Deskripsi Konseptual

4. Teori ERG (Existence-Relatednes-Growth)

  Teori ERG dikemukakan oleh Clayton Alderfer seorang psikolog asal Amerika Serikat, kelahiran 1 September 1940, dimana teori ini merupakan simplifikasi dan pengembangan lebih lanjut dari teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Clayton Alderfer berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga

  kelompok

  kebutuhan

  inti,

  yaitu

  eksistensiexistence, eksistensiexistence,

  Ketiga kebutuhan pokok manusia ini diurai Aldelfer sebagai simplifikasi teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow sebagai berikut:

  a. Existence atau keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan tingkat rendah dari Maslow yaitu meliputi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman. Menurut teori ERG, eksistensi seseorang merupakan kebutuhan yang mendasar yang merupakan kebutuhan nyata setiap orang untuk mempertahankan eksistensinya itu secara terhormat. Mempertahankan eksistensi bukan hanya dapat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, namun juga dapat mempertahankan semua yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, antara lain harta kekayaan, jabatan, status sosial, perusahaan dan lain-lain.

  b. Relatedness atau hubungan mencakup kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang ingin mengaitkan keberadaannya dengan orang lain dan dengan lingkungannya. Dalam hal bisnis, kebutuhan berinteraksi ditunjukkan adanya kerjasama bisnis antara para pengusaha. Kerja sama tersebut dapat terjadi antara pengusaha dengan bank dalam hal pemenuhan modal. Atau dapat berupa hubungan antara konsumen dan supplier dalam hal pemenuhan pesanan atau jual beli. Hubungan baik yang dibangun oleh sebuah usaha dengan semua mitranya dapat menjaga eksistensi usaha tersebut.

  c. Growth atau pertumbuhan adalah kebutuhan yang pada dasarnya tercermin c. Growth atau pertumbuhan adalah kebutuhan yang pada dasarnya tercermin

  Teori ERG juga mengungkapkan bahwa sebagai tambahan terhadap proses kemajuan pemuasan juga proses pengurangan keputusan. Yaitu, jika seseorang terus-menerus terhambat dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan menyebabkan individu tersebut mengarahkan pada upaya pengurangan karena menimbulkan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang lebih rendah.

  Penjelasan tentang teori ERG Aldefer menyediakan sarana yang penting bagi manajer tentang perilaku. Jika diketahui bahwa tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dari seseorang bawahan misalnya, pertumbuhan nampak terkendali, mungkin karena kebijaksanaan perusahaan, maka hal ini harus menjadi perhatian utama manajer untuk mencoba mengarahkan kembali upaya bawahan yang bersangkutan memenuhi kebutuhan akan keterkaitan atau kebutuhan eksistensi. Teori ERG Aldefer mengisyaratkan bahwa individu akan termotivasi untuk melakukan sesuatu guna memenuhi salah satu dari ketiga perangkat Penjelasan tentang teori ERG Aldefer menyediakan sarana yang penting bagi manajer tentang perilaku. Jika diketahui bahwa tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dari seseorang bawahan misalnya, pertumbuhan nampak terkendali, mungkin karena kebijaksanaan perusahaan, maka hal ini harus menjadi perhatian utama manajer untuk mencoba mengarahkan kembali upaya bawahan yang bersangkutan memenuhi kebutuhan akan keterkaitan atau kebutuhan eksistensi. Teori ERG Aldefer mengisyaratkan bahwa individu akan termotivasi untuk melakukan sesuatu guna memenuhi salah satu dari ketiga perangkat

  Kebutuhan pemilik usaha akan eksistensi usaha, hubungan dengan pihak lain, dan perkembangan usaha dapat dipenuhi dengan menerapkan SAK ETAP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik).

5. Penerapan SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP)

  Menurut J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, penerapan adalah hal, cara atau hasil (Badudu Zain, 1996:1487). Adapun menurut Lukman Ali, penerapan adalah mempraktikan, memasangkan (Ali, 1995).

  Kehadiran SAK ETAP dengan prinsip kesederhanaan seharusnya dapat memudahkan UMKM dalam menyajikan laporan keuangan. SAK ETAP diharapkan dapat memberi kebebasan dalam berbisnis, kebebasan berinvestasi, dan membangun ekonomi kerakyatan berbasis UMKM bagi Indonesia. Apabila SAK ETAP diterapkan dengan baik, pihak UMKM akan terbantu dalam menyusun laporan keuangan baku yang merupakan bahan pertimbangan atau mata rantai dalam proses pengambilan keputusan yang sangat dibutuhkan pelaku bisnis, sekaligus berfungsi sebagai perwujudan pertanggungjawaban dari manajemen dalam menjalankan usahanya secara profesional. Dengan diterapkannya SAK ETAP dalam perusahaan, UMKM tentu akan memiliki data (keterangan) akurat yang tentunya sangat berguna bagi pelaku UMKM dalam upaya lebih meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi usaha.

  Dalam kata pengantar di SAK ETAP oleh Dewan Pengurus Nasional

  IAI menyatakan bahwa SAK ETAP, bukan SAK UKM, bertujuan untuk menciptakan fleksibilitas dalam penerapannya. SAK ETAP merupakan standar akuntansi keuangan yang berdiri sendiri dan tidak mengacu pada PSAK umum, sebagian besar menggunakan konsep biaya historis, mengatur transaksi yang umum dilakukan oleh UKM, bentuk pengaturan lebih sederhana dalam hal pengukuran, pengakuan, penyajian, dan pengungkapan, dan relative tidak berubah selama beberapa tahun (Ahalik, 2015:18).

  Studi terhadap penerapan SAK memberikan bukti bahwa Standar Akuntansi yang dijadikan pedoman dalam penyusunan laporan keuangan memberatkan bagi UKM (Wahdini Suhairi, 2006). Dalam penelitian Wahdini dan Suhairi (2006) studi yang sama juga pernah dilakukan di beberapa negara, dan menyimpulkan bahwa Standar Akuntansi yang dijadikan pedoman dalam penyusunan laporan keuangan memberatkan bagi UKM (Williams, Chen, Tearney, 1989; Knutson Hendry, 1985).

  Sekalipun memberatkan, penelitian tentang jenis informasi akuntansi yang disajikan dan digunakan oleh perusahaan kecil di Australia mengungkapkan bahwa informasi akuntansi utama yang banyak disiapkan dan digunakan perusahaan kecil adalah informasi yang diharuskan menurut undang-undang (statutory), yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas (Homes Nicholls, 1989).

  Standar akuntansi keuangan tidak lepas dari perihal informasi akuntansi, di mana standar keuangan keuangan merupakan tata cara formal yang berlaku sebagai acuan penyusunan laporan keuangan. Belkaoui (2000) Standar akuntansi keuangan tidak lepas dari perihal informasi akuntansi, di mana standar keuangan keuangan merupakan tata cara formal yang berlaku sebagai acuan penyusunan laporan keuangan. Belkaoui (2000)

  Kekurangan informasi akuntansi dalam manajemen perusahaan dapat membahayakan perusahaan kecil. Kondisi keuangan yang memburuk dan kekurangan catatan akuntansi akan membatasi akses untuk memperoleh informasi yang diperlukan, sehingga akan menyebabkan kegagalan perusahaan (Haswell dan Holmes, 1989; dalam Astuti, 2007).

  Tarmizi (2013) mengukur penerapan SAK ETAP menggunakan 3 indikator, yaitu akuntabilitas, tujuan dan kelengkapan informasi sesuai SAK ETAP. Menurut Eni Minarni (2014) implementasi SAK ETAP dapat diukur dengan 7 indikator terkait pemahaman pengukuran, pengungkapan dan penyajian akun-akun yang tercantum dalam SAK ETAP, yaitu: (1) penyajian laporan keuangan dengan menghilangkan pos-pos yang diatur dalam SAK-ETAP, (2) Proses penyajian laporan labarugi tanpa harus menyajikan labarugi komprehensif, (3) Proses pengungkapan modal, (4) Proses penyajian arus kas dengan menggunakan metode tidak langsung, (5) proses pengukuran properti investasi dengan menggunakan biaya, (6) proses pengakuan dan pengukuran aset tidak berwujud, (7) pembebanan biaya pinjaman langsung dibebankan.

  Sedangkan Supadmi (2015) mengukur implementasi SAK ETAP dengan 6 indikator yang diadopsi dari pedoman SAK ETAP yang disusun oleh IAI tahun 2009, yaitu: (1) Mengakui semua aset dan kewajiban sesuai

  SAK ETAP, (2) Tidak mengakui aset dan kewajiban jika tidak diijinkan oleh SAK ETAP, (3) Mereklasifikasi pos-pos yang sebelumnya menggunakan SAK yang berlaku umum menjadi SAK ETAP, (4) Menerapakan pengukuran aset dan kewajiban yang diakui sesuai SAK ETAP, (5) SAK ETAP membantu pengontrolan masuk dan keluar keuangan perusahaan, (6) SAK ETAP memberi kemudahan dalam penyajian laporan keuangan perusahaan.

  SAK ETAP merupakan standar akuntansi keuangan yang diperuntukkan oleh entitas tanpa akuntabilitas publik, salah satunya ialah UMKM. Sehingga, dengan kata lain, penerapan SAK ETAP adalah tindakan pelaksanaan atau pemanfaatan keterampilan pengetahuan baru di bidang akuntansi keuangan (dalam hal ini SAK ETAP) untuk suatu kegunaan ataupun tujuan khusus perusahaan.

6. Persepsi Pengusaha UMKM

  Sesuai dengan perkembangan UMKM dalam melaporkan laporan keuangannya, kini telah dikeluarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Penerapan standar akuntansi ini diharapkan dapat memberi gambaran kinerja manajemen UKM di masa lalu dan prospek di masa depan, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan baik oleh pengurus maupun oleh anggota UKM dan pihak eksternal yang memiliki kepentingan lain yang berhubungan dengan UKM. Sejak diberlakukannya SAK ETAP, persepsi dari berbagai pihak muncul sebagai tanggapan atas tingkat efektifitas, efisiensi, tingkat kemudahan maupun kegunaan

  (kebermanfaatan) adanya standar yang baru (Supadmi, 2015). Pada dasarnya, sebuah perubahan sistem yang mampu memberikan kegunaan pada penggunanya maka sistem tersebut akan diterima dengan baik dan begitu pula sebaliknya, apabila sistem tersebut tidak bermanfaat atau menyulitkan maka akan ditinggalkan oleh penggunanya (Robbins, 2002). Wibowo (2006) mengatakan bahwa persepsi kemudahan penggunaan sebuah teknologi didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya bahwa sebuah informasi dengan mudah dapat dipahami dan digunakan. Fitakurokkmah (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa persepsi kegunaan dan persepsi kemudahan penggunaan berpengaruh positif dalam penggunaan SAK ETAP oleh BPR di Malang Raya.

  Beberapa penelitian tentang penerapan PSAK No.30 mengenai perlakuan akuntansi sewa guna usaha aktiva tetap dan pengaruhnya pada neraca dan laporan laba rugi perusahaan oleh Ria (2008) dan penerimaan suatu sistem baru atas dasar penerimaan konsumen terhadap penggunaan teknologi yang telah dilakukan melalui perluasan teori Technology Acceptance Model (TAM). TAM yang pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1989) mengemukan bahwa persepsi konsumen atas Persepsi Kebergunaan (Perceived of Usefullness) dan Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Easy of Used) adalah faktor utama yang mempengaruhi segi penggunaan atau pengadopsian teknologi. Wibowo (2006) mengatakan bahwa persepsi kemudahan penggunaan sebuah teknologi didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya bahwa sebuah informasi dengan mudah dapat Beberapa penelitian tentang penerapan PSAK No.30 mengenai perlakuan akuntansi sewa guna usaha aktiva tetap dan pengaruhnya pada neraca dan laporan laba rugi perusahaan oleh Ria (2008) dan penerimaan suatu sistem baru atas dasar penerimaan konsumen terhadap penggunaan teknologi yang telah dilakukan melalui perluasan teori Technology Acceptance Model (TAM). TAM yang pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1989) mengemukan bahwa persepsi konsumen atas Persepsi Kebergunaan (Perceived of Usefullness) dan Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Easy of Used) adalah faktor utama yang mempengaruhi segi penggunaan atau pengadopsian teknologi. Wibowo (2006) mengatakan bahwa persepsi kemudahan penggunaan sebuah teknologi didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya bahwa sebuah informasi dengan mudah dapat

  Persepsi kemudahan merupakan tingkatan dimana seseorang percaya bahwa teknologi mudah untuk dipahami (Davis, 1989: 320). Definisi tersebut juga didukung oleh Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa persepsi tentang kemudahan penggunaan sebuah teknologi didefinisikan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya bahwa teknologi tersebut dapat dengan mudah dipahami dan digunakan.

  Persepsi Kegunaan adalah suatu tingkatan dimana seseorang percaya bahwa suatu penggunaan teknologi tertentu akan meningkatkan prestasi kerja orang tersebut (Davis 1989: 320). Adamson dan Shine (2003) mendefinisikan Persepsi Kegunaan sebagai konstruk kepercayaan seseorang bahwa penggunaan sebuah teknologi tertentu akan mampu meningkatkan kinerja mereka.

  Schiffman dan Kanuk dalam Rudiantoro (2010) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses dari individu dalam memilih, mengelola dan menginterpretasikan suatu rangsangan yang diterimanya ke dalam suatu penilaian terkait apa yang ada disekitarnya. Selain itu, menurut Slameto (2010) persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. Sedangkan menurut Robbins (2003), persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan Schiffman dan Kanuk dalam Rudiantoro (2010) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses dari individu dalam memilih, mengelola dan menginterpretasikan suatu rangsangan yang diterimanya ke dalam suatu penilaian terkait apa yang ada disekitarnya. Selain itu, menurut Slameto (2010) persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. Sedangkan menurut Robbins (2003), persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan

  Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu (dalam hal ini, pengusaha UMKM) yaitu pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau penginterprestasian terhadap apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah laku atau disebut sebagai perilaku individu.

7. Umur Usaha

  Menurut Poerwadarminta (2003:133) definisi umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Sedangkan dalam Undang- Undang No.8 tahun 1997 perusahaan didefinisikan sebagai berikut:

  “Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba , baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan, maupun badan usaha yang berberentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan di wilayah Indonesia”.

  Dari kedua pengertian terpisah tersebut dapat diketahui bahwa definisi dari umur perusahaan adalah lama waktu hidup atau ada suatu oraganisasi atau bentuk usaha yang bergerak dalam bisnis dan memiliki tujuan memperoleh keuntungan atau laba.

  Menurut Widiastuti (2002) dalam Rahmawati (2012:187) menyatakan bahwa: “Umur perusahaan dapat menunjukkan bahwa perusahaan tetap eksis Menurut Widiastuti (2002) dalam Rahmawati (2012:187) menyatakan bahwa: “Umur perusahaan dapat menunjukkan bahwa perusahaan tetap eksis

  Nugroho (2012) mendefinisikan umur perusahaan sebagai berikut: “Umur perusahaan merupakan awal perusahaan melakukan aktivitas operasional hingga dapat mempertahankan going concern perusahaan tersebut atau mempertahankan eksistensi dalam dunia bisnis.”

  Pengukuran umur perusahaan dihitung sejak berdirinya perusahaan sampai dengan data observasi (annual report) dibuat (latifah et al, 2011). Umur perusahaan harus diukur dari tanggal pendiriannya maupun dari tanggal terdaftarnya di BEI. Umur perusahaan dalam penelitian Owusa dan Ansah (2000) menggunakan umur perusahaan dari tanggal perusahaan terdaftar di bursa efek. Menurut Elyana (2016) umur usaha diukur dari sejak pertama kali usaha didirikan hingga penelitian dilakukan.

  Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa umur perusahaan adalah lamanya waktu hidup suatu perusahaan yang menunjukkan bahwa perusahaan tetap eksis, mampu bersaing dalam dunia usaha dan mampu mempertahankan kesinambungan usahanya serta merupakan bagian dari dokumentasi yang menunjukan tujuan dari perusahaan tersebut.

8. Sosialisasi dan Pelatihan

  Kegiatan sosialisasi dan pelatihan terkait pembukuan bagi UMKM memiliki andil yang cukup besar dalam mensukseskan sosialisasi dan Kegiatan sosialisasi dan pelatihan terkait pembukuan bagi UMKM memiliki andil yang cukup besar dalam mensukseskan sosialisasi dan

  Menurut Sudarmanto, mengutip Raymond Noe (2009) pelatihan merupakan usaha yang direncanakan oleh perusahaan (organisasi) untuk memfasilitasi pembelajaran kompetensi karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan. Dan masih menurut Sudarmanto, mengutip Bernardin (2009) pelatihan (training) merupakan segala kegiatan untuk meningkatkan kinerja individu atau pegawai sesuai dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegangnya atau berhubungan dengan tugas saat ini.

  Sedangkan Menurut Kaswan (2011) Pengembangan merupakan upaya memberikan kemampuan kepada karyawan yang di perlukan organisasi di masa yang akan datang.

  Menurut Mustofa (2007) menjelaskan bahwa: “Sosialisasi adalah suatu konsep umum yang dimaknakan sebagai proses

  dimana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berfikir, merasakan dan bertindak dimana kesemuanya itu merupakan hal- hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif”.

  Sedangkan menurut Basamalah (2007:69) menjelaskan bahwa:

  “Sosialisasi adalah sebagai suatu proses dimana orang-orang mempelajari sistem nilai, norma dan pola perilaku yang diharapkan oleh kelompok sebagai bentuk transformasi dari orang tersebut sebagai orang luar menjadi organisasi yang efektif”.

  Sedangkan Menurut Hasibuan (2006) pelatihan (training) dimaksudkan Sedangkan Menurut Hasibuan (2006) pelatihan (training) dimaksudkan

  Beberapa pendapat para ahli mengenai definisi pelatihan adalah Noe, Hollenbeck, Gerhart Wright (2003) mengemukakan, pelatihan merupakan suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh para pegawai. Pengertian lain menurut Gomes (2003), pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Sementara menurut Robbins, Stephen P, (2001:282), menunjukkan bahwa pelatihan yang dimaksudkan disini adalah pelatihan formal yang direncanakan secara matang dan mempunyai suatu format pelatihan yang terstruktur.

  Bernardin dan Russell (1998:172) mendefinisikan pelatihan didefinisikan sebagai berbagai usaha pengenalan untuk mengembangkan kinerja tenaga kerja pada pekerjaan yang dipikulnya atau juga sesuatu berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini biasanya berarti melakukan perubahan perilaku, sikap, keahlian, dan pengetahuan yang khusus atau spesifik. Dan agar pelatihan menjadi efektif maka di dalam pelatihan harus mencakup suatu pembelajaraan atas pengalaman-pengalaman, pelatihan harus menjadi kegiatan keorganisasian yang direncanakan dan dirancang didalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang teridentifikasi.

  Pengertian lain disampaikan Gomez-Mejia, Balkin, dan Cardy

  (2001:259), pelatihan biasanya dilaksanakan pada saat para pekerja memiliki keahlian yang kurang atau pada saat suatu organisasi mengubah suatu system dan para perlu belajar tentang keahlian baru. Menurut DeCenzo dan Robin (1999:227), pelatihan adalah suatu pengalaman pembelajaran di dalam mencari perubahan permanen secara relatif pada suatu individu yang akan memperbaiki kemampuan dalam melaksanakan pekerjaannya itu.

  Menurut Firmansyah (2013), konstruk pelatihan dapat diukur menggunakan variabel pengalaman usaha berdasarkan konsep Astuti (2005) dengan indikator: (1) Keikutsertaan responden dalam kegiatan pelatihan, (2) Perlunya pelatihan sesuai bidang usaha untuk meningkatkan kinerja, (3) Kesediaan mengikuti pelatihan, dan (4) Pelatihan penting untuk memperbaiki kinerja.

  Sosialisasi SAK ETAP dimaksudkan sebagai suatu mekanisme penyampaian informasi mengenai SAK ETAP kepada pelaku UMKM sebagai target penggunanya melalui berbagai pola dan bentuk kegiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk membuat pelaku UMKM menjadi tahu bahkan memahami SAK ETAP. Sebagai kelanjutannya, diharapkan informasi mengenai standar ini mendorong implementasi SAK ETAP pada UMKM ke depannya dalam membantu pengembangan keterampilan manajemen keuangan UMKM serta mendukung pengambilan keputusan bagi UMKM.

  Pada dasarnya kegiatan sosialisasi ialah bagian dari proses komunikasi informasi SAK ETAP dalam rangka peningkatan kesadaran pelaku UMKM Pada dasarnya kegiatan sosialisasi ialah bagian dari proses komunikasi informasi SAK ETAP dalam rangka peningkatan kesadaran pelaku UMKM

  Sosialisasi SAK ETAP sebenarnya merupakan salah satu bentuk pendidikan manajemen dan pengelolaan keuangan yang penting dalam rangka mendukung penerapan praktik akuntansi yang baku dengan cara memberikan pengetahuan mengenai SAK ETAP bagi pengusaha UMKM.

  Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penerimaan informasi dan sosialisasi sangat penting artinya dalam menciptakan pengetahuan perilaku UMKM mengenai SAK ETAP, sedangkan tingkat pengetahuan itu sendiri merupakan suatu model awal yang sangat penting artinya untuk membantu subjek menerapkan SAK ETAP kedepannya.

  Sebagai suatu standar yang menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi, SAK ETAP pun akan terus mengalami penyempurnaan seperti halnya PSAK lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, sosialisasi SAK ETAP akan menjadi suatu proses yang berkesinambungan dan kontinyu karena pengetahuan akuntansi bukanlah hal yang statis dan membutuhkan penyebaran informasi yang berkelanjutan.

  Sudah tujuh tahun lamanya SAK ETAP dikeluarkan guna membantu pelaku UMKM dan pelaku usaha tanpa akuntabilitas publik secara keseluruhan. Setelah disahkan pada bulan Mei 2009, IAI dan DSAK yang bekerja sama dengan institusi lainnya berusaha memberikan sosialisasi Sudah tujuh tahun lamanya SAK ETAP dikeluarkan guna membantu pelaku UMKM dan pelaku usaha tanpa akuntabilitas publik secara keseluruhan. Setelah disahkan pada bulan Mei 2009, IAI dan DSAK yang bekerja sama dengan institusi lainnya berusaha memberikan sosialisasi

  Pada dasarnya, proses sosialisasi SAK ETAP telah dimulai sejak peluncuran rancangan SAK ETAP sebagai Exposure Draft pada awal tahun 2009 yang kemudian disebarluaskan dan didistribusikan melalui website, majalah, buku, dan dipublikasikan dalam media cetak lainnya. Setelahnya, dilakukan proses dengar pendapat (public hearing) mengenai ED tersebut pada tanggal 3 Maret 2009. Kedua tahap ini merupakan tahapan yang dilakukan dalam proses penerbitan atau revisi suatu SAK. Pada tahap ini, masyarakat umum serta dari pihak akademisi dan praktisi diperbolehkan untuk memberikan tanggapan dan komentar selama batas waktu yang ditetapkan. Ini merupakan suatu tahap penting yang bertujuan untuk melakukan koreksi, perbaikan dan penyempurnaan SAK yang diterbitkan, sebagaimana selain itu IAI juga menarik pelatihan masyarakat dengan publikasi ED tersebut sehingga timbul kepedulian mengenai SAK baru yang akan diterbitkan.

  Selama proses ini berlangsung, DSAK telah menerima surat mengenai berbagai saran penyempuraan, melakukan dengar pendapat terbatas dengan Bank Indonesia, Departemen Koperasi dan UMKM, serta pemangku kepentingan atau calon pengguna standar tersebut. Kemudian tanggapan dan komentar yang diterima diproses oleh IAI dan SAK ETAP resmi ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2009.

  Setelah pengesahan, dimulailah proses sosialisasi SAK yang telah baku ke berbagai pihak dalam masyarakat. Dalam tahap ini, IAI berkewajiban membantu proses pemahaman dan implementasi SAK sehingga pengguna dapat mengimplementasikan SAK tersebut dengan tepat dan akurat yang kemudian membawa pada terciptanya laporan keuangan yang transparan dan komparabel sesuai dengan tujuan SAK yang ditetapkan.

  Adapun proses sosialisasi yang dilakukan umumnya mencakup informasi mengenai hal-hal berikut:

  1) Pemberlakuan SAK ETAP sebagai SAK bagi Entitas Tanpa Akuntabilitas

  Publik termasuk UKM

  2) Perbedaan SAK ETAP dengan PSAK yang berlaku umum