Observasi radiometrik, analisis karakteristik reflektansi spektral dan perumusan indeks pembeda karang

(1)

OBSERVASI RADI OMETRI K,

ANALI SI S KARAKTERI STI K REFLEKTANSI SPEKTRAL

DAN PERUMUSAN I NDEKS PEMBEDA KARANG

NURJANNAH

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa disertasi ”Observasi Radiometrik, Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Perumusan Indeks Pembeda Karang” adalah karya saya sendiri dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terkait dengan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2006

Nurjannah


(3)

ABSTRAK

NURJANNAH. Observasi Radiometrik, Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Perumusan Indeks Pembeda Karang. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, VINCENTIUS SIREGAR dan

INDRA JAYA.

Setiap benda mempunyai struktur partikel yang berbeda. Perbedaan struktur ini mempengaruhi pola respon elektromagnetiknya, sehingga pengenalan atas perbedaan respon elektromagnetik tersebut dapat dijadikan landasan untuk membedakan karang. Karakteristik karang dapat dideterminasi melalui pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetiknya.

Penginderaan jauh merupakan teknologi yang mampu mengidentifikasi dan merekam pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik obyek. Saat ini, citra satelit semakin berkembang dan luas pemanfaatannya dalam memetakan dan memantau perubahan pada ekosisitem terumbu karang. Walaupun demikian masih perlu dikembangkan analisis kuantitatif yang dapat mendiskriminasi karang melalui pendekatan sifat optik karang yang menghubungkan antara sinyal elektronik yang diterima oleh sensor dengan sinyal optik dari komunitas bentik terumbu karang sebagai hasil dari proses biologi pada ekosistem terumbu karang.

Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan kuantitatif antara reflektansi spektral dengan kandungan zooxanthellae karang dan sifat optik kolom air, serta mengembangkan algoritma untuk mendeterminasi karang melalui analisis karakteristik reflektansi spektral. Untuk tujuan ini, dilakukan observasi radiometrik secara in situ, pengamatan visual dan perekaman gambar pada 16 jenis karang yakni Porites lutea, Montipora ramosa, Pachyeris speciosa, Acropora nasuta, Acropora farmosa, Acropora palifera, Acropora valenceinnesi, Sinularia sp.1, Symphillia agaricia, Sinularia sp.2, Goniopora, Porites sp., Diploastrea heliopora, Porites rus, Leptoseris foliosa dan Sinularia sp.3. Akuisisi data spektral dilakukan pada bulan Agustus 2005 di Pulau Barrang Lompo, Kepulauan Spermonde menggunakan radiometer multispektral yang bekerja pada panjang gelombang 460, 510, 560, 610, 660, 710, 760 dan 810nm, dan pencacahan jumlah zooxanthellae menggunakan haemocytometer. Langkah-langkah pengolahan dan analisis yang dilakukan adalah 1) Analisis pemisahan dan diskripsi spektral, 2) Analisis kelompok (Cluster Analysis), 3) Analisis korelasi (Correlation Analysis), 4) Analisis diskriminan (Discriminant Analysis), 5) Analisis regresi sederhana, regresi berganda dan regresi dummy (DummyRegression).

Hasil analisis ragam (ANOVA) reflektansi spektral antara 16 jenis karang menunjukkan bahwa nilai reflektansi spektral pada semua panjang gelombang signifikan (P<0,05) berbeda di antara jenis karang. Hasil analisis pengelompokan menunjukkan similaritas spektral yang tinggi, baik dalam dan antar 16 spesies karang begitupula hasil koefisien korelasi Pearson menunjukkan korelasi positif yang kuat (R=0,99) antara seluruh nilai rata-rata spektral dan menampakkan variabilitas yang rendah antara spektral pada karang yang berbeda. Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa panjang gelombang cahaya hijau mendekati kuning (560nm) dan cahaya kuning mendekati oranye (610nm), mampu mendiskriminasi 16 jenis karang dengan baik. Kandungan zooxanthellae 3 jenis karang (Symphillia agaricia, Pachyeris speciosa dan Porites rus) berpengaruh kuat (R2= 0,53 hingga 0,84) terhadap reflektansi spektral pada panjang gelombang cahaya hijau mendekati kuning (560nm), cahaya kuning mendekati oranye (610nm) dan cahaya oranye mendekati merah (660nm) serta menunjukkan pola korelasi negatif. Parameter optik kolom air tidak berpengaruh terhadap reflektansi spektral karang pada panjang gelombang cahaya hijau (510nm) dan cahaya merah mendekati inframerah dekat (710nm).

Hasil regresi Dummy menunjukkan bahwa yang dominan mempengaruhi reflektansi spektral adalah pengaruh jenis karang dan kandungan zooxanthellae (R2=0,502) pada panjang gelombang cahaya oranye mendekati kuning (610nm).

Hasil perumusan indeks pembeda karang dapat digunakan untuk mendeterminasi 16 jenis karang yang diteliti melalui identifikasi karakteristik spektral. Pantulan sinyal dari karang berpengaruh sebesar 27,3% – 50,2% terhadap karakteristik reflektansi spektral, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat komponen lain (tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini) yang secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap karakteristik reflektansi spektral karang.


(4)

ABSTRACT

NURJANNAH. Radiometric Observation, Analysis of Spectral Reflectance Characteristic and Formulation of Coral Determination Index. Dissertation advisory: DEDI SOEDHARM A, VINCENTIUS SIREGAR AND INDRA JAYA.

All matter reflects, absorbs, penetrates and emits electromagnetic radiation in a unique way. The unique characteristics of matter are called spectral characteristics. All matter is composed of atoms and molecules with a particular composition and will emit or absorb electromagnetic radiation at a particular wavelength with respect to the inner state. Remote sensing data obtained in the visible and reflective infrared regions mainly depends on reflectance of communities on the coral reefs. Therefore, information about coral can be obtained from the spectral reflectance. Remote sensing technology has many attributes that would be useful for monitoring submerged coral reef ecosystems with the ability to revisit a large study are repetitively and consistently without the necessity of large teams of field researchers. However, in order to map and monitor changes in coral reef geographics extent and health successsfully, a quantitative procedure must first be developed to discriminate different coral community/species.

The aim of this study is to explore the differences in spectral reflectance characteristics of various coral features and to explorer the contribution of zooxanthellae and optic properties of aquatic substances with spectral characteristic pattern through quantitative identification method. High spectral resolution in situ data were collected with a multispectral radiometer on several of expose coral feature in Barrang Lompo Island, the Spermonde Isles. A field campaign was designed to collect reflectance data with a multispectral radiometer to test the hypothesis that there is a difference in spectral reflectance characteristics of various coral (16 coral various). The collected spectra were divided into populations of Porites lubata, Montipora ramosa, Pachyeris speciosa, Acropora nasuta, Acropora farmosa, Acropora palifera, Acropora valenceinnesi, Sinularia sp. 1, Symphyllia agaricia, Sinularia sp. 2, Goniastrea sp, Porites cyncira, Diploastrea heliopora,

Agaricia incrustan, Leptoseris foliosa and Sinularia sp. 3 based on feature type according to field notes and photographic records. The analysis steps were : 1) Initial examination and description of spectral, 2) Cluster analysis, 3) Correlation Analysis, 4). Discriminant Analysis, 5) Regression Analysis and Dummy Regression.

The results of variance analysis (ANOVA) of spectral reflectance among 16 corals show that the value of spectral reflectance measurements in all wavelengths (460 – 810nm) is significantly different from one species to the others. The cluster analysis define a high similarity in those corals, in addition Pearson correlation expressed a strong positive correlation and also low variability. Discriminant analysis shows that 560nm and 610nm are able to clearly discriminate corals. The content of zooxanthellae in three coral types (Symphillia agaricia, Pachyeris speciosa

and Porites rus) strongly influence the spectral reflectance in the green close to yellow light (560nm), in the yellow close to orange light (610nm) and in the orange close to red light (660nm) also define negative correlation. The optical property of waters doesn’t influence spectral reflectance in the green light wavelength (510nm) and the red light close to near infrared (710nm).

The dummy regression result show the dominant influence reflectance spectral is coral types and zooxanthellae content in the orange close to yellow light wavelength (610nm). The result of Coral Determination Index obtained can be used to discriminate the 16 coral types through spectral characteristic identification.

The coral signal reflection influences the spectral reflectance of 27.3% - 50.2%. It can be conclude that other components which are not yet counted in this research influence the coral spectral characteristic.


(5)

OBSERVASI RADI OMETRI K,

ANALI SI S KARAKTERI STI K REFLEKTANSI SPEKTRAL

DAN PERUMUSAN I NDEKS PEMBEDA KARANG

OLEH :

NURJANNAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR


(6)

Judul Disertasi : Observasi Radiometrik, Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Perumusan Indeks Pembeda Karang

Nama : Nurjannah

NRP : C 626010031

Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Peneliti lahir di Kota Pare-Pare pada tanggal 18 September 1969 dari ayah H. Nurdin (almarhum) dan ibu Hj. Ramlah (almarhumah). Penulis merupakan putri ke-enam dari tujuh bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Teknologi Kelautan, Universitas Hasanuddin tahun 1994. Pada tahun 1995 penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Teknologi Kelautan dan tamat pada tahun 1998. Selanjutnya penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui beasiswa BPPS, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, DEPDIKNAS.

Sejak tahun 1997 sampai saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Karya ilmiah berjudul Study on the Conditions and Characteristics of Bottom on the Small Island Ecosystem by Satellite Imagery: Case Study in Spermonde Isles in Makassar Strait telah disajikan pada Proceeding PAN Ocean Remote Sensing Conference, Bali pada bulan September 2002. Dua artikel akan diterbitkan (submitted) pada jurnal Ilmu Kelautan (Indonesian Journal of Marine Science) dengan judul 1) Analisis Reflektansi Spektral dengan Radiometer Multispektral (MSR) pada Karang Massive dan 2) Analisis Reflektansi Spektral dengan Radiometer Multispektral pada Karang Sub Massive Bercabang. Artikel lain berjudul Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dengan Observasi Radiometrik pada Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan diterbitkan pada jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan - Torani bulan September 2006. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2004 ini adalah Observasi Radiometrik, Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Perumusan Indeks Pembeda Karang. Disertasi ini memuat lima bagian yakni: 1) Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral Berdasarkan Observasi in situ dengan Menggunakan Spektroradiometer, 2) Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Hubungannya dengan Kandungan Zooxanthellae, 3) Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Hubungannya dengan Sifat Optik Kolom Air, 4) Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Hubungannya dengan Jenis Karang, Kandungan Zooxanthellae dan Optik Kolom Air, dan 5) Perumusan Indeks Pembeda Karang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Bapak Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc., selaku pembimbing atas segala saran dan bimbingannya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Bapak Dr. Suharsono, APU atas saran dan diskusinya. Penghargaan penulis sampaikan kepada tim lapangan mahasiswa kelautan UNHAS dan Staf yang telah membantu selama pengukuran di laut dan laboratorium. Ungkapan terimakasih disampaikan kepada seluruh keluarga atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.

Karya tulis ini penulis persembahkan kepada ketiga putra tercinta, Syazwi, Syauqi dan Syahla. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2006


(9)

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari IPB, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photocopy, mikrofilm dan sebagainya.


(10)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………...… iii

DAFTAR GAMBAR……….. v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

PENDAHULUA N Latar Belakang……….. 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian……..……… 3

Hipotesis Kerja……….. 4

Batasan Permasalahan………... 4

Tahapan Pemecahan Masalah……….. 4

TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Pasif untuk Observasi Laut………. 8

Penginderaan Jauh Hubungannya dengan Sifat Optik Kolom Air……… 11

Reflektansi Spektral Obyek………. 15

Sifat Optik Perairan……….. 17

Bioekologis Zooxanthellae pada Inang Karang………... 21

ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL KARANG BERDASARKAN OBSERVASI IN SITU MENGGUNAKAN SPEKTRORADIOMETER Pendahuluan... 29

Metode Penelitian... 30

Analisis Data... 34

Hasil dan Pembahasan... 35

Kesimpulan... 79

ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL KARANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN ZOOXANTHELLAE Pendahuluan... 80

Metode Penelitian... 81

Analisis Data... 82

Hasil dan Pembahasan... 83

Kesimpulan... 94

ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL KARANG DAN HUBUNGANNYA DENGAN SIFAT OPTIK KOLOM AIR Pendahuluan... 96

Metode Penelitian... 97

Analisis Data... 102

Hasil dan Pembahasan... 103


(11)

ii

ANALISIS REFLEKTANSI SPEKTRAL HUBUNGANNYA DENGAN JENIS KARANG, KELIMPAHAN ZOOXANTHELLAE DAN OPTIK KOLOM AIR

Pendahuluan... 116

Metode Penelitian... 117

Analisis Data... 117

Hasil dan Pembahasan... 118

Kesimpulan... 121

PERUMUSAN INDEKS PEMBEDA KARANG Pendahuluan... 123

Metode Penelitian... 123

Hasil dan Pembahasan... 124

Kesimpulan... 126

PEMBAHASAN UMUM, KESIMPULAN DAN SARAN Pembahasan Umum... 127

Kesimpulan... 129

Saran... 131

DAFTAR PUSTAKA... 132


(12)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan Kemampuan Menyerap Energi antara Fitoplankton dengan

Material Lain yang Terkandung dalam Air Laut (Kirk, 1994)) ……….………... 20

2. Jumlah Zooxanthella dalam Jaringan Karang (Suharsono dan Soekarno, 1983)... 25

3. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 460nm………

36

4. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 510nm……… 36

5. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi S pektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 560nm……… 37

6. Rata-rata ± Simpangan Bak u Reflektansi Spektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 610nm……… 38

7. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 660nm……… 38

8. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 710nm……… 39

9. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 760nm……… 39

10. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan pada Panjang Gelombang 810nm……… 40

11. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada

Panjang Gelombang 460nm ... 45

12. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada

Panjang Gel ombang 510nm ... 46

13. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada

Panjang Gelombang 560nm ... 47

14. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada

Panjang Gelombang 610nm ... 49

15. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada

Panjang Gelombang 660nm ... 54

16. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada

Panjang Gelombang 710nm ... 55

17. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada


(13)

iv

18. Rata-rata ± Simpangan Baku Reflektansi Spektral (%) 16 Jenis Karang pada

Panjang Gelombang 810nm ... 57

19. Jarak Pengelompokan Saat M enjadi 1 - 5 Kelompok pada 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan... 61

20. Jarak Pengelompokan Spektral Saat M enjadi 1 - 5 Kelompok pada 16 Jenis

Karang... 63

21. Matriks Koefisien Korelasi 7 Kelompok Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan 66

22. Matriks Koefisien Korelasi 16 Jenis Karang... 68

23. Korelasi Antara Spektral 16 Spesies pada Setiap Panjang Gelombang

dengan M asing-masing Fungsi Diskriminan... 71

24. Korelasi Antara 7 Kelompok Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan Karang

pada Setiap Panjang Gelombang dengan Masing-masing Fungsi Diskriminan... 76

25. Kelimpahan Zooxanthellae dan Hasil Uji Beda Rata-rata pada 11 Jenis

Karang... 84

26. Persamaan Regresi Linier Sederhana Antara Kelimpahan Zooxanthellae (X)

dengan Reflektansi Spektral Karang (Y) pada Beberapa Panjang Gelombang... 89

27. Jenis Parameter, Alat Ukur, Frekuensi dan Durasi Sampling... 98

28. Persamaan Regresi Linier antara Reflek tansi spektral dengan Parameter Optik

Kolom Air pada Panjang Gelombang 460nm - 810nm... 113

29. Nilai Indeks Permbeda Karang (Y) pada Jenis Karang yang


(14)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penel itian ………... 7

2. Rambatan Cahaya yang Mencapai Sensor (Sathyendranath, 2000)………... 9

3. Penyer apan Energi Cahaya Matahari oleh Partikel-Partikel Atmosfer Saat Cahaya

Merambat Melalui Atmosfer (Lillesand dan Kiefer, 1987) …………... 10

4. Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Pantulan Cahaya yang Merambat Menuju

Sensor (Sathyendranath, 2000) … ……….……… 12

5. Kurva Pantulan Spektral yang Mencirikan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air (Lillesand dan Kiefer, 1987) ……… 17

6. Hubungan antara Berbagai Konsepsi dalam Oseanografi Optik (Zaneveld, J.R.V.,

1994) ... 18

7. Struktur Polip Karang dan Letak Zooxanthellae (Suharsono, 1996) ... 23

8. Lokasi Penelitian dan Titik sampling... 30

9. Spektroradiometer Spesifikasi MSR87 Radiometer dan MSR87CA Connector

Pin-Outs yang Bekerja pada Panjang Gelombang 460 - 810nm (Gambar pita

spektrum hasil modifikasi)………... 31

10. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 4 Spesies dalam Kelompok

Karang Massive... 41

11. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 2 Spesies dalam Kelompok

Karang Foliosa... 41

12. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 1 Spesies dalam Kelompok

Karang Encrusting...... 41

13. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 3 Spesies dalam Kelompok

Karang Lunak... 42

14. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 3 Spesies dalamKelompok

Kar ang Sub Massive...... 42

15. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 1 Spesies dalam Kelompok

Karang Bercabang ... 42

16. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 2 Spesies dalam Kelompok

Karang Berbentuk Meja... 43

17. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan………... 43

18. A) Grafik Rata-rata ± Simpangan Baku, (B) Kurva Kontinyu Berdasarkan Rata-rata

Reflektansi Spektral (%) (garis sambung) dan Interval pada Tingkat Kepercayaan

± 95% (garis putus -putus) dari 4 Jenis Karang : Porites lutea, Diploastrea


(15)

vi

19. A) Grafik Rata-rata ± Simpangan Baku; (B) Kurva Kontinyu Berdasarkan Rata-rata

Reflektansi Spektral (%) (garis sambung) dan Interval pada Tingkat Kepercayaan

± 95% (garis putus -putus) dari 4 Jenis Karang: Acropora farmosa, Montipora

ramosa, Acropora palifera dan Porites sp…………... 50

20. A) Grafik Rata-rata ± Simpangan Baku, (B) Kurva Kontinyu Berdasarkan Rata-rata

Reflektansi Spektral (%) (garis sambung) dan Interval pada Tingkat Kepercayaan

± 95% (garis putus -putus) dari 4 Jenis Karang: Acropora nasuta, Acropora

valenceinnesi, Sinularia sp.1, dan Sinularia sp.2…………... 51

21. A) Grafik Rata-rata ± Simpangan Baku, (B) Kurva Kontinyu Berdasarkan Rata-rata

Reflektansi Spektral (%) (garis sambung) dan Interval pada Tingkat Kepercayaan

± 95% (garis putus -putus) dari 4 Jenis Karang: Sinularia sp.3, Leptoseris foliosa,

Pachyeris speciosa, dan Porites rus………... 52 22. Grafik Nilai Rata-rata Reflektansi Spektral (%) dari 16 Jenis Karang... 56 23. A) Grafik Nilai Rata-rata (centroid) dari Fungsi Diskriminan pada Karang Porites

lutea, Montipora ramosa, Leptoseris foliosa, Acropora nasuta, Acropora farmosa, Acropora palifera, Acropora valenceinnesi, Euphillia sp.1; (B) Nilai Reflektansi

Spektral pada Panjang Gelombang 460 – 810nm... ... 71 24. A) Grafik Nilai Rata-rata (centroid) Fungsi Diskriminan pada Karang Symphillia

agaricia, Euphilliasp.3, Goniopora, Porites sp., Diploastrea heliopora, Porites rus, Pachyeris speciosa, Euphillia sp.3; (B) Nilai Reflektansi Spektral pada Panjang

Gelombang 460 – 810nm... 72 25. A) Grafik Nilai Rata-rata (centroid) dari Fungsi Diskriminan pada 7 Kelompok

Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan: (B) Nilai Reflektansi Spektral pada

Panjang Gelombang 460 – 810nm... 75

26. Pola Korelasi Reflektansi Spektral (460nm – 810nm) dengan Kelimpahan

Zooxanthellae pada 6 Jenis Karang……… 91

27. Pola Korelasi Reflektansi Spektral (460nm – 810nm) dengan Kelimpahan


(16)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Foto Jenis Karang yang Terukur di Lapangan... 135

2. Prosedur Pengoperasian Multispectral Radiometer (MSR) di Lapangan……… 138

3. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Reflektansi Spektral antara 7 Kelompok Karang

Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan dan Hasil Uji Beda Rata-rata (Tukey HSD0.05)

pada Panjang Gelombang 460-810nm……… 142

4. Contoh Data Hasil Pengukuran Spektral Satu Individu dalam Satu Jenis Karang

pada Panjang Gelombang 460 – 810nm………... 145

5. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Reflektansi Spektral 16 Jenis Karang dan Hasil Uji

Beda Rata-rata (Tukey HSD0.05) pada Panjang Gelombang 460-810nm………… 146

6. Dendogram Hasil A nalisis Pengelompokan (Cluster Analysis) Spektral 16 Jenis

Karang dan 7Kelompok Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan... 154

7. Matriks Koefisien Korelasi antara Individu dalam 16 Jenis Karang dan antara 7

Kelompok Karang Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan... 160

8. Uji Analisis Ragam (ANOVA) pada Panjang Gelombang 460-810nm dalam Analisis

Diskriminan (Discriminant Analysis)………. 164

9. Analisis Diskriminan (Discriminant Analysis) Spektral 16 jenis K arang pada

Panjang Gelombang 460nm – 810nm ... 165 10. Matriks Klasifikasi berdasarkan Fungsi Hasil Analisis Diskrimian (Discriminant

Analysis) 16 Jenis Karang... 167

11. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Reflektansi Spektral antara 16 Jenis Karang dan

Hasil Uji Beda Rata-r ata (Tukey HSD0.05) pada Panjang Gelombang

460-810nm .. 168

12. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) antara Reflektansi Spektral 11 Jenis Karang

dengan Kelimpahan Zooxanthellae pada panjang Gelombang 460nm – 810nm ... 169

13. Hasil AnalisisRagam (ANOVA) Reflektansi Spektral Karang dengan Parameter

Optik Kolom Air pada Panjang Gelombang 460nm – 810nm... 212

14. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) antara Reflektansi Spektral dengan Jenis Karang,

Kelimpahan Zooxanthellae dan Parameter Optik Kolom Air pada Panjang

Gelombang 460-810nm... 226

15. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Reflektansi Spektral 16 Jenis Karang, dan Hasil Uji

Beda Rata-rata (Tukey HSD0.05) pada Panjang Gelombang 560, 610, 660, dan


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Data penginderaan jauh khususnya data yang terekam oleh wahana satelit mampu memberikan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan melalui analisis kuantitatif. Namun demikian, dalam operasionalnya terdapat kendala dan keterbatasan. Citra yang dihasilkan sensor satelit yang ada saat ini umumnya mempunyai tingkat akurasi yang masih rendah dalam mengamati ekosistem terumbu karang. Resolusi spasial dan spektral yang disajikan masih rendah jika digunakan untuk mendeteksi perbedaan -perbedaan spesifik dari nilai reflektansi spektral dalam mengidentifikasi jenis-jenis komunitas bentik dan substrat yang lebih akurat.

Pada sisi lain, terumbu karang merupakan lingkungan yang kompleks dari segi optik, baik secara spasial maupun temporal. Penampakan warna yang indah dan cantik merupakan gabungan sifat-sifat optik dari pigmen-pigmen tumbuhan dan hewan termasuk didalamnya simbiose zooxanthellae pada karang, karakteristik substrat serta lapisan kolom air (Dustan, 2000).

Karakteristik reflektansi spektral karang yang sehat dan dari jenis yang berbeda diharapkan secara optik berbeda dengan karang yang tidak sehat. Perbedaan spektral ini didasarkan pada perbedaan warna yang dihasilkan sebagai akibat hilangnya pigmentasi pada karang yang mengalami pemutihan (bleaching) yang mengakibatkan reflektansinya lebih tinggi dan juga karena kehilangan beberapa karakteristik spektral dibanding dengan karang sehat (Dustan, 1999).

Secara nyata, pada perairan dangkal cahaya matahari akan mencapai dasar perairan untuk kemudian merefleksikannya hingga mencapai sensor. Penginderaan jauh akan menganalisa berdasarkan perbedaan besaran spektral yang bersumber dari cahaya yang meninggalkan air sehingga diperoleh informasi kuantitatif jenis unsur yang ada di laut. Semua ini harus didasarkan pada pemahaman sifat obyek dasar perairan dan sifat optik kolom air.

Oleh karena itu, untuk memanfaatkan wahana penginderaan jauh yang memiliki resolusi yang tinggi dalam memantau kondisi ekosistem terumbu karang diperlukan suatu studi analisis kuantitatif melalui pengembangan algoritma


(18)

2

sehingga dapat mengungkapkan sifat optik karang melalui kajian reflektansi spektral terhadap kelimpahan zooxanthellae dari berbagai jenis karang dan keterkaitan pengaruh sifat optik kolom airnya sehingga diharapkan hasilnya lebih

spesifik dari studi sebelumnya (Holden and LeDrew, 1998, 1999, 2000; Holden et

al., 2001; Dustan, 2000; Hochberg and Atkinson, 2000).

Diharapkan melalui studi ini akan diperoleh informasi dasar yang akurat sehingga dapat digunakan untuk mendeterminasi obyek pada ekosistem terumbu karang. Pada sisi lain, untuk memperoleh informasi yang lebih akurat dari teknologi penginderaan jauh maka perlu dikembangkan teknik-teknik yang menghubungkan antara gelombang elektromagnetik yang diterima oleh sensor dengan sifat optik dari komunitas bentik terumbu karang yang merupakan hasil dari proses biologi pada ekosistem terumbu karang.

Berbagai pendekatan telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya melalui metode yang berbeda sebagai upaya pengungkapan karakteristik spektral pada komunitas terumbu karang. Misalnya, Hochberg and Atkinson

(2000) menganalisis reflektansi spektral berdasarkan perbedaan spektral pada

tiga komunitas yang berbeda dan secara ekologi mempunyai habitat yang luas yakni: karang, alga dan pasir; Dustan (2000), dengan menggunakan data citra Landsat mampu mendeteksi komposisi komunitas bentik yang dominan pada

terumbu karang yakni karang, rumput laut dan pasir; Holden et al. (2001),

berhasil mengidentifikasi wilayah permukaan yang heterogen hingga homogen dengan autokorelasi spasial citra melalui asumsi bahwa karang sehat akan menunjukkan heterogenitas yang tinggi sedangkan pada karang mati hingga yang tertutupi oleh alga akan relatif lebih homogen; Mazel (2000), menggunakan

instrumen Benthic Spectro fluorometer (BSF) yang dapat mengukur sifat-sifat

optik (fluororesence dan reflektansinya) yang dipancarkan dan yang diterima oleh

organisme bentik; dan Karen and Stuart (2003), menggunakan instrumen

Analytical Spectral Devices Field spectrometer untuk mengukur kapasitas fotosintetik pada karang dan alga sehingga dapat menentukan karakteristik

spektral substrat terumbu karang pada kelas Montipora sp., Porites sp., Macro

C.fastigiata dan sedimen yang berada di antara mikroalga dan menemukan respon spektral yang sangat bervariasi pada panjang gelombang 570 – 595nm.

Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa kenampakan pada ekosistem terumbu karang dapat diidentifikasi, dipetakan, dan dipelajari


(19)

3

berdasarkan karakteristik spektralnya meskipun hasil tersebut juga menunjukkan bahwa beberapa kenampakan tidak dapat dipisahkan secara spektral. Sehingga dalam upaya pemanfaatan data penginderaan jauh secara efektif, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui dan memahami karakteristik spektral obyek yang dikaji dan mengetahui faktor apa saja yang memp engaruhi karakteristik tersebut. Untuk tujuan ini, dilakukan pengukuran reflektansi spektral dengan menggunakan spektroradiometer, pengukuran kelimpahan zooxanthellae karang dan parameter optik kolom air untuk menentukan perbedaan reflektansi spektral yang spesifik antara jenis karang.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan spesifik penelitian ini adalah mencari hubungan kuantitatif antara reflektansi spektral dengan kelimpahan zooxanthellae karang dan sifat optik

kolom air (PO4 (ppm), NO3 (ppm), NO2 (ppm), Bahan Organik Total (ppm),

Bahan Organik Tersuspensi (ppm), Bahan Organik Terlarut (ppm), Padatan

Tersuspensi Total (%), Larutan Tersuspensi Total (%), klorofil-a (mg/m3), DO5

(ppm), pH permukaan dan dasar, konduktivitas permukaan dan dasar, oksigen

terlarut permukaan dan dasar (mg/l), temperatur permukaan dan dasar (oC),

salinitas permukaan dan dasar (o/oo), turbiditas permukaan dan dasar) serta

mengembangkan algoritma optik-hayati (bio-optik) untuk mendeterminasi karang melalui analisis karakter spektral, kelimpahan zooxanthellae dan sifat optik kolom air. Tujuan umum dari penelitian ini mengetahui karakteristik spektral berbagai jenis karang dan mengungkapkan faktor-faktor yang mempen garuhi karakteristik tersebut.

Hubungan kuantitatif reflektansi spektral dengan parameter yang mempengaruhi dari studi ini, selanjutnya menjadi dasar untuk pendeteksian dengan satelit sehingga dapat menjadi informasi dasar dalam mendeterminasi jenis-jenis karang pada ekosistem terumbu karang berdasarkan pendekatan analisis spektral, sehingga dengan demikian sistem penginderaan jauh satelit dapat digunakan untuk mendeteksi bio-fisik karang.


(20)

4

Hipotesis Kerja

Hipotesis yang akan dibu ktikan dalam penelitian ini adalah :

1) Setiap jenis karang mempunyai karakteristik spektral (spectral signature)

pada panjang gelombang sinar tampak.

2) Kelimpahan zooxanthellae berperan sebagai variabel yang

mempengaruhi reflektansi spektral karang pada panjang gelombang sinar tampak.

3) Parameter optik kolom air berperan sebagai variabel yang mempengaruhi reflektansi spektral.

4) Jenis karang merupakan variabel yang berperan mempengaruhi reflektansi spektral yang diterima sensor.

Batasan Permasalahan

Permasalahan dibatasi pada penentuan pola spektral melalui pengukuran

reflektansi spektralnya, kelimpahan zooxanthellae, sifat optik kolom air (PO4

(ppm), NO3 (ppm), NO2 (ppm), Bahan Organik Total (ppm), Bahan Organik

Tersuspensi (ppm), Bahan Organik Terlarut (ppm), Padatan Tersuspensi Total

(%), Larutan Tersuspensi Total (%), klorofil-a (mg/m3), DO5 (ppm), pH

permukaan dan dasar, konduktivitas permukaan dan dasar, oksigen terlarut

permukaan dan dasar (mg/l), temperatur permukaan dan dasar (oC), salinitas

permukaan dan dasar (o/

oo), turbiditas permukaan dan dasar) dan menemukan

hubungan dari ketiga komponen ini.

Penelitian dilakukan di Pulau Barrang Lompo Kepulauan Spermonde, Selat Makassar. Secara geografis Pulau Barrang Lompo berada pada posisi

05o2’00” – 05o3’30” LS dan 119o19’00” – 119o20’00” BT .

Tahapan Pemecahan Masalah

Karakteristik warna air laut yang merefleksikan pantulan karang tertentu

diperoleh melalui observasi in situ dengan spektroradiometer sebagai bagian dari

penginderaan jauh. Hasil analisis kemudian dilanjutkan dengan pengembangan algoritma optik hayati berdasarkan analisis karakter spektral dan identifikasi


(21)

5

kelimpahan zooxanthellae serta analisis sifat optik perairan dimana karang berada, sehingga :

- akan diketahui karakter spektral setiap jenis karang yang terukur.

- akan diketahui keterkaitan antara karakter spektral yang terukur dengan

kelimpahan zooxanthellae pada masing -masing karang.

- akan diketahui keterkaitan antara karakter spektral dengan sifat optik kolom

air pada masing-masing karang.

- akan diketahui keterkaitan antara karakter spektral, jenis karang,

kelimpahan zooxanthellae dan sifat optik kolom air.

Berdasarkan rangkaian bahasan diatas maka tahap -tahap yang dilakukan adalah :

Tahap I. Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral Karang Berdasarkan

Observasi In Situ Menggunakan Spektroradiometer

Pada tahap ini dilakukan pengambilan contoh data di lapangan

dengan melakukan pengukuran in situ, selanjutnya

mengidentifikasi spektral yang terukur berdasarkan jenis karang dan bentuk pertumbuhan karang serta penyesuaian dengan data lainnya yang tercatat saat penyelaman yang meliputi jenis karang, bentuk dan ukuran. Hasil pada tahap ini dibahas lebih rinci pada Bab III.

Tahap II. Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral Karang dan

Hubungannya dengan Kelimpahan Zooxanthellae

Pada tahap ini dilakukan pengambilan contoh tiap koloni karang yang terukur dengan spektroradiometer yang selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk mengetahui kelimpahan zooxanthella enya . Hasil pada tahap ini dibahas lebih rinci pada Bab IV.

Tahap III. Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral Karang dan

Hubungannya dengan Sifat Optik Kolom Air

Sifat optik kolom air dianalisis berdasarkan kelimpahan parameter-parameter dalam kolom air. Pengukuran dilakukan


(22)

6

Bahan Organik Total (ppm), Bahan Organik Tersuspensi (ppm), Bahan Organik Terlarut (ppm), Padatan Tersuspensi Total (%),

Larutan Tersuspensi Total (%), klorofil-a (mg/m3), DO5 (ppm),

pH permukaan dan dasar, konduktivitas permukaan dan dasar, oksigen terlarut permukaan dan dasar (mg/l), temperatur

permukaan dan dasar (oC), salinitas permukaan dan dasar (o/oo),

turbiditas permukaan dan dasar. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui sifat optik kolom air pada masing-masing lokasi pengukuran spektral karang. Hasil pada tahap ini dibahas secara rinci pada Bab V.

Tahap IV. Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral Hubungannya dengan Jenis Karang, Kelimpahan Zooxanthellae dan Sifat Optik Kolom Air

Pada tahap ini dilakukan analisis data untuk menentukan pengaruh jenis karang, parameter optik kolom air yang berpengaruh terhadap pantulan sinar tampak dan kelimpahan zooxanthellae terhadap reflektansi spektral karang. Analisis data dibatasi pada reflektansi spektral jenis karang yang memiliki data yang bersesuai dengan data zooxanthellae dan data optik kolom airnya. Hasil pada tahap ini dibahas lebih rinci pada Bab VI. Tahap V. Perumusan Indeks Pembeda Karang

Pengembangan algoritma yang dilakukan menghasilkan indeks yang dapat digunakan untuk memdeterminasi 16 jenis karang. Tahap ini merupakan analisis penutup yang disajikan pada Bab VII.

Dari pendekatan masalah sampai hasil penelitian dirangkum ke dalam kerangka pemikiran seperti terlihat pada Gambar 1.


(23)

7

Ket :

Kotak terputus (----) : belum dilakukan dalam penelitian ini.

INVENTARISASI DAN MONITORING EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Observasi in situ Wahana Satelit

Karakteristik Optik Terumbu Karang Respon Spektral

Fotosintetik

Analisis Laboratorium

Optik Kolom Air Kelimpahan

Zooxanthellae

Analisis Hubungan Komponen Spektral, Zooxanthellae dan Optik Kolom Air

Hubungan Kuantitatif Antara Reflektansi Spektral, Jenis Karang, Kelimpahan Zooxanthellae dan Optik Kolom Air Pendekatan

Masalah

Permasalahan

Pemecahan masalah

Hasil

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Perumus an Indeks Pembeda Karang Kolom Air PENGINDERAAN JAUH


(24)

8

TINJAUAN PUSTAKA

Penginderaan Jauh Pasif untuk Observasi Laut

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1987).

Penginderaan jauh sistem pasif menggunakan sensor dengan medan pandang sempit, mampu memantau objek dan bekerja pada panjang gelombang terpilih yakni spektrum elektromagnetik pada sinar tampak dan infra merah dekat (near-infrared) (Murai, et al. 1999; Lillesand and Kiefer, 1987).

Apabila gelombang elektromegnetik mengenai suatu benda di muka bumi, terdapat tiga kemungkinan utama interaksi gelombang tersebut dengan benda yakni, bagian gelombang yang mengenai benda tersebut akan dipantulkan, diserap atau ditransmisikan. Ada dua hal penting sehubungan dengan ini, yakni:

(1) Energi yang dipantulkan, diserap dan ditransmisikan akan berbeda untuk setiap obyek di muka bumi, tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini memungkinkan kita untuk membedakan obyek yang berbeda pada suatu citra.

(2) Ada ketergantungan pada panjang gelombang, yang berarti bahwa pada suatu obyek tertentu bahkan untuk obyek yang sama, energi yang dipantulkan, diserap dan ditransmisikan dapat berbeda pada panjang gelombang yang berbeda. Akibatnya, dua benda yang tidak dapat dibedakan pada satu julat spektral tertentu akan sangat berbeda pada saluran tampak, variasi spektral ini menghasilkan efek visual yang disebut warna.

Sensor yang terdapat pada wahana satelit diarahkan pada suatu titik di

permukaan bumi. Sensor dan pergerakan platform satelit dengan sekilas

membaca dan merekam untuk memperoleh data dari titik-titik pengamatan berbeda di permukaan bumi. Sensor tersebut beroperasi sepanjang hari, dan sebagai sumber cahaya adalah matahari. Energi cahaya dari matahari


(25)

9

merambat melalui lintasan yang berbeda-beda hingga menjangkau detektor (radiometer) pada sensor (Gambar 2).

Kontributor utama pada signal penginderaan jauh adalah :

(1) Energi yang mencapai sensor setelah energi cahaya (photon) menyebar

melalui atmosfer.

(2) Energi yang mencapai sensor setelah mengalami pantulan sinar matahari secara langsung dari permukaan laut.

(3) Energi yang berasal dari permukaan laut setelah mengalami hamburan balik (back -scattering) dari dalam air dan energi yang bersumber dari dalam air (upwelling) mengalami pengurangan dalam perambatannya menuju sensor karena terjadi penyerapan dan penyebaran oleh atmosfer.

Gambar 2. Rambatan Cahaya yang Mencapai Sensor

(Sathyendranath, 2000)

Gambar 2. menunjukkan berbagai lintasan energi menuju sensor yaitu : (a) energi yang dihamburkan oleh atmosfer, (b) pantulan spekular secara


(26)

10

langsung dari matahari pada permukaan laut, dan (c) energi yang berasal dari

bawah menuju permukaan laut hingga mencapai sensor. IFOV (Instantaneous

Field of View) merupakan ukuran piksel sensor pada permukaan perairan. Energi yang berasal dari bawah ke permukaan laut membawa informasi yang bermanfaat dari kolom air. Kontribusi atmosfer dan pantulan spekular dari permukaan laut dalam konteks ini merupakan bias yang harus dikoreksi.

Sebagai sumber utama, cahaya matahari mengalami pengurangan energi saat merambat melalui atmosfer. Sebelum cahaya matahari mencapai permukaan bumi, energi dari cahaya tersebut sudah diserap sebagian oleh

partikel-partikel uap air, karbon dioksida (CO2) dan ozon yang terdapat di

atmosfer. Hal ini mengakibatkan sebagian besar energi cahaya matahari tidak dapat mencapai bumi (Gambar 3).

Gambar 3. Penyerapan Energi Cahaya M atahari oleh Partikel-Partikel Atmosfer saat

Cahaya Merambat melalui Atmosfer (Lillesand and Kiefer, 1987).

Gambar 3. pada bagian (a) menunjukkan perbandingan antara spektrum energi cahaya yang dipancarkan oleh matahari dan bumi. Pada gambar tersebut tampak bahwa energi dari spektrum gelombang cahaya tampak adalah yang tertinggi dibandingkan dengan spektrum panjang gelombang elektromagnetik lainnya, sedangkan pada bagian (b) menunjukkan total persentase energi cahaya matahari yang tidak dapat mencapai bumi akibat hamburan dan penyerapan energi oleh partikel-partikel atmosfer. Kelompok spektrum gelombang cahaya


(27)

11

yang dapat mencapai bumi dengan baik dengan spektrum panjang gelombang masing-masing adalah 286 – 400nm, 400 – 700nm, dan 700nm – 0.1mm.

Ketika cahaya matahari merambat di dalam kolom air laut maka energi dari cahaya matahari mengalami pengurangan akibat perubahan arah rambat cahaya ke segala arah oleh padatan tersuspensi dan perubahan spektrum

panjang gelombang cahaya oleh penyerapan selektif (Murai et al. 1995).

Besarnya energi cahaya matahari yang diserap saat cahaya merambat di suatu medium dapat diperkirakan dari total koefisien atenuasi cahaya, yang merupakan

jumlah dari koefisien penyerapan (absorption coefficient) dan koefisien hamburan

(scattering coefficient) oleh masing-masing partikel yang terkandung di dalam medium rambat.

Penginderaan Jauh dan Hubungannya dengan Sifat Optik Kolom Air

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sinyal yang berasal dari air yakni: cahaya matahari langsung yang merambat di atmosfer lalu berpenetrasi ke dalam laut dan sebagian akan diserap dan disebarkan oleh molekul-molekul air atau oleh berbagai bahan organik tersuspensi dan padatan tersuspensi yang ada dalam air (Gambar 4).

Seca ra nyata, pada perairan dangkal energi matahari akan mencapai dasar perairan untuk kemudian merefleksikannya hingga mencapai sensor. Penginderaan jauh menganalisis energi tersebut berdasarkan perbedaan

magnitude dan kualitas spektral dari energi yang meninggalkan kolom air untuk memperoleh informasi kuantitatif jenis unsur yang ada di laut serta konsentrasinya. Semua ini harus didasarkan pada pemahaman tentang sifat-sifat optik suatu medium dan proses-proses optik dalam medium tersebut.


(28)

12

Gambar 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pantulan Cahaya yang menuju Sensor.

(a) Penyebaran oleh bahan an-organik tersuspensi, (b) Penyebaran oleh

molekul-molekul air, (c) Absorpsi oleh komponen yellow-substance, (d) Refleksi dari dasar

perairan dan (e) Penyebaran oleh komponen fitoplankton (Sathyendranath, 2000) .

Sifat-sifat optik dari perairan dipengaruhi oleh tiga komponen utama yakni :

(1) Fitoplankton

Fitoplankton bersifat mikroskopik, ditemukan pada lapisan permukaan. Fitoplankton merupakan organisme bersel tunggal dan erat kaitannya dengan jaring makanan dan merupakan komponen yang penting dalam siklus karbon secara global.

Apabila kita mengukur sifat optik fitoplankton maka kontribusi dari partikel mikroskopik lain tidak dapat dibedakan. Sebagai contoh, ukuran spektral beberapa organisme ini tumpang -tindih dan sulit untuk dipisahkan melalui filtrasi. Pengamatan secara visual pun sering


(29)

13

memberikan hasil yang meragukan dalam membedakan fitoplankton dengan unsur lain.

Dalam konteks penginderaan jauh, “komponen fitoplankton” menyertakan organisme mikroskopik lain juga. Hal ini berdasarkan fakta bahwa fitoplankton dengan kandungan pigmen yang sangat tinggi mendominasi sinyal dibandingkan dengan organisme mikroskopik lainnya. Sehingga fitoplanktonlah yang menjadi komponen utama dalam sifat optik perairan.

Fitoplankton adalah mahluk hidup tumbuhan renik yang melayang-layang dalam kolom air dan tidak mampu bergerak secara aktif melawan arus air. Secara ekologis, fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan sehingga keberadaannya akan menentukan keberadaan seluruh biota air. Sebagai tumbuhan renik yang melakukan fotosintesis di dalam laut, fitoplankton memiliki jenis pigmen yang berbeda pada kloroplasnya dimana setiap pigmen memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap energi matahari, perbedaan ini dijadikan sebagai salah satu ciri khas dalam mengelompokkan fitoplankton (Kirk, 1994).

Fitoplankton dikelompokkan ke dalam tiga sistem pigmen yaitu (1)

sistem klorofil-a dan b, (2) sistem klorofil-a, c dan carotenoid dan (3)

sistem klorofil-a dan phycobillin. Dari pigmen-pigmen ini, maka pigmen

klorofil-a merupakan pigmen utama yang selalu dapat dijumpai pada setiap kelas fitoplankton. Pigmen ini berfungsi untuk menyerap energi cahaya ya ng digunakan sebagai sumber energi utama dalam proses fotosintesis sehingga klorofil-a dapat digunakan sebagai indikator utama proses fotosintesis (Sathyendranath and Platt, 1990).

Konsentrasi fitoplankton tidak penuh berada di lapisan permukaan tetapi terdistribusi secara vertikal pada kolom-kolom air laut mengikuti kemampuan adaptasinya. Proses fotosintesisnya memerlukan cahaya pada spektrum panjang gelombang antara 300 – 720 PAR


(30)

14

tinggi dalam menyerap energi cahaya matahari yang menentukan spektrum medan cahaya di laut dan pentingnya fitoplankton dalam rantai makanan di laut maka fitoplankton harus diperhitungkan dalam setiap penelitian sifat optik perairan.

(2) Padatan Tersu spensi

Pada kategori ini, komponen yang dimaksud adalah bahan tersuspensi berupa an -organik dimana fitoplankton tidak termasuk di dalamnya. Pada perairan dangkal, gelombang dan arus dapat membawa sedimen dasar menjadi tersuspensi dan secara signifikan aka n mempengaruhi warna air laut.

Estuari yang dipengaruhi oleh aliran sungai, dan pada wilayah pasang surut juga mempengaruhi bahan menjadi tersuspensi dan hal ini sangat berperan dalam menentukan sifat optik perairan.

Berbeda dengan komponen fitoplankton, pengaruh bahan tersuspensi (an -organik) hanya terbatas pada daerah pantai dan perairan dekat pulau saja.

Istilah “bahan tersuspensi” tidak termasuk jenis material tunggal, tetapi pada kelompok material/bahan yang utuh dengan karakteristik individu mereka sendiri. Sebagai contoh, pantai pasir putih yang memantulkan cahaya dari suatu pantai karang, manakala dibawa ke dalam suspensi, akan mempunyai suatu pengaruh sangat berbeda pada warna air dibanding tanah liat merah di dalam suspensi pada aliran sungai. Bahan ini bisa juga termasuk dalam bahan tersuspensi dari sumber lain, seperti debu kontinental yang masuk ke dalam air melalui angin.

Padatan tersuspensi merupakan material yang terangkut oleh suatu aliran dan hampir secara keseluruhan dibawa oleh badan air yang bergerak. Material padatan tersuspensi dapat berupa bahan organik maupun an-organik. Bahan organik dapat berasal dari hewan dan tumbuhan seperti plankton, sedangkan bahan an-organik dapat berasal dari pelapukan batuan. Karena perbedaan sifat penyerapan dan


(31)

15

penghamburannya maka jenis padatan yang terkandung dalam suspensi ikut menentukan kemampuan penetrasi cahaya (intensitas cahaya) di suatu perairan (Kirk, 1994). Dengan demikian maka tinggi rendahnya nilai koefisien atenuasi cahaya, kecerahan dan fotosintesis oleh fitoplankton juga turut ditentukan oleh jenis padatan yang tersuspensi pada kolom air.

(3) Yellow substances

Yellow substances biasa disebut “gelbstoff“ atau bahan organik

tersuspensi atau “gilvin”, adalah suatu kelompok unsur organik yang

tersuspensi dan terdiri dari asam fulvic dan humic.

Yellow substances kemungkinan berasal dari sel-sel fitoplankton dan partikel-partikel organik lainnya dari sumber yang jauh.

Sebagai contoh, sungai yang mengalir sepanjang daerah yang kaya

akan unsur organik akan mengakumulasi banyak sekali yellow

substances sepanjang lintasan sungai tersebut.

Tempat yellow substances berasal akan terakumulasi pada konsentrasi

yang lebih besar daripada wilayah dimana yellow substances berada

jauh dari sumber. Yellow substances juga akan terakumulasi lebih

banyak pada daerah yang lebih dalam dibandingkan pada lapisan permukaan air.

Selain tiga komponen yang ada dalam kolom air, refleksi cahaya dari dasar perairan dapat mempengaruhi warna air laut jika kondisi perairan cukup dangkal dan jernih. Disamping itu, pengaruh dasar terhadap warna air dapat berbeda menurut kedalaman, kejernihan air, jenis unsur yang ada di laut, dan tipe dasar perairan dimana tipe dasar perairan bisa berpasir, berbatu tertutup sebagian atau seluruhnya oleh berbagai organisme bentik seperti ganggang dan kerang-kerangan. Semua faktor ini akan mempengaruhi efek dasar perairan warna air laut yang terdeteksi oleh penginderaan jauh.


(32)

16

Reflektansi Spektral Obyek

Air jernih menyerap energi relatif kecil pada panjang gelombang kurang dari 0,6µm. Transmisi yang tinggi menandai panjang gelombang tersebut dan mencapai maksimumnya pada bagian spektrum biru-hijau. Akan tetapi air yang keruh (oleh adanya material organik atau an-organik) mengubah transmisi secara drastis dan oleh karenanya pantulan pun berubah pula. Sebagai contoh, air yang mengandung material suspensi sebagai hasil erosi biasanya memiliki pantulan pada spektrum tampak yang jauh lebih tinggi daripada tubuh air jernih lain p ada daerah geografik yang sama (Lillesand and Kiefer, 1987).

Sejalan dengan itu, pantulan air berubah oleh konsentrasi klorofil yang ada. Meningkatnya konsentrasi klorofil cenderung memperkecil pantulan pada spektrum hijau. Perubahan ini telah digunakan untuk memantau adanya ganggang dan memperkirakan konsentrasi ganggang melalui data penginderaan jauh. Data pantulan spektral juga telah digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya zat warna pada vegetasi rawa di daerah tropis dan untuk mendeteksi sejumlah pencemar seperti minyak dan limbah industri (Cracknell and Phill, 1980).

Grafik reflektansi spektral suatu obyek sebagai fungsi panjang gelombang

disebut kurva reflektansi spektral (Lillesand and Kiefer, 1987). Konfigurasi kurva

pantulan spektral memberikan informasi tentang karakteristik spektral suatu obyek dan berpengaruh besar pada pemilihan saluran panjang gelombang pada penginderaan jauh untuk terapan tertentu.

Kurva setiap jenis tumbuhan digambarkan sebagai suatu “pita” atau suatu “kantong” nilai pantulan spektral, bukan sebagai suatu garis. Hal ini disebabkan karena pantulan spektral agak berbeda bagi satu kelas material tertentu. Artinya pantulan spektral satu spesies dengan spesies yang lain tidak pernah sama. Bahkan pantulan spektral pohon dari spesies yang sama tidak persis sama (Lillesand and Kiefer, 1987).

Bila kita perhatikan pantulan spektral air, mungkin karakteristik yang paling mencirikan ialah sifat penyerapan energi pada spektrum inframerah pantulan. Singkatnya, air menyerap energi pada panjang gelombang ini, baik badan airnya sendiri (seperti danau dan sungai) maupun air yang terkandung di dalam vegetasi atau di dalam tanah (Gambar 5).


(33)

17

Oleh karena sifat penyerapan ini, identifikasi dan deliniasi badan air pada data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan mudah pada panjang gelombang inframerah pantulan. Akan tetapi, berbagai kondisi badan air, memperlihatkan diri pada panjang gelombang tampak.

Gambar 5. Kurva Pantulan Spektral yang Mencirikan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air

(Lillesand and Kiefer, 1987).

Interaksi energi dengan benda pada panjang gelombang tampak sangat kompleks dan tergantung pada beberapa faktor yang saling berkaitan. Sebagai contoh, pantulan dari suatu badan air dapat timbul dari interaksi dengan permukaan air, dengan material terlarut di air, atau dengan dasar tubuh air. Bahkan dengan badan air dalam yang mempengaruhi bagian dasarnya diabaikan, sifat pantulan tubuh air bukan hanya merupakan fungsi air itu sendiri, tetapi juga dengan material yang terdapat di air.

Sifat Optik Perairan

Ketika berkas cahaya merambat melalui medium padat, cair atau gas maka perambatan tersebut dapat berakibat pada perubahan intensitas dan kecepatan rambat cahaya. Intensitas cahaya setelah perambatan selalu lebih kecil dibandingkan dengan intensitas sebelum perambatan dari udara ke air dan kecepatan rambat cahaya di medium air akan selalu lebih kecil jika dibandingkan dengan kecepatan rambat cahaya di udara terbuka. Pengurangan intensitas dan kecepatan rambat cahaya ini disebabkan oleh penyerapan energi cahaya oleh


(34)

18

partikel-partikel yang terkandung dalam medium rambat dan medium rambat itu sendiri (Zaneveld, 1994).

Pada medium rambat, penyerapan energi cahaya dapat dibedakan atas

penyerapan selektif (selective absorption) dan penyerapan umum (general

absorption). Disebut penyerapan umum jika pengurangan intensitas cahaya terjadi pada semua panjang gelombang cahaya dengan besar pengurangan yang hampir sama antara satu panjang gelombang lainnya, sedangkan penyerapan selektif terjadi bila pengurangan intensitas cahaya hanya terjadi pada panjang gelombang tertentu saja, seperti terlihat pada warna biru air laut akibat penyerapan selektif terhadap spektrum panjang gelombang sinar tampak

oleh partikel-partikel air laut (Spinrad et al. 1994).

Intensitas dan spektrum cahaya yang menembus perairan sangat mempengaruhi proses-proses biologi. Proses biologi inilah yang menentukan konsentrasi padatan tersuspensi dan bahan organik terlarut di dalam laut (Zaneveld, 1994). Perambatan cahaya dipengaruhi oleh penyebaran material-material yang terendap dan terlarut. Hubungan ini dapat dilihat dalam illustrasi pada Gambar 6. Laut memiliki sifat optik yang secara vertikal tidak ditentukan oleh cahaya tetapi hanya tergantung pada sifat-sifat bahan organik tersuspensi

dan padatan tersuspensi. Sifat ini disebut sifat optik inherent karena tidak

tergantung pada sumber radiansi. Sifat optik inherent mempengaruhi cahaya

secara vertikal di laut sehubungan dengan transfer cahaya (radiansi spektral). Sementara itu, sifat optik di laut yang tergantung pada cahaya disebut sifat optik

yang nampak (apparent).

RADIANSI MATAHARI DAN UDARA. KONDISI-KONDISI PERMUKAAN

MATERIAL -MATERIAL TERENDAP DAN TERLARUT STRUKTUR VERTIKAL

SIFAT-SIFAT OPTIK YANG INHEREN a(λ,z), b(λ,z), c(λ,z), β(θ,λ,z)

STRUKTUR VERTIKAL SIFAT -SIFAT OPTIK YANG

NAMPAK

(θ,φ,λz), Ed(λ,z), Eu(λ,z), Kd(λ,z), Ku (λ,z)


(35)

19

Gambar 6. Hubungan antara berbagai Konsepsi dalam O seanografi Optik (Zaneveld,

1994).

Pada hakekatnya, warna pada perairan laut didefinisikan sebagai perbedaan spektral dalam reflektansi (R) pada permukaan laut, dan pada gelombang (?), kedalaman (z) tertentu, maka R didefinisikan sebagai :

) , (

) , ( ) , (

z E

z E z R

d u

λ λ

λ = ... (1)

dimana,

upwelling irradiance yakni irradiance (flux per unit area permukaan) pada semua arah yang menuju ke atas/naik pada panjang gelombang dan kedalaman tertentu.

downwellingirradiance yakni irradiance pada semua arah yang ke bawah pada panjang gelombang dan kedalaman tertentu.

Warna perairan (ocean colour) ditentukan oleh absorpsi dan penyebaran

sinar tampak oleh adanya bahan organik dan an -organik baik dalam bentuk terlarut maupun tersuspensi yang ada dalam perairan. Substansi ini sangat bervariasi dan tergantung pada tipe perairannya.

Atenuasi

Perairan yang di dalamnya terkandung komponen perairan seperti fitoplankton, partikel organisme dan non-organisme tersuspensi serta senyawa

terlarut maka total atenuasi cahaya (k) akibat penyerapan pada panjang

gelombang tertentu dapat dinyatakan dalam persamaan (Kirk, 1994) :

Reflektansi yang ditangkap melalui penginderaan jauh

=

) , ( z Eu λ

=

)

,

(

z


(36)

20

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

λ

k

fit

λ

k

p

λ

k

s

λ

k

w

λ

k

=

+

+

+

... (2)

dimana,

)

(

λ

fit

k

= koefisien atenuasi akibat penyerapan oleh fitoplankton

) (λ

p

k = koefisien atenuasi akibat penyerapan oleh bahan organik tersuspensi

)

(

λ

s

k

= koefisien atenuasi akibat penyebaran oleh total padatan tersuspensi

) (λ

w

k = koefisien atenuasi akibat penyerapan oleh air laut murni tanpa

senyawa terlarut

Perbandingan besarnya serapan energi oleh fitoplankton dengan material terkandung dalam air laut dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1, PAR (Photosynthetically Active Radiation)adalah spektrum yang dapat diserap untuk fotosintesis dan Kn adalah koefisien atenuasi cahaya yang merupakan total atenuasi oleh material selain fitoplankton.

Tabel 1. Perbandingan Kemampuan Menyerap Energi antara Fitoplankton dengan Material

` lain yang Terkandung dalam Air laut (Kirk, 1994)

Tipe Perairan Kn (m -1) Konsentrasi Fitoplankton (mg klo- a/m3)

Jumlah PAR tertangkap oleh Fitoplankton (%)

Jumlah PAR tertangkap oleh material

Non-Fitoplankton (%)

Laut lepas 0.08

0.2 0.5 1.0 3.4 8.0 14.9 96.6 92.0 85.1

Pantai 0.15

1.0 2.0 4.0 8.5 15.7 27.2 91.5 84.3 72.8

Menurut hukum Lambert-Beer, nilai total koefisien atenuasi cahaya dapat dihitung berdasarkan nilai intensitas cahaya terukur. Jika intensitas

cahaya di permukaan laut (

I

0) dan intensitas cahaya di kedalaman tertentu

(

I

d) diukur maka total koefisien atenuasi Lambert-Beer (

K

Ib) pada kolom air

sepanjang

d

(jarak perambatan cahaya) dapat dihitung dengan menggunakan


(37)

21

... (3)

Persamaan (2) dan (3) menunjukkan bahwa total koefisien atenuasi cahaya bergantung pada intensitas cahaya terukur dan komposisi padatan tersuspensi di air laut.

Kecerahan

Kecerahan (brightness atau brightness contrast) sebagai salah satu sifat

optik perairan didefinisikan sebagai dalamnya lapisan air yang dapat ditembus oleh sinar matahari yang dinyatakan dalam satuan sentimeter atau meter. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan aktivitas fotosintesis dan kemampuan penglihatan organisme dalam mengidentifikasi objek. Kemampuan mengidentifikasi objek didasarkan pada sifat pantulan

cahaya (reflectivity) yang ditimbulkan oleh objek dan oleh lingkungan di sekitar

objek. Jika perbedaan sifat pantulan cahaya semakin besar maka objek akan semakin mudah dikenali.

Kecerahan yang tinggi merupakan syarat berlangsungnya fotosintesis fitoplankton dengan baik, oleh karena itu nilai kecerahan dapat dijadikan sebagai petunjuk umum untuk memperkirakan besarnya fotosintesis di suatu perairan (Kirk, 1994). Tinggi rendahnya kecerahan di suatu perairan ditentukan oleh tingkat kekeruhan perairan. Semakin tinggi tingkat kekeruhannya maka akan semakin rendah tingkat kecerahan perairan. Pada kondisi normal, hal yang sebaliknya akan terjadi jika tingkat kekeruhannya rendah .

Kecerahan dapat diukur dengan peralatan sederhana yakni keping secchi

(secchi disc), berbentuk bulat dengan diameter 20 – 30 cm dan seluruhnya dapat berwarna putih polos atau berbentuk dua kuadran yang diberi warna hitam dan putih yang diselang-selingkan. Kecerahan diukur dengan cara menenggelamkan

keping secchi secara tegak lurus. Nilai kecerahan diukur dengan mengukur

kedalaman keping secchi saat keping tersebut tep at hilang dari pandangan ketika

ditenggelamkan dan tepat tampak kembali ketika ditarik perlahan-lahan. d

I I

K d

b I

ln ln 0

=


(38)

22

Beberapa parameter optik kolom air lainnya telah dibahas sebelumnya pada bagian Penginderaan Jauh dan Hubungannya dengan Sifat Optik Kolom Air.

Bioekologis Zooxanthellae pada Inang Karang

Istilah zooxanthellae adalah nama umum (vernacular name) yang

digunakan untuk suatu Dinoflagellata yang hidup simbiotik dalam tubuh radiolaria

Collozum inerme Haeckel (Muscatine, 1980). Sekarang istilah zooxanthellae digunakan dalam pengertian yang lebih luas yang mencakup tiga alga uniseluler yang hidup sebagai simbion dalam invertebrata.

Kebanyakan zooxanthellae merupakan anggota dari Dinophyceae

(Suharsono, 1984), yang kini ditempatkan di bawah marga Symbiodiniu m.

Umumnya Dinophyceae hidup sebagai fitoplankton sedangkan zooxanthellae hidup terutama dalam hewan inangnya dan karenanya zooxanthellae disebut

pula sebagai plankton yang terjebak (imprisoned plankton).

Jumlah zooxanthellae berkisar dari kira-kira 106 sel/cm2 terumbu karang

atau 106 sel/gr jaringan anemon laut, dan sekitar 2 x 108 sel/gr jaringan mantel

Tridacna. Alga ini dapat mencapai 3% sampai 14% dari total biomassa protein berbagai asosiasi yang pernah diukur (Muscatine, 1980).

Pada hewan karang, zooxanthellae hidup dalam lapisan endodermnya (Gambar 7). Bentuk terperinci sel zooxanthellae semakin banyak diteliti dengan mikroskop elektron. Zooxanthellae dapat dilihat dalam konteks ekologi komunitas sebagai salah satu komponen produsen bentik ata u dalam konteks fisiologi organismik dimana zooxanthellae sebagai unsur, produsen dalam asosiasi simbiotik antara individu-individu produsen-konsumen. Perilaku-perilaku atau sifat zooxanthellae sangat ditentukan oleh hewan inangnya, oleh sebab itu

hasil penelitian in vitro tidak selalu dapat digunakan untuk menerangkan sifatnya

yang in vivo.

Biologi Zooxanthellae

Zooxanthellae merupakan algae bersel tunggal yang hidup bersimbiosis dengan sekitar 150 genera organisme avertebrata laut dan mempunyai


(39)

23

penyebaran yang sangat luas sesuai dengan penyebaran alami terumbu karang dari daerah tropis hingga subtropis (Graham, 1997).

Daur hidup zooxanthellae di alam menunjukkan adanya fase kokoid dan fase motil (bergerak). Fase kokoid yang bermukim dalam inangnya mempunyai sel berbentuk agak bulat dan dominan dalam sejarah hidupnya. Pada fase motil, sel mempunyai sifat dapat bergerak bebas dan hanya terdapat dalam waktu singkat saja. Sel-sel motil memiliki flagella dapat berenang yang merupakan suatu cara u ntuk menyebar dari satu inang ke inang lainnya.

Gambar 7. Struktur Polyp Karang dan Letak Zooxanthellae (Suharsono, 1996)

Sel-sel kokoid mempunyai ukuran terbesar kurang lebih 10 – 14µm dan

mempunyai asosiasi simbiotik yang sudah bersifat turun temurun (hereditary)

dengan jenis-jenis invertebrata tertentu yang tergolong dalam lima filum (Protozoa, Porifera, Coelenterata, Platyhelmintes, dan Mollusca). Sel-sel kokoid ini hidup di dalam sel, di antara sel-sel di dalam jaringan pengikat atau di dalam sinus, tergantung pada jenis hewan inangnya. Zooxanthellae adalah alga


(40)

24

uniseluler yang hidup di dalam tubuh berbagai invertebrata laut dalam hubungan yang saling menguntungkan atau bersifat simbiosis mutualistik.

Zooxanthellae berwarna coklat mengandung klorofil sehingga mampu

berfotosintesis seperti halnya algae lain. Bentuknya yang unisellular cocoid, dan

memiliki kromosom yang padat permanen nampak seperti bentuk oval atau bundar. Kromosomnya tidak menunjukkan pemisahan selama fase megafase saat pembelahan, beberapa kromosom juga tidak mempunyai centriol (Taylor, 1979 dalam Suharsono, 1991). Karena sifat hidupnya yang demikian, zooxanthellae disebut pula sel yang endosimbiotik atau endozoik. Alga simbiotik ini mempunyai peranan sangat penting dalam ekosistem terumbu karang yaitu sebagai salah satu komponen yang menyediakan sumber energi dan nutrisi bagi karang dan invertebrata lain yang menjadi inangnya. Zooxanthellae mendapat perlindungan, karbon dioksida dan hara dari hewan inangnya dan sebaliknya hewannya mendapat zat-zat makanan dan oksigen hasil produksi fotosintesis

zooxanthellae (Frankboner, 1971 dalam Suharsono dan Soekarno, 1983).

Zooxanthellae pada Jaringan Karang

Simbiotik zooxanthellae ditemukan pada semua plankton Radiolaria yang epipelagik, plankton Foraminifera/Globigerina bahkan pada ciliata laut (Paraeuplotes trichodina). Simbion inang yang paling umum dibahas terutama pada Cnidaria, Mollusca, dan Cacing. Zooxanthellae berada dalam suatu

palmelloid sel inang, yang mampu menyediakan oksigen dan bahan organik terutama dalam bentuk gliserol, glukosa, alanin, dan asam lemak. Sebaliknya menerima perlindungan dan bahan an-organik dari inangnya. Kurang lebih 50% produksi ditransfer ke inang (Muscatine, 1980).

Baik fase juve nil maupun fase dewasa tridacna dan karang memiliki hubungan simbiosis dengan algae simbiotik dari dinoflagellata zooxanthellae

(Symbiodinium microadrriaticum) semenjak metamorfosis. Simbion

mengkontribusi hasil-hasil fotosintesis terhadap nutrisi inangnya.

Hasil penelitian Suharsono dan Soekarno (1983) menunjukkan bahwa zooxanthellae yang berada dalam jaringan endodermal berukuran antara 7-12,5 µm, sebagian besar mempunyai garis tengah 10 µm.

Pada Tabel 2. jumlah zooxanthellae pada Acropora relatif tetap pada


(41)

25

memiliki koralit kecil dengan bentuk pertumbuhan masif, memperlihatkan penurunan jumlah zooxanthellae pada laut yang dangkal dan laut yang dalam.

Seriatopora, yang umumnya mempunyai bentuk pertumbuhan bercabang dengan koralit kecil, tampak adanya penurunan jumlah zooxanthellae dengan

bertambahnya kedalaman air. Drew (1972) dalam Suharsono dan Soekarno

(1983) menemukan bahwa kepadatan zooxanthellae pada jaringan karang yang hidup di permukaan dan laut dalam relatif kurang, kepadatan maksimum pada karang di kedalaman 10 - 12m berhubungan dengan kebutuhan intensitas cahaya matahari yang optimal. Rendahnya kepadatan zooxanthellae pada perairan dangkal kemungkinan disebabkan oleh suhu, intensitas cahaya dan pasang surut.

Di bawah kondisi yang kurang menguntungkan karang dapat mengurangi jumlah

zooxanthellae sampai batas tertentu (McConnaughey, 1978 dalam Suharsono

dan Soekarno, 1983).

Tabel 2. Jumlah Zooxanthellae dalam Jaringan Karang (Suharsono dan Soekarno, 1983).

Keterangan :

CM = coklat muda HC = hijau kecoklatan

Jumlah Zooxanthellae (juta) per cm3

pada Kedalaman (m) Marga Bentuk

Pertum-buhan Warna 1-2 3-5 6-10 11-15 16-20 21-25

Acropora Fungia Porites Seriatopora Montipora Physogyra Pachyseris Merulina Pectinia Galaxea Favia Pavona Pocillopora Podabachia Echinopora Bercabang S.masif Masif Bercabang Folios S.Masif Folios Folios Folios S.Mmasif Masif Folios Bercabang Folios Folios CM CT CT CM HT CM CM CH CM HC CM CM CM CM CM - - 4,21 - - - - - - - 2,18 - 7,02 - - 23,20 16,20 31,35 32,90 21,45 - - - - 5,95 - - - - 4,88 17,85 13,77 15,75 32,50 32,40 48,47 10,10 20,65 - - - - - - - - - - 28,90 6,90 55,90 33,60 25,88 - 25,38 - 9,12 - - 9,84 22,79 - 13,50 - - 50,35 16,80 17,60 6,45 38,25 - - - - - 22,34 - 6,48 - - - 10,65 11,50 - - - - - 7,48 -


(42)

26

CT = coklat tua HT = hijau tua

Montipora bentuk daun dengan jaringan yang tipis, jumlah zooxanthellae terbanyak pada kedalaman 6-10 m. Jumlah zooxanthellae terbanyak pada

Physogyra rata -rata 17,79 x 106 sel/cm3. Physogyra yang memiliki koralit besar

berbentuk “flabellate”, serta dengan tentakel besar. Bentuk pertumbuhan tipis

melebar dengan jaringan yang tipis pada Pachyseris rata -rata 17,79 x 106

sel/cm3. Sedangkan Merulina dengan jaringan yang tipis jumlah

zooxanthellaenya 18,91 x 106 sel/cm3.

Ekologi Zooxanthellae

(1) Zooxanthellae sebagai Produsen pada Terumbu Karang

Penelitian di Atol Eniwetok menyimpulkan bahwa koloni karang ternyata memiliki komponen tumbuhan yang jauh lebih besar daripada komponen

hewan masing-masing dengan rata-rata 0,63 g/cm2 dan 0,021 g/cm2 berat

kering atau perbedaan tiga kali lipat (Muscatine, 1980). Komponen tumbuhan di sini dapat berupa zooxanthellae yang hidup dalam po lip dan “filamentous green algae” yang hidup terbenam dalam kerangka karang. Alga filamen juga merupakan simbion dengan karang. Jadi suatu koloni

karang sebenarnya merupakan coelenterata-algae yang telah merupakan

satu kesatuan ekologis yang sudah sangat terpadu. Biomass dari alga filamen ini jauh lebih banyak dari zooxanthellae, kurang lebih dalam rasio 15 : 1. Ada pula yang mengatakan bahwa kontribusi alga filamen terhadap terumbu karang adalah kecil karena rendahnya laju fotosintesis.

Selain alga-alga simbiotik (endozoik), produsen primer terumbu karang juga

diperankan oleh tumbuhan bentik dan fitoplankton. Kenyataan adanya biomassa tumbuhan yang besar dan keragamannya yang tinggi inilah yang dapat menerangkan mengapa terumbu karang dapat menopang komunitas yang sangat kaya dalam satuan luas yang terbatas.


(43)

27

(2) Produktivitas Zooxanthellae

Total wilayah terumbu karang di dunia sekitar 6 x 105 km2 yang merupakan

0,17% dari seluruh luas muka bumi dan 15% dari seluruh luas total dasar laut dangkal dengan kedalaman 0 - 3 m. Diperkirakan hanya 10% dari luas terumbu karang yang dihuni oleh hewan -hewan karang, berarti seluas

6x104 km2. Produktivitas karang adalah sebesar 15,5 C/m2/hari atau 5567

C/ m2 /tahun yang berarti untuk seluruh wilayah terumbu karang

produktivitasnya berkisar 0,58 – 3,4 x 108 ton C/tahun atau berarti pula

0,25% - 1,5% dari produktivitas plankton pada tingkat global (yang

sekarang diperkirakan 23 x 109 ton C/tahun) (Muscatine, 1980).

Data produktivitas karang di atas merupakan perkiraan rendah (underestimate) untuk produktivitas zooxanthellae. Produktivitas netto

zooxanthellae di dalam foraminifera bentik dapat mencapai 3,9 g C/m2/hari.

Jika total produksi zooxanthellae dalam organisme ini dan dalam organisme lainnya (sponge moluska, dsb.) serta zooxanthellae yang hidup dalam

anemon -anemon di daerah temperate ditambahkan dengan zooxanthellae

dalam karang, maka akan diperoleh nilai produktivitas zooxanthellae pada

tingkat global sebesar 4,6 x 108 ton C/tahun atau 2% dari total produksi

plankton, sesuatu yang menarik karena nilai ini lebih tinggi tiga kali lipat dari

produksi total plankton di daerah -daerah upwelling (Muscatine, 1980)

(3) Pigmen Fotosintetik dan Spektrum Aksi

Dalam proses fotosintesis, energi surya disadap oleh pigmen-pigmen fotosintetik, terpenting di antaranya ialah klorofil. Zooxanthellae mengandung berbagai pigmen fotosintetik (Barnes and Chalker, 1990). Zooxanthellae pada berbagai inangnya, yakni tujuh jenis tridacnidae, delapan jenis karang zoantharia dan alcyonaria, dan satu jenis hydrozoa mengandung pigmen -pigmen yang identik dengan yang ada pada

dinoflagellata Amphidinium sp, yang meliputi pigmen-pigmen klorofil-a dan


(44)

28

xanthophyl lainnya. Peridinin dan dinoxanthin adalah spesifik terdapat pada

dinoflagellata, dimana peridinin berfungsi sebagai ‘accessory pigment

dalam proses fotosintesis.

Sinar surya mempunyai spektrum yang sangat lebar, namun yang dapat diserap untuk fotosintesis hanyalah spektrum yang kurang lebih sama dengan spektrum cahaya tampak, yakni kurang lebih panjang gelombang

400nm sampai 720nm (disebut PAR = photosinthetically active radiation).

Gelombang yang lebih panjang dari 600nm diserap oleh klorofil-a

sedangkan yang lebih pendek diserap oleh “acessory pigment”.

Kemampuan fotosintetik tumbuhan pada berbagai panjang gelombang akan membentuk suatu gambaran yang dikenal sebagai ‘spektrum aksi’. Spektrum aksi ini akan menunjukkan efisiensi penggunaan cahaya pada berbagai gelombang dan merupakan suatu sifat penting yang akan menentukan kemampuan adaptasi pada berbagai kondisi cahaya di laut.

Contoh spektrum aksi pada zooxanthellae yang diisolasi dari karang masif

Favia pallida menunjukkan bahwa alga simbion tersebut mempunyai respon terhadap cahaya monokromatis dari 300nm sampai 720nm, dengan puncak

pada 440nm dan 675nm. Scott and Jitts (1977) dalam Nontji (1984)

menunjukkan pola respon yang serupa untuk spektrum antara 400nm –

700nm yang diperolehnya dari pengamatan in vitro untuk zooxanthellae dari

Tridacna maxima dan dari karang Pocillopora damicornis pada penyinaran (irradians) yang rendah (3 x 108 quanta/m2/sec). Penyinaran yang tinggi

memberikan respons yang lebih merata.

Falkowski et al. (1990) mengutarakan bahwa meskipun zooxanthellae pada

kerang dan karang adalah sama, namun laju fotosintesisnya berbeda tergantung pada jenis hewan inangnya. Zooxanthellae karang pada

perairan yang dalam dengan irradian yang lemah akan menunjukkan

efisiensi fotosintesis yang tinggi (shade adapted). Sebaliknya yang hidup

dipermukaan dengan irradian yang kuat efisiensinya rendah (‘light


(1)

230

Lampiran 14.

Lanjutan

ANOVA(e)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regressio

n 3,065 1 3,065 5,865 ,020(a)

Residual 22,471 43 ,523

1

Total 25,536 44

Regressio

n 6,185 2 3,093 6,713 ,003(b)

Residual 19,350 42 ,461

2

Total 25,536 44

Regressio

n 9,977 3 3,326 8,763 ,000(c)

Residual 15,559 41 ,379

3

Total 25,536 44

Regressio

n 12,025 4 3,006 8,900 ,000(d)

Residual 13,511 40 ,338

4

Total 25,536 44

a Predictors: (Constant), jml z oo

b Predictors: (Constant), jml zoo, Porites cyncira

c Predictors: (Constant), jml zoo, Porites cyncira, Diploastrea heliopora

d Predictors: (Constant), jml zoo, Porites cyncira, Diploastrea heliopora, Agaricia incrustan e Dependent Variable: 660 nm

6) Panjang Gelombang 710nm

Model Summary(c)

Mo

del R

R Squar

e

Adjust ed R Squar e

Std. Error of the

Estimate Change Statistics

R Square Change

F Chan

ge df1 df2

Sig. F Change 1 ,537(a

) ,288 ,272

,048320872

1725884 ,288

17,40

3 1 43 ,000

2 ,698(b

) ,488 ,463

,041480079

9388052 ,199

16,35

2 1 42 ,000

a Predictors: (Constant), Goniastrea sp

b Predictors: (Constant), Goniastrea sp, Symphillia agaricia c Dependent Variable: 710 nm


(2)

231

Lampiran 14.

Lanjutan

ANOVA(c)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regressio

n ,041 1 ,041 17,403 ,000(a)

Residual ,100 43 ,002

1

Total ,141 44

Regressio

n ,069 2 ,034 19,984 ,000(b)

Residual ,072 42 ,002

2

Total ,141 44

a Predictors: (Constant), Goniastrea sp

b Predictors: (Constant), Goniastrea sp, Symphillia agaricia c Dependent Variable: 710 nm

7) Panjang Gelombang 760nm

Model Summary(c) Mod

el R

R Squar

e

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Change Statistics

R Square Change

F Change

df 1

df 2

Sig. F Change

1 ,502(

a) ,252 ,234

,0355222737849

587 ,252 14,478 1 43 ,000

2 ,647(

b) ,419 ,391

,0316772927656

716 ,167 12,072 1 42 ,001

a Predictors: (Constant), Porites cyncira

b Predictors: (Constant), Porites cyncira, Goniastrea sp c Dependent Variable: 760 nm

ANOVA(c)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regressio

n ,018 1 ,018 14,478 ,000(a)

Residual ,054 43 ,001

1

Total ,073 44

Regressio

n ,030 2 ,015 15,139 ,000(b)

Residual ,042 42 ,001

2

Total ,073 44

a Predictors: (Constant), Porites cyncira

b Predictors: (Constant), Porites cyncira, Goniastrea sp c Dependent Variable: 760 nm


(3)

232

Lampiran 14.

Lanjutan

8) Panjang Gelombang 810nm

Model Summary(c)

Mo

del R

R Squar

e

Adjust ed R Squar e

Std. Error of the

Estimate Change Statistics

R Square Change

F

Change df1 df2

Sig. F Change 1 ,425(a

) ,180 ,161

,853381984828

7010 ,180 9,454 1 43 ,004

2 ,523(b

) ,273 ,239

,812939929252

6520 ,093 5,385 1 42 ,025

a Predictors: (Constant), jml zoo

b Predictors: (Constant), jml zoo, Leptoseris foliosa c Dependent Variable: 810 nm

ANOVA(c)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regressio

n 6,885 1 6,885 9,454 ,004(a)

Residual 31,315 43 ,728

1

Total 38,200 44

Regressio

n 10,444 2 5,222 7,901 ,001(b)

Residual 27,757 42 ,661

2

Total 38,200 44

a Predictors: (Constant), jml zoo

b Predictors: (Constant), jml zoo, Leptoseris foliosa c Dependent Variable: 810 nm


(4)

233

Lampiran15.

Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Reflektansi Spektral 16 Jenis Karang dan Hasil Uji Beda Rata-rata (

Tukey HSD

0.05

)

pada Panjang Gelombang 560, 610, 660 dan 760nm

ANOVA

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 6.311 14 .451 542. 555 .000

Within Groups 8.105 9756 .001

Total 14.416 9770

Descriptives

95% Confidence Interval for Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

Acropora formosa 195 .3001 .01268 .00091 .2983 .3019 .25 .32

Acropora palivera 191 .2979 .02328 .00168 .2946 .3012 .21 .33

Ac.nasuta &

valenceinnesi 1251 .2630 .02853 .00081 .2614 .2646 .15 .33 Porites rus 470 .2492 .03340 .00154 .2462 .2522 .19 .32 Leptoseris foliosa 665 .2910 .02448 .00095 .2891 .2928 .19 .33 Diploastrea

heliopora 750 .2287 .01681 .00061 .2275 .2299 .16 .27 Goniopora 1115 .2612 .03327 .00100 .2592 .2631 .15 .33

Sinularia sp. 2 481 .2811 .04362 .00199 .2772 .2850 .14 .33

Sinularia sp.3 438 .1903 .01738 .00083 .1887 .1920 .14 .23

Sinularia sp. 1 483 .2415 .01519 .00069 .2401 .2428 .18 .28 Montipora ramosa 658 .2697 .04232 .00165 .2665 .2730 .15 .34

Pachyer is rugosa 456 .2928 .02961 .00139 .2901 .2955 .20 .35 Porites sp 510 .2355 .01908 .00084 .2338 .2372 .15 .28

Porites lutea 1084 .2790 .03151 .00096 .2771 .2809 .15 .33

Symphillia agaricia 1024 .2858 .02412 .00075 .2843 .2873 .18 .34


(5)

234

Lampiran15.

Lanjutan

Tukey HSD

Jenis Karang N Subset for alpha = .05

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Sinularia sp.3 438 .1903

Diploastrea heliopora 750 .2287

Porites sp 510 .2355

Sinularia sp.1 483 .2415

Porites rus 470 .2492

Goniopora 1115 .2612

Ac.nasuta &

Ac.valenceinnesi 1251 .2630

Montipora ramosa 658 .2697

Porites lutea 1084 .2790

Sinularia sp.2 481 .2811 .2811

Symphillia agaricia 1024 .2858 .2858

Leptoseris foliosa 665 .2910 .2910

Pachyeris rugosa 456 .2928 .2928

Acropora palivera 191 .2979 .2979

Acropora formosa 195 .3001


(6)

235

y = 9,6069x - 2,3249 R2 = 1

-0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8

0 0,1 0,2 0,3 0,4

Series1 Linear (Series1)

Lampiran15.

Lanjutan

Jenis Karang

Nilai Hasil Penerapan Formula

Nilai Hasil Standarisasi

Sinularia sp.3 0,190349 -0,49626

Diploastrea heliopora 0, 228694 -0,12788

Porites sp 0,235507 -0,06243

Sinularia sp.1 0,241485 -0,005

Porites rus 0,249201 0,069121

Goniopora 0,261188 0,18428

Ac.nasuta & Ac.valenceinnesi 0,263002 0,201712

Montipora ramosa 0,269738 0,266418

Porites lutea 0,279006 0,355458

Sinularia sp.2 0,281133 0,375895

Symphillia agaricia 0,285796 0,420686

Leptoseris foliosa 0,290956 0,470257

Pachyeris rugosa 0,292784 0,487819

Acropora palivera 0,297904 0,537008

Sinularia sp.3 0,300098 0,558086