Analisis karakteristik reflektansi spektral fitoplankton menggunakan citra MODIS

(1)

ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI

SPEKTRAL FITOPLANKTON

MENGGUNAKAN CITRA MODIS

SRI HUTRI MADELA

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL FITOPLANKTON MENGGUNAKAN CITRA MODIS

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

SRI HUTRI MADELA C54061853


(3)

RINGKASAN

SRI HUTRI MADELA. Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral

Fitoplankton Menggunakan Citra MODIS. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan TUMPAK SIDABUTAR.

Keberlangsungan sumberdaya hayati laut dapat dipengaruhi oleh ketersediaan fitoplankton sebagai produsen dalam rantai makanan. Namun peningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat dapat berakibat negatif bagi biota dan kehidupan dilaut seperti blooming fitoplankton yang sering terjadi di Teluk Jakarta dan sering didominasi oleh satu genus atau spesies. Oleh karena itu diperlukan adanya pemantauan spasial dan temporal terhadap

fitoplankton yang dominan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola karakteristik spektral fitoplankton dominan berdasarkan nilai reflektansi dari citra MODIS. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2010 di Teluk Jakarta, DKI Jakarta. Penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu pengambilan data lapang yaitu kelimpahan fitoplankton, TSS dan CDOM. Kelimpahan fitoplankton diambil menggunakan planktonet dan kemudian dicacah di bawah mikroskop. Contoh air untuk analisis TSS dan CDOM diambil menggunakan Nansen. Analisis laboratorium dilakukan di laboratorium P2O LIPI dan laboratorium Biomikro, FPIK, IPB. Analisis data fitoplankton meliputi komposisi dan

persentase kelimpahan fitoplankton. Analisis citra MODIS dilakukan dengan mengekstrak nilai reflektansi pada masing-masing stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan empat kelas fitoplankton pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 di Teluk Jakarta. Empat kelas yang ditemukan yaitu Bacillariophyceae (12 genus), Dinophyceae (8 genus), Chrysophyceae ( 1 genus) dan Coscinodischopyceae (1 genus). Genus yang ditemukan yaitu Bacteriastrum, Cosconidiscus, Chaetoceros, Navicula, Nitzschia, Skletonema, Thalassiosira, Thalassiothix, Rhizosolenia, Thalasionema Pleurosigma, Stephanopyxsis, Protoperidinium, Ceratium , Dinophysis, Gonyaulax, Gymnodinium , Noctiluca, Protoperidinium, Prorocentrum, Dictyocha dan Eucampia.

Kelimpahan fitoplankton pada 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 di Teluk Jakarta didominasi oleh Skletonema dengan persentase sebesar 90.8 %. Pola reflektansi fitoplankton yang didominasi oleh Skletonema pada kisaran panjang gelombang 400-700 nm mengalami satu kali puncak yaitu pada panjang

gelombang 555 nm. Dengan menggunakan regresi sederhana diperoleh adanya hubungan yang signifikan antara kandungan TSS dan CDOM dengan nilai reflektansi pada panjang gelombang tertentu. Kandungan TSS berhubungan erat terhadap reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema terlihat pada panjang gelombang 545-565 dan 620-670 nm. Kandungan CDOM berhubungan erat dengan reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada panjang gelombang 405-420 nm. Dengan adanya hubungan yang signifikan antara reflektansi dan TSS (R²= 0.574) pada panjang gelombang ini (620-670 nm) maka dapat dijadikan untuk menduga apakah kelimpahan Skeletonema mencapai blooming atau masih normal.


(4)

© Hak cipta milik Sri Hutri Madela, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(5)

ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI

SPEKTRAL FITOPLANKTON

MENGGUNAKAN CITRA MODIS

SRI HUTRI MADELA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

Judul : ANALISIS KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL FITOPLANKTON MENGGUNAKAN CITRA MODIS Nama : Sri Hutri Madela

NRP : C54061853

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc NIP. 19561103 198503 1 003 NIP. 19601224 198603 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003


(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga penelitian ini dapat selesai. Penelitian berjudul “Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral Fitoplankton Menggunakan Citra MODIS”. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. .

Dalam penyusunannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas kasih sayang dan dukungannya baik secara moril maupun materil.

2. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc selaku dosen pembimbing.

3. Dr. Alan Frendy Koropitan, S.Pi, M.Si atas ketersediaannya menjadi dosen penguji dan memberikan saran dalam penulisan skripsi.

4. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen ITK, FPIK, IPB.

5. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI) yang telah memberikan kesempatan mengikuti pengambilan data lapangan. 6. Muhammad Ismail Sakaruddin yang telah memberikan dukungan, motivasi dan


(8)

7. Enda, Anissa Kusuardini, Erlan Nurcahya Putra, Fitriyah Anggreini, Siti Marsugi dan Dyah Isnaini Prastiwi yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi.

8. Semua teman-teman di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB, khususnya angkatan 43, atas motivasi dan semua pengalaman yang tidak akan terlupakan.

9. Penghuni Wisma Nabila dan seluruh sahabat-sahabat IKMP

10. Seluruh pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca dan memberikan suatu informasi yang dapat memajukan dan melestarikan dunia kelautan.

Bogor, Februari 2011


(9)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta ... 3

2.2. Fitoplankton ... 4

2.3. Klorofil-a ... 7

2.4. Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM) ... 8

2.5. Karakteristik Sensor MODIS ... 9

2.6. Karakteristik Spektral Fitoplankton ... 10

2.7. Sifat Optik Kolom Air ... 11

3. METODOLOGI ... 14

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 14

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Metode Pengambilan Contoh ... 15

3.4. Analisis Contoh di Laboratorium ... 16

3.4.1. Identifikasi Fitoplankton ... 16

3.4.2. Padatan Tersuspensi Total ... 16

3.4.3. Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM) ... 17

3.5. Analisa Data ... 17

3.5.1 Kelimpahan Fitoplankton ... 17

3.5.2 Analisis Hubungan Reflektansi Spektral Fitoplankton dengan TSS dan CDOM ... 18

3.5.3 Pengolahan Citra ... 18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1. Fitoplankton ... 21

4.1.1. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton ... 21

4.1.2. Hubungan Fitplankton dan Klorofil-a ... 23

4.2. Kurva Reflektansi Spektral Skeletonema ... 26

4.3. Hubungan Reflektansi Spektral Skeletonema dengan TSS dan CDOM ... 29


(10)

iv

5.2. Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

LAMPIRAN ... 42


(11)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Teluk Jakarta (Tarigan, 2008) ... 3 Gambar 2. Diagram dari perairan case 1 dan 2 (Prieur and

Sathyendranath,1981 in Sathyendranath, 2000). ... 13 Gambar 3. Lokasi penelitian ... 14 Gambar 4. Diagram alir pengolahan citra ... 20 Gambar 5. Kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta tanggal 20, 22, 24

dan 26 Maret 2010 ... 22 Gambar 6. Hubungan kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a ... 24 Gambar 7. Regresi linear hubungan kelimpahan fitoplankton

dan klorofil-a ... 25 Gambar 8. Kurva reflektansi spektral dengan fitoplankton yang

didominasi oleh Skeletonema. ... 26 Gambar 9. (a) Kurva rata-rata reflektansi spektral citra MODIS dengan

fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema . (b) Reflektansi Spektral Skeletonema (Liew et.al, 2000) (c) Hubungan antara reflektansi (%) dan panjang gelombang pada berbagai

konsentrasi Skeletonema costatum (kultur)

(Uno et al. 1980 dalam Catts et al.,1985)... ... 28 Gambar 10. Regresi sederhana hubungan TSS dengan reflektansi spektral

fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang gelombang 405-420 nm, (b) 438 – 448nm, (c) 483-493 nm, (d) 526-536 nm, (e) 545-565 nm, (f) 620-670 nm,

(g) 673-683 nm ... 35 Gambar 11. Regresi sederhana hubungan CDOM dengan reflektansi spektral

fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang gelombang 405-420 nm, (b) 438 – 448nm, (c) 483-493 nm, (d) 526-536 nm, (e) 545-565 nm, (f) 620-670 nm,


(12)

vi

Halaman Tabel 1. Spesifikasi sensor MODIS ... 9 Tabel 2. Alat dan bahan penelitian ... 15 Tabel 3 Genus fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada

tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 ... 21 Tabel 4. Persaman regresi sederhana hubungan reflektansi spektral


(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tabel nilai koefisien determinasi (R2) dan persamaan regresi

CDOM dan TSS pada masing-masing panjang gelombang... 43

Lampiran 2. Kelimpahan fitoplankton pada stasiun penelitian ... 44

Lampiran 3 Data lapangan CDOM dan TSS pada saat survei ... 52

Lampiran 4. Foto-foto kegiatan. ... 53

Lampiran 5. Beberapa jenis fitoplankton yang umum ditemukan di Teluk Jakarta (Nontji, 1984)... ... 54


(14)

1 1.1 Latar Belakang

Keberlangsungan sumberdaya hayati laut dapat dipengaruhi oleh

ketersediaan fitoplankton sebagai produsen dalam rantai makanan. Namun, tidak selamanya peningkatan populasi fitoplankton yang sangat tinggi dan cepat akan berdampak positif terhadap kehidupan di laut. Beberapa kejadian blooming fitoplankton justru berpengaruh negatif bagi kehidupan biota laut, karena racun yang dihasilkan oleh beberapa jenis fitoplankton tertentu dan penurunan

kandungan oksigen terlarut sehingga memungkinkan terjadinya kematian massal ikan seperti yang sering terjadi di Teluk Jakarta. Banyaknya masukan dari daratan menyebabkan perairan Teluk Jakarta memiliki kandungan nutrien yang tinggi yang menjadi sumber makanan bagi fitoplankton, sehingga pada waktu-waktu tertentu terjadi marak alga.

Marak alga biasanya didominasi oleh satu atau dua jenis fitoplankton. Oleh karena itu pemantauan variasi spasial dan temporal dari grup fitoplankton yang dominan pada skala global adalah sesuatu yang penting (Bracher ,2008).

Pemantauan populasi fitoplankton yang dominan masih banyak dilakukan dengan metode konvensional. Penginderaan jauh merupakan salah satu metode yang dapat mencakup suatu areal yang luas dalam waktu bersamaan dan membutuhkan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan metode konvensional. Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) merupakan salah satu sensor


(15)

2

satelit dengan resolusi temporal yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan untuk memantau populasi fitoplankton di Teluk Jakarta.

Prinsipnya setiap benda memantulkan dan atau memancarkan gelombang elektromagnetik. Apabila pada suatu luasan tedapat beberapa jenis fitoplankton maka masing-masing jenis fitoplankton akan memberikan pantulan dan atau pancaran elektromagnetik yang dapat diterima oleh sensor, dengan demikian keberadaan fitoplankton dapat dideteksi berdasarkan pantulan gelombang elektromagnetiknya. Kemampuan fitoplankton yang tinggi dalam menyerap energi cahaya matahari yang menentukan spektrum medan cahaya di laut dan pentingnya fitoplankton dalam rantai makanan di laut maka fitoplankton harus diperhitungkan dalam setiap penelitian sifat optik perairan (Nurjannah, 2006). Liew et.al(2000) telah melakukan penelitian mengenai teknik untuk klasifikasi tipe dari bloom alga yaitu jenis Trichodesmium, cain forming

diatoms/Skeletonema (Singapore), Cochlodinium, Ceratium dan Pyrodinium bahamense , Dinoflagellates (terutama Dinophysis caudata), Diatoms (Rhizolenia sp), Skeletonema dengan beberapa Dinofalgellata, Protoperidinium dan Ceratium berdasarkan reflektansi energi dari objek/benda-benda tersebut di perairan pantai sekitar Singapura dan Teluk Manila.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola karakteristik spektral fitoplankton berdasarkan nilai reflektansi dari citra MODIS pada tanggal 20-27 Maret 2010 di Teluk Jakarta.


(16)

3 2.1 Kondisi Umum Teluk Jakarta

Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jawa dengan panjang pantai sejauh 72 km yang diapit oleh Tanjung Pasir di Barat dan Tanjung Karawang di timur. Teluk Jakarta ini terletak secara geografis pada koordinat 5⁰48’29.88”- 6⁰10’30” LS dan 106⁰33’00”- 107⁰03’00” BT. Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal dengan variasi kedalaman sebesar 1-24 m. Terdapat 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta diantaranya 3 sungai besar yaitu Sungai Cisadane, S. Ciliwung dan S. Citarum, sedangkan 10 sungai kecil diantaranya S. Kamal, S. Cengkareng, S. Angke, S. Karang, S. Ancol, S. Sunter, S. Cakung, S. Blencong, S. Grogol dan S.Pasanggrahan (Gambar 1).


(17)

4

Secara oseanografis Teluk Jakarta merupakan bagian dari Laut Jawa

sehingga perairan ini juga dipengaruhi oleh sifat-sifat serta perubahan yang terjadi di Laut Jawa. Peningkatan pemanfaatan sumber daya laut merupakan fenomena dari kemajuan teknologi dan semakin meningkatnya pula ketergantungan manusia terhadap laut. Oleh sebab itu secara langsung maupun tidak langsung tekanan-tekanan yang terus meningkat akan sangat berpengaruh terhadap ekosistem perairan Teluk Jakarta (Tarigan, 2008).

2.2 Fitoplankton

Fitoplankton atau plankton nabati merupakan penggolongan kelompok plankton secara fungsional. Definisi plankton adalah makhluk (tumbuhan dan hewan) yang hidupnya mengapung, mengambang atau melayang di dalam air yang kemampuan renangnya (kalaupun ada) sangat terbatas hingga terbawa hanyut oleh arus. Jadi fitoplankton adalah tumbuhan yang hidupnya melayang atau mengapung dalam laut (Nontji, 2008). Fitoplankton bisa ditemukan diseluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis.

Fitoplankton mempunyai fungsi penting di laut, karena bersifat autrofik, yaitu dapat menghasilkan sendiri bahan organik makanannya. Fitoplankton juga mampu melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik karena mengandung klorofil. Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu parameter ekologi yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi ekologis suatu perairan dan merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan


(18)

Kelompok fitoplankton yang sangat umum dijumpai di perairan tropis adalah Diatom (Bacillariophyceae) dan Dinoflagellata (Dynophyceae) (Nontji, 2008). Diatom adalah salah satu kelompok besar fitoplankton yang banyak menarik perhatian untuk diteliti karena keberadaannya yang selalu mendominasi di wilayah perairan laut khususnya di wilayah bersuhu dingin dan kaya nutrisi (Raymont, 1980; Valiela, 1995 in Soedibjo, 2007). Ukuran diatom cukup beragam, dari yang kecil berukuran sekitar 5 µm hingga yang relatif besar berukuran 2 mm. Distribusi plankton khususnya Diatom bervariasi secara temporal (bergantung waktu) dan spasial (menurut ruang), yang banyak

ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Nontji, 2008).

Hasil penelitian Fachrul et.al (2005) menemukan 42 jenis fitoplankton dari kelompok Diatom (21 jenis) dan non Diatom masing-masing dari kelas

Chlorophyta (3 jenis), kelas Cyanophyta (4 jenis), kelas Dinoflagellata (8 jenis) dan kelas Tintinidae (6 jenis) pada bulan Desember 2004 di Teluk Jakarta. Sedangkan fitoplankton yang mendominasi perairan tersebut adalah dari marga Chaetoceros, Skeletonema dan Stephanopyxsis yang diketahui mampu bertahan di perairan tercemar. Sementara Soedibjo (2007) menemukan 4 jenis marga

predominan (Chaetoceros, Skeletonema, Rhizosolenia, dan Bacteriastrum) pada bulan Agustus 2003 di Teluk Jakarta. Menurut Nontji (2008) bahwa di perairan Laut Jawa sering ditemukan populasi Skeletonema yang menyebabkan air

berwarna hijau kecoklatan, selain itu banyak juga ditemukan jenis Diatom lainnya seperti Chetoceros, Bacteristrum dan Rhizosolenia.


(19)

6

Blooming fitoplankton umumnya ditunjukkan dengan densitas komunitas fitoplankton yang tinggi, bahkan melampaui rata-rata kondisi eutrofik (Basmi, 1994 in Mulyasari et. al, 2003). Harmful Algal Blooms (HABs) adalah istilah yang digunakan untuk mengacu pada pertumbuhan lebat fitoplankton di laut atau perairan payau yang dapat menyebabkan kematian missal ikan, mengontaminasi makanan bahari dengan toksin (racun yang diproduksi oleh fitoplankton) dan mengubah ekosistem sedemikian rupa yang dipersepsikan manusia sebagai mengganggu (harmful) (GEOHAB, 2000 in Nontji, 2008). Toksin dari spesies yang berbahaya terkonsentrasi di jaringan kerang dan dampak dari toksin terlihat setelah mengkonsumsi jaringan tersebut. Orang yang memakan makanan bahari yang terkontaminasi toksin HAB dapat menderita keracunan, tergantung jenis toksin yang diproduksi oleh biota HAB. Sebagian grup dari alga tidak mengandung toksin, tetapi jika memiliki biomassa yang sangat tinggi dapat berdampak negatif karena penurunan kandungan oksigen terlarut (Van-der-Woerd et. al, 2005).

Sebelumnya juga dikenal istilah red tide untuk menggambarkan ledakan populasi fitoplankton yang dapat mengubah warna air laut. Tetapi istilah ini sering menyesatkan karena tidak selalu ledakan populasi fitoplankton ini berwarna merah (red), bisa kuning, hijau, kecokelat-cokelatan. Selain itu, ledakan populasi ini tidak berkaitan dengan tide alias pasang surut (Nontji, 2008).

Jenis plankton yang potensial sebagai penyebab Harmful Algal Bloom (HAB) yang terdapat di perairan Teluk Jakarta adalah dari filum Dinoflagellata seperti: Ceratium, Dinophysis, Gonyaulax dan Gymnodium. Filum


(20)

sedangkan dari filum Cyanophyceae adalah genus Trichodesmium (Mulyasari et.al, 2003). Spesies yang menjadi penyebab HAB, akan menjadi bahaya pada saat kelimpahan lebih besar dari 103 sel/l. Sedangkan untuk fitoplankton yang bukan HAB akan menjadi bahaya pada saat kelimpahan lebih besar dari 106 sel/l.

2.3 Klorofil-a

Menurut Nontji (1984) klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi pertumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton dan dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di laut. Klorofil memegang posisi kunci dalam reaksi fotosintesis yang memegang peranan dalam produktivitas perairan (Nontji, 2008).

Klorofil-a berpotensial sebagai indikator untuk estimasi biomassa dari fitoplankton yang diteliti secara ekstensif (Alarcon, et.al, 2006). Sifat klorofil yang dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu dimanfaatkan untuk mendeteksi sebaran klorofil fitoplankton di permukaan laut dari satelit. Individu fitoplankton memang berukuran sangat kecil, akan tetapi bila berada dalam satu komunitas maka warna hijau yang menjadi ciri khas klorofil

fitoplankton dapat diindera melalui satelit. Kandungan klorofil-a disuatu perairan dapat digunakan untuk menghitung biomassa fitoplankton (Nontji, 1987).

Penginderaan terhadap fitoplankton didasarkan pada kenyataan bahwa semua fitoplankton mengandung klorofil, pigmen berwarna hijau yang ada pada setiap tumbuhan. Klorofil cenderung menyerap warna biru dan merah serta


(21)

8

Penelitian mengenai konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta telah banyak dilakukan. Menurut Wouthuyzen (2007) dengan mengekstraksi konsentrasi klorofil-a melalui citra MODIS dapat diestimasi konsentrasi klorofil-a rata-rata 10 tahun untuk keseluruhan Teluk Jakarta berkisar 0.323-2.965 mg/m3. Wouthuyzen (2007) juga mengembangkan sistem peringatan dini untuk menduga kejadian marak algae di Teluk Jakarta dengan mengelompokkan konsentrasi klorofil-a perairan dalam kriteria aman (< 5 mg/m3), hati-hati (5- 10 mg/m3) dan bahaya ( 10 mg/m3). Kriteria bahaya dapat mengindikasikan terjadinya eutrofikasi di Teluk Jakarta.

2.4 Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM)

CDOM atau Yellow Substances adalah suatu kelompok unsur organik yang dan terdiri dari asam fulvic dan humic (Nurjannah, 2000). Menurut Hansell dan Clarson (1998) in Hu et al. (2006) CDOM merupakan bagian dari Dissolved Organic Matter (DOM) di laut. DOM dalam perairan laut sangat kompleks dan umumnya mudah terurai. Kelompok organik terlarut ini sangat penting secara biokimia terutama sebagai energi bagi mikroorganisme. CDOM kemungkinan berasal dari sel fitoplankton dan partikel-partikel organik lainnya dari sumber yang jauh. Sebagai contoh sungai yang mengalir sepanjang daerah yang kaya akan unsur organik akan mengakumulasi banyak sekali CDOM sepanjang lintasan sungai tersebut (Nurjannah, 2000).

CDOM berperan penting di ekosistem akuatik dan berpengaruh terhadap warna dan kualitas perairan tersebut (Kirk 1983, Dera 1992, Lindell and Rai 1994


(22)

in Toming et al 2009). CDOM dapat mengurangi sifat optik perairan pada panjang gelombang tampak (400-700 nm ) dan ultraviolet (280-400 nm). CDOM bersaing dengan fitoplankton dan tanaman akuatik lainnya dalam menangkap energi cahaya.

2.5 Karakteristik Sensor MODIS

Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) adalah salah satu sensor penting dalam satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Garis edar satelit Terra di sekitar bumi di atur sedemikian waktu sehingga melintas dari utara ke selatan dan melewati garis khatulistiwa pada pagi hari, sedangkan satelit Aqua melintas dari selatan ke utara dan berada di garis khatulistiwa di sore hari. TERRA MODIS dan Aqua MODIS mengamati keseluruhan permukaan bumi setiap 1 hingga 2 hari, dan memperoleh data dari 36 spektral kanal. Sensor MODIS dilengkapi dengan sensitifitas radiometrik tinggi (12 bit) dengan

memiliki 36 spektral kanal yang berkisar pada panjang gelombang 0.4-14.4 µm. Untuk kanal 1 dan 2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 sebesar 500 m dan kanal 8-36 sebesar 1 km (Maccherone, 2005).

Adapun spesifikasi dari sensor MODIS antara lain dapat ditampilkan pada Tabel 1. (Maccherone, 2005).


(23)

10

Tabel 1. Spesifikasi sensor MODIS

Orbit 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous

Luas Liputan 2330 km dengan10 km (sepanjang nadir) Ukuran 1.0 x 1.6 x 1.0 m

Berat 228.7 kg

Tenaga 162.5 W

Kuantisasi Data 12 bit

Resolusi spasial 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36) Umur Desain 6 tahun

2.6 Karakteristik Spektral Fitoplankton

Menurut Liew et.al (2000) reflektansi spektral merupakan rasio dari radiansi yang dideteksi dari permukaan target terhadap total radiansi yang datang.

Karakteristik reflektansi dari permukaan bumi mungkin bisa diukur dengan pengukuran bagian dari energi yang masuk yang direflektansikan. Pengukuran ini merupakan fungsi dari panjang gelombang yang disebut reflektansi spektral (R ). Secara matematika reflektansi spektral diperoleh dari

………(1) Keterangan :

adalah energi dari panjang gelombang yang direfleksikan oleh objek dan adalah energi dari panjang gelombang yang masuk pada objek.


(24)

Grafik dari reflektansi spektral suatu objek sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut dengan kurva reflektansi spektral. Bentuk dari kurva reflektansi spektral memberikan informasi mengenai karakteristik objek dan berpengaruh kuat dalam pemilihan saluran panjang gelombang pada penginderaan jauh untuk terapan tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1979)

Menurut Barale (1987) in Susilo dan Gaol (2008) bahwa pada umumnya fitoplankton dan produk-produk turunannya, bahan-bahan sedimen anorganik dan bahan-bahan hasil penghancuran organisme laut dan teresterial (disebut juga sebagai yellow substance) menjadi bahan utama yang mempengaruhi ocean color.

Liew et.al (2000) telah mengklasifikasikan 8 tipe blooming fitoplankton berdasarkan reflektansi objek dari data penginderaan jauh yaitu SeaWiFS dan MERIS. Kedelapan jenis fitoplankton tersebut antara lain:Trichodesmium, chain forming diatoms/Skeletonema, Cochlodinium, Ceratium dan Pyrodinium

bahamense, Dinoflagellates, Diatoms, Skeletonema, dan gabungan Protoperidinium dan Ceratium.

2.7 Sifat Optik Kolom Air

Sifat optik laut secara umum dapat dibedakan menjadi 5 jenis yaitu (1) sifat penyerapan atau absorption , (2) sifat pemencaran atau scattering, (3) sifat pemantulan atau reflection atau backscattering, (4) sifat penerusan atau

transmission dan (5) sifat pemancaran kembali atau emission. Seluruh sifat optik laut tersebut sangat penting di dalam penginderaan jauh kelautan. Walaupun demikian untuk penginderaan jauh obyek-obyek biologis laut, khususnya untuk


(25)

12

deteksi fitoplankton dan produktivitas primer laut maka sifat pemantulanlah yang paling penting (Susilo dan Gaol, 2008)

Absorpsi dibagi tiga yakni kontribusi dari air laut jernih (aw), fitoplankton (a ) dan CDOM (aCDOM); backscatter (hamburan-balik) dibagi menjadi dua, yakni kontribusi dari air laut jernih (bbw), partikel(bbp) dan CDOM (bCDOM). Distribusi spektral dari irradiansi perairan ditentukan oleh proses absorbsi dan backscatter (hamburan-balik) dari berbagai jenis komponen dalam air tersebut. Karakteristik spektral dari komponen tersebut dapat ditentukan dengan rasio variabel dari komponen-komponen tersebut ( Spinrad, et al. 1994). Menurut Sathyendranath (2000) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sinyal yang berasal dari air yakni : cahaya matahari langsung yang merambat di atmosfer lalu penetrasi ke dalam laut dan sebagian akan diserap dan disebarkan oleh molekul molekul air atau oleh berbagai bahan organik tersuspensi yang ada dalam air.

Tipe perairan dibagi menjadi dua (case) berdasarkan materi pembentuk warna perairan. Case 1 merupakan daerah perairan lepas pantai, komponen utama yang mempengaruhi sifat optik/bio-optik air laut adalah pigmen-pigmen fitoplankton (khusunya klorofil-a). Case 2 merupakan daerah yang tidak hanya dipengaruhi oleh fitoplankton, tetapi juga dari kandungan perairan lainnya khususnya partikel inorganik dan yellow substance. Case 2 perairan dengan materi tersuspensi dan atau yellow substance yang mungkin memberikan kontribusi yang signifikan terhadap sifat optik perairan. Gambar dari kedua tipe perairan terlihat pada Gambar 2. Sifat optik perairan (absorpsi atau reflektansi) pada beberapa panjang gelombang, waktu dan lokasi tertentu dipengaruhi oleh fitoplankton, padatan tersuspensi dan yellow substances.


(26)

Yellow substances kemungkinan berasal dari sel-sel fitoplankton dan partikel-partikel organik lainnya dari sumber yang jauh. Yellow substances lebih banyak terakumulasi pada daerah yang lebih dalam dibandingkan kolom air (Nurjannah, 2006).

Gambar 2. Diagram dari perairan Case 1 dan 2 (Prieur and Sathyendranath ,1981 in Sathyendranath, 2000).


(27)

14

3.

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober 2010. Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 20-27 Maret 2010 dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dengan judul Kajian Blooming Alga (HAB) di Teluk Jakarta dalam Hubungannya dengan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System). Penelitian berada di perairan Teluk Jakarta pada koordinat 5⁰48’29.88”- 6⁰10’30” LS dan 106⁰33’00”- 107⁰03’00” BT (Gambar 3). Untuk analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium LIPI dan Laboratorium Biomikro Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor.


(28)

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah beberapa alat untuk penentuan lokasi (GPS Map 78s), pengambilan data insitu dan pengambilan contoh air. Untuk lebih jelasnya alat yang digunakan disajikan ke dalam Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan penelitian

Jenis peralatan Jumlah Fungsi

Nansen 1 buah Pengambilan contoh air

Planktonet 1 buah Pengambilan contoh fitoplankton

Filter Whatman GF/C 37 buah Analisis TSS

Global Positioning System 1 buah Untuk menentukan posisi

Alat tulis 1 set Menulis data pengamatan

Botol Contoh 100 Tempat penyimpanan air contoh

Kamera Digital 1 buah Dokumentasi

Filter Whatman GF/F 37 buah Analisis CDOM

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Terra MODIS. Data kelimpahan fitoplankton, TSS dan CDOM diperoleh dari kegiatan lapang. Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data adalah:, HEG WIN 2.9 (HDF-EOS), Idrisi Andes (Clark Labs, Clark University 950 Main Street, Worcester MA 01610-1477 USA), Microsoft Excel dan perangkat lunak untuk pemetaan dan penginderaan jauh lainnya.

3.3 Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan dengan menggunakan jaring fitoplankton. Jaring fitoplankton diturunkan secara vertikal dari sisi kapal pada


(29)

16

saat berhenti di setiap stasiun pengamatan. Jaring fitoplankton diturunkan hingga kedalaman 1-5 meter. Selanjutnya jaring fitoplankton ditarik kembali dan

diangkat ke atas kapal. Bagian luar dari jaring fitoplankton harus segera

disemprot sehingga fitoplankton yang masih menempel pada bagian dalam badan jaring masuk ke botol penampung (100 ml). Sampel dipindahkan ke botol kaca, ditambahkan formalin 4% dan diberi label.

Air contoh untuk analisis Total Suspended Solid (TSS) dan Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM) diambil dengan menggunakan botol nansen yang telah dibersihkan di laboratorium dan dihomogenkan dengan air kondisi lapang. Setelah diberikan label, botol contoh dimasukkan dalam kotak pendingin selama transportasi ke laboratorium untuk dilakukan analisis contoh.

3.4 Analisis Contoh di Laboratorium 3.4.1 Identifikasi Fitoplankton

Contoh fitoplankton diidentifikasi dengan bantuan mikroskop. Mikroskop yang digunakan adalah mikroskop lensa okuler ganda atau binokuler. Contoh fitoplankton diteteskan pada Sedgwick-Rafter Counting Cell sebanyak 1 ml dan ditutup dengan gelas penutup. Identifikasi fitoplankton menggunakan literatur acuan bergambar yaitu buku Yamaji (1976).

3.4.2 Padatan Tersuspensi Total

Pengukuran TSS dilakukan dilaboratorium P2O LIPI dengan melakukan penyaringan air contoh. Kertas saring yang digunakan berupa kertas whatman GF/C. Sebelumnya kertas saring ditimbang dengan berat awal (A mg).


(30)

Kemudian air contoh disaring sebanyak 250 ml menggunakan kertas saring whatman GF/C melalui vacuum pump. Kertas saring kemudian dikeringkan pada suhu 105 0C. Setelah kering kemudian ditimbang sebagai berat akhir (B mg). Kandungan TSS dihitung menggunakan persamaan dibawah ini.

……….(2)

3.4.3 Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM)

Air contoh disaring menggunakan Whatman GF/F. Air sisa saringan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 440 dan 750 menggunakan

spektrofotometri. Kandungan CDOM dihitung menggunakan persamaan dibawah ini.

CDOM = 2.3025 x (absorbansi 440-absorbansi 750)...(3)

3.5 Analisa Data

3.5.1 Kelimpahan Fitoplankton

Kelimpahan didefinisikan sebagai jumlah individu per satuan volume air dan pada umumnya dinyatakan dalam jumlah sel plankton per liter atau m3 air. Untuk setiap jenis plankton yang diperoleh, jumlahnya dicatat dan dihitung

kelimpahannya dengan rumus :


(31)

18

Keterangan : Vd = Volume air disaring (m3) Vt = Volume air yang tersaring (m) Vs = Volume air pada sedwick rafter n = jumlah fitoplankton tercacah

3.5.2 Analisis Hubungan Reflektansi Spektral Fitoplankton dengan TSS dan CDOM

Model hubungan fungsional antara parameter dinyatakan dengan persamaan regresi sederahan. Regresi sederahana adalah persamaan regresi dengan satu peubah tak bebas (Y) dan satu peubah bebas ( X).

3.5.3 Pengolahan Citra

Sebelum pengolahan citra, terlebih dahulu dilakukan pemilihan Citra MODIS yang bersih dari awan dan dapat digunakan dalam penelitian. Citra MODIS yang digunakan yaitu citra yang melewati Teluk Jakarta pada saat pengambilan data lapang. Adapun proses pengolahan citra diawali dengan pengolahan awal data yang meliputi: konversi data MODIS dari format *.hdf ke format *.tif (multi band). Selanjutnya dilakukan croping lokasi pengamatan (Teluk Jakarta) menggunakan Software HEG WIN 2.9. Kemudian dilakukan proses pengolahan data lanjutan, yang meliputi: koreksi citra, konversi nilai digital (DN) ke nilai reflektansi.

Citra hasil olahan di HEG WIN 2.9 tidak perlu dikoreksi geometrik lagi. Hal ini disebabkan karena ketika dilakukan croping dan konversi di sofware HEG WIN 2.9 citra tersebut otomatis telah terkoreksi secara geometrik. Koreksi


(32)

atmosferik dilakukan di IDRISI Andes. Koreksi atmosferik bertujuan untuk mengurangi kesalahan akibat efek atmosferik yang disebabkan perbedaan sudut elevasi matahari dan jarak matahari-bumi saat penerimaan data yang berbeda waktu. Metode yang digunakan untuk koreksi atmosferik adalah metode histogram adjustment. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: DNijk (setelah dikoreksi) = DNijk (sebelum dikoreksi) - DN biask ...………. (5) Keterangan: DN = digital number

I = piksel baris ke-i J = piksel kolom ke-j K = citra kanal ke-k

Setelah dilakukan koreksi maka selanjutnya dilakukan pemotongan citra sesuai dengan daerah yang diteliti. Kemudian nilai digital number (DN) diekstrak pada kanal 1, 4, 8, 9, 10, 11dan 14 di setiap stasiun pengamamatan. Nilai DN yang diperoleh di rubah menjadi reflektansi dengan persamaan 6. Diagran alir pengolahan data citra dapat dilihat pada Gambar 4.


(33)

20

Gambar 4. Diagram Alir Pegolahan Citra

Pengolahan Awal Citra MODIS

Konversi dan Pemotongan citra

Koreksi Citra Pengolahan Awal

Citra MODIS

Konversi dan Pemotongan citra

Ubah ke Reflektansi Lihat Nilai Digital

Nilai Digital Tiap Stasiun Input Data Data GPS

Koreksi Citra Pengolahan Awal

Citra MODIS

Konversi dan Pemotongan citra


(34)

21

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Fitoplankton

4.1.1 Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton

Komposisi fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 terdiri dari 22 genus dari 4 kelas. Kelas yang ditemukan antara lain Bacillariophyceae (12 genus), Dinophyceae (8 genus), Chrysophyceae ( 1 genus) dan Coscinodischopyceae (1 genus). Adapun genus yang ditemukan pada masing masing kelas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Genus fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010.

Kelas Genus

Bacillariophyceae Bacteriastrum, Cosconidiscus, Chaetoceros, Navicula, Nitzschia, Skletonema, Thalassiosira, Thalassiothix, Rhizosolenia, Thalassionema Pleurosigma, Stephanopyxsis

Dinophyceae Protoperidinium, Ceratium , Dinophysis, Gonyaulax, Gymnodinium , Noctiluca, Protoperidinium,

Prorocentrum

Chrysophyceae Dictyocha

Coscinodischopyceae Eucampia

Komposisi kelas berdasarkan kelimpahan fitoplankton yang ditemukan selama masa pegamatan didominasi oleh Bacillariophyceae (diatom) pada setiap stasiun pengamatan (Gambar 5). Nontji (2007) menyatakan bahwa fitoplankton yang biasa tertangkap oleh jaring plankton umumnya tergolong dalam tiga kelompok yakni diatom, dinoflagellata dan alga biru. Di perairan Indonesia diatom (Bacillariophyceae) paling sering ditemukan.


(35)

22

Kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret terdiri 22 genus yang didominasi oleh genus Skeletonema. Untuk lebih jelasnya kelimpahan fitoplankton terdapat di Gambar 5.

Gambar 5. Kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 (%).

Jenis fitoplankton yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tanggal 20, 22, 24 dan 26 Maret 2010 didominansi oleh genus Skeletonema dengan persentase yang cukup tinggi sebesar 90, 8 %. Sedangkan jenis fitoplankton yang lainnya sangat kecil yaitu genus Nitzchia sebesar 5 %, Thalassiosira sebesar 0.7%,

Chaetocheros sebesar 1,7% Ceratium sebesar 0.7% dan dari jenis lainnya sebesar 1.1 %. Menurut Arinardi et al (1995) bahwa genus predominan adalah genus yang memiliki komposisi kelimpahan 10 % dari total komposisi jenis fitoplankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun pengamatan. Berdasarkan pie diagram pada Gambar 5 terlihat bahwa jenis fitoplankton predominan adalah genus Skeletonema dengan kelimpahan sebesar 90,8 %.


(36)

Arinardi et al. (1997) menyatakan bahwa jenis fitoplankton Skeletonema sp. dapat memanfaatkan kadar zat hara lebih cepat daripada diatom lainnya. Hal tersebut dapat menjadi alasan mengapa Skeletonema lebih banyak ditemukan dibandingkan fitoplankton lainnya. Skeletonema mendominasi di setiap stasiun pengamatan (Lampiran 2).

Selain itu, Teluk Jakarta merupakan tempat bermuara 13 sungai sehingga menyebabkan kadar salinitas yang tidak stabil. Skeletonema merupakan fitoplankton yang memiliki toleransi terhadap salinitas yang rendah. Menurut Newell dan Newell (1993) in Adnan (1998) bahwa Skeletonema merupakan fitoplankton yang tumbuh di daerah euryhaline dan tumbuh melimpah di eustuaria, terutama terjadi pada bulan setelah musim hujan. Hal ini dipertegas oleh Arinardi dan Adnan (1980) in Adnan (1998) bahwa dalam studi

perbandingan musim hujan dan musim kemarau di perairan Teluk Jakarta, menunjukkan bahwa kepadatan Skeletonema pada musim hujan lebih tinggi dari pada musim kemarau. Pada musim hujan kepadatan Skeletonema sebesar 98,61 % dan musim kemarau hanya tercatat 87,60 %.

4.1.2 Hubungan Fitoplankton dengan Klorofil-a

Kandungan klorofil-a merupakan indikator biomassa fitoplankton di perairan. Hubungan kelimpahan fitplankton dan klorofil-a dapat dilihat pada Gambar 6. Kandungan klorofil-a yang digunakan adalah nilai klorofil-a hasil dugaan dari citra MODIS. Klorofil-a diduga menggunakan persamaan dibawah ini.


(37)

24

Gambar 6. Hubungan kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a.

Perubahan kelimpahan fitoplankton tidak selalu dikuti dengan perubahan kandungan klorofil-a secara linear (Gambar 6). Stasiun dengan kandungan klorofil-a yang tinggi tidak selalu akan memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi pula. Stasiun 18 memiliki kelimpahan fitoplakton yang tinggi namun kandungan klorofil-anya lebih rendah dibandingkan beberapa stasiun lainnya. Hal ini diduga disebabkan dari ukuran fitoplankton tersebut. Kandungan klorofil-a tergantung pada ukuran fitoplankton, sehingga walaupun kelimpahan fitoplankton melimpah di perairan namun bila jenis fitoplankton tersebut mempunyai bio-volume yang kecil maka klorofil-a yang terkandung dalam sel-sel fitoplankton tersebut akan sedikit. Pada Stasiun 18 dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi namun kandungan klorofil-anya rendah maka kemungkinan besar pada stasiun tersebut memiliki kelimpahan fitoplankton yang banyak namun ukurannya bio-volumenya kecil.


(38)

Sebaliknya Stasiun 36, 37 dan 38 memiliki kandungan klorofil-a tinggi namun kelimpahan fitoplankton rendah dibandingkan beberapa stasiun lainnya. Hal ini diduga karena Stasiun 36, 37 dan 38 letaknya berdekatan dengan daratan sehingga kemungkinan adanya bias perhitungan kandungan klorofil-a yang diduga berasal dari detritus dan serasah yang terbawa dari daratan menuju ke Teluk Jakarta. Sedimen tersuspensi dan detritus adalah penyebab utama kesalahan pengukuran klorofil-a di daerah pantai (Richardson et al., 2005).

Gambar 7. Regresi liniear hubungan kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a

Secara linier hubungan antara klorofil-a (x) dengan kelimpahan fitoplankton (y) mempunyai persamaan regresi berikut y = 0.013x +0.573 (Gambar 7). Hubungan klorofil-a dengan fitoplankton memiliki tingkat keakuratan yang rendah yakni dengan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.295 dan = 0.087.


(39)

26

4.2 Kurva Reflektansi Spektral Skeletonema

Panjang gelombang yang digunakan untuk melihat reflektansi Skeletonema adalah antara 400 – 700 nm. Kanal yang digunakan adalah kanal 1, 4, 8, 9, 10, 11, dan 14 dengan kisaran panjang gelombang 400-700 nm. Liew et al (2000) juga menggunakan kisaran panjang gelombang ini untuk mengklasifikasikan tipe blooming alga menggunakan citra Sea WiFS di perairan sekitar Singapura dan Teluk Manila

Nilai reflektansi di ekstrak dari citra MODIS pada masing-masing stasiun pengamatan. Jumlah stasiun pengamatan sebanyak 37 stasiun. Namun stasiun yang digunakan sebanyak 11 stasiun karena 26 stasiun lainnya mendapat

pengaruh dari awan/ atmosfer. Kurva reflektansi spektral dari 11 stasiun tersebut digambarkan pada Gambar 8.

8 9 10 11 4 1 2 Kanal MODIS

Gambar 8. Kurva reflektansi spektral dengan kelimpahan fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema.


(40)

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa reflektansi spektral dengan kelimpahan fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema di setiap stasiun memiliki pola yang hampir sama. Kurva reflektansi spektral dengan kelimpahan fitoplankton didominasi oleh Skeletonema mencapai puncak pada panjang gelombang 555 nm. Hasil penelitian Uno et al., 1980 in Catts et al.,1985 menunjukkan bahwa adanya peningkatan nilai reflektansi pada panjang gelombang 550-600 seiring dengan meningkatnya kelimpahan Skeletonema costatum dalam kondisi laboratorium (kultur). Seperti terlihat pada stasiun 5 yang memiliki nilai reflektansi tertinggi pada panjang gelombang 550-600 nm dimana kelimpahan Skeletonema memiliki nilai tertinggi yaitu 19.190.487 sel/m3. Stasiun 31 juga menunjukkan hal yang sama. Nilai reflektansi stasiun 31 pada panjang gelombang 550-600 nm

menunjukkan nilai yang paling kecil dengan kelimpahan Skeletonema yang paling rendah sebesar 118455 sel/m3.

Nilai rata-rata dari reflektansi spektral dari citra MODIS pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9 (a). Kurva rata-rata reflektansi spektral dengan kelimpahan fitoplankton didominasi oleh Skeletonema memiliki pola yang sama dengan kurva reflektansi Skeletonema menggunakan citra Sea WiFS dan MERIS oleh Liew et al (2000) di perairan sekitar Singapura (Gambar 9).


(41)

28

(a) (b)

(c)

Gambar 9. (a) Kurva rata-rata reflektansi spektral citra MODIS dengan fitoplankton dominan Skeletonema. (b) Reflektansi Spektral

Skeletonema (blooming) dari citra Sea WiFS dan MERIS(Liew et.al, 2000). (c) Hubungan antara reflektansi (%) dan panjang gelombang pada berbagai konsentrasi Skeletonema costatum (kultur) (Uno et al. 1980 in Catts et al.,1985).

Reflektansi spektral dengan kelimpahan fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema mencapai puncak pada panjang gelombang 555 nm (kanal 4). Pada panjang gelombang 413 nm nilai reflektansi sebesar 0.0174. Kemudian pada panjang gelombang 443 nm nilai relektansi naik menjadi 0.01818. Pada panjang gelombang 488 nm sampai 555 nm nilai reflektansi bertambah tinggi.


(42)

Selanjutnya reflektansi mengalami penurunan sampai pada panjang gelombang 678 nm. Hasil penelitian Uno et al., 1980 in Catts et al.,1985 menunjukkan bahwa reflektansi spektral Skeletonema costatum dalam kondisi laboratorium (kultur) terdapat puncak spektral pada panjang gelombang 520-580 nm (Gambar 9 (c)). Hal ini sesuai dengan pola reflektansi pada Gambar 9 (a).

Kurva rata-rata reflektansi spektral dengan fitoplankton didominasi oleh Skeletonema (Gambar 9 (a)) memiliki pola yang hampir sama dengan kurva reflektansi Skeletonema pada saat blooming (Gambar 9(b)) menggunakan citra Sea WiFS dan MERIS oleh Liew et al (2000) di perairan sekitar Singapura. Berdasarkan bentuk kurva, terdapat perbedaan bentuk kurva 9 (a) pada panjang gelombang 645 nm dibandingkan kurva pada gambar 9 (b) dan 9 (c). Hal ini disebabkan karena pengaruh dari kandungan tersuspensi. Berdasarkan nilai reflektansinya, Gambar 9(a) memiliki nilai reflektansi yang lebih kecil. Hal yang dapat mempengaruhi nilai reflektansi diduga dari kandungan sifat optik perairan seperti kandungan TSS dan CDOM. Menurut Sathyendranath (2000) sifat optik perairan (absorpsi atau reflektansi) pada beberapa panjang gelombang dipengaruhi oleh fitoplankton, padatan tersuspensi dan yellow substances. Faktor lain diduga pengaruh dari partikel atmosfer pada panjang gelombang 390-440 nm. Menurut Call et.al (2003) in Karen and Stuart (2003) bahwa pada panjang gelombang 390-440 nm merupakan wilayah yang sensitif terhadap partikel atmosfer dan atenuasi kolom air.

4.3 Hubungan Reflektansi Spektral Skeletonema dengan CDOM dan TSS Untuk mengetahui hubungan dari reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan CDOM dan TSS maka dilakukan analisis


(43)

30

regresi sederhana pada masing-masing panjang gelombang yaitu 405-420, 438-448, 483-493, 526-536, 545-565, 620-670 dan 673-683 nm. Persamaan hasil analisis regersi sederhana menunjukkan adanya hubungan signifikan antar reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan CDOM dan TSS (Lampiran 1).

a. Panjang gelombang 405-420 nm

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pengaruh TSS tidak signifikan mempengaruhi reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh

Skeletonema. Koefisien determinasi antara nilai reflektansi dengan TSS sebesar 0.048. Sedangkan CDOM signifikan mempengaruhi nilai reflektansi dan hubungannya mengikuti persamaan dibawah ini.

y = -3912.x2 + 17.71x + 0.008………..(8) Keterangan :

y = nilai reflektansi pada panjang gelombang 405-420 nm x = kandungan CDOM

Nilai koefisien determinasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang 405-420 nm dengan CDOM sebesar 0.502 yang berarti bahwa pengaruh CDOM terhadap reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada panjang gelombang 405-420 nm sebesar 50,2 %.

b. Panjang gelombang 438 – 448nm

Korelasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang 438-448 nm dengan CDOM dan TSS kurang signifikan. Koefisien determinasi pada panjang


(44)

antara nilai reflektansi dengan CDOM dan TSS berturut-turut sebesar 0.444 dan 0.470.

c. Panjang gelombang 483-493 nm

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 483-493 nm , CDOM dan TSS kurang signifikan mempengaruhi reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. Koefisien determinasi antara CDOM dan TSS dengan nilai reflektansi masing-masing sebesar 0.421 dan 0.406.

d. Panjang gelombang 526-536 nm

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 526-536, CDOM dan TSS kurang signifikan mempengaruhi reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan koefisien determinasi sebesar 0.426 dan 0, 381.

e. Panjang gelombang 545-565 nm

Kandungan CDOM kurang signifikan mempengaruhi reflektansi reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada panjang gelombang 545-565 nm. Hal ini terlihat dari kecilnya nilai koefisien determinasi yaitu sebesar 0.274. Sedangkan TSS signifikan mempengaruhi reflektansi spektral yang didominasi Skeletonema dan hubungannya mengikuti persamaan 9.

y = -0.001x + 0.264………..(9) Keterangan :

y = nilai reflektansi pada panjang gelombang 545-565 nm x = kandungan TSS


(45)

32

Nilai koefisien determinasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang 545-565 nm dengan TSS sebesar 0.621 yang berarti bahwa pengaruh TSS

terhadap reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada panjang gelombang 545-565 nm sebesar 62.1 %.

f. Panjang gelombang 620-670 nm

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 620-670 nm, CDOM kurang signifikan mempengaruhi nilai reflektansi dengan koefisien determinasi sebesar 0.229. Sedangkan TSS signifikan mempengaruhi reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dan hubungannya mengikuti persamaan dibawah ini.

y = -0.002x + 0.308………..(10) Nilai koefisien determinasi antara nilai reflektansi pada panjang gelombang 620-670 nm dengan TSS sebesar 0.574 yang berarti bahwa pengaruh TSS

terhadap reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada panjang gelombang 620-670 nm sebesar 57.4 %.

g. Panjang gelombang 673-683 nm

Pada panjang gelombang 673-683 nm, CDOM dan TSS kurang berpengaruh terhadap reflektaasi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. Koefisien determinasi antara CDOM dan TSS dengan nilai reflektansi

Skeletonema pada panjang gelombang 673-683 nm menunjukkan nilai yang rendah sebesar 0.269 dan 0.402.


(46)

Tabel 4 menunjukkan analisis regresi sederhana reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan CDOM dan TSS.

Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) pada Tabel 4, kandungan CDOM dan TSS perairan memililiki hubungan erat pada beberapa panjang gelombang. Kandungan TSS berhubungan erat dengan nilai reflektansi terlihat pada panjang gelombang 545-565 dan 620-670 nm dengan nilai koefisien determinasi lebih besar dari 50%. Hasil penelitian Rodríguez-Guzmán, V. dan F. Gilbes-Santaella (2009) menunjukkan adanya hubungan signifikan antara TSS dengan reflektansi pada panjang gelombang 645 nm dari citra MODIS (R2=0.73). Kandungan TSS berkorelasi negatif dengan nilai reflektansi, dimana nilai reflektansi akan semakin kecil dengan bertambahnya kandungan TSS. Hal ini kemungkinan disebabkan kandungan TSS didominasi oleh partikel organik sehingga dengan bertambahnya partikel organik nilai absorbsi akan semakin tinggi sedangkan nilai reflektansi semakin rendah. Menurut Fang et al. (2008, 2009) dalam Chuvieco (2010) menggambarkan dua metode untuk mengetahui sebaran padatan tersuspensi permukaan, salah satunya dari reflektansi pada panjang gelombang 549 nm (korelasi negatif untuk TSS yang didominasi oleh partikel organik).

Kandungan CDOM berhubungan erat dengan nilai reflektansi pada panjang gelombang 405-420 nm. Berdasarkan persamaan regresi pada Tabel 4, terlihat kandungan CDOM berhubungan negatif dengan reflektansi. Meningkatnya kandungan CDOM menyebabkan reflektansi pada panjang gelombang 405-420 nm menjadi turun. Hal ini sesuai dengan penelitian Menken et.al (2005) bahwa meningkatnya kandungan CDOM meyebabkan rendahnya nilai reflektansi, terutama pada panjang gelombang dibawah 500 nm.


(47)

34

Tabel 4. Persaman regresi sederhana hubungan reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan TSS dan CDOM.

Panjang

gelombang Parameter Regresi R R²

405-420 CDOM y = -3912x2 + 17.71x + 0.008 0.709 0.502

545-565 TSS y = -0.001x + 0.264 0.788 0.621

620-670 TSS y = -0.002x + 0.308 0.758 0.574

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa panjang gelombang tertentu peka terhadap perubahan kandungan TSS dan CDOM sehingga dapat digunakan untuk melihat adanya perbedaan pola reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada saat non-blooming dan blooming. Berdasarkan Gambar 9(a) dan 9 (b) terlihat perbedaan yang signifikan antara pola reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada saat non-blooming dan blooming pada panjang gelombang 645 nm. Dengan adanya hubungan yang signifikan antara reflektansi dan TSS (R²= 0.574) pada panjang gelombang ini (620-670 nm) maka dapat dijadikan untuk menduga apakah apakah kelimpahan Skeletonema mencapai blooming atau masih normal.

Gambar dari grafik analisis regresi sederhana hubungan reflektansi spektral dengan fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema dengan kandungan TSS dan CDOM pada masing- masing panjang gelombang dapat dilihat pada gambar 10 dan 11.


(48)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g) Gambar 10. Regresi sederhana hubungan TSS dengan reflektansi spektral

fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang

gelombang 405-420 nm, (b) 438 – 448nm, (c) 483-493 nm, (d) 526-536 nm, (e) 545-565 nm, (f) 620-670 nm, (g) 673-683 nm.


(49)

36

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g)

Gambar 11. Regresi sederhana hubungan CDOM dengan reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema. (a) panjang

gelombang 405-420 nm, (b) 438 – 448nm, (c) 483-493 nm, (d) 526-536 nm, (e) 545-565 nm, (f) 620-670 nm, (g) 673-683 nm.


(50)

37 5.1 Kesimpulan

Komposisi fitoplankton di Teluk Jakarta terdiri dari empat kelas yaitu Bacillariophyceae (12 genus), Dinophyceae (8 genus), Chrysophyceae ( 1 genus) dan Coscinodischopyceae (1 genus). Kelimpahan fitoplankton didominasi dari genus Skeletonema dengan kelimpahan sebesar 90,8 %. Sedangkan jenis fitoplankton yang lainnya sangat kecil yaitu genus Nitzchia sebesar 5 %,

Thalassiosira sebesar 0.7%, Chaetocheros sebesar 1,7% Ceratium sebesar 0.7% dan dari jenis lainnya sebesar 1.1 %. Kandungan klorofil-a hasil nilai estimasi dari citra MODIS memiliki hubungan yang kurang signifikan dengan kelimpahan fitoplankton dengan nilai korelasi sebesar 0.087.

Panjang gelombang yang digunakan untuk melihat reflektansi Skeletonema adalah antara 400 – 700 nm. Reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema mencapai puncak pada panjang gelombang 555 nm dan memiliki pola yang hampir sama dengan reflektansi Skeletonema menggunakan citra Sea WiFS dan MERIS (Liew et al, 2000) di perairan sekitar Singapura dan reflektansi Skeletonema costatum dalam kondisi laboratorium (kultur)hasil penelitian Uno et al., 1980 in Catts et al.,1985. Adanya perbedaan bentuk kurva pada panjang gelombang 645 nm disebabkan oleh kandungan TSS. Kandungan TSS berhubungan erat dengan reflektansi spektral fitoplankton didominasi oleh Skeletonema terlihat pada panjang gelombang 545-565 dan 620-670 nm dengan nilai koefisien deteminasi lebih besar dari 50%. Kandungan CDOM berhubungan


(51)

38

erat dengan reflektansi spektral Skeletonema hanya pada panjang gelombang 405-420 nm. Meningkatnya kandungan CDOM menyebabkan reflektansi pada panjang gelombang 405-420 nm menjadi turun. Pola kurva reflektansi spektral fitoplankton yang didominasi oleh Skeletonema pada saat non-blooming dan blooming berbeda pada panjang gelombang 645 nm. Dengan adanya hubungan yang signifikan antara reflektansi dan TSS (R²= 0.574) pada panjang gelombang ini (620-670 nm) maka dapat dijadikan untuk menduga apakah kelimpahan Skeletonema mencapai blooming atau masih normal.

5.2 Saran

Mengingat keterbatasan dalam penelitian ini, maka diperlukan penelitian lanjut untuk menganalisis kandungan pigmen dan ukuran dari masing-masing jenis fitoplankton sehingga dapat mengetahui bagaimana pengaruh kandungan pigmen dan ukuran fitoplankton yang berbeda terhadap pola karakteristik reflektansi spektral fitoplankton.


(52)

39

Adnan, Q. 1998. Potensi Aplikasi Fitoplankton Bagi Bioteknologi Kelautan : Studi Kasus Teluk Jakarta, Teluk Banten dan Perairan Surabaya. Prosidings Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia. Jakarta. Hal. :329-337.

Alarcon, V. J.,J. V. D Zwaag, R. Moorhead. 2006. Estimation of Estuary

Phytoplankton using a Web-based Tool for Visualization of Hyper-spectral Images. GeoResources Institute, Mississippi State University. Mississippi. Arinardi, O.H., Trimaningsih, S. H. Riyono, E. Asnaryanti. 1995. Kisaran

Kelimpahan Fitoplankton dan Komposisi Plankton Predominan di Sekitar Pulau Sumatera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta

Arinardi, O.H., Trimaningsih, Sudirdjo, Sugestiningsih dan S. H. Riyono. 1997. Kisaran Kelimpahan Fitoplankton dan Komposisi Plankton Predominan di Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Bracher. A, M. Vountas, T. Dinter, J. P. Burrows, R. Rottgers dan I. Peeken. 2008. Quantitative observation of cyanobacteria and diatoms from space using PhytoDOAS on SCIAMACHY data. Biogeosciences Discuss. (5) :4559–4590.

Catts, G. P., S. Khorram, J. E. Cloern, A. W. Knight, S. D. Degloria. 1985. Remote Sensing of Tidal Chlophyll-a Variations in Estuaries. International Journal Remote Sensing. 6(11):1685-1706.

Chuvieco, E., J. Li, X (Eds.). Yang, 2010. Advances in Earth Observation of Global Change. Springer Netherlands. Dordrecht.

Fachrul, M. F., H. Haeruman, L. C. Sitepu. 2005. Komunitas Fitooplankton Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Disampaikan dalam Seminar Nasional MIPA. FMIPA. Universitas Indonesia. Depok.

Hu, C., Lee. Z., Muller-Karger. F.E., Carder, K. L., Walsh, J. J. 2006. Ocean Color Reveals Phase Shift Between Marine Plants and Yellow Substance. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters. 3(2):262-266.

Karen, E.J and R. P. Stuart. 2003. Hyperspectral Analysis of Chlorophil Content and Photosyntetic Capacity of Coral Reef Substrates. Limnology and Oeanography. 48(1) :489-496.

Liew, S.C., L.K. Kwoh, dan H. Lim. 2000. Classification of algal bloom types from remote sensing reflectance, Proceddings of 21st Asian Conference on Remote Sensing, GISDevelopment. Taipei, Taiwan. Hal. :794-799.


(53)

40

Lillesand, T.M dan F.W. Kiefer.1979. Remote sensing and Image Interpretatioon. John Wiley & Sons. New York.

Maccherone, B. 2005. About MODIS. http://modis .gscf.nasa.gov/ (diunduh tanggal 29 Maret 2010:3.24 pm).

Menken, K., P. L. Brezonik and M. E. Bauer. 2005. Influence of Chlorophyll and Colored Dissolved Organic Matter (CDOM) on Lake Reflectance Spectra: Implications for Measuring Lake Properties by Remote Sensing. Lake and Reservoir Management. Department of Civil Engineering, University of Minnesota. Minneapolis.

Mulyasari, R. Peranginangin, Th. D. Suryaningrum dan A. Sari. 2003. Penelitian Mengenai Keberadaan Biotoksin Pada Biota dan Lingkungan Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9 (5) :39-64.

Nontji, A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta Serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan. Disertasi (tidak dipublikasikan). Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.

Nurjannah. 2006. Observasi Radiometrik, Analisis Karakteristik Reflektansi Spektral dan Perumusan Indeks Pembeda Karang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Odum, E.P.1998. Dasar Dasar Ekologi:Alih Bahasa Samingan, T. edisi ketiga. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Richardson, K. M., M. H. Pinkerton, M. J. Uddstrom, M. P. Gall dan P. Hill. 2005. Remote Sensing Survey of the Bay of Plebty. Report on Sea Surface Temperature and Ocean Colour Product Generation for Environment Bay of Plenty. Wellington. New Zealand.

Rodríguez-Guzmán, V. dan F. Gilbes-Santaella (2009) Estimating Total

Suspended Sediments in Tropical Open Bay Conditions using MODIS. In: Proceedings of the 8th WSEAS International Conference on

Instrumentation, Measurement, Circuits and Systems, Hangzhou, China, May 20-22, 2009. Hal. : 83-86.

Sathyendranath, S (ed).2000 Remote sensing of ocean colour in coastal, and other optically complex waters. Reports of the International Ocean-Colour Coordinating Group No. 3, IOCCG. Dartmouth. Canada.


(54)

Soedibjo. S. B 2007. Fenomena Kehadiran Skeletonema sp. Di Perairan Teluk Jakarta. h-11-16. in P. Sudjono, S. S. Moersidik, D.M. Hartono dan

Sulistyoweni. Lingkungan Tropis :Edisi Khusus Agustus 2007. Hal. :11-16. Spinrad, R.W, L. C. Kendall, J.P. Mary. 1994. Ocean Optics. Oxford University

Press. Clarendon Press. Oxford.

Susilo, S. B., J. L. Gaol. 2008. Dasar-Dasar Penginderaan Jauh Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Tarigan, M. S. 2008. Pemantauan Kualitas Perairan (Konsentrasi Klorofil-a di

Teluk Jakarta Dengan Menggunakan Data Multi-Temporal Citra Satelit Terra MODIS.Bidang Dinamika Laut P20-LIPI. Jakarta.

Toming, K., Arst H., Paavel B., Laas A., Noges T. 2009. Spatial and Temporal Variation in Coloured Disolved Organic Matter in Large and Shallow Estonian Waterbodies. Boreal Environment Research. 14:959-970. Van-der-Woerd, H. J., A. Blauw, R. Pasterkamp, S. Tatman, M. Laanen, L.

Peperzak. 2005. Integrated Spasial and Spectral Characterisation of Harmful Algal Blooms in Dutch Coastal Waters (ISCHA). Amsterdam. Netherland. Wouthuyzen, S. 2006. Pemantauan kualitas perairan Teluk Jakarta untuk

memprediksi Mark Algae dengan Satelit Terra dan Aqua MODIS. Laporan Penelitian Kompetitif Jabopunjur-LIPI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Wouthuyzen, S. 2007. Pendeteksian Dini Kejadian Marak Alga(Harmful Alga Blooms/HAB) Perairan Teluk Jakarta dan Sekitarnya. Laporan Akhir Tahun. P2O-LIPI. Jakarta.

Yamaji, I. 1979. Illustrations of The Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publishing. Osaka. Japan.


(55)

(56)

Lampiran 1. Tabel Nilai Koefisien Determinasi (R2) dan Persamaan Regresi CDOM dan TSS pada masing-masing panjang gelombang

Panjang gelombang (nm) Parameter Regresi r R²

405-420 CDOM y = -3912.x

2

+ 17.71x + 0.008 0.709 0.502

TSS y = -0.000x + 0.068 0.219 0.048

438 – 448 CDOM y = -3611.x

2

+ 17.11x + 0.008 0.666 0.444

TSS y = -0.000x2 + 0.044x - 1.950 0.686 0.47

483-493 CDOM y = -3532.x

2

+ 16.93x + 0.012 0.649 0.421

TSS y = -0.000x2 + 0.039x - 1.699 0.637 0.406

526-536 CDOM y = -3962.x

2

+ 19.97x + 0.011 0.653 0.426

TSS y = -0.000x2 + 0.034x - 1.450 0.617 0.381

545-565 CDOM y = -1781.x

2

+ 11.54x + 0.074 0.523 0.274

TSS y = -0.001x + 0.264 0.788 0.621

620-670 CDOM y = -2316.x

2

+ 15.00x + 0.049 0.479 0.229

TSS y = -0.002x + 0.308 0.758 0.574

673-683 CDOM y = -2753x2 + 13.21x + 0.011 0.519 0.269


(57)

44

Lampiran 2. Kelimpahan fitoplankton pada stasiun penelitian

Fitoplankton STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 4 STASIUN 5 STASIUN 6

Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %

Amphora

Bacteriastrum 61091 0.30 7942 0.22 3869 0.03

Cosconidiscus 138982 0.99 162909 0.81 99273 2.78 30138 0.15 54167 0.36

Chaetoceros 138982 0.99 509091 2.52 248640 1.20 297920 2.01

Navicula

Nitzschia 262080 1.87 720873 3.57 258109 7.23 1069905 5.16 1195549 8.05

Skletonema 8922633 63.56 17386473 86.02 2775665 77.75 19190487 92.48 13031098 87.75

Thalassiosira 2847142 20.28 969309 4.80 266051 7.45 143156 0.69 143156 0.96

Thalassiothrix

Stephanopyxsis 23825 0.17 65164 0.32 23215 0.16

Pyrophacus 11913 0.08 8145 0.04

Rhizosolenia 11913 0.08 16291 0.08 19855 0.56 3869 0.03

Thalasionema

Pleurosigma 4073 0.02

Ceratium 277964 1.98 44800 0.22 31767 0.89 38691 0.26

Dinophysis 55593 0.40 65164 0.32 35738 1.00 15069 0.07 11607 0.08

Dictyocha

Gonyaulax 138982 0.99 16291 0.08

Gymnodinium 603578 4.30 16291 0.08 19855 0.56 7535 0.04

Noctiluca

Protoperidinium 210458 1.50 93673 0.46 19855 0.56 30138 0.15 34822 0.23

Prorocentrum 385178 2.74 73309 0.36 7942 0.22 15069 0.07 11607 0.08

Scriepsiella


(58)

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton STASIUN 7 STASIUN 8 STASIUN 9 STASIUN 10 STASIUN 11

Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %

Amphora

Bacteriastrum 2810 0.02

Cosconidiscus 12829 0.79 23622 0.12 1731 0.34 5620 0.04 12120 0.14

Chaetoceros 68422 4.22 188975 0.94 50196 9.97 44963 0.29 69693 0.81

Navicula

Nitzschia 198851 12.25 832669 4.13 129818 25.77 382185 2.43 180291 2.08

Skletonema 1295738 79.84 18959462 93.96 231942 46.05 15076625 96.03 8160084 94.26

Thalassiosira 21382 1.32 106298 0.53 34618 6.87 61824 0.39 83328 0.96

Thalassiothrix 4276 0.26 14764 0.07 3462 0.69 5620 0.04

Stephanopyxsis 35433 0.18

Pyrophacus

Rhizosolenia 6415 0.40 5905 0.03 5193 1.03

Thalasionema

Pleurosigma

Ceratium 6415 0.40 17309 3.44 59014 0.38 92418 1.07

Dinophysis 5193 1.03 19671 0.13 7575 0.09

Dictyocha

Gonyaulax 1515 0.02

Gymnodinium 3030 0.04

Noctiluca

Protoperidinium 8553 0.53 11811 0.06 22502 4.47 11241 0.07 12120 0.14

Prorocentrum 1731 0.34 30912 0.20 34846 0.40

Scriepsiella


(59)

46

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton STASIUN 12 STASIUN 13 STASIUN 14 STASIUN 15 STASIUN 16

Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %

Amphora 11200 0.07

Bacteriastrum 3733 0.02

Cosconidiscus 105484 0.65 104533 0.63 51724 5.17 5702 3.44 24730 11.22

Chaetoceros 208116 1.27 216533 1.32 43965 4.39 2248 1.02

Navicula

Nitzschia 650007 3.98 672000 4.08 38793 3.88 25088 15.12 13489 6.12

Skletonema 13898182 85.00 11270933 68.46 677580 67.70 59299 35.74 85430 38.78

Thalassiosira 641455 3.92 627200 3.81 103447 10.34 41623 25.09 62948 28.57

Thalassiothrix 5702 3.44

Stephanopyxsis 22400 0.14

Pyrophacus 570 0.34

Rhizosolenia 11200 0.07 2586 0.26 2281 1.37 2248 1.02

Thalasionema

Pleurosigma

Ceratium 233775 1.43 3184533 19.34 54310 5.43 4561 2.75 11241 5.10

Dinophysis 51316 0.31 7467 0.05 5172 0.52 1140 0.69 4496 2.04

Dictyocha

Gonyaulax 2851 0.02 18667 0.11 1140 0.69

Gymnodinium 162502 0.99 67200 0.41 2586 0.26

Noctiluca

Protoperidinium 111185 0.68 74667 0.45 10345 1.03 13684 8.25 11241 5.10

Prorocentrum 285091 1.74 171733 1.04 10345 1.03 5132 3.09 2248 1.02

Scriepsiella


(60)

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton STASIUN 17 STASIUN 18 STASIUN 19 STASIUN 20 STASIUN 21

Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %

Amphora 6231 0.04 2953 0.07

Bacteriastrum 3971 0.01

Cosconidiscus 10996 0.05 6231 0.04 2953 0.07 9594 0.94 43680 0.08

Chaetoceros 32989 0.14 128780 0.88 35433 0.84 14390 1.41 675055 1.18

Navicula

Nitzschia 703767 3.03 1005312 6.84 699796 16.65 76748 7.51 3359389 5.86

Skletonema 22443578 96.50 13418007 91.32 3253905 77.44 849028 83.10 52920305 92.38

Thalassiosira 47651 0.20 70621 0.48 91535 2.18 38374 3.76 190604 0.33

Thalassiothrix 14540 0.10 56102 1.34 19187 1.88 11913 0.02

Stephanopyxsis 14662 0.06 20771 0.14 43680 0.08

Pyrophacus 2077 0.01 3971 0.01

Rhizosolenia 5905 0.14 3971 0.01

Thalasionema

Pleurosigma

Ceratium 6231 0.04 2953 0.07 7942 0.01

Dinophysis

Dictyocha 2077 0.01

Gonyaulax

Gymnodinium

Noctiluca

Protoperidinium 3665 0.02 12463 0.08 44291 1.05 14390 1.41 15884 0.03

Prorocentrum 5905 0.14 7942 0.01

Scriepsiella


(61)

48

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton STASIUN22 STASIUN 23 STASIUN 24 STASIUN 25 STASIUN 26

Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %

Amphora

Bacteriastrum 36655 0.04 18938 0.02

Cosconidiscus 102633 0.10 168448 0.45 606022 0.73 336244 0.43 17309 0.0900

Chaetoceros 1077644 1.09 336896 0.90 852218 1.03 567412 0.72 86545 0.4500

Navicula 21015 0.03

Nitzschia 6480524 6.56 4272454 11.43 6950313 8.41 6787933 8.59 207709 1.0801

Skletonema 90236160 91.38 31591657 84.51 68745600 83.16 67395980 85.27 15283927 79.4779

Thalassiosira 564480 0.57 673792 1.80 3408873 4.12 2479802 3.14 1402036 7.2907

Thalassiothrix 14662 0.01 0 0.00

Stephanopyxsis 102633 0.10 107194 0.29 151505 0.18 63046 0.08 17309 0.0900

Pyrophacus 7331 0.01 0 0.00

Rhizosolenia 7331 0.01 15313 0.04 37876 0.05 21015 0.03 86545 0.4500

Thalasionema

Pleurosigma

Ceratium 21993 0.02 76567 0.20 1249920 1.51 819596 1.04 519273 2.7003

Dinophysis 7331 0.01 189382 0.23 84061 0.11 242327 1.2601

Dictyocha

Gonyaulax

Gymnodinium 15313 0.04 56815 0.07 42031 0.05 553891 2.8803

Noctiluca

Protoperidinium 80640 0.08 122508 0.33 170444 0.21 231168 0.29 432727 2.2502

Prorocentrum 7331 0.01 227258 0.27 189137 0.24 380800 1.9802

Scriepsiella


(62)

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton STASIUN 27 STASIUN 28 STASIUN 29 STASIUN 30 STASIUN 31

Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 % Sel/m3 %

Amphora

Bacteriastrum 36492 0.01

Cosconidiscus 67852 1.59 4276 0.01 428 0.25

Chaetoceros 9693 0.23 328425 0.12 95791 0.12 2138 1.24

Navicula 1283 0.74

Nitzschia 58159 1.37 11403636 4.02 2586345 3.23 617935 1.82 12829 7.43

Skletonema 3159948 74.26 269837405 95.22 76991651 96.29 33212378 97.95 118455 68.56

Thalassiosira 591279 13.90 1496157 0.53 175616 0.22 49178 0.15 19671 11.39

Thalassiothrix 23948 0.03 1711 0.99

Stephanopyxsis 18246 0.01 15965 0.02 8553 0.03 855 0.50

Pyrophacus

Rhizosolenia 29079 0.68 428 0.25

Thalasionema

Pleurosigma

Ceratium 77545 1.82 54737 0.02 2138 0.01 2566 1.49

Dinophysis 126010 2.96 36492 0.01 7983 0.01

Dictyocha

Gonyaulax

Gymnodinium 2138 0.01

Noctiluca

Protoperidinium 96931 2.28 164212 0.06 47895 0.06 10691 0.03 11546 6.68

Prorocentrum 18246 0.01 7983 0.01 855 0.50

Scriepsiella 38772 0.91 7983 0.01


(1)

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton

STASIUN 27

STASIUN 28

STASIUN 29

STASIUN 30

STASIUN 31

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Amphora

Bacteriastrum

36492

0.01

Cosconidiscus

67852

1.59

4276

0.01

428

0.25

Chaetoceros

9693

0.23

328425

0.12

95791

0.12

2138

1.24

Navicula

1283

0.74

Nitzschia

58159

1.37

11403636

4.02

2586345

3.23

617935

1.82

12829

7.43

Skletonema

3159948

74.26

269837405

95.22

76991651

96.29

33212378

97.95

118455

68.56

Thalassiosira

591279

13.90

1496157

0.53

175616

0.22

49178

0.15

19671

11.39

Thalassiothrix

23948

0.03

1711

0.99

Stephanopyxsis

18246

0.01

15965

0.02

8553

0.03

855

0.50

Pyrophacus

Rhizosolenia

29079

0.68

428

0.25

Thalasionema

Pleurosigma

Ceratium

77545

1.82

54737

0.02

2138

0.01

2566

1.49

Dinophysis

126010

2.96

36492

0.01

7983

0.01

Dictyocha

Gonyaulax

Gymnodinium

2138

0.01

Noctiluca

Protoperidinium

96931

2.28

164212

0.06

47895

0.06

10691

0.03

11546

6.68

Prorocentrum

18246

0.01

7983

0.01

855

0.50

Scriepsiella

38772

0.91

7983

0.01


(2)

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton

STASIUN 32

STASIUN 33

STASIUN 34

STASIUN 35

STASIUN 36

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Amphora

2932

0.15

Bacteriastrum

477

0.14

489

0.25

Cosconidiscus

1430

0.43

136844

0.27

87971

0.41

5865

0.30

1466

0.76

Chaetoceros

20490

6.17

215040

0.42

395869

1.84

13684

0.70

1955

1.02

Navicula

1906

0.57

21993

0.10

Nitzschia

18584

5.60

2130851

4.17

1979345

9.19

14173

0.72

1955

1.02

Skletonema

234919

70.73

45314793

88.71

16802444

78.04

1647500

83.77

134400

69.80

Thalassiosira

19537

5.88

2815069

5.51

1363549

6.33

203799

10.36

24436

12.69

Thalassiothrix

8101

2.44

1955

0.10

2932

1.52

Stephanopyxsis

8577

2.58

131956

0.61

7820

0.40

Pyrophacus

977

0.51

Rhizosolenia

1430

0.43

39098

0.08

241920

1.12

14173

0.72

6353

3.30

Thalasionema

2932

0.15

Pleurosigma

39098

0.08

43985

0.20

1466

0.07

Ceratium

5718

1.72

78196

0.15

43985

0.20

36166

1.84

6842

3.55

Dinophysis

2932

0.15

1955

1.02

Dictyocha

Gonyaulax

39098

0.08

Gymnodinium

39098

0.08

21993

0.10

Noctiluca

Protoperidinium

10483

3.16

175942

0.34

373876

1.74

4399

0.22

1955

1.02

Prorocentrum

477

0.14

58647

0.11

21993

0.10

2444

0.12

1466

0.76

Scriepsiella


(3)

Lampiran 2. Lanjutan

Fitoplankton

STASIUN 37

STASIUN 38

Sel/m

3

%

Sel/m

3

%

Amphora

Bacteriastrum

Cosconidiscus

489

0.23

815

0.18

Chaetoceros

1629

0.36

Navicula

1466

0.68

1629

0.36

Nitzschia

5376

2.49

24844

5.56

Skletonema

146129

67.80

314415

70.31

Thalassiosira

19060

8.84

46836

10.47

Thalassiothrix

3910

1.81

5702

1.28

Stephanopyxsis

5702

1.28

Pyrophacus

1466

0.68

407

0.09

Rhizosolenia

6842

3.17

7331

1.64

Thalasionema

Pleurosigma

Ceratium

24925

11.56

Dinophysis

977

0.45

Dictyocha

815

0.18

Gonyaulax

Gymnodinium

407

0.09

Noctiluca

1222

0.27

Protoperidinium

977

0.45

Prorocentrum

2444

1.13

407

0.09

Scriepsiella


(4)

Lampiran 3. Data Lapangan CDOM dan TSS pada Saat Survei

Stasiun

Tanggal

Jam

CDOM

(mg/m

3

)

TSS (mg/l)

1 26 Maret 2010

11:43 0.009214

80

2 26 Maret 2010

11:20 0.006911

142

4 26 Maret 2010

10:13 0.002304

64

5 22 Maret 2010

9:50 0.004607

79.6

6 22 Maret 2010

9.27 0.006911

62.4

7 22 Maret 2010

9.02 0.002304

94.8

8 22 Maret 2010

10.13 0.004607

92.8

9 26 Maret 2010

9:50 0.006911

82

10 26 Maret 2010

10:40 0.002304

79.2

11 26 Maret 2010

10:58 0.009214

73.2

12 26 Maret 2010

12:07 0.002304

81.6

13 26 Maret 2010

12:33 0.002304

98

14 26 Maret 2010

12:50

0

80.8

15 26 Maret 2010

9:22

0

66.4

16 26 Maret 2010

8:45 0.002304

66

17 22 Maret 2010

10:40

0

95.2

18 22 Maret 2010

8:37

0

96.8

19 22 Maret 2010

8:10

0

97.6

20 22 Maret 2010

11:08

0

95.6

21 24 Maret 2010

8:42

0

99.2

22 24 Maret 2010

9:00

0

92.4

23 24 Maret 2010

10:06

0

99.2

24 24 Maret 2010

10:22 0.002304

96.8

25 24 Maret 2010

10:37 0.002304

99.6

26 20 Maret 2010

10:00

0

99.6

27 20 Maret 2010

10.17

0

66.8

28 24 Maret 2010

9:40 0.002304

100.8

29 24 Maret 2010

9:20 0.002304

106.8

30 24 Maret 2010

8:15 0.002304

92.8

31 22 Maret 2010

11:35 0.004607

99.6

32 22 Maret 2010

7:40 0.002304

85.6

33 20 Maret 2010

10:50

0

84

34 20 Maret 2010

11:15 0.002304

92

35 20 Maret 2010

11:40

0

88.8

36 20 Maret 2010

11:57 0.002304

89.6

37 20 Maret 2010

12:20 0.002304

88

38 20 Maret 2010

12:45 0.002304

89.2


(5)

Kapal yang digunakan Nansen

GPS Planktonet

Pengambilan Data Lapang dan Alat yang Digunakan

Spekrofotometri

Vacum pump


(6)

Lampiran 5. Beberapa jenis fitoplankton yang umum ditemukan di Teluk

Jakarta (Nontji, 1984).