Sejarah singkat lahirnya temuan tentang Kecerdasan Ruhaniah

1. Sejarah singkat lahirnya temuan tentang Kecerdasan Ruhaniah

Sebelum lebih jauh untuk membahas kecerdasan ruhaniah konselor, ada baiknya penulis membahas sejarah singkat munculnya temuan tentang kecerdasan ruhaniah, guna memperjelas arah pembahan skripsi ini. Akhir-akhir ini banyak diterbitkan buku yang berkaitan dengan kecerdasan, apakah itu namanya Intelligence Question (IQ), Emotional Inteligence (EQ), dan terakhir Spritual Inteligence (SQ) yang justru dipelopori oleh penulis Barat yang bersifat sekuler dan ditulis dengan pendekatan rasional. Pada umumnya penulis Barat berpendapat bahwa penjelasan ilmiah sudah lebih mencakup sehingga hal yang bersifat transcendental, pemikiran keagamaan, keyakinan akan adanya neraka dan surga atau kehidupan akhirat, dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak empiris, diluar otoritas pemikiran ilmiah dan karenanya hanya sebuah ilusi belaka. Bahkan, dengan lantang mereka berkata religion is a paison „agama itu racun‟.

Selama bertahun-tahun kita terpesona dengan penemuan Barat tentang IQ (intelligence Questient). Bahwa mereka yang cerdas adalah mereka yang memiliki kecerdasan nilai intelektual tinggi yang dapat diukur secara kuantitatif melalui battery test. Studi tentang IQ ini pertama kali dipelopori oleh Sir Francis Galton pengarang Heradity Genius (1869) dan kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan

Simon, pada umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya nalar (reasoning), pembendaharaan kata dan penyelesaian masalah (vocabulary and problem solving ) sampai akhirnya Daniel Goleman memperkenalkan apa yang disebut dengan EQ (Emotional Intelligence) dengan menunjukkan bukti empirisnya dari penelian bahwa orang-orang yang IQ tinggi tidak menjamin untuk sukses. Sebaliknya, orang yang memiliki EQ, banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Belum lagi penemuan Goleman ini dikaji lebih dalam, muncul pula SQ (Spritual Intelegence) yang dipelopori Dannah Zohar, sarjana fisika dan filsafat.

Walaupun sudah di kemukakan beberapa aspek kecerdasan, apakah intelektual (IQ), Emosional (EQ), dan terakhir Spritual (SQ), tidak serta merta berangkat dari nilai-nilai keagamaan. Pendekatan mereka tetap berorientasi pada pendekatan rasional natural dan sekuler. Kalaupun ada garis singgung dengan keagamaan, hal tersebut tetap dikajinya dalam prespektif humanisme, sebuah kenyataan yang melekat pada diri manusia. Dengan demikian kecerdasan spiritual yang datang dari Barat ini lebih menekankan pada makna spiritual sebagai potensi yang khas didalam jasad, tanpa mengaitkannya secara jelas dengan kekuasaan dan kekuatan Tuhan.

Hal inilah yang melatar belakangi seorang ilmuan muslim K.H Toto Tasmara membuat buku dengan judul “Kecerdasan Ruhaniah

(Transcendental Intelligence)” hal ini dimaksud sebagai bahan pembanding atas pemikiran Barat tentang kecerdasan pritual yang bersifat rasional, sekuler, materalistik tersebut. Dari sudut pandang kita sebagai seorang muslim, kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan yang berpusatkan pada rasa cinta yang mendalam kepada Allah Rabbul-

„Alamin dan seluruh ciptan-Nya. Sebuah keyakinan yang mampu mengatasi seluruh perasaan yang bersifat jasadi, bersifat sementara dan fana. Kecerdasan ruhaniah justru merupakan esensi dari seluruh kecerdasan yang ada, atau dapat dikatakan, sebagai kecerdasan spiritual plus, dan plusnya itu berada pada nilai-nilai keimanan kepada Ilahi. Pesan-pesan keilahian itu telah melekat secara fitrah pada saat manusia masih dalam alam ruhani, sebagaiman firmannya,

Artinya : dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya

Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", 72 (QS Al- A‟raf: 172)

Kita menyadari betapa banyak diantar kita yang hanya terpesona dan sangat bersemangat pada masalah ritual keagamaan dan kurang mempraktekkan nilai-nilainya dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa kita sadari kita beragama hanya sebatas pengetahuan, bukan penghayatan apalagi pengamalan nilai-nilainya, sehingga seorang yang memiliki pengetahuan agama belum tentu memiliki kecerdasan ruhaniah. Memang benar, sebagaimana budaya Timur pada umumnya, kitapun melihat begitu banyak upacara peringatan keagamaan yang bersifat sakramen, ritual seremonial, walaupun belum tentu optimal memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku. Padahal sungguh besar biaya yang dikeluarkan untuk hal tersebut. Misalnya untuk peringatan Isra‟ Mikraj, jika setiap mesjid melakukan peringatan dengan biaya Rp

1. 000.000,- dan bila ada satu juta mesjid yang melakukan peringatan berapa besar dana yang dikeluarkan untuk itu. Begitu juga dengan pembangunan fisik keagamaan seperti mesjid dan mushallah yang di bangun dengan megah dan indahnya namun hanya ramai dihari jum‟at dan hari tertentu saja, tetapi betapa sepinya dihari-hari lain.

Peringatan keagamaan dan pembangunan fisik keagamaan itu penting namun yang jauh lebih penting dari itu semua adalah bagaimana peringatan keagamaan tersebut memberikan dampak atau pengaruh terhadap kecerdasan ruhaniah pelaku dan penganutnya terkhusus pribadi