, one may forgive a person who is incommunicado or dead). In practical terms, it may be necessary for the offender to offer some form of acknowledgment, an apology, or even just ask for forgiveness, in order for the wronged person to believe himself able to forgive.

Dalam novel Forgiven yang berperan sebagai pemaaf (forgiver) adalah tokoh utama Karla dan yang dimaafkan (forgiven) adalah Will yang berkali-kali menyakiti Karla. Dalam cerita pada novel Will berkali-kali dimaafkan oleh Karla adalah sebagai bentuk rasa cinta Karla yang tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan dan tidak pernah menuntut balas atas apapun yang sudah terjadi. Karla sebagai tokoh utama walaupun mengalami konflik batin namun lebih condong kepada mengikhlaskan setiap hal yang terjadi. Kepergian Will mampu memporakporandakan hati Karla. Jarak membuat rindu Karla merajalela. Dia merasa kehilangan bagian terbaik dalam hidupnya. Namun apa pun bentuk kehilangan yang dirasakan Karla tidak mampu membuatnya membenci atau bahkan melupakan Will sampai pada saat Karla mengetahui semua kebenaran tentang menghilangnya Will di sisa hidup Will yang divonis hukuman mati.

2.1.2 Tokoh

Fananie (2001 : 86) mengatakan dalam novel sudah tentu ada tokoh yang akan menjalankan cerita. Sebagian besar tokoh – tokoh di dalam fiksi adalah tokoh – tokoh rekaan. Kendati pun hanya berupa rekaan atau imajinasi tetapi tokoh adalah hal yang penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh – tokoh


(17)

tersebut tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995:165) :

“Tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.”

Tokoh – tokoh itu sendiri dapat dibedakan dalam beberapa bagian. Ada tokoh yang selalu muncul di hampir setiap bagian cerita dan mendominasi alur cerita pada novel yang disebut dengan tokoh utama. Ada pula tokoh yang hanya mendapat beberapa bagian dari dialog dan jarang muncul yang sering disebut sebagai figuran / tokoh tambahan.

Menurut Nurgiyantoro (1995:176) berdasarkan peranan dan tingkat pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalan novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kejadiannya lebih sedikit dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung.

Dalam novel – novel tertentu tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dijumpai dalam setiap halaman novel yang bersangkutan. Misalnya tokoh Karla dalam novel Forgiven yang selalu mengalami dan sebagai pelaku kejadian. Sedangkan tokoh tambahan lainnya hadir apabila berhubungan dengan


(18)

tokoh utama atau kehadirannya sangat diperlukan untuk memperkuat karakter tokoh utama.

2.1.3 Penokohan

Gambaran mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya dan batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya disebut dengan penokohan.

Menurut Suroto (1989:92) ada dua hal yang penting dalam penokohan, yaitu teknik penyampaian dan kepribadian tokoh yang ditampilkan. Keduanya memiliki hubungan yang erat karena penggambaran tokoh harus sesuai dengan watak/kepribadian tokoh itu sendiri.

Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro,1995:165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

2.1.4 Psikologi Sastra

Dalam menganalisis novel ini, penulis mempergunakan teori psikologi sastra. Teori psikologi bukanlah hal yang baru dalam sastra, karena tokoh dalam sebuah karya sastra memiliki jiwa yang dibahas dalam psikologi. Jiwa itu sendiri bersifat abstrak, tidak dapat dilihat, diraba, ataupun disentuh, dan hanya timbul melalui reaksi sebagai hasil observasi. Hasilnya itu dapat kita lihat dalam bentuk tingkah laku seseorang, seperti seseorang sedang menangis, tertawa, ataupun marah. Ekspresi sangat penting meskipun tidak semua hal dapat dilihat dari tingkah laku.


(19)

Dalam prosesnya peneliti melakukan penelitian dengan mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Freud meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, impuls, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dipuaskan atau dipenuhi.

Endaswara berpendapat dalam bukunya (2008 : 99) bahwa meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pencipta tetap memanfaatkan hukum – hukum psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh – tokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam – diam.

Kemudian Ratna ( 2004:343) mengemukakan bahwa ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu : a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

2.1.5 Konflik Batin

Salah satu kondisi psikologis yang akan dibahas adalah konflik batin. Hardjana (1994 : 23) mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Konflik adalah percekcokan, perselisihan, atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama yakni pertentangan anatara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh,


(20)

dan sebagainya. Pengertian konflik batin menurut Alwi, dkk (2005 : 587) adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih, atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.

Freud ( http://bintangmuhammad81.blogspot.com/2013/03/konflik-batin.html?m) menyatakan bahwa faktor – faktor yang memegang peranan penting dalam beberapa gangguan batin antara lain:

a. Teori Agresi

Teori ini menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri. Agresi yang diarahkan pada diri sendiri sebagai bagian dari nafsu bawaan yang bersifat merusak. Prosesnya terjadi akibat kehilangan atau perasaan terhadap objek yang sangat dicintai.

b. Teori Kehilangan

Teori kehilangan merujuk pada perpisahan traumatik individu dengan benda atau seseorang yang sebelumnya dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Hal penting dalam teori ini adalah kehilangan dan perpisahan sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi dalam kehidupan yang menjadi faktor pencetus terjadinya stress.

c. Teori Kepribadian

Teori kepribadian merupakan konsep diri yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor. Pandangan ini memfokuskan pada variable utama dari psikososial yaitu harga diri rendah.

d. Teori kognitif

Teori kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sendiri, dunia seseorang dan masa depannya. Individu dapat berpikir tentang mencoba memahami kemampuannya.

e. Teori Ketidakberdayaan

Teori ketidakberdayaan menunjukkan bahwa konflik batin dapat menyebabkan depresi dan keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang adaptif.


(21)

Teori perilaku menunjukkan bahwa penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Individu tidak dipandang sebagai objek yang tidak berdaya terhadap lingkungan, tetapi juga bebas dari pengaruh lingkungan dan melakukan apa saja yang mereka pilih tetapi antar individu dengan lingkungan memiliki pengaruh yang bermakna antar satu dengan yang lainnya.

2.2 Landasan Teori

Novel adalah gambaran singkat tentang suatu kehidupan manusia dan beberapa masalahnya. Manusia merupakan makhluk dinamis dan selalu berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya, baik secara fisik maupun psikis. Lingkungan tempat seseorang itu hidup adalah faktor yang terpenting yang dapat membentuk kepribadiannya, misalnya yang menyangkut status sosial, ekonomi, atau segala sesuatu yang mengelilingi seseorang sepanjang hidupnya. Hubungan antara seseorang dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal balik yaitu lingkungan dapat mempengaruhi psikologis seseorang, begitu juga sebaliknya psikologis seseorang juga dapat mempengaruhi lingkungannya. Banyak sastrawan yang mempelajari psikologi untuk memantapkan karyanya karena unsur psikologi dapat membantu merangsang sebuah karya untuk lebih hidup.

Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Ratna 2004 : 61) menunjukkan empat model pendekatan psikilogis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu : pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih


(22)

banyak berhubungan dengan pendekatan ekspresi, sebaliknya, apabila perhatian ditujukan pada karya, maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan objektif.

Suwardi Endaswara (2003 : 101) berpendapat bahwa psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra yang pertama kali diumumkan oleh Sigmund Freud. Freud berpendapat bahwa seseorang yang tengah menciptakan sebuah karya sastra akan terserang penyakit neurosis yang membuatnya seperti tertekan dan kehilangan akal sehat (bukan berarti gila). Ketaksadaran ini menyublim ke dalam produk kreatif pengarang. Hal ini dalam psikosastra dipandang sebagai psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu :

id, ego, dan superego.

Id adalah aspek kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang sering disebut “energi buta”, sedangkan ego

berkembang atas prinsip kenyataan, selanjutnya superego mengontrol energi-energi buta dari Id tersebut. Melalui kateksis dari id pengarang akan mampu menciptakan simbol – simbol tertentu dalam karyanya. Namun, jika diperlukan anti kateksis dari ego dan superego akan menekan gerak-gerik yang tidak bijaksana dari id. Rintangan oleh anti kateksis terhadap kateksis inilah yang dinamakan pertentangan batin.

Poduska ( 1990 : 77 ) mengatakan bahwa psikoanalisa memberikan sumbangan yang lebih besar, langsung ataupun tidak langsung dalam


(23)

mempelajari perkembangan kepribadian dan perilaku abnormal daripada pendekatan psikologi lainnya.

Selanjutnya menurut Milner (dalam Endaswara,2008 : 101) ada dua hal yang dinyatakan sebagai hubungan antara sastra dan psikoanalisa, pertama ada kesamaan antara hasrat – hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita,karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat – hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi”.

Itulah sebabnya proses kreativitas penulis dalam menciptakan karyanya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal – hal penting yang ingin dikatakan atau mendorongnya untuk mengatakan dalam bentuk langsung atau telah diubah.

Ratna ( 2004 : 63 ) menyebutkan dalam penelitian, sebagai psikoanalisis Freud bertumpu pada a) bahasa pasien, jadi juga keterlibatan sastra, b) memakai objek mimpi, fantasi, dan mite, yang dalam sastra ketiganya merupakan sumber imajinasi.

Teori Freud tentang alam bawah sadar memang penting bagi pembahasan psikologi sastra karena mampu mempengaruhi kejiwaan siapa saja termasuk tokoh – tokoh sastra. Psikoanalisa juga sering merangsang kepada


(24)

“keadaan jiwa’ pencipta sehingga muncul ide teks sastra. Peneliti psikologi sastra pada akhirnya juga akan mampu membaca rentetan psikologi pembaca. Teks sastra merupakan rangsangan bawah sadar pada pembaca. Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks dapat mempengaruhi jiwa pembaca, maka semakin berkualitas pula karya sastra itu.

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel Forgiven karya Morra Quatro adalah novel yang sarat dengan kompleksnya kehidupan khususnya kehidupan remaja dan persahabatan. Cara penyampaian Morra Quatro sangat menarik karena rangkaian kata demi kata mampu disusun dengan hati – hati dan sarat akan perbendaharaan kata dan istilah. Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada yang mengkaji novel tersebut mengingat peredarannya baru sekitar tahun 2010.

Sebelumnya telah banyak dilakukan penelitian sastra dengan menggunakan analisis psikosastra. Penelitian dengan pendekatan psikosastra tetapi dengan objek yang berbeda telah dilakukan oleh Lissa Ernawati dalam skripsinya yang berjudul Novel Rojak karya Fira Basuki : Analisis Psikosastra.

Lissa menganalisis keadaan psikologis tokoh – tokohnya dari segi kesepian, frustasi, dan kepribadian.

Penelitian lain mengenai perilaku psikis tokoh dilakukan oleh Farida Buduri dalam skripsinya yang berjudul Novel Deana Pada Suatu Ketika karya Title Said : Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra pada tahun 2006. Dari hasil


(25)

penelitiannya tersebut, Farida menemukan perilaku psikis dan perilaku trauma psikis yang terjadi pada tokoh sebelum dan sesudah mengetahui penyakit yang dideritanya.

Penelitian berikutnya adalah oleh Pipiet dalam tulisannya yang berjudul Konflik dan Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Pertemuan Dua Hati karya NH. Dini. Dalam tulisannya Pipiet mengungkapkan bagaiman kepribadian tokoh utama dalam novel dan bagaima konflik psikologis dari tokoh tersebut terhadap interaksinya dengan dunia luar.

Selanjutnya oleh Muhammad Bintang dalam tulisannya yang berjudul

Konflik Batin mengungkapkan bahwa faktor – faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kepribadian manusia. Dia juga menjelaskan hubungan antara psikologi dengan sastra sehingga penelitian dalam karya sastra melalui teori psikologi dapat dilakukan.

Pada skripsi Ririn Ambarini yang berjudul Konflik Batin Dolour Darcy “Pendekatan Psikoanalisis Freud Terhadap Tokoh Utama” Novel POOR MAN’S ORANGE Karya Ruth Park. Dalam skripsinya, Ririn membahas tentang konflik batin yang dialami Dolour sebagai tokoh utama atas cinta terlarangnya dengan kakak iparnya sendiri. Dibahas bahwa keinginan tokoh utama untuk segera memiliki kekasih di usia enam belas tahun bertentangan dengan kenyataan yang selalu membuatnya kecewa, baik itu dari fisiknya sendiri maupun dari lingkungan. Ririn menggunakan teori psikoanalisa dan struktural untuk mengkaji novel sebagai objeknya.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Karya ilmiah pasti memerlukan data-data yang dapat dipercaya untuk membantu pembahasan dan pengambilan keputusan. Tanpa data terpercaya itu maka hasil penelitian tentulah akan diragukan kebenarannya. Titik tolak yang paling utama adalah mengadakan penelitian pada obyek yang telah ditentukan yang memerlukan pendekatan atau metode yang tepat untuk mengatasi permasalahan. Dalam penelitian kali ini saya akan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya.

Dalam skripsi ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang memang hanya akan kita peroleh dari sumber asli, dalam skripsi ini adalah novel Forgiven. Sedangkan data sekunder adalah data yang memang telah tersedia dan kita hanya perlu mencari dan mengumpulkannya baik itu melalui perpustakaan, kantor, atau organisasi yang diperuntukan untuk melengkapi penelitian terhadap data primer. Data primer :

Judul Naskah : Forgiven

Pengarang : Morra Quatro


(27)

Jumlah Halaman : 265

Cetakan : Kedua

Tahun terbit : 2010

Warna Sampul : Biru, putih, dan hitam.

Data penelitian sekundernya tentang psikologi sastra dalam novel meliputi : (a) penokohan, (b) konflik batin.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka dan simak catat. Bahan pustaka merupakan teknik pengumpulan data melalui teks-teks tertulis maupun soft-copy edition, seperti buku, ebook, artikel-artikel dalam majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah, publikasi pemerintah, dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft-copy edition

biasanya diperoleh dari sumber-sumber internet yang dapat diakses secara online. Pengumpulan data melalui bahan pustaka menjadi bagian yang penting dalam penelitian ketika peneliti memutuskan untuk melakukan kajian pustaka dalam menjawab rumusan masalahnya. Pendekatan studi pustaka sangat umum dilakukan dalam penelitian karena peneliti tidak perlu mencari data dengan turun langsung ke lapangan tetapi cukup mengumpulkan dan menganalisis data yang tersedia dalam pustaka.

Kajian pustaka tidak dapat dilepaskan dari kegiatan penelitian. Seorang peneliti berkewajiban mempelajari teori-teori yang mendasar masalah dan bidang penelitiannya.Selain itu, peneliti juga perlu memanfaatkan hasil


(28)

penelitian-penelitian dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan masalah penelitiannya untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian serupa atau duplikasi-duplikasi yang tidak diinginkan. Dengan melakukan kajian bahan-bahan pustaka yang ada, peneliti dapat memperoleh informasi secara sistematis, kemudian menuangkannya dalam bentuk rangkuman yang utuh.

Pengumpulan data melalui studi pustaka menunjukkan bahwa telah banyak laporan penelitian yang dituliskan dalam bentuk buku, jurnal, publikasi dan lain-lain. Sehingga hasil laporan penelitian itu dapat menjadi data yang dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. Hal itu terjadi karena sifat utama data ini tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Dengan demikian, studi pustaka sangat tergantung pada penulisan hasil laporan atau fenomena yang ada dalam masyarakat diungkapkan melalui teks tertulis. Hal penting dalam teknik ini adalah peneliti harus mencantumkan sumber yang ia dapat dalam bentuk sistem referensi yang terstandardisasi. Sehingga, darimana data itu diperoleh akan jelas dan mudah untuk ditinjau kembali.

Teknik simak catat adalah teknik yang dilakukan dengan jalan membaca dan mempelajari objek penelitian kemudian diadakan inventarisasi data sebagai bahan yang akan diolah dalam penelitian.


(29)

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data dapat dilakukan dengan membaca heuristik dan hermeneutik. Heuristik merupakan langkah untuk menemukan makna melalui pengkajian struktur bahasa dengan mengintrepetasikan teks sastra secara referensial melalui tanda-tanda linguistik. Langkah ini berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, artinya bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal nyata. Heuristik, merupakan langkah melakukan interpretasi secara referensial melalui tanda-tanda linguistik. Dalam hal ini pembaca diharapkan mampu memberi arti terhadap bentuk-bentuk linguistik yang mungkin saja tidak gramatikal (ungramaticalities). Pembaca berasumsi bahwa bahasa itu bersifat referensial, dalam arti bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal yang nyata. Realisasi dari pembacaan heuristik dapat berupa sinopsis, pengucapan teknik cerita, gaya bahasa yang dipergunakan atau pesan yang dikemukakan.

Hermeuneutik merupakan pembacaan berulang melalui teks dari awal hingga akhir. Proses pembacaan ini merupakan interpretasi tahap kedua yang bersifat retroaktif yang mempergunakan banyak kode di luar bahasa dan menggabungkannya secara integratif sampai pembaca dapat menganalisis secara struktural untuk mengungkapkan makna (singificance) dalam sistem tertinggi, yakni makna keseluruhan teks sebagai sistem tanda.

Menurut Moleong (dalam Ratna 2004 : 45) hermeneutika di dalam sastra dan filsafat disejajarkan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmu-ilmu sosial juga disebut sebagai metode kualitatif,


(30)

analisis isi, alamiah, naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan fenomenologi, yang biasanya dipertentangkan dengan metode kuantitatif.

Bleicher (2003 : 5) mengatakan bahwa hermeneutika secara konsekuen terikat pada dua tugas yaitu : pertama memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, dsb; kedua, menemukan instruksi – instruksi yang terdapat di dalam bentuk – bentuk simbolis. Tugas hermeneutik harus membuat sesuatu yang kabur jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami.

Teknik analisis data meliputi :

1. Menyajikan data sesuai dengan masalah penelitian yang terdapat dalam objek penelitian.

2. Menganalisis data sesuai dengan permasalahan penelitian. 3. Menginterpretasikan hasil analisis.

4. Menyimpulkan hasil analisis dan pembahasannya sehingga diperoleh informasi mengenai perilaku psikis tokoh utama dalam novel.


(31)

BAB IV

ANALISIS PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL FORGIVEN

4.1 Tokoh dan Penokohan Tokoh Utama

Karla adalah tokoh utama dalam novel Forgiven. Tokoh Karla sendiri merupakan tokoh protagonis dalam cerita karena merupakan tokoh yang mendukung jalannya cerita. Tokoh Karla juga merupakan tokoh bulat karena cerita dalam novel mengungkapkan semua hal tentang kehidupan Karla, baik dari karakter, gaya hidup, dan konflik yang terjadi pada Karla.

Dalam novel Forgiven tokoh Karla digambarkan sebagai gadis yang tomboy, berpenampilan apa adanya dan cenderung ingin seperti anak laki – laki. Ia memiliki rambut yang panjang lurus, bermata sipit seperti keturunan Tionghoa. Paragraf berikut menunjukan keadaan fisik Karla yang memang mirip dengan ayahnya dan bagaimana usahanya memastikan bahwa keluarganya tidak memiliki saudara orang Tionghoa, karena ia tidak suka dipanggil “Amoy” oleh kawan-kawannya.

”Amoy itu panggilan untukku, karena aku mirip Tionghoa. Padahal bukan, aku tidak suka dipanggil begitu…” (Morra,2010 : 16)

“…Dia memiliki rambut panjang sepertiku, yang lebih sering dicepol di belakang kepalanya dengan sebatang kayu yang seperti sumpit.” (Morra,2010 : 64)

“…Ia memakai kaos bergaris dan bercelana pendek. Papa putih, bermata kecil dan berambut lurus, seperti orang Tionghoa. Karena itu aku juga mirip orang Tionghoa. Padahal sudah kutelusuri silsilah keluargaku sampai tiga generasi di atas papa dan mama, dan tak ada satupun orang Tionghoa di sana.” ( Morra,2010 : 78)


(32)

Penampilan fisik Karla yang mirip seperti keturunan Tionghoa ini pun dipertegas melalui percakapannya dengan teman-teman dekatnya.

“Udah deh, Amoy pulang.” (Morra,2010 : 16)

“Ayolah, Moy. Kan cuma lo yang punya akses sejauh itu.” Kata Wahyu.

“Lagian lo larinya kencang.” Kata Laut lagi.” (Morra,2010 : 31)

Pada bab selanjutnya dalam novel diceritakan juga bahwa pada saat Karla mengunjungi William di Boston, Nicholas Hakim saudara dari William pun memanggilnya “Amoy”.

“Nicholas berkata saat melihat padaku lagi,”Katanya cewek Will itu amoy – amoy” (Morra 2010 : 146)

Karla tidak terlalu senang bergaul dengan anak gadis seusianya karena menurut pendapatnya anak perempuan sangat rumit, ia lebih senang bergaul dengan anak laki – laki yang menurutnya tidak terlalu memusingkan hal – hal yang sepele seperti halnya perempuan.

“Aku jarang bergaul dengan anak perempuan. Teman – temanku laki – laki semua—yang juga adalah teman Will”

(Morra, 2010 : 14)

“…bagiku anak laki – laki selalu lebih menyenangkan. Mereka lebih banyak tertawa, dan tidak pernah terlalu sibuk dengan warna kulit, rambut, berat badan, apalagi masalah percintaan. Satu hal lagi, mereka tidak perlu ditemani kalau harus ke toilet.” (Morra,2010 : 14)

Kebiasaannya bergaul dengan laki – laki ini mungkin yang membuat Karla menyenangi olahraga khususnya olahraga bidang atletik lari dan selama SMA selalu menjadi juara dalam lomba di bidang olahraga ini.

“Aku pernah mrnjuarai PORSENI—Pekan Olahraga dan Seni anak sekolah. Sampai kelas tiga, rekor sprint-ku tidak terpecahkan.” (Morra 2010 : 23)


(33)

Karla juga adalah seseorang yang sangat setia kawan.Bagi Karla teman – temannya sudah seperti keluarganya sendiri. Ia begitu mempercayai persahabatan mereka itu.

“Ada yang tidak matching dengan semua detail ini. Entahlah, aku pun tidak yakin. Aku tidak menyaksikan semuanya, dan masih ingin berpikir yang baik – baik tentang kawan – kawanku.” (Morra,2010 : 39)

Hal ini dibuktikan ketika teman – temannya yang lain ingin balas dendam dengan kepala sekolah mereka yang sudah memukuli salah seorang temannya, Karla yang merupakan ketua kelas dan satu – satunya perempuan di dalam persahabatan mereka itu pun ikut ambil bagian dan mempertaruhkan jabatan ketua kelasnya terancam.

“Ini sebuah rencana, kemudian aku mendengar beberapa gumam persetujuan. Aku tidak suka melanggar peraturan sekolah. Aku ingin teman – temanku pun begitu. Saat ini, aku dapat memilih untuk ikut atau tidak rencana itu. Tapi aku tidak membatalkannya, meski tak ada gambaran dalam benakku seperti apa hadiah yang setimpal yang akan diterima Pak Juandi. Tapi rasanya—di dasar hatiku terdalam—aku ingin dia mendapatkannya.”

( Morra,2010 : 42)

Hal ini dipertegas ketika Karla yang menjadikan jabatannya sebagai ketua kelas sebagai alasan untuk tidak masuk kelas untuk melancarkan rencana balas dendam terhadap Pak Juandi.

“Waktu kami tidak banyak. Situasi inspeksi ini sebenarnya menguntungkan, karena guru – guru yang akan mengajar pasti sedikit terlambat masuk kelas, kami pun bisa tiba di sana lebih dulu. Yang mungkin terlambat adalah aku, Wahyu, dan Laut. Tapi sebagai ketua kelas, aku bisa punya banyak alasan. Wahyu dan Laut akan mencari alasannya sendiri” (Morra,2010 : 50)


(34)

Dan pada saat akhirnya sekolah memberikan skors kepada Karla atas perbuatannya yang tertangkap basah oleh para guru. Karla tidak diperbolehkan masuk sekolah selama dua minggu. Pada saat itu teman – temannya yang lain berusaha menjenguk Karla ke rumah, namun mama Karla melarang untuk bertemu.

“Aku tidak mau kehilangan persahabatan ini.” (Morra,2010 : 68;69)

“ Sehari setelah kedatangan ketiga orang itu, aku menangis, tidak tertahan. Kupikir aku harus berbicara pada Mama, karena aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tapi aku tidak tahu apa yang ahrus aku katakan. Pada waktu itu, rasanya aku mau memberikan apapun untuk bisa bertemu dengan salah satu saja dari teman – temanku.” ( Morra,2010 :69)

Di sela-sela persahabatannya dengan kumpulan anak laki - laki yang dianggapnya keluarga keduanya itu ternyata Karla menyimpan sebentuk rasa terhadap Will. Ia memandang Will lebih dari sekedar sahabat meskipun pada saat itu ia sudah berpacaran dengan Alfan.

“…Aku dan Alfan berpacaran—baru beberaoa waktu belakangan. Meski begitu kami lebih sering berenam daripada berdua karena pertemanan ini telah dimulai terlebih dahulu.” (Morra,2010 : 14)

“Tekanan suara, dan nada serius dalam kata-katanya membuatku tidak bisa membantah. Aku sempat berpikir kenapa aku tidak merasakan hal seperti ini kepada Alfan. Lalu kujawab sendiri, bahwa mungkin setiap orang berbeda. Sekarang ini, mungkin itulah yang dimiliki Will.” (Morra,2010 : 28)

Hal ini juga dijelaskan pada saat teman – temannya ketahuan menghisap rokok yang dicampur dengan marijuana. Karla berharap Will tidak ikut dalam


(35)

tindakan bodoh itu. Namun saat dia mengetahui bahwa Will juga ikut menghisap rokok itu, Karla sangat kecewa. Kecewa yang dirasakannya berbeda dengan kecewanya terhadap kawan – kawan yang lain.

“Besar harapanku Will tidak akan mengeluarkan jawaban yang berbeda. Aku menatapnya, hampir putus asa, dan dia mengangguk serasa menjawab pelan,”Ya.” Kurasakan separuh diriku hancur. Will tidak merokok. Will tidak memasukkan benda – benda aneh yang tidak seirama dengan metabolism manusia ke dalam tubuhnya. Will bahkan tidak akan menelan parasetamol kalau dia sakit kepala.” (Morra,2010 : 42)

Dan pada saat Will akan berangkat ke Brussel untuk mengikuti olimpiade Fisika, Karla pun merasa kehilangan.

“Aku terhenyak. Baru ingat, ini sudah Februari. Aku menoleh lagi padanya. Dia mentapku, berharap. Tatapan itu, tiba – tiba membuatku sedih, gelisah, entah apa. Tapi pada saat itu aku hanya menerjemahkannya dengan perasaan kehilangan, karena dia akan pergi jauh. Jauh dan lama. (Morra,2010:87)

Di samping itu tokoh Karla dalam novel juga digambarkan sebagai tokoh yang tegar dan mandiri. Ia tidak mau orang lain tahu apa yang sedang dirasakannya. Sama halnya tentang perceraian orangtuanya. Tetapi Karla tetaplah seorang wanita yang walaupun di luar tampak tegar, terkadang untuk beberapa hal ia adalah anak perempuan yang mudah menangis. Diceritakan beberapa kali ia menangis karena beberapa hal.

“Sehari setelah kedatangan tiga orang itu, aku menangis tidak tertahan.” ( Morra 2010 : 69)

“Aku masuk ke dalam kamar, membanting pintu. Menangis, sampai sesunggukan.” (Morra 2010 : 74)

“Ini seperti yang diberikan Wahyu beberapa hari sebelumnya di taman sekolah. Tapi kali ini aku benar – benar menangis. Will mengusap kepalaku, membungkukkan tubuhnnya,


(36)

membuatku merasa boleh menangis sejadi – jadinya.” ( Morra 2010 : 75)

“Mungkin aku sudah jadi anak cengeng sekarang. Mungkin aku memang telah begitu sayang padanya. Entahlah. Tapi, berdiam menenangkan diri sementara melihatnya seperti itu membuat air mataku menetes. Aku menangis pelan, karena kutahan napas sebisanya agar Will tidak tahu.” (Morra 2010 : 95)

“Aku menangis menyusuri lingkungan perumahan itu. Kuucapkan selamat tinggal kepadanya dalam hati.” (Morra 2010 : 114)

“Aku menangis juga.” (Morra 2010 : 154)

Karla pun menangis ketika William mengatakan kepadanya untuk tidak lagi meneruskan pertemuan mereka karena Will sudah menemukan kekasih baru.

4.2 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Forgiven

Dalam novel Forgiven Karla mengalami beberapa konflik batin yang mempengaruhi kehidupannya. Orangtuanya yang berbeda agama memutuskan untuk bercerai dan ibunya yang sibuk dengan kehidupannya membuat Karla lebih betah berkumpul bersama dengan sahabat – sahabatnya. Karla yang tidak menyukai hal – hal yang rumit tidak terlalu senang bergaul dengan anak perempuan. Dan pada Will, salah satu sahabatnya, ia mulai menemukan sebuah perasaan yang berbeda.

Lulus dari SMA, Karla semakin yakin dengan perasaannya pada Will. Ketika Will menghilang dan tidak ada kabar, Karla merasakan kehilangan yang sangat mendalam.

“Will tidak ada—dan baru kusadari betapa aku kehilangan dan merindukannya. Aku tidak sempat


(37)

bertemu dengannya lagi. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.” ( Morra,2010 : 113)

Satu hal yang diinginkan Karla meskipun mengalami kekecewaan berkali – kali oleh Will adalah tetap bersama Will dan akan terus mengenang Will. Hanya Will yang mampu membuat hari – hari Karla berwarna.

“Dia menghilang. Dan segalanya terasa berbeda. Ternyata tidak butuh begitu banyak waktu untuk membawa perubahan yang begitu besar.” (Morra,2010 : 115)

Keinginannya untuk bertemu dengan Will sangat kuat. Semua hal yang dilakukannya berantakan dan hanya terpikir kepada Will. Hingga pada saat Will tiba – tiba muncul dihadapannya, seketika saja Karla seperti menemukan dirinya yang telah lama hilang.

4.2.1 Beberapa Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama

Hall (1995 : 29) mengatakan bahwa seluruh kepribadian, seperti yang dirumuskan oleh Freud, terdiri dari tiga sistem yang peting. Ketiga sistem itu dinamakan id, ego, super ego. Dalam diri seseorang yang mempunyai jiwa yang sehat ketiga sistem ini merupakan satu susunan yang bersatu dan harmonis. Dengan bekerja sama secara teratur ketiga sistem ini memungkinkan seoramg individu untuk bergerak secara efisien dan memuaskan dalam lingkungannya. Tujuan dari gerak – gerik ini adalah untuk memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau ketiga sistem kepribadian ini bertentangan satu sama lain, maka orang yang bersangkutan dinamakan orang yang yang tidak dapat menyesuaikan diri. Ia tidak puas dengan diri sendiri dan demgan dunia: dan efisiensinya menjadi berkurang.


(38)

Ketidakseimbangan dari ketiga aspek inilah yang akhirnya dapat menimbulkan kecemasan. Oleh sebab itu dalam psikoanalisa kecemasan merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan kepribadian maupun dinamika berfaalnya kepribadian.

Menurut Hall (1995 : 56) kecemasan adalah suatu pengalaman peranan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan – ketegangan dalam alat – alat intern dari tubuh. Ketegangan – ketegangan ini adalah akibat dari dorongan – dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf yang otonom. Misalnya, kalau seseorang menghadapi keadaan yang berbahaya hatinya berdenyut lebihh cepat, ia bernafas lebih pesat, mulutnya menjadi kering dan tapak tangannya berkeringat.

Dalam novel Forgiven tokoh utama merupakan karakter yang mencintai sosok Will yang sangat rumit. Ia menemukan kenyamanan dalam hubungannya dengan Will yang sangat pendiam dan misterius. Ia merasa bahwa Will sangat berbeda dengan Alfan, kekasihnya. Karla tidak mendapatkan kehangatan dan kenyamanan dalam hubungannya dengan Alfan akan tetapi ia tetap menjalani hubungannya dengan Alfan dengan tidak merasakan apa – apa dan tanpa kesan apa pun sampai pada akhirnya ia mengetahui kebenaran tentang Alfan.

“ Tekanan suara, dan nada serius dalam kata-katanya membuatku tidak bisa membantah. Aku sempat berpikir kenapa aku tidak merasakan hal yang seperti ini kepada Alfan. Lalu kujawab sendiri, bahwa mungkin setiap orang berbeda. Sekarang ini, itulah yang dimiliki Will.” (Morra,2010 : 28)


(39)

4.2.1.1 Konflik Batin yang Dipicu Perceraian Orang Tuanya

Konflik batin yang pertama yang dialami oleh Karla adalah dengan orangtuanya yang sudah bercerai begitu mempengaruhinya. Kenyataan ini mengharuskan ia harus terpisah jauh dari ayahnya yang sekarang menetap di Singapura. Dan untuk bertemu dengan ayahnya setidaknya dalam setahun ia empat kali harus singgah ke Singapura. Sedangkan ibunya yang kini sedang berkencan dengan Sean, pria bule Amerika sudah berencana akan menikah lagi. Sebenarnya Karla memakluminya namun ia tetap merasa Sean calon ayah barunya itu sudah terlalu cepat memasuki rumahnya yang masih banyak menyimpan kenangan Karla dengan ayahnya dulu

“Saat ini Mamaku sedang dekat dengan bule Amerika yang kelak akan ia nikahi. Aku tahu ini wajar, dan Mama pantas mendapatkannya. Tapi kurasa Sean—bule Amerika itu— telah masuk ke rumahku terlalu cepat. Rumahku adalah kenanganku dengan papa, dan setiap kenangan dengan papa adalah momen yang sangat pribadi dan emosional untukku. Setiap Mama memasak untuk Sean, aku berpikir, siapa yang memasak untuk Papa? Papa memang bisa memasak sendiri, dan Papa senang melakukannya. Tapi harus ada seseorang yang memasak untuknya.” (Morra,2010 : 33)

Karla sangat menyayangi ayahnya. Semua kenangan dengan ayahnya membuatnya begitu ingin tetap selalu dekat dengan ayahnya. Karla tidak ingin melukai hati ayahnya atau mengecewakannya.

“….Aku tak tahu hukuman seperti apa yang akan aku terima. Mama akan mendengar tentang semua ini. Dengan begitu, papa juga. Pikiran yang terakhir itu membuatku ingin menangis.” (Morra,2010 : 56)

Kehadiran Sean di hidupnya sebenarnya sangat mengganggu. Namun ia sadar bahwa ibunya memerlukan sosok seorang pria pengganti ayah Karla,


(40)

karena bagaimana pun ibu Karla masih muda. Walaupun memaklumi keadaan ibunya, namun dalam diri Karla sebenarnya tidak mau hidup dan tinggal kelak bersama dengan Sean.

“Aku tidak mau hidup dengan Sean. Waktu itu aku tidak tahu kalau di Amerika para mahasiswa tinggal di asrama – asrama kampus. …..” (Morra,2010 : 66)

Kehendak id pada diri Karla menginginkannya menolak kehadiran Sean di hidupnya. Tetapi superego dalam diri Karla tidak menghendakinya, karena ia sangat memahami keberadaan Sean sangat berarti untuk ibunya. Ia menyayangi ibunya, oleh sebab itu ia harus berusaha menerima keberadaan Sean. Untuk menyelamatkan ego dari kecemasan, ego menghapus kehendak dengan menekan hasrat tidak suka yang menimbulkan penolakan terhadap hadirnya Sean kekasih ibunya tetap berada dalam tidak sadar (id) dan tidak muncul ke kesadaran (ego) sehingga tidak menimbulkan pertengkaran dengan ibunya. Meskipun ia tidak menyukai Sean dan enggan berbicara dengannya namun ia selalu berusaha untuk bersikap biasa saja di depannya karena menghargai ibunya.

Tentang hal perceraian orangtuanya ini Karla masih sering menyembunyikan kesedihannya bahkan dari teman - temannya sekalipun. Ia tidak ingin orang lain tahu sisi rapuhnya sebagai seorang anak broken home.

”Aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan – perubahan ini. Tapi tak seorang pun temanku yang tahu tentang hal itu. Aku pun tak ingin mereka tahu. Mereka bahkan tak pernah melihatku menangis. Tidak juga Alfan.” (Morra,2010 : 33)

Di sisi lain, Karla membiasakan diri untuk mandiri karena menyadari bahwa ibunya sudah cukup sibuk dengan segala kesibukan – kesibukan rumah


(41)

dan butik yang dikelolanya sejak bercerai dengan ayah Karla. Namun bagaimana pun keadaan keluarganya yang sekarang, ia tetap menyayangi kedua orang tuanya. Kehidupannya yang sekarang membuatnya membutuhkan sosok yang mampu memberikan rasa nyaman dan ketenangan untuknya, dan untuk menghilangkan kecemasan tentang itu ia banyak menghabiskan waktu dengan sahabat – sahabatnya.

4.2.1.2 Konflik Batin Tokoh Utama dengan Kekasihnya

Dalam novel Forgiven diceritakan bahwa pada masa SMA Karla menjalin hubungan kekasih dengan salah seorang dari sahabatnya yang bernama Alfan. Namun meskipun telah menjadi sepasang kekasih, mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama – sama dengan sahabat – sahabatnya yang lain daripada berdua.

“….Aku dan Alfan berpacaran—baru beberapa waktu belakangan. Meski begitu kami lebih sering berenam daripada berdua karena pertemanan ini telah dimulai lebih dulu. “ (Morra,2010 : 14)

Alfan adalah anak laki – laki yang tergolong nakal. Dan Karla tidak nyaman dengan hal itu. Alfan sering tidak mengindahkan perkataan Karla dan itu membuat Karla enggan berurusan dengan Alfan.

“Alfan baru keluar dari kantin bersama dua orang yang lain. Perasaanku mendadak tidak nyaman. Menstruasi ini menyiksa, tapi bukan karena itu. Entahlah, tapi perasaan ini pernah datang pada waktu aku tahu pasti Alfan habis merokok. Begitu ia mendekat, aku tahu itu terulang lagi.” (Morra,2010 : 15)


(42)

Meskipun Alfan kekasihnya, tapi Karla tidak pernah merasakan hal yang spesial tentang Alfan. Dan belakangan ia pun mengenal Alfan lebih dalam lagi setelah peristiwa balas dendam terhadap kepala sekolah mereka. Seharusnya Alfan ada di saat rencana itu berlangsung, namun di saat kejadian yang tidak diinginkan terjadi Alfan menghilang dan lepas tanggung jawab.

“Aku pakai rok, mana mungkin bisa memanjati pagar ini secepat itu. Tapi, aku bisa mengandalkan kedua kakiku untuk segera berlari dan meghilang begitu mencapai tanah. Aku teringat Alfan. Mana Alfan? Harusnya dia melakukan sesuatu saat ini.” (Morra,2010 : 54)

Pada saat itu Karla menyadari ada yang tidak beres dengan Alfan. Karla menghubungkan peristiwa saat Will dan Alfan bertengkar dengan kejadian balas dendam itu.

“Lalu aku teringat pembicaraan itu. Pembicaraan antara Will dan Alfan, dan ketegangan – ketegangan di tengah – tengah mereka. Aku berusaha mencocokkan bagian itu dengan gambar – gambar yang lain, dan entah bagaimana, kurasa itu bagian yang berbeda.” ( Morra,2010 : 58)

Karla sangat terpukul saat mengetahui bahwa Alfan merencanakan hal yang buruk dari Wahyu. Alfan menginginkan hal yang tidak senonoh dengan Karla. Karla tidak menyangka, Alfan bisa berpikiran seperti itu.

“Aku tidak mampu mengangkat wajah. Lututku terasa lemas. Sadar betapa berat dan jauh dari akal sehatku semua rentetan kejadian ini. Wahyu memegang tanganku. Bisiknya,”Aku nggak suka bilangnya. Maaf. Kita memang anak-anak nakal.”” (Morra,2010 : 60)

Karla begitu kecewa pada Alfan. Kekasih yang juga merupakan sahabatnya itu tega merencanakan hal yang tidak terpuji seperti itu.


(43)

”Aku masih mencoba tersenyum sekali lagi sebelum berbalik ke ruang guru. Sejumlah pikiran tentang Alfan, tentang Will, tentang persahabatan ini, mulai menyerang lagi. Aku begitu lelah. Aku menoleh ke deretan kelas tiga. Mencoba menemukan Alfan.. dan Will” (Morra,2010 : 6)

Pada saat Karla diskors oleh kepala sekolah, Karla melihat Alfan sedang bersama seseorang. Kenyataan bahwa selama dia tidak masuk sekolah Alfan sudah mempunyai kekasih baru cukup membuat Karla terhenyak.

“Kemudian aku melihat Alfan. Dia ada di sisi lapangan yang berseberangan denganku. Dia bersama dengan seseorang. Anak perempuan. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi dia anak dari salah satu kelas IPS. Bahasa tubuh di antara mereka sama seperti yang ada di antara Laut dan Lala.” (Morra 2010 : 89)

Hal yang lebih membuat Karla kecewa dan sadar sifat Alfan yang sebenarnya adalah saat mengetahui Alfan bersih dari tuduhan mengenai kejadian balas dendam dengan kepala sekolah mereka. Dalam benak Karla tentang Alfan adalah sosok yang tidak pernah memiliki rasa tanggungjawab. Dia hanya mampu memikirkan dirinya sendiri dan bagaimana lepas dari masalah.

“Kata Will, entah bagaimana guru – guru akhirnya memutuskan Alfan bersih dari segala keterlibatan dengan Robby dan tikus mati itu. Dia dipanggil menghadap Pak Juandi—Will dan Robby tidak dipanggil—dan semua orang menyaksikannya. Kupikir, begitu juga dengan Will, hanya satu yang bisa meloloskannya dri tuduhan yaitu kemampuan bersilat lidah yang hebat. Ini, dan pertengkarannya dengan Will di garasi itu, sudah cukup menunjukkan siapa Alfan sebenarnya.” ( Morra 2010 : 89)

Karla memang cukup kecewa dengan sifat – sifat Alfan yang baru dia ketahui, namun ia memutuskan untuk tidak terhanyut dalam emosi dan membenci Alfan, tapi lebih memilih untuk tidak lagi mengenal Alfan.


(44)

“Will sudah tidak bicara lagi dengannya. Aku tidak tahu bagaimana dengan keempat orang yang lain. Tapi aku—aku tidak ingin memiliki kebencian terhadap seseorang. Begitulah yang dikatakan papa. Jadi, kepada Alfan, aku hanya merasa aku tidak mau mengenalnya lagi.” (Morra 2010 : 89)

Kekecewaan terhadap Alfan menyadarkan Karla bahwa ia belum benar – benar mengenal sosok kekasihnya yang sekaligus sudah dianggapnya sebagai salah satu sahabatnya. Alfan bukanlah sosok yang diinginkannya, yaitu seorang laki-laki yang penuh dengan kehangatan, pengorbanan, pengertian, dan tanggungjawab.

4.2.1.3 Konflik Batin Tokoh Utama dengan William

William adalah sahabatnya di SMA yang pada cerita berikutnya akan menjadi seseorang yang sangat dicintai Karla. Mengenai Will, Karla mampu menyebutkan banyak hal yang membuatnya begitu nyaman dengan Will. Baginya, Will adalah tempat berbagi rahasia dan mimpi – mimpi yang tidak sembarangan orang tahu. Will tidak bisa digantikan oleh siapapun di hati Karla. Pada akhirnya kenyataan – kenyataan tentang Will yang ia tidak ketahui selama ini sangat membuatnya terpuruk dan penuh penyesalan. Kedekatan mereka terlihat pada paragraf berikut yang menceritakan betapa persahabatan di antara mereka sangat tulus dan dekat, setidaknya begitu menurut Karla sebelum mendapati banyak hal yang disembunyikan Will darinya.

“Aku dan Will bersahabat selama bertahun – tahun. Selama SMA kami duduk di deretan paling belakang, sama – sama melempari Ibu Shanti, guru mata pelajaran Geografi, dengan kapur tulis setiap kali ia membelakangi murid. Will benci dengan Geografi, dan ia selalu menghasutku.


(45)

Katanya, dulu, siapa peduli Indonesia berada di garis lintang dan garis bujur berapa—lempengan bumi akan terus

bergeser dan hitungan ini akan terus berubah.” ( Morra 2010 :3)

“Dalam tahun – tahun itu aku berusaha mendefinisikan mekanisme pertahanan diri Will. Aku sering mendapati kebohongan – kebohongannya, yang di kemudian hari akan ia akui tanpa rasa berdosa. Will tidak suka menerima dirinya disalahkan, tapi ia pernah meneleponku pagi – pagi buta, dengan penuh sesal menceritakan pertengkarannya dengan orangtuanya. Dari semua eksperimen ini, aku tidak pernah menemukan satu pun mekanisme yang tipikal. Tidak pernah—hingga akhirnya aku meragukan apakah aku benar – benar mengenalnya.” ( Morra 2010 : 4)

Sejak semula di antara sahabat – sahabatnya yang lain, Karla memang memposisikan Will menjadi yang terdekat dengannya. Jika dengan yang lain Karla dapat merasa biasa saja lain halnya dengan Will yang mampu membuat Karla malu, cemas, bahkan merasa nyaman secara bersamaan. Untuk beberapa hal tentang Karla, Will adalah orang yang pertama kali mengetahuinya.

“Aku segera berbalik. Wajahku terasa panas entah seperti apa. Ini bukan pertama kali Will mendapati menstruasiku yang bocor dan tiba – tiba, tapi tetap saja rasanya memalukan. Sakit perut itu kian menjadi. Kusambut jas yang dipakaikan Will lewat punggungku. Dia tertawa.” ( Morra 2010 : 11)

“ Ada hal – hal yang tidak kuceritakam kepada kelima temanku. Hal – hal ‘perempuan’, tentu saja, seperti jadwal menstruasiku meski sekarang teritorinya sudah dimasuki Will.” (Morra 2010 : 32)

Bahkan ketika ‘menangis’ adalah hal yang selama ini Karla sembunyikan dari siapa pun akhirnya Will lah yang pertama kali mendapatinya. Hal ini dapat ditemukan dalam paragraf berikut :

“…Mereka bahkan tak pernah melihatku menangis. Tidak juga Alfan.” (Morra 2010 : 33)


(46)

“Luka di bibirnya sudah mulai menutup, lekas sembuhnya kalau dia tidak banyak bicara. Mata kirinya hanya mampu membuka separuh, tapi ia menatapku. Hatiku seperti teriris. Aku teringat Leyla di bawah, gambar dan krayon-krayonnya. Aku ingin menangis, tapi tidak mau mereka melihatku menangis.” ( Morra 2010 : 41)

Kedua paragraf ini menjelaskan betapa Karla tidak ingin siapa pun melihat kelemahannya. Namun berbeda saat di hadapan Will ketika Karla mendapat hukuman dari sekolahnya.

“Dia membuka pintu perlahan setelah mengetuknya sebanyak dua kali. Aku tidak mengira harus seperti ini. Aku tidak ingin dia mendapatiku menangis, tapi dia ada di sana saat aku meringkuk dan membenamkan wajah di atas bantal. Lalu Will menaikkan kaki, berlutut di atas tempat tidurku. Ia mngulurkan tangan. Aku tidak mengira dia akan melakukannya. Tapi aku hanya tahu satu yang perlu kuperbuat waktu itu, menghambur ke dalam pelukannya. Kedua lengan itu menerimaku.” (Morra 2010 : 74)

“Will juga orang pertama di antara mereka yang melihatku menangis.” (Morra 2010 : 75)

Pada saat sahabat – sahabatnya kedapatan merokok, yang paling membuat Karla terkejut adalah ketika mengetahui Will juga ikut merokok bersama dengan yang lain.

“Besar harapanku Will akan mengeluarkan jawaban yang berbeda. Aku menatapnya, hampir putus asa, dan dia mengangguk serasa menjawab pelan, “Ya”” (Morra 2010 : 40)

Ada perasaan yang mungkin sedikit berlebihan ketika mendapati Will merokok. Perasaan yang berbeda sewaktu mendapati sahabat yang lainnya ketahuan merokok.


(47)

“Kurasakan separuh diriku hancur. Will tidak merokok. Will tidak akan memasukkan benda – benda aneh yang tidak seirama dengan metabolisme manusia ke dalam tubuhnya. Will bahkan tidak menelan parasetamol kalau ia sakit kepala.” (Morra 2010 : 41)

Setiap hal yang berkaitan dengan Will membuat Karla menemukan dirinya seperti merasakan hal yang berbeda, tetapi Karla tidak bisa mengartikan perasaan itu dan masih saja menganggap bahwa perasaannya terhadap Will sama dengan perasaannya dengan sahabatnya yang lain. Setiap kali ia berdekatan atau kontak fisik dengan Will selalu membuatnya sadar ada hal yang lain terjadi pada dirinya.

“Ada sesuatu yang berbeda di mata Will saat itu. Aku tidak tahu bagaimana mendefenisikannya. Suatu kekuatan yang membuat jantungku bedetak keras waktu ia meletakkan sehelai kertas kosong dan pensil di hadapanku. Katanya,”Coba gambar.”” (Morra 2010 : 46)

“Harusnya bisa mendarat dengan tepat dan mulus. Tapi ketika itu kedua kaki yang pernah membawaku ke berbagai kejuaraan ini tidak dapat menekuk dengan lentur dan kuat seperti biasa. Lututku terluka saat aku jatuh. Aku sempat melihat Will. Ia bergegas maju. Aku tahu ia ingin datang sebelum kepala sekolah dan Bu Novi menahannya agar tetap di sana. Aku masih melihat sinar cerahnya, dan saat itu—entah kenapa—aku merasa dia sungguh berharga.” ( Morra 2010 : 55)

Kenyataan bahwa Will sangat berharga bagi Karla membuatnya ingin melindungi Will. Pada saat rencana untuk balas dendam kepada kepala sekolah mereka ternyata gagal, Karla berusaha melindungi Will dengan menanggung semua hukuman yang diberikan dengan mengatakan bahwa semuanya adalah idenya sendiri sedangkan yang lain hanya mengikuti idenya. Dan ketika mengetahui Will tidak dilibatkan dalam kasus ini, cukup membuat Karla sedikit


(48)

tenang meskipun ia harus menerima hukuman skorsing selama lima belas hari dari sekolah.

“Will bersih. Setidaknya ini sedikit menghiburku.” (Morra 2010 : 64)

Will lah yang mampu untuk pertama kalinya masuk menemui dan menghibur Karla di saat Karla merasa sedih karena hukuman itu, setelah membujuk ibu Karla.

“Will adalah orang pertama yang menembus pertahanan Mama.” (Morra 2010 : 75)

“Kini lenyap sudah kesedihan yang kurasakan sejak hari pertama pengasingan itu.” (Morra 2010 : 81)

“Aku tersenyum. Yah—ada Will di sampingku. Segalanya baik - baik saja. “ (Morra 2010 : 88)

Pada saat Will mengalami kebutaan sementara sebelum berangkat ke Brussel untuk pertandingan olimpiade Fisika yang pada saat itu Karla tidak mengetahui apa penyebabnya, ia sangat tertekan. Di pikirannya hanya ada bagaimana caranya Will bisa sembuh sebelum berangkat ke Brussel, walaupun sebenarnya ia tidak tahu caranya. Baginya, Will adalah segalanya.

“Will harus sembuh sebelum berangkat ke Brussel. Tak ada yang bisa kulakukan untuk itu. Tapi aku bisa membuatnya senang.” (Morra 2010 : 99)

“Lalu aku berjanji dalam hati. Ucapku, apabila Tuhan mengembalikan segalanya seperti sedia kala, dan semuanya baik – baik saja setelah ini, maka aku akan memberikan apa pun yang bisa kuberi untuk Will.” (Morra 2010 : 99)


(49)

Namun apapun yang dirasakan Karla terhadap Will semasa sekolah tidak pernah benar – benar membuat Karla memiliki Will sebagai seorang kekasih, mereka tetap berteman hingga lulus SMA. Perhatian yang Will berikan kepada Karla tidak mampu membuat Karla mengakui perasaannya yang sebenarnya. Dan pada saat Karla akan melanjutkan pendidikan kuliah ke luar negeri. Saat itu ia hendak memberitahu Will akan keberangkatannya, saat itu pulalah Will tiba – tiba menghilang dan tidak ada kabar.

“Tiba – tiba aku merasa takut. Kutekan lagi bel rumah itu, dan memanggil,”William…” tetap tidak ada jawaban.” (Morra 2010 : 112)

Hilangnya Will yang secara tiba – tiba dan tanpa kabar itu membuat Karla benar - benar merasa kehilangan. Apa pun yang terjadi dan yang akan terjadi, di pikiran Karla hanya ingin bertemu dengan Will.

“Will tidak ada—dan baru kusadari betapa aku kehilangan dan merindukannya. Aku tidak sempat bertemu dengannya lagi. Aku bahkan tidak sempat mengatakan selamat tinggal.” (Morra 2010 : 113)

“Aku menangis lagi ketika menyusuri lingkungan perumahan itu. Kuucapkan selamat tinggal kepadanya dalam hati.” (Morra 2010 : 114)

Hal itu terus berlanjut sampai Karla tiba di Singapura. Karla menyibukkan diri dengan kelas trainingnya untuk mempersiapkan diri menuju dunia perkuliahan. Hal ini tetap saja tidak membuat ia lupa akan Will, Karla masih saja terus memikirkan pria yang sangat dirindukannya itu. Apa pun yang dilakukannya Will terus saja mampu menduduki peringkat pertama dalam otaknya. Dan hal ini membuatnya malas berinteraksi dengan lingkungan dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri Karla sedang berlaku teori


(50)

perilaku yang merupakan salah satu faktor gangguan batin. Teori ini mengacu pada kurangnya keinginan individu berinteraksi dikarenakan depresi yang dialaminya.

“Dan saat ini aku hanya menginginkan Will.” (Morra 2010 : 120)

“Mereka benar tentang itu,bahwa orang tidak akan sadar apa yang mereka miliki sampai ia hilang. Dan aku sudah kehilangan Will.” (Morra 2010 : 121)

Semua yang dilakukannya hanya mengingatkannya pada Will. Dan sebenarnya Karla sangat membenci itu. Perasaan tertekan ini menimbulkan konflik batin pada diri Karla. Dalam hal ini, id dalam diri Karla terus menuntut ego untuk tetap memikirkan dan mencari tahu keberadaan Will, akan tetapi superego juga menekan ego bahwa hal itu tidaklah mudah mengingat memang tidak ada sedikit pun hal yang bisa menunjukkan dimana Will berada saat itu.

Karla ingin melupakan semua tentang Will. Namun semakin Karla mencoba untuk melupakannya, semua hal semakin mengingatkannya pada Will, dan pada akhirnya Karla harus menerima kekalahannya, ia jatuh sakit.

“Tiba – tiba aku merasa segenap amarah naik ke kepala—

sialan kamu,Will—disertai sejumlah material berputar pada perutku. Reaksi itu datang lagi, hingga aku harus berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semuanya di atas wastafel.” (Morra 2010 : 123)

“Mulutku pahit. Aku berkumur. Lalu kukeringkan, kembali ke kamar dan telentang di atas tempat tidur. Masih enam soal. Tiga yang pertama belum tentu benar. Kepalaku pusing. Tidak ada siapa – siapa.” (Morra 2010 : 124)


(51)

Pada saat itu juga tiba – tiba Will muncul. Karla tidak membutuhkan penjelasan apa – apa mengenai hilangnya Will. Begitu Will muncul di hadapannya Karla hanya ingin satu hal, tidak lagi kehilangan Will untuk kedua kalinya. Hal ini ditunjukkan pada paragraf berikut.

“Aku masih tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Kenapa dia tidak bisa dihubungi, ke mana dia waktu aku mendatangi rumahnya. Tapi, pada saat dia berada dekat di hadapanku, aku tahu aku hanya menginginkan ini. Aku tidak mau membahas apa – apa. Aku hanya menginginkan dia ada di dekatku. Itu lebih penting. Aku tidak peduli sisanya.” (Morra 2010 : 130)

Pada saat itu Karla sadar bahwa ia sudah jatuh cinta pada Will.

“Aku juga tahu aku sudah jatuh cinta padanya. Aku hanya tidak tahu sudah berapa lama.” (Morra 2010 : 134)

Namun kedatangan Will ke Singapura hanya sebentar, karena Will harus ke Boston untuk melanjutkan kuliah, katanya. Meskipun begitu, Karla sudah cukup tenang. Setidaknya ia tidak lagi harus merasa kehilangan Will karena ia sudah kini Will ada dimana dan sedang apa. Sementara Karla baru akan menyusul Will ke Amerika di awal tahun, mereka tetap berhubungan melalui telepon dan saling memberi kabar. Hal itu terus berlanjut sampai Karla pun sudah berada di Amerika. Mereka pun saling bertemu. Hingga pada akhirnya Karla lagi – lagi merasa kehilangan, kali ini bukan karena Will menghilang lagi dan tak ada kabar, tapi karena Will tiba – tiba menginginkan perpisahan. Saat itu Karla menemui Will ke apartemennya. Namun Karla belum menyadarinya, yang ia tahu ia hanya merindukan Will dan ingin bertemu dengannya.

“Aku tersenyum selama berada sendirian, di dalam lift.


(52)

panjang di sepanjang punggung yang tertutup mantel biruku. Senangkah Will bertemu denganku lagi? Keep you hair long, ucapnya dulu, you look pretty with it. Will. Akhirnya. Kupeluk tas karton berisi penutup topi wol yang kubeli di Rittenhouse, minggu sebelumnya, dan kaos kaki dari Mama untuknya. Aku benar-benar rindu. Saat inilah aku merasa benar-benar merindukan seseorang dalam hidupku.” (Morra 2010 :143)

Saat ia sudah bertemu dengan Will, pria itu hanya menyambutnya dengan dingin. Hal yang lebih membuat Karla terkejut adalah ketika ia mendapati Will merokok. Menit berikutnya lagi – lagi Karla tercengang ketika Will sambil menghisap rokoknya meminta untuk tidak lagi bertemu dengan alasan sudah mempunyai kekasih yang baru. Karla benar – benar merasa terpukul dengan apa yang didapatinya secara bersamaan.

“Kulihat matanya, lama, berharap menemukan ketidakbenaran kata - kata ini. Tapi sinar itu hanya mampu membangkitkan kembali sayangku dan mengingatkan bahwa aku masih rindu padanya. Saying yang kini terasa menyakitkan, rindu yang membuatku muak.” (Morra 2010 : 151)

Karla benar – benar marah dan kecewa pada Will. Namun rasa rindu yang begitu menggebu seperti membutakan hati Karla. Konflik batin yang dialaminya itu semakin menekan menekan hatinya.

“Tapi mungkin itu cuma bayangan rasa rinduku sendiri. Menyakitkan, ketika aku menyadari aku masih ingin meyanyanginya. Aku telah melakukannya selama bertahun – tahun, dengan dan tanpa kusadari. Will tahu itu. Rasanya aku masih bisa menyayanginya. Mencintainya. Meski ia kan punya gadis lain. Seperti selama ini.” (Morra 2010 : 154)

Setelah kejadian itu mereka tidak pernah bertemu lagi dan Karla memutuskan melanjutkan hidupnya mencoba melupakan Will dengan kesibukan


(53)

– kesibukan barunya di perkuliahan. Dalam hal ini, untuk menyelamatkan ego dari kecemasan, ego menghapuskan kehendak dengan menekan hasrat cinta Karla terhadap Will tetap berada dalam tidak sadar (id) dan tidak muncul ke kesadaran (ego) yaitu dengan bertemu dengan teman baru bernama Christianne Amanpour dan berkencan dengan Edward Casey untuk berusaha melupakan Will, walaupun sebenarnya ketegangan (kecemasan) tidak bisa diredam secara sempurna karena objek asli dari id yaitu naluri cinta Karla terhadap Will belum tercapai tujuannya sehingga selalu mendorong untuk muncul ke kesadaran (ego).

Karla harus menerima kenyataan pahit lagi, Casey yang mengencaninya ternyata sudah bertunangan dan Karla mengetahuinya setelah ia hamil atas hubungan bebasnya dengan Casey tanpa sebuah pernikahan. Gejala gangguan batin yang muncul dalam hal ini adalah mengacu pada teori agresi yang mengarah pada bagian dari nafsu bawaan yang bersifat merusak yang terjadi karena proses kehilangan terhadap objek yang dicintai. Untuk melupakan Will dan mencoba menunjukkan bahwa ia mampu bertahan tanpa Will membuat Karla hilang arah dan kendali dan menjerumus pada pergaulan yang salah dan mendapati dirinya harus menanggung akibat dari segala perbuatannya yang tidak terpuji.

“Pada akhir tahun kedua aku mengenal Edward Casey. Dia senior yang kukenal di salah satu kelas Psikologi Klinis— itulah saat yang kemudian mengubah hidupku. Aku dekat dengan Casey selama satu tahun. Di minggu – minggu berikutnya dia mengajakku nonton, meneytir ke Maine, dan itu menjadi saat pertama aku tidak pulang ke asrama. Kukira—saat itulah aku mulai melupakan Will. Aku menghabiskan beberapa malam bersama Casey. Di antaranya adalah saat yang menghadirkan Troy—seorang


(54)

anak laki-laki—dalam hidupku. Itu terjadi sebelum tunangannya tiba – tiba muncul di lobi kampus, semester berikutnya.” (Morra 2010 : 160)

Tidak diceritakan lebih lanjut bagaimana hubungan Karla dengan Casey. Hingga pada saat setelah itu ia kembali bertemu dengan Will di kampusnya dalam acara pekan raya musim semi dan sadar ia masih merindukan Will.

“Aku masih merindukan Will.” (Morra 2010 : 165)

Karla beranggapan Will tidak lagi ingin mengenalnya terlebih saat ia mengetahui Karla hamil tanpa suami. Dan mau tidak mau Karla memang harus menerima kenyataan itu.

“Kata-kata tentang pregnant itu membuat kedua kakiku terasa meleleh. Tapi, bukan itu yang menghantam segenap kesadaranku sekarang. Dan aku tidak perlu klarifikasi apa – apa untuk tahu. Will tidak ingin mengenalku lagi.” (Morra 2010 : 168)

Lima tahun berlalu setelah peristiwa itu. Karla tidak pernah lagi bertemu dengan Will. Ia melahirkan seorang anak laki – laki tanpa sebuah pernikahan, dan ia membesarkannya sendiri. Karla menjalani hidupnya sendiri dengan keluarga kecilnya. Sampai pada saat Beverly sahabatnya sewaktu kuliah memberitahukannya tentang sebuah terror di Boston, dan pelakunya adalah Will. Karla memutuskan menemui Chiara yang belakangan dia tahu adalah istri Will untuk mendapatkan penjelasan mengenai yang terjadi pada Will dan terror

di Boston. Pada saat itulah Karla menemukan satu fakta yang menyakitkannya, Will terkena kanker otak.

“Aku tidak tahu siapa yang salah. Will harusnya cerita— atau aku yang harusnya sudah tahu. Butuh bertahun – tahun


(55)

untuk sel kanker menyebar dalam sisitem sel saraf otak, kata Chiara, tapi Will sudah mengalami itu sejak kebutaannya di SMA.” ( Morra 2010 : 197)

Fakta – fakta berikutnya mengalir begitu saja. Karla akhirnya mengetahui alasan Will memutuskan hubungannya di Philadelphia adalah karena tidak ingin Karla mengetahui tentang penyakitnya. Perasaan Karla kembali harus dihadapkan dengan kenangan masa lalunya dengan Will yang sudah berusaha ia tutupi, ketika ia dengan rutin mengunjungi Will di rumah tahanan sejak diputuskan oleh hakim bahwa Will resmi menjadi tersangka daam kejadian terror di Boston itu, dan ia lagi – lagi tidak mampu menutupi perasaan yang ternyata masih ada itu.

“Tapi sekarang aku kembali. Tadinya aku merasa bahwa aku hanya perlu datang. Tapi ada bagian yang lain—entah apa—mungkin perasaan ingin terus melihatnya lagi.” (Morra 2010 : 219)

“Mungkin inilah yang membuatku terus datang kembali. Lagu lama itu, yang menggali lagi kuburan masa yang silam yang sudah berusaha kulupakan. Tentang mimpi-mimpi masa muda, dan saat-saat ketika kukira dia akan jadi orang yang hebat. Will, nobel Fisika, dan kehebatan nuklirnya.” (Morra 2010 : 222)

“Aku sudah tahu pergesekan emosi ini akan terjadi. Aku sudah merasakannya sejak pertama datang kembali ke Boston. Tapi aku tetap datang. Tadinya, kukira aku hanya perlu menjawab pertanyaan diriku sendiri—perhitungan bagaimana yang perlu kulakukan dengan orang ini—dan dalam perjalanan bus menuju tempat ini pertanyaan it uterus menggema di kepalaku. Tapi, dari setiap kedatangan seperti ini, kuburan kenangan tentangnya menjadi ceruk yang kian dalam. Menganga. Hingga aku bisa kembali menatap setiap detailnya.” (Morra 2010 : 222)

“Dan aku tidak suka menyadari bahwa aku masih juga sayang padanya.” (Morra 2010 : 222)


(56)

Berkali-kali dikatakan dalam novel bagaimana Karla yang mencoba menutupi perasaannya yang ternyata masih sayang Will namun selalu gagal, dan itu membuat Karla cukup tertekan.

“Tiba-tiba aku merasa takut dan marah—dan selama beberapa saat aku tidak tahu bagaimana mengatasinya.” (Morra 2010 : 227)

Selain itu, pada saat Karla melihat mata Will :

“Hanya matanya yang masih saja bersinar. Saat kutatap dia, aku menyadari betapa besar lubang yang telah tercipta di dalam hatiku.” (Morra 2010 : 227)

Juga terjadi lagi pada saat Will menatap Karla:

“Dia kembali menatapku. Rasa sayangku tumpah ruah seketika—dan entah bagaimana itu membuatku sangat kesal.” (Morra 2010 : 227)

Ketika Will mengatakan menerima segala putusan hakim, Karla lagi-lagi harus menyerah pada perasaannya.

“Aku bingung, sedih, marah. Sepenuh hatiku menolak kenyataan itu. Selama beberapa detik aku berpikir keras bagaimana mengatasinya, dan tidak berhasil, hingga akhirnya kusimpulkan satu hal saja—aku masih bisa mendoakan keberuntungannya.” ( Morra 2010 : 229)

“Karena bahkan dengan semua kenyataan dan misterinya ini perasaan sayang dalam hatiku tidak juga berubah. Hingga saat ini, saat semua orang di luar sana mencela dan membencinya. Aku masih begitu sayang. Meski seratus tahun lagi, bila ia masih hidp dan aku masih ada pada waktu itu.” (Morra 2010 : 247)

Penyesalan Karla yang tidak mencoba mencari tahu keberadaan dan alasan Will sangat dirasakannya di detik-detik ajal menjemput Will. Will dijatuhi hukuman mati oleh hakim atas tuduhan sebagai teroris. Gejala gangguan batin yang terjadi pada fase ini adalah mengacu pada teori kehilangan. Tokoh


(57)

Karla menyesali perpisahan dengan Will yang selama ini telah menjadi sosok yang sangat berarti dalam hidup Karla.

“Kami berdiri. Dia mengangkat tangan yang terbelenggu itu, membiarkan diriku masuk ke dalam lingkaran kedua lengannya. Saat itu setumpul sesal tumpah ruah dalam hatiku. Akan tahun-tahun yang terbuang sia-sia. Karena tidak ada lagi yang bisa kuubah.” ( Morra 2010 : 248)

“Kupeluk tas karton itu erat-erat. Kubiarkan tangisku tumpah.” (Morra 2010 : 260)

Will sudah tidak ada lagi di dunia tempat Karla berada saat ini, tetapi Karla tetap menyimpannya dalam hatinya.

4.2.2 Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama untuk Mengatasi Konflik Batinnya

Hasil dari konflik batin dan pertentangan yang terjadi di dalam diri Karla adalah kecemasan-kecemasan dalam dirinya, sehingga muncullah mekanisme pertahanan ego dalam diri Karla berupa strategi untuk meredakan kecemasan-kecemasan tersebut.

4.2.2.1 Proyeksi

Saat seseorang merasa cemas karena tekanan terhadap ego dari id atau superego, maka ia akan mencoba untuk meredakan kecemasannya dengan menimpakan sebabnya kepada dunia luar. Freud (dalam Hall, 1995 : 123) menyatakan bahwa proyeksi terdiri dari perbuatan memperlebar daerah perasaan dan pikiran seseorang ke seluruh lingkungan. Kita merasa bahagia dan mengira


(1)

Apa yang diharapkannya dilakukan oleh Alfan sebagai kekasihnya malah ia dapatkan dari sahabatnya Will. Pengalaman yang jauh berbeda sekali didapatkan Karla dari Will. Pada akhirnya setelah Karla menolak hubungan dengan pria seperti Alfan yang hanya memeberikannya kekecewaan, kemudian mengalihkan objek ke objek lain, yakni Will lelaki yang lebih penuh perhatian dan sayang kepadanya yang bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Dan Will mampu menarik hati Karla.

4.2.2.3 Regresi

Hall (1995:129) mengatakan bahwa sesudah mencapai taraf tertentu dalam perkembangannya seseorang dapat surut kembali kepada suatu taraf terdahulu karena ketidaktahuan. Ini dinamakan regressi (penyurutan). Juga orang-orang yang sehat dan normal melakukan regresi dari waktu ke waktu untuk mengurangi kecemasan, atau seperti mereka katakana, untuk membebaskan dirinya. Mereka merokok, mabuk, makan terlalu banyak, hilang kesabarannya, menggigit kukunya, memijit hidungnya, melanggar undang-undang, berbicara seperti bayi, merusak benda, melakukan masturbasi, dan lain-lain.

Dalam novel Forgiven Karla menyikapi keputusan Will untuk tidak lagi bertemu dengan cara meluapkan perasaannya dengan hubungan yang tidak terpuji. Sebagai akibatnya ia harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Tindakannya yang untuk menghilangkan kecemasannya terhadap rasa kecewa pada Will membuatnya berperilaku tidak wajar dan cenderung merusak dirinya


(2)

sendiri. Superego tidak bisa lagi mendominasi id , yang menginginkan hidup dengan kesabaran.


(3)

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan analisis tokoh dan penokohannya, dalam novel Forgiven terdapat tokoh utama bernama Karla sebagai tokoh bulat dan penokohannya dilakukan melalui dialog, percakapan batin, dan lakuan, pikiran dan cakapan batin tokoh utama, juga peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh utama. Wataknya yang tomboy, berpenampilan apa adanya, cenderung ingin seperti laki-laki, mandiri, tidak terlalu senang bergaul dengan perempuan sebayanya, dan agak tertutup menunjukkan sisi egosentrisnya. Ada hal-hal yang memang sudah melekat pada dirinya sejak lahir. Sedangkan sikap cengeng dan mudah menangis menunjukkan alurtrasinya. Tokoh utama mendapati dirinya menjadi sosok yang mudah menangis setelah beberapa kejadian yang dialaminya.

Kepribadian batin tokoh utama didominasi oleh superego. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tokoh utama untuk memperjuangkan dorongan-dorongan superego untuk mempertahankan egonya untuk tetap dapat menjalani kehidupannya dan menjauh dari hal-hal yang membuatnya tertekan. Meskipun demikian tokoh utama tetap mengalami kegagalan dalam mengatasi konflik batin yang dialaminya. Untuk melupakan rasa sakit yang di hatinya tokoh utama justru menghadirkan masalah baru dan lebih serius dengan melakukan hal – hal yang tergolong merusak dirinya karena keadaan mental yang jatuh kembali ke tahap terdahulu tanpa sadar.


(4)

Cerita rekaan yang meliputi penokohan, kepribadian, konflik batin, dan kecemasan tokoh utama menunjukkan bahwa Forgiven adalah novel psikologis. 5.2 Saran

Penelitian ini dilandasi konsep teori Sigmund Freud (1856-1939) yang mengemukakan tiga susunan kepribadian yaitu : id, ego, dan superego yang apabila bekerja sama dengan teratur maka memungkinkan untuk seorang individu bergerak secara efisien dan memuaskan dalam lingkungannya. Sebaliknya, jika ketiga susunan ini bertentangan satu sama lain, maka orang tersebut tidak bisa menyesuaikan diri. Ia tidak puas dengan dirinya sendiri dan dengan dunia: efisiensinya menjadi berkurang.

Dalam novel Forgiven, psikologi yang dikemukakan oleh Freud ini digunakan penulis untuk memahami aspek-aspek kejiwaan tokoh yang mengacu pada konflik batin tokoh utama.

Selanjutnya saran-saran dari rangkaian penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Perlu diadakan lagi penelitian lanjutan untuk mengungkap lebih tuntas konflik batin semua tokoh dalam novel Forgiven.

2) Perlunya menggunakan teori psikologi lain terutama yang menentang teori Freud, sehingga dapat ditemukan penyimpangan-penyimpangan kejiwaan tokoh-tokoh dalam novel Forgiven secara intensif.

3) Perlunya penggunaan ilmu-ilmu kepribadian lain agar interaksi antara sastra dan psikologi dalam novel Forgiven dapat lebih berkembang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Quatro, Morra. 2010. Forgiven “Yang Tak Terlupakan….” Jakarta : Gagas Media.

Ambarini, Ririn. 2008. “Konflik Batin Tokoh Utama Pendekatan Psikoanalisis Freud Terhadap Tokoh Utama” dalam Novel Poor Man’s Orange karya Ruth Park. Semarang : Universitas Diponegoro.

Aminuddin. 1990. “Metode Kualitatif dalam Penelitian Sastra” dalam Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang : YA3.

Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.

Buduri, Farida.2006. Novel Deana Pada Suatu Ketika : Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra.(Skripsi). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra “Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi”. Yogyakarta: Medpress (Anggota Ikapi).

Ernawati, Lissa. Novel Rojak Karya Fira Basuki : Analisis Psikosastra. (Skripsi). Medan : Universitas Sumatera Utara.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta : Muhammadiyah University Press.

Farida, Budurini. 2006. ”Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra” dalam Novel Deana Pada Suatu Ketika Karya Titie Said. (Skripsi). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Hall, Calvin S. 1995. “Seks, Obsesi, Trauma, dan Katarsis” dalam FREUD. Jakarta : Delapratasa.

Hanie, Ummu. 2012. Tokoh dan Penokohan dalam Novel Hikayat Zahra karya Hanan Al-Syaikh.(Skripsi). Depok : Universitas Indonesia.

Hornby, A.S. 1942. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Great Britain : Oxford University Press.


(6)

Koeswara. 1991. “Psikoanalisis, Behaviorisme, dan Humanistik” dalam Teori – Teori Kepribadian. Bandung : Eresco.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak :Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Poduska, Bernard. 1990. “Eksistensialis, Behavioris, Psikoanalitik, dan Aktualisasi Diri” dalam Empat Teori Kepribadian. Jakarta : Tulus Jaya. Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Santa, Iwan Aji. 2009. Metode Pendekatan Psikologi. Sidoarjo : Universitas Muhammadiyah.

Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta : Erlangga Press.

Suryabrata, Sumadi. 1966. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Taniputera, Ivan. 2005. Psikologi Kepribadian. Jogjakarta : Ar-ruzz. Sumber internet :

http://bintangmuhammad81.blogspot.com/2013/03/konflik-batin.html?m http://oktad.blogspot.com/2013/11/konflik-batin-novel-bumi-cinta.html?m=1 http://Forgivenes/id.Wikipedia.org/encyclopedia.html

http://nagabiru86.wordpress.com/2009/06/12/data-sekunder-dan-data-primer.html


Dokumen yang terkait

Konflik batin tokoh utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari serta implikasinya terhadap pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di MTS Al-Mansuriyah, Kec Pinang, Kota Tangerang

4 44 99

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Rintihan Dari Lembah Lebanon Karya Taufiqurrahman Al-Azizy: Tinjauan Psikologi Sastra.

0 2 12

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL Konflik Batin Tokoh Utama Novel Sang Maharani KArya Agnes Jessica : Tinjauan Psikologi Sastra.

0 0 12

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL MANJALI DAN CAKRABIRAWA KARYA AYU UTAMI: KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL MANJALI DAN CAKRABIRAWA KARYA AYU UTAMI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA.

0 1 12

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL HATI SINDEN KARYA DWI RAHAYUNINGSIH KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL HATI SINDEN KARYA DWI RAHAYUNINGSIH TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA.

0 1 12

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL MUNAJAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY : TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL MUNAJAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY : TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA.

1 3 11

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL PUSPARATRI KARYA NURUL IBAD: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA Konflik Batin Tokoh Utama Novel Pusparatri Karya Nurul Ibad: Tinjauan Psikologi Sastra.

0 0 11

PENDAHULUAN Konflik Batin Tokoh Utama Novel Pusparatri Karya Nurul Ibad: Tinjauan Psikologi Sastra.

8 55 27

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL PUSPARATRI KARYA NURUL IBAD: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA Konflik Batin Tokoh Utama Novel Pusparatri Karya Nurul Ibad: Tinjauan Psikologi Sastra.

0 0 16

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Forgiven - Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama Novel Forgiven Karya Morra Quatro : Analisis Psikologi Sastra

0 2 11