Karakteristik Reflektansi Spektral Lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.

(1)

KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL LAMUN DI

PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU

KURNIASIH

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL LAMUN DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

KURNIASIH C54070030


(3)

RINGKASAN

KURNIASIH. Karakteristik Reflektansi Spektral Lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS

SIREGAR dan ADRIANI SUNUDDIN.

Lamun merupakan satu-satunya vegetasi berpembuluh yang hidup terendam di air laut yang memiliki produktivitas primer tinggi dan berperan penting dalam menyokong kehidupan di perairan dangkal. Sebagai tumbuhan, lamun membutuhkan sinar matahari yang radiasinya dalam bentuk gelombang elektromagnetik (EM). Interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan permukaan daun lamun akan memberikan informasi spektral lamun yang dapat digunakan dalam menganalisis citra satelit penginderaan jauh, khususnya untuk mendapatkan klasifikasi habitat lamun secara lebih rinci dan teliti. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik reflektansi spektral beberapa spesies lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.

Pengambilan data di lapang dilaksanakan pada tanggal 8-13 Juni 2011 untuk lokasi pengambilan data dilakukan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu dengan 2 titik stasiun yang berada di bagian Barat dan Timur Pulau Panggang. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hasil penelitian menunjukan bahwa ada empat spesies lamun di Pulau Panggang pada dua stasiun yaitu Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Cymodocea serrulata. Pola reflektansi dari keempat jenis lamun memiliki dua puncak gelombang yaitu pada panjang gelombang 500-600 nm (hijau) dan 700-750 nm (infra merah dekat).

Analisis pengelompokan (cluster) berupa dendogram yang menunjukan bahwa kelompok 1 (Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis ) dan 2 (Syringodium isoetifolium) memiliki ketidaksamaan yang cukup besar dengan skala jarak atau ketidaksamaan 7.46. Perbedaan jarak tersebut disebabkan oleh variasi pigmen daun dan morfologi daun lamun yang teramati di lapang.

Hasil analisis diskriminan menunjukan bahwa spektrum ungu (400-450 nm), merah (620-700 nm), dan orange (585-620 nm) merupakan variabel yang saling berkorelasi kuat dengan fungsi diskriminan pertama (D1). Dengan kata lain bahwa kedua spektrum ini merupakan peubah yang dapat membedakan karakteristik antar spesies lamun.

Hasil analisis korespondensi menunjukan adanya keterkaitan antara spesies lamun dengan spektrum panjang gelombang tertentu. Keterkaitan tersebut ditunjukkan pada dimensi pertama dengan inertia 84.70% , sehingga hubungan antar variabel lebih utama dijelaskan pada pada dimensi pertama yang lebih dapat menggambarkan kedekatan antar variabelnya.


(4)

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL LAMUN DI

PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU

KURNIASIH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(7)

SKRIPSI

Judul : KARAKTERISTIK REFLEKTANSI SPEKTRAL

LAMUN DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU

Nama : Kurniasih Nomor Pokok : C54070030

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si NIP. 19561103 198503 1 003 NIP. 19790206 200604 2 013

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc NIP. 19640801 198903 1 001


(8)

i

Puji syukur kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian berjudul “Karakteristik Reflektansi Spektral Lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu”. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Dalam penyusunannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas kasih sayang dan dukungannya. 2. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku

dosen pembimbing.

3. Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji tamu.

4. SEAMEO BIOTROP yang telah bersedia meminjamkan alat spektometer USB 4000.

5. Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si beserta tim atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.

6. Heri, S.T yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa dalam penulisan skripsi.

7. Sahabat tercinta Disa Rudiana, Ucik Ayunitasari, Wiwiet Setyadi, dan Syaiful Bahri yang memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi.


(9)

ii

8. Seluruh angkatan 44 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun penulis demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Bogor, November 2012


(10)

iii

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Kondisi Geografis Lokasi Penelitian ... 3

2.2. Vegetasi Lamun ... 4

2.3. Reflektansi, Absorbansi, Transmisi, dan Iradiansi ... 6

2.4. Karakteristik Spektral Lamun ... 8

2.5. Spektrometer USB4000 ... 10

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 12

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 12

3.2. Alat dan Bahan ... 13

3.3. Metode ... 13

3.3.1. Langkah-langkah Penelitian ... 13

3.3.2. Pengukuran Spektral ... 15

3.3.3. Pengukuran Reflektansi Spektral ... 17

3.4. Analisis Data ... 18

3.4.1. Analisis Pola Reflektansi Lamun ... 18

3.4.2. Analisis Cluster Spektrum Refelektansi Lamun Berdasarkan Jarak ... 19

3.4.3. Analisis Diskriminan Sepktrum Reflektansi Pada Lamun ... 20

3.4.4. Analisis Koresponden Antara Spektrum Panjang Gelombang Dengan Reflektansi Lamun ... 20

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1. Kondisi Umum Komunitas Lamun di Pulau Panggang ... 22

4.2. Analisis Pola Reflektansi Lamun ... 24

4.3. Analisis Cluster Spektrum Refelektansi Lamun Berdasarkan Jarak ... 26

4.4. Analisis Diskriminan Sepktrum Reflektansi Pada Lamun ... 28

4.5. Analisis Koresponden Antara Spektrum Panjang Gelombang Dengan Reflektansi Lamun………...31

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1. Kesimpulan ... 34


(11)

iv

DAFTAR PUSTAKA ... 36 LAMPIRAN ... 38 RIWAYAT HIDUP ... 45


(12)

v

Halaman

Gambar 1. Morfologi lamun di Kepuluan Seribu ... 5

Gambar 2. Interaksi energi gelombang elektomagnetik dengan permukaan bumi ... 6

Gambar 3. Kurva reflektansi spektral untuk vegetasi (tumbuhan), soil (tanah), water (air) ... 7

Gambar 4. Reflektansi cahaya yang mengenai permukaan daun lamun ... 9

Gambar 5. a) Spektrometer USB4000, b) Fiber optical (probe), dan c) White reference ... 11

Gambar 6. Lokasi penelitian di Pulau Panggang ... 12

Gambar 7. Bagan alir penelitian... 14

Gambar 8. Reflektansi spektral Enhalus acoroides hasil curve fiting ... 15

Gambar 9. Titik pengambilan sampel ... 16

Gambar 10. Pengambilan data spektral menggunakan spektrometer ... 17

Gambar 11. Kurva reflektansi spesies lamun di stasiun 1 ... 25

Gambar 12. Kurva reflektansi spesies lamun di stasiun 2 ... 26

Gambar 13. Dendogram pengelompokan keempat jenis lamun berdasarkan ketidaksamaan nilai reflektansi ... 28

Gambar 14. Hasil analisis koresponden antara spektrum panjang gelombang dan reflektansi lamun ... 32


(13)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Spesifikasi spektrometer USB4000 ... 11

Tabel 2. Alat dan bahan penelitian ... 13

Tabel 3 Matriks data pengolahan analisis korespondensi ... 21

Tabel 4. Hasil pengukuran kualitas air di Pulau Panggang ... 23

Tabel 5. Analisis cluster keempat spesies lamun di Pulau Panggang ... 27

Tabel 6. Korelasi antar spektrum panjang gelombang dari masing-masing fungsi diskriminan ... 30


(14)

vii

Halaman

Lampiran 1. Lokasi pengambilan data spektral lamun di Pulau Panggang ... 39 Lampiran 2. Foto kegiatan penelitian... 40 Lampiran 3 Analisis cluster nilai reflektansi keempat jenis lamun

pada spektrum sinar tampak. ... 41 Lampiran 4. Analisis diskriminan nilai reflektansi keempat jenis lamun

pada spektrum sinar tampak.. ... 42 Lampiran 5. Analisis koresponden nilai reflektansi keempat jenis lamun

pada spektrum sinar tampak... ... 43 Lampiran 6. Grafik hasil curvefiting data reflektansi dengan metode moving


(15)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Lamun merupakan satu-satunya vegetasi berpembuluh yang hidup terendam di air laut yang memiliki produktivitas primer tinggi dan berperan penting dalam menyokong kehidupan di perairan dangkal (Hemminga and Duarte, 2001). Selain mempunyai produktitivitas biologis yang tinggi, ekosistem lamun juga memiliki distribusi yang cukup luas pada daerah tropis sehingga berperan sebagai penyedia habitat. Habitat lamun ini merupakan salah satu tempat yang disukai sebagai tempat berlindung, ruang hidup dan tempat mencari makan bagi beraneka ragam jenis biota (Adrim, 2006). Ditemukan 13 jenis lamun yang tumbuh di perairan Indonesia (Azkab, 2006), sedangkan yang hidup di Kepulauan Seribu didominasi oleh Enhalus, Thalassia, dan Cymodocea (TNKS, 2008).

Sebagai tumbuhan, lamun membutuhkan radiasi matahari dalam bentuk gelombang elektromagnetik (EM) yang dapat direflektansikan, diserap dan ditransmisikan secara berbeda untuk setiap obyek di muka bumi (Lillesand and Kiefer, 1994; Sathyendranath, 2000). Reflektansi gelombang EM pada lamun dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pigmen yang terkandung di dalamnya seperti, klorofil (pigmen hijau) dan karotenoid (pigmen kuning). Durako (2006), menyatakan bahwa perbedaan sifat optik antar spesies lamun yang utama

disebabkan karena adanya variasi pigmen dan fungsi anatomi daun (struktur internal, serat, dan lain-lain). Faktor lain yang mempengaruhi variasi spektral pada lamun bisa dipengaruhi karena adanya epifit yang menempel di permukaan daun lamun (Fyfe and Dekker, 2001).


(16)

Di perairan nusantara, kajian spektral terhadap biota karang telah mulai berkembang (Nurjannah 2006), namun aplikasinya dalam penelusuran informasi spektral obyek yang ada di perairan pesisir masih perlu dikembangkan lebih mendalam. Hal ini disebabkan penelitian teknologi penginderaan jarak jauh (inderaja) masih terfokus pada bidang pemantauan habitat dan sumberdaya pesisir. Informasi spektral lamun dapat dijadikan landasan dalam menganalisis citra satelit penginderaan jauh yang diaplikasikan dalam kegiatan pemantauan habitat pesisir, khususnya untuk mendapatkan klasifikasi habitat lamun secara lebih rinci dan teliti (Fyfe, 2004). Analisis dan kajian spektral, secara in situ

dibutuhkan untuk dasar dalam memberikan pemahaman tentang sinyal-sinyal inderaja yang lebih banyak diaplikasikan untuk biologi lamun (Dekker et al., 2006). Kesenjangan data spektral lamun inilah yang melatar belakangi dilaksanakannya penelitian ini, mengingat pentingnya habitat lamun untuk keberlangsungan hidup biota laut dan keutuhan ekosistem pesisir.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik reflektansi spektral beberapa spesies lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.


(17)

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Geografis Lokasi Penelitian

Kepulauan Seribu terdiri atas 110 pulau dengan luas Kepulauan Seribu kurang lebih 108.000 ha, terletak dilepas pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari utara ke selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang. Wilayah perairan Kepulauan Seribu didominasi oleh ekosistem terumbu karang, padang lamun dan daratan pulau-pulau karang yang menjadi habitat penting berbagai jenis biota perairan laut. Pemanfaatan sumberdaya hayati laut terutama sumberdaya ikan menjadi sumber utama penghidupan sebagian besar masyarakat yang tinggal di kepulauan (Sachoemar, 2008)

Kondisi angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi Angin Muson yaitu Angin Muson Barat (Desember-Maret) dan Angin Muson Timur

(Juni-September). Musim pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November. Kecepatan angin pada muson barat bervariasi antara 7-20 knot/jam dan bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot/jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Musim timur kecepatan angin berkisar 7-15 knot/jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara. Musim basah di Kepulauan Seribu mencapai maksimum pada bulan Januari, sedangkan musim kering mencapai puncaknya pada bulan Juli-Agustus. Tipe iklim di Kepulauan Seribu termasuk tropika panas dengan suhu maksimum 32,3 oC, suhu minimum 21,6 oC dan suhu rata-rata 27 oC (Sachoemar, 2008).


(18)

Kondisi perairan Kepulauan Seribu dipengaruhi musim, pada musim timur tinggi gelombang lebih rendah dibandingkan dengan musim barat yaitu masing-masing berkisar antara 0,5-1 m dan 2-3 m. Kecepatan gelombang rata-rata di perairan Kepulauan Seribu relatif rendah yaitu hanya mencapai 1 knot. Kecepatan arus di Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Karya pada waktu pasang purnama (spring tide) sebesar 5 - 49 cm/detik dengan arah bervariasi antara 3º - 35º. Pada lokasi yang sama pada saat pasang perbani (neap tide) kecepatan arus tercatat sebesar 4-38 cm /detik dengan arah bervariasi antara 16º -35º (Sachoemar, 2008).

2.2. Vegetasi Lamun

Lamun merupakan tumbuhan air berbunga (Anthopytha) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, memiliki pembuluh, akar rimpang

(rhizome), serta mampu berkembang baik secara generatif, melalui pembentukan bunga dan benih (biji), dan secara vegetatif melalui perpanjangan akar rimpang. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam subtrat pasir, lumpur, dan pecahan karang (Azkab, 2006).

Stabilitas pertumbuhan lamun tergantung dari kecerahan, suhu, salinitas, substrat, dan kecepatan arus. Selain itu jenis substrat dasar, kejernihan perairan dan adanya pencemaran sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis, kerapatan, dan biomassa lamun.

Di Indonesia tercatat ada 13 spesies lamun (Azkab, 2006). Lamun di Indonesia biasa dijumpai di perairan pantai pulau-pulau utama, rataan terumbu, goba, dan tubir (Kiswara dan Azkab, 2000). Menurut Mardesyawati dan


(19)

5

Anggraini (2007), di Kepulauan Seribu ditemukan delapan jenis spesies lamun. Spesies tersebut meliputi Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, H. minor, Syringodium isoetifolium, dan

Thalassia hemprichii (Gambar 1).

Enhalus acoroides (Sumber: Koleksi pribadi, 2011)

Cymodocea rotundata

(Sumber: Koleksi pribadi, 2011)

Cymodocea serrulata (Sumber: Koleksi pribadi, 2011)

Halodule uninervis (Sumber: Koleksi pribadi, 2011)

Halophila ovalis

(Sumber: Koleksi pribadi, 2011)

Halophila minor

(Sumber: Seagrass watch, 2001)

Syringodium isoetifolium (Sumber: Seagrass watch, 2001)

Thalassia hemprichii (Sumber: Koleksi pribadi, 2011)


(20)

2.3. Reflektansi, Absorbansi, Transmisi, dan Iradiansi

Interaksi gelombang elektomagnetik dengan permukaan bumi dapat berupa reflektansi, absorbansi, transmisi, dan iradiansi. Reflektansi itu sendiri terjadi ketika radiasi yang mengenai target kembali dan berbalik arah (Kerle et al, 2004). Radiasi matahari yang mencapai bumi dan berinteraksi dengan

permukaan bumi akan memberikan dua informasi yaitu informasi spasial (ukuran, bentuk, dan orientasi) dan informasi spektral (warna dan spectral signature) (Aggarwal, 2001).

Gambar 2. Interaksi energi gelombang elektomagnetik dengan permukaan bumi. (Sumber : Lillesand and Kiefer, 1994)

Grafik reflektansi spektral suatu obyek sebagai fungsi panjang gelombang disebut kurva reflektansi spektral. Konfigurasi kurva reflektansi spektral

memberikan informasi tentang karakteristik spektral suatu obyek dan berpengaruh besar pada pemilihan saluran panjang gelombang pada penginderaan jauh untuk terapan tertentu. Kurva setiap jenis tumbuhan digambarkan sebagai suatu pita


(21)

7

pantulan spektral, bukan sebagai suatu garis. Hal ini disebabkan karena pantulan spektral akan berbeda pada suatu kelas material tertentu. Artinya pantulan spektral suatu spesies dengan spesies lain tidak pernah sama, bahkan pantulan spektral pohon dari spesies yang sama tidak persis sama (Lillesand and Kiefer, 1994).

Gambar 3. Kurva reflektansi spektral untuk vegetasi (tumbuhan), soil (tanah), water (air). (Sumber : Aggarwal, 2001)

Sebagai sumber utama, cahaya matahari mengalami pengurangan energi elektromagentik saat merambat melalui atmosfer. Energi elektromagnetik yang melewati atmosfer sebagian akan diserap oleh berbagai molekul. Molekul di atmosfer yang paling efisien menyerap radiasi matahari adalah ozon (O3), uap air

(H2O) dan karbondioksida (CO2). Hal ini akan mengakibatkan sebagian besar

energi tidak mencapai bumi. Penyerapan (absorpsi) itu sendiri terjadi ketika radiasi diserap oleh target (Kerle et al., 2004).


(22)

Transmisi terjadi ketika radiasi melewati suatu target, sehingga

meneruskan energi tersebut (Aggarwal, 2001). Transmisi radiasi matahari yang menuju ke bumi akan mengalami hambatan yang disebabkan karena adanya media penyerapan di atmosfer. Transmisi yang tinggi menandakan bahwa panjang gelombang tersebut mencapai maksimum pada bagian spektrum biru sampai hijau.

Energi yang mencapai suatu permukaan ini biasa disebut iradiansi,

sedangkan energi yang dipantulkan oleh permukaan ini disebut radiansi. Iradiansi dan radiansi memiliki satuan W m-2 sr-1 (Kerle et al., 2004). Pengukuran iradiansi untuk lebih lanjut digunakan untuk mengetahui laju fotosintesis suatu tanaman, dengan melihat transport elektron klorofil (Enriquez and Browitzka, 2010).

2.4. Karakteristik Spektral Lamun

Respon spektral dari setiap spesies tumbuhan dapat berbeda tergantung perbedaan letak kanopi, struktur internal daun, dan kandungan pigmen daun (Fyfe, 2004). Menurut Durako (2006), perbedaan sifat optik antar spesies lamun yang utama disebabkan karena adanya variasi pigmen dan fungsi anatomi daun

(struktur internal, serat, dll). Anatomi daun lamun yang relatif stabil pada spesies sehubungan dengan ketebalan daun dan distribusi kloroplas (Zimmerman and Dekker, 2006).

Reflektansi yang berbeda untuk setiap spesies tumbuhan diobservasi pada panjang gelombang visibel (400-700 nm), fotosintetik dan pigmen tambahan yang termasuk didalamnya klorofil dan karetenoid terserap maksimal. Konsentrasi relatif pigmen dan pigmen tambahan dapat merubah taksa keduanya. Konsentrasi


(23)

9

pigmen daun biasanya diukur menurut luas permukaan daun, dalam studi penginderaan jauh konsentrasi pigmen berkaitan dengan kemampuan memantulkan cahaya dari permukaan sehelai daun (Fyfe, 2004).

Gambar 4. Reflektansi cahaya yang mengenai permukaan daun lamun. β : sudut cahaya yang datang mengenai daun lamun, θ : sudut cahaya yang dipantulkan dari daun lamun.

(Sumber : Larkum et al.,2006)

Variasi genetik, perubahan musim, pertumbuhan, dan kondisi lingkungan yang sehat dapat juga merubah konsentrasi pigmen dalam tiap spesies. Respon spektral dalam panjang gelombang sinar tampak akan berubah untuk setiap spesies tumbuhan pada jarak dan waktunya. Perubahan ini memungkinkan terjadinya peningkatan kemungkinan tumpang tindih spektral dengan spesies lain (Fyfe and Dekker, 2001). Absorbansi, reflektansi, dan iradiansi dalam suatu tanaman ditentukan oleh pigmen optik aktif dari daun. Klorofil a dan b adalah pigmen yang paling melimpah dan bertanggung jawab dalam fotositesis di lamun.


(24)

Sifat optik dari daun dihasilkan dari suatu proses yang kompleks dalam kloroplas dan sel (Zimmerman and Dekker, 2006).

Penginderaan jauh untuk tanaman bentik di perairan terbatas pada panjang gelombang sinar tampak, penetrasi cahaya pada kolom air dapat dipantulkan kembali ke sensor. Fyfe (2004), menyatakan bahwa penginderaan jauh terhadap tanaman bentik yang terendam (lamun) difokuskan pada panjang gelombang sinar tampak-NIR (430-900 nm). Di perairan pesisir, gelombang elektromagnetik akan direflektansikan dan diserap oleh fitoplankton, materi organik dan anorganik yang tersuspensi, serta zat organik terlarut dan untuk selanjutnya akan dipantulkan kembali ke sensor (Fyfe and Dekker, 2001). Penginderaan jauh mengutamakan deteksi dan diferensiasi reflektansi pigmen tumbuhan (Fyfe, 2004).

2.5. Spektrometer USB4000

Spektrometer USB4000 adalah salah satu spektrometer keluaran dari Ocean Optics yang dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh obyek yang ada di muka bumi dengan sensor didalamnya. Spektrometer USB 4000 dapat diaplikasikan untuk monitoring udara dan air secara in situ, analisis kimia, pH, DO (Dissolved Oxygen) dan fisika optik (Ocean Optics, 2007).

Sistem operasi yang dapat digunakan untuk menggunakan alat ini antara lain Windows 98/Me/2000/XP, Mac OS X, dan Linux saat kita menggunakan port

USB, sedangkan apabila menggunakan port serial maka dapat dioperasikan dengan sistem operasi Windows 32-bit. Spektrometer USB4000 merupakan pengembangan dari spektrometer USB2000 dengan detektor yang lebih canggih


(25)

11

dan sistem elektronik berkecepatan tinggi yang sangat kuat. Penghubung antara spektrometer dengan objek maka digunakan probe. Alat bantu untuk

pengkalibrasian spektrometer USB4000 digunakan white reference (Ocean Optics, 2007).

Berikut adalah tampilan gambar spektrometer USB4000, probe, dan white reference pada Gambar 5.

a) b) c)

Gambar 5. a) Spektrometer USB4000, b) Fiber optical (probe), dan c)

White reference (Sumber : Ocean Optics, 2007)

Spesifikasi alat spektrometer USB 4000 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi spektrometer USB4000

Spesifikasi Nilai

Ukuran 89.1 mm x 63.3 mm x 34.4 mm

Berat 190 g

Rentang panjang gelombang 200-1100 nm

Diameter probe 600 µm

Kecepatan data transfer 4 milliseconds Sumber : Ocean Optics (2007)


(26)

12 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 8-13 Juni 2011. Penelitian ini berlokasi di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta pada koordinat

5°44’20.21”- 5°44’32.99” LS dan 106°35’7.94”- 106°36’25.26” BT (Gambar 6). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(27)

13

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa alat untuk penentuan lokasi dan pengambilan data in situ, untuk lebih jelasnya alat yang digunakan disajikan ke dalam Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan penelitian

No Nama alat/bahan penelitian Fungsi

1 Spektrometer USB 4000 Untuk pengukuran reflektansi spektral lamun

2 Global Positioning System

(GPS) Garmin 76CSX

Untuk menentukan posisi 3 Alat Tulis dan Kertas Newtop Menulis data pengamatan dan

menyalin data pengamatan

4 Laptop Menampilkan data dari spektrometer

5 6

Kamera Underwater

Horiba

Dokumentasi

Pengukuran data kualitas air

Perangkat lunak yang digunakan saat pengambilan data spketral di lapang adalah SpectroSuite untuk pengolahan data spektral, yang selanjutnya akan

disimpan dalam bentuk *.txt. Kemudian data spektral dibuka pada perangkat lunak Microsoft Excel untuk dilakukan pemotongan panjang gelombang dari 400-750 nm dan pencocokan serangkaian data spektral. Analisis statistik untuk data spektral dilakukan pada perangkat lunak SPSS 16 dan Statistik 8.

3.3. Metode

3.3.1. Langkah-langkah Penelitian

Secara sederhana, penelitian ini dilakukan berdasarkan alur dan skema yang ditunjukkan pada Gambar 7. Pertama pasang line transek sejajar dengan pulau, pada daerah padang lamun dengan panjang 25 meter. Transek kuadrat dengan


(28)

ukuran 1x1 meter yang diletakkan pada line transek setiap jarak 5 meter, pada setiap transek kuadrat dilihat persen pentupan total lamun.

Gambar 7. Bagan alir penelitian

Pengambilan data spektral lamun dilakukan pada persen penutupan lamun diatas 50% dengan menggunakan spektrometer USB 4000. Pengukuran spektral Pemasangan line transek

Pengukuran data spektral

% Penutupan total ≥ 50%

Transek kuadrat

Reflektansi Filtering data (400-750 nm)

Curve fiting data

Visualisasi pola reflektansi spektral lamun

Analisis koresponden Analisis

cluster

Karakteristik reflektansi spektral lamun

Analisis diskriminan LAMUN


(29)

15

yang dilakukan berupa nilai reflektansi. Pengolahan data awal dilakukan dengan

filtering data dari 400-750 nm yang merupakan panjang gelombang sinar tampak.

Curve fiting data dilakukan untuk menghilangkan data dari noise (Gambar 8), yang kemudian akan ditampilkan dalam bentuk grafik untuk visualisasi pola karakteristik spektral lamun. Nilai reflektansi untuk selanjutnya akan dianalisis dengan metode analisis cluster, analisis diskriminan, dan analisis koresponden, untuk mendapatkan karakteristik spektral lamun yang digunakan dalam

penginderaan jauh.

Gambar 8. Reflektansi spektral Enhalus acoroides hasil curve fiting

(NB: Hasil grafik sebelum dicurve fiting berwarna hitam, sedangkan yang telah dicurve fiting berwarna merah).

3.3.2. Pengukuran Spektral

Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan berdasarkan keberadaan lamun di daerah penelitian (Gambar 9). Pengambilan sampel tersebut difokuskan


(30)

pada persentasi penutupan lamun yang lebih dari 50% pada titik pengambilan contoh. Cara memperoleh luas penutupan lamun diestimasi dengan

mengggunakan bingkai kuadrat berukuran 1x1 m2, berdasarkan acuan persentasi penutupan lamun oleh Seagrass watch Indonesia yang telah disiapkan sebagai pedoman (DKP, 2008). Lokasi pengambilan data spektral dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 9. Titik pengambilan sampel

Sebelum pengambilan data obyek dilakukan, terlebih dahulu dilakukan persiapan alat pendukung yang digunakan seperti probe yang akan dihubungkan dengan spektrometer. Selanjutnya spektrometer dihubungkan dengan laptop melalui kabel data. Kalibrasi dilakukan dengan cara menutup probe agar tidak terkena cahaya, kemudian arahkan probe pada white reference. Kalibrasi alat ini dilakukan untuk mendapatkan nilai referensi spektrum dan sekaligus untuk menghaluskan tampilan spektrum. Foto-foto kegitan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.


(31)

17

3.3.3. Pengukuran Reflektansi Spektral

Pengambilan data di lapang dilakukan dengan pengukuran pantulan spektral secara langsung dengan menggunakan Spektrometer USB 4000. Setiap obyek diukur dengan cara mengarahkan probe dari spektrometer pada bagian permukaan daun lamun dengan sudut pengukuran reflektansi 45º dan jarak pengukuran ±5 cm antara objek dengan probe (Gambar 8). Langkah selanjutnya yaitu menyimpan hasil pengukuran reflektansi yang telah tercatat oleh

spektrometer dalam bentuk *.txt (Ocean Optic, 2007).

Gambar 10. Pengambilan data spektral menggunakan spektrometer Untuk menghitung reflektansi digunakan rumus sebagai berikut :

%Rλ =

S λ − D λ

R λ − D λ× 100 %

Keterngan : %Rλ = Reflektansi (%)

Sλ = Intensitas sampel (counts)

Dλ = Intensitas dark (counts)


(32)

Langkah-langkah pengambilan data spektral dengan menggunakan spektrometer adalah sebagai berikut :

1. Instal software Ocean optics pada laptop, kemudian lakukan konfigurasi untuk spektrometer USB4000.

2. Lakukan kalibrasi dengan pilih menu electric dark correction dan klik menu store dark kemudian tutup probe agar tidak terkena cahaya matahari.

3. Klik menu store light lalu arahkan probe pada awan putih atau white reference .

4. Atur scan to average untuk merata-ratakan.

5. Kemudian arahkan probe pada objek seperti lamun, lalu tekan menu

save.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Analisis Pola Reflektansi Spektral Lamun

Hasil pengambilan reflektansi spektral lamun di lapang, selanjutnya akan difilter terlebih dahulu untuk menghilangkan data dari noise. Proses pemfilteran data dilakukan dengan cara moving average dengan menentukan nilai MAPE (Mean Absolute Percentage Error) terkecil (Amstrong et al., 1992). Kemudian dilakukan proses perata-rataan untuk setiap jenis lamun. Selanjutnya pantulan spektral ditampilkan dalam bentuk grafik, dimana pada sumbu X merupakan panjang gelombang dan pada sumbu Y merupakan nilai rata-rata spektral dari setiap spesies lamun. Sebelumnya dilakukan pencocokan serangkaian data spektral meliputi, waktu perekaman, lokasi, dan jenis lamun.


(33)

19

3.4.2. Analisis Cluster Spektrum Refelektansi Lamun Berdasarkan Jarak Analisis yang digunakan adalah analisis pengelompokkan (Cluster analysis) yang merupakan teknik perubahan ganda yang mempunyai tujuan utama untuk mengelompokkan obyek-obyek berdasarkan kemiripan karakteristik yang dimiliknya (Mattjik dan Sumertaja, 2011). Dasar dari analisis cluster yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengukuran jarak atau

ketidaksamaan. Ukuran jarak atau ketidaksamaan antara objek ke-i dengan obyek ke-h misalnya, disimbolkan dengan d

ih. Nilai dih diperoleh melalui

perhitungan jarak kuadrat Euclidean sebagai berikut (Everitt, 1993): p

d

ih = Σ (Xij – Xhj) 2

j=1 Keterangan : d

ih = jarak kuadrat Euclidean antara objek ke-i dengan objek ke-j, p = jumlah variabel cluster

X

ij = nilai atau data dari objek ke-i pada variable ke-j X

hj = nilai atau data dari objek ke-h pada variabel ke-j.

Nilai-nilai yang diperoleh dari perhitungan jarak kuadrat Euclidean selanjutnya disusun dalam matriks berukuran p x p. Nilai terkecil yang ada dalam matriks p x p tersebut menunjukkan nilai jarak atau ketidaksamaannya kecil. Hal ini berarti obyek yang bersangkutan memiliki kesamaan yang besar sehingga memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat. Hasil dari proses analisis pengelompokan ini berupa grafik yang berbentuk seperti pohon atau biasa disebut dendogram.


(34)

3.4.3. Analisis Diskriminan Spektrum Reflektansi Pada Lamun

Analisis dilakukan untuk menentukan spektrum panjang gelombang yang mampu memisahkan nilai spektral untuk setiap spesies lamun. Adapun analisis yang digunakan adalah analisis diskriminan (Discriminant analysis) yang merupakan salah satu teknik statistik yang biasa digunakan pada hubungan dependensi (hubungan antarvariabel yang sudah dapat dibedakan variabel respon dan variabel penjelas) (Mattjik dan Sumertaja, 2011). Model analisis diskriminan adalah sebuah persamaan yang menunjukan suatu kombinasi linier dari berbagai variabel independen yaitu :

D = b0 + b1X + b2X2 + b3X3 + …..+ bkXk

Keterangan : D = Skor diskriminan

b = Koefisien diskriminan atau bobot X = Prediktor atau variabel independen

3.4.4. Analisis Koresponden Antara Spektrum Panjang Gelombang Dengan Reflektansi Lamun

Analisis dilakukan untuk melihat kedekatan antara spektrum panjang gelombang dengan spesies lamun yang diinterpretasikan dalam plot dua dimensi. Baris ke-i menunjukan informasi spesies lamun yang terdiri atas empat variabel, yaitu Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium,

Cymodocea serrulata. Kolom j menunjukan variabel spektrum panjang

gelombang. Matriks data berupa tabel kontingensi yang mempertemukan n baris dan p kolom yang berisi n (i,j), hal ini berarti jumlah individu memiliki variabel i


(35)

21

Tabel 3. Matriks data pengolahan analisis korespondensi

Spesies lamun 1 ……… j …………p

S

pe

kt

ru

m

pa

n

ja

ng

g

el

om

b

ang

1 ………

i

……

.

n


(36)

22

4.1. Kondisi Umum Komunitas Lamun di Pulau Panggang

Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun, yang saling terkoneksi dan mempengaruhi satu sama lain. Menurut Mardesyawati dan Anggraini (2007), di Kepulauan Seribu ditemukan delapan jenis spesies lamun. Spesies tersebut meliputi Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, H. minor, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii

Padang lamun yang terdapat di Pulau Panggang tergolong mixed spesies yaitu terdapat banyak spesies pada satu area padang lamun. Terdapat 6 jenis lamun di Pulau Panggang yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,

Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syiringodium isoetifolium, dan Cymodocea serrulata, namun hanya ditemukan empat jenis spesies lamun pada transek kuadrat dari dua titik stasiun seperti Enhalus acoroides, Cymodocea serulata,

Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium dengan persen penutupan total berkisar antara 10% - 90%. Pengambilan data spektral dilakukan pada transek

kuadrat yang memiliki persen penutupan total ≥ 50%. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa informasi spektral yang terambil berasal dari vegetasi lamun.

Hasil pengukuran kualitas air dan analisis substrat di perairan Pulau Panggang ditampilkan pada Tabel 4. Nilai salinitas perairan di Pulau Panggang memiliki kisaran 31-33 ‰, kisaran ini masih dalam batas toleransi kisaran


(37)

23

Salinitas dapat mempengaruhi proses reflektansi dari adanya molekul-molekul garam yang terlarut dalam air laut. Lamun merupakan tumbuhan yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap salinitas mulai dari perairan estuari dengan salinitas 10 ‰ hingga mencapai 45 ‰. Meskipun pada salinitas rendah dan tinggi lamun dapat mengalami stress dan mati pada salinitas 45 ‰ (Hemminga dan Duarte, 2000).

Suhu perairan di Pulau Panggang memiliki kisaran suhu berkisar antara 30-33 °C, kisaran suhu tersebut masih dalam kisaran toleransi hidup lamun terutama di daerah tropis. Suhu perairan mempengaruhi proses reflektansi karena adanya kepadatan molekul air yang berbeda pada setiap suhu perairan.

Tabel 4. Hasil pengukuran kualitas air di Pulau Panggang

No Parameter Pulau Panggang Baku Mutu Air Laut (KMNLH, 2004)

1 Salinitas (‰) 31-33 33-34

2 Suhu (°C) 30-33 28-30

3 Oksigen Terlarut (mg/L) 9.42 >5

4 Kekeruhan (NTU) 1.72 ≤ 30

Kandungan oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesis dan absorbsi dari udara, pada lokasi penelitian ini nilai kandungan oksigen terlarutnya sebesar 9,42 mg/L. Nilai kandungan oksigen terlarut tersebut termasuk dalam standar baku mutu air laut yaitu di atas 5 mg/L (KMNLH, 2004).

Kekeruhan adalah jumlah dari butiran-butiran zat yang tergenang dalam air yang disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut di dalam air. Kekeruhan mengambarkan sifat optik air yang ditentukan


(38)

berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan organik atau anorganik yang terdapat dalam air. Nilai kekeruhan di Pulau Panggang sebesar 1.72 NTU (Nephelometric Turbidity Unit), nilai ini masih dalam standar baku mutu air laut.

4.2. Analisis Pola Reflektansi Spektral Lamun

Reflektansi merupakan suatu pantulan energi yang telah mengenai objek di permukaan bumi. Pola karakteristik reflektansi dari spesies lamun di stasiun 1 ditunjukan pada Gambar 10. Ditemukan empat spesies lamun di stasiun 1 (Barat Pulau Panggang) yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea serulata, Halodule uninervis, dan Syringodium isoetifolium.

Kurva reflektansi untuk keempat jenis lamun menunjukan pola yang hampir sama yaitu, memiliki dua puncak pada spektrum hijau (500-600 nm) dan spektrum inframerah dekat (700-750 nm). Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Durako (2006), yang menyatakan bahwa perbedaan optik antar spesies daun lamun berada pada panjang gelombang hijau (500-600 nm) dan near infrared (700-750 nm). Perbedaan ini disebabkan oleh variasi pigmen dan fungsi anatomi daun. Menurut Blackburn (1998) in Fyfe (2004), konsentrasi pigmen daun berkaitan dengan kemampuan mereflektansikan cahaya dari pantulan permukaan daun.

Pada spesies Syringodium isoetifolium yang memiliki puncak gelombang tertinggi pertama pada spektrum hijau (500-600 nm) dengan nilai reflektansi 18% dan 21% pada spektrum inframerah dekat (700-750 nm). Spesies Cymodocea serrulata terlihat memilikipuncak gelombang pada spektrum hijau (500-600 nm)


(39)

25

dengan nilai 15% dan pada spektrum inframerah dekat (700-750 nm) dengan nilai 16%. Lamun Halodule uninervis memilki puncak gelombang pada spektrum hijau (500-600 nm) sebesar 11%. Puncak gelombang terendah pada spektrum hijau (500-600 nm) yaitu spesies Enhalus acoroides dengan nilai reflektansi sebesar 9% dan untuk spektrum inframerah dekat (700-750 nm) dengan nilai reflektansi 10%. Pada spektrum inframerah dekat (700-750 nm) spesies Enhalus acoroides dan Halodule uninervis terlihat saling berhimpitan dengan kisaran nilai rata-rata reflektansi yang rendah yaitu 3%.

Gambar 11. Kurva reflektansi spesies lamun di stasiun 1 (Barat Pulau Panggang)

Nilai reflektansi untuk keempat spesies lamun di stasiun 1 Pulau Panggang, yaitu Enhalus acoroides, Halodelu uninervis, Syringodium isoetifolium, dan

Cymodocea serrulata berkisar antara 1% - 21%. Pola kurva reflektansi untuk keempat spesies lamun tersebut menunjukan kenaikan puncak gelombang pada spektrum hijau (500-600 nm) dan spektrum inframerah dekat (700-750 nm).

0 3 6 9 12 15 18 21 24

400 450 500 550 600 650 700 750

Ref lek ta n si ( % )

Panjang gelombang (nm)

Enhalus acoroides

Halodule uninervis


(40)

Spesies Syringodium isoetifolium memiliki puncak gelombang tertinggi dan spesies Enhalus acoroides memiliki puncak gelombang terrendah.

Lamun yang ditemukan pada stasiun 2 hanya spesies Enhalus acoroides dan

Halodule uninervis dengan dua puncak gelombang yaitu pada spektrum hijau (500-600 nm) dan spektrum inframerah dekat (700-750 nm). Nilai reflektansi tertinggi berada pada spektrum hijau (500-600 nm) dengan nilai 17% pada spesies

Halodule uninervis, sedangkan untuk spesies Enhalus acoroides memiliki nilai reflektansi 9% pada spektrum hijau (500-600 nm). Pola reflektansi untuk spesies

Enhalus acoroides dan Halodule uninervis pada spektrum inframerah dekat (700-750 nm) terlihat saling berhimpitan dengan nilai reflektansi sebesar 6%.

Gambar 12. Kurva reflektansi spesies lamun di stasiun 2 (Timur Pulau Panggang)

4.3. Analisis Cluster Spektrum Refelektansi Lamun Berdasarkan Jarak Cluster (pengelompokan) keempat jenis lamun di Pulau Panggang dari hasil analisis cluster dengan dilakukan pemotongan dendogram pada skala jarak 7.46

0 3 6 9 12 15 18 21

400 450 500 550 600 650 700 750

Ref lek ta n si ( % )

Panjang gelombang (nm)

Enhalus acoroides

Halodule uninervis


(41)

27

berdasarkan selisih jarak (distance level) terbesar (Tabel 5), maka dihasilkan 2 kelompok (cluster) pembagian lamun (Gambar 13).

Tabel 5. Analisis cluster keempat spesies lamun di Pulau Panggang Kelompok Jenis lamun Jumlah anggota kelompak

1 Ea, Cs, dan Hu 3

2 Si 1

Keterangan: Ea = Enhalus acoroides

Cs = Cymodocea serrulata

Si = Syringodium isoetifolium

Hu = Halodule uninervis

Kelompok pertama yaitu spesies Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis, serta kelompok kedua Syringodium

isoetifolium. Nilai jarak atau ketidaksamaan yang kecil, seperti yang ditunjukan oleh dua jenis lamun Cymodocea serrulata dan Halodule uninervis pada skala jarak 2.86, menunjukan kedua spesies lamun yang bersangkutan memiliki

kesamaan yang besar sehingga memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat. Hal ini disebabkan oleh penampang daun yang dimiliki Cymodocea serrulata dan

Halodule uninervis hampir sama, yaitu lebar daun 2-4 mm untuk tiap spesies (Gambar 1).

Keempat jenis lamun pada skala jarak Euclidean 7.46 tersebut menunjukan ketidaksamaan yang besar antara kelompok 1 dan 2. Hal ini dipengaruhi oleh variasi pigmen daun dan morfologi daun lamun. Berdasarkan bentuk morfologi daun yang dilihat di lapang untuk kelompok 2, yaitu Syringodium isoetifolium


(42)

Enhalus acoroides memiliki penampang daun yang lebih besar dengan lebar 1-5 cm (Gambar 1).

Si Cs Hu Ea

Spesies lamun 2

3 4 5 6 7 8

Jar

ak

Gambar 13. Dendogram pengelompokan keempat jenis lamun berdasarkan ketidaksamaan nilai reflektansi

4.4. Analisis Diskriminan Spektrum Reflektansi Pada Lamun Analisis diskriminan digunakan untuk menentukan bobot dari suatu

kelompok prediktor yang paling baik untuk membedakan dua atau lebih kelompok kasus (Cramer 2004 in Seniati 2011). Analisis diskriminan menghasilkan fungsi diskriminan. Fungsi diskriminan dari berbagai spektrum warna di bawah ini didasarkan pada pembagian spektum warna sinar tampak, dengan mengacu pada buku Ocean Optics 2007. Fungsi ini digunakan untuk mengklasifikasikan nilai reflektansi akan masuk ke dalam suatu kelompok spektrum sinar tampak. Adapun fungsi persamaannya sebagai berikut :

7.46

5.66


(43)

29

D1 = -219.04 +1.91 (Su) +13.12 (Sbl) +2.84 (Sb) +0.70 (Sh) + 2.75 (Shk) +3.26 (Sk)

-0.01 (So) +7.79 (Sm) +1.50 (Smt)

D2 = 26.12 -1.30 (Su) -11.47 (Sbl) -1.75 (Sb) -0.85 (Sh) -3.09 (Shk) +0.36 (Sk) -0.50 (So) +5.20 (Sm) +2.25 (Smt)

D3 = 25.91 +7.46 (Su) -9.32 (Sbl) -1.09 (Sb) -0.55 (Sh) -3.58 (Shk) -2.37 (Sk) -0.47 (So) +2.20 (Sm) +0.19 (Smt)

Keterangan : Su = Spektrum Ungu (400-450 nm)

Sbl = Spektrum Biru Langit (450-480 nm)

Sb = Spektrum Biru (480-510 nm)

Sh = Spektrum Hijau (510-550 nm)

Shk = Spektrum Hijau Kuning (550-575 nm)

Sk = Spektrum Kuning (575-585 nm)

So = Spektrum Orange (585-620 nm)

Sm = Spektrum Merah (620-700 nm)

Smt = Spektrum Merah Tepi (700-750 nm)

Jumlah fungsi diskriminan tergantung dari jumlah kelompok dikurangi 1 (yang paling kecil) (Seniati, 2011). Fungsi diskriminan pertama, kedua, dan ketiga (secara bersama) adalah signifikan. Persamaan fungsi diskriminan yang dihasilkan akan memberikan peramalan yang paling tepat untuk mengklasifikasi suatu individu kedalam kelompok berdasarkan prediksi.

D merupakan fungsi yang mampu mengklasifikasikan suatu jenis lamun kedalam suatu kelompok panjang gelombang. Korelasi setiap spektrum panjang gelombang dengan masing-masing fungsi diskriminan disusun dalam sebuah struktur matriks (Tabel 6). Spektrum ungu (400-450 nm), merah (620-700 nm), dan orange (585-620 nm) merupakan variabel yang saling berkorelasi kuat dengan


(44)

fungsi diskriminan pertama (D1). Fungsi diskriminan pertama memiliki persen

keragaman (variance) tertinggi yaitu 96.10% (Lampiran 4) dan pada spektrum ungu, merah, dan orange ini merupakan peubah yang dapat membedakan karakteristik antar spesies lamun pada fungsi diskriminan pertama.

Tabel 6. Korelasi antar spektrum panjang gelombang dari masing-masing fungsi diskriminan

Spektrum Panjang gelombang (nm)

Fungsi diskriminan (D*)

D1 D2 D3

Su (400-450 nm) 0.166* -0.028 0.147

Sm (620-700 nm) 0.103* 0.085 0.044

So (585-620 nm) 0.058* 0.017 -0.031

Sh (510-550 nm) 0.105 -0.141* -0.024

Smt (700-750 nm) 0.052 0.133* -0.044

Shk (550-575 nm) 0.215 -0.153 -0.617*

Sbl (450-480 nm) 0.146 -0.247 0.295*

Sk (575-585 nm) 0.259 -0.014 -0.273*

Sb (480-510 nm) 0.089 -0.164 0.186*

(*) korelasi terkuat pada spektrum dan fungsi diskriminan masing-masing

Hal ini disebabkan karena fungsi pertama memiliki nilai keragaman tertinggi dibandingkan dua fungsi lainnya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Fyfe dan Dekker (2001), yang menyatakan bahwa panjang gelombang yang optimal untuk mengdiskriminasikan dan memetakan habitat lamun pada tingkat spesies berada antara 500-630 nm. Menurut Fyfe (2004), rentang panjang gelombang 588-602 nm, sangat penting untuk mendiskriminasikan spesies lamun P. australis pada setiap musim yang berbeda.


(45)

31

4.5. Analisis Koresponden Antara Spektrum Panjang Gelombang Dengan Reflektansi Lamun

Hasil analisis koresponden menunjukan adanya keterkaitan antara spesies lamun dengan spektrum panjang gelombang tertentu. Keterkaitan tersebut

ditunjukkan pada dimensi pertama dengan inertia 84.70% dan pada dimensi kedua 15.19%, sehingga hubungan antar variabel lebih utama dijelaskan pada dimensi pertama yang lebih dapat menggambarkan kedekatan antar variabel. Inersia pada masing dimensi menunjukan representatif persentase pada masing-masing dimensi.

Informasi pada Gambar 14 menunjukan bahwa spektrum orange memiliki kedekatan dengan Syringodium isoetifolium. Hal ini ditandai dengan kedekatan antara keduanya yang dilihat dari nilai kosinus kuadrat pada dimensi pertama dan letak antara kuadran yang sama yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Kosinus kuadrat merupakan representasi keterkaitan antar faktor. Nilai kosinus kuadrat penting diketahui untuk memperoleh gambaran apakah suatu titik yang

diproyeksikan pada suatu sumbu dekat atau tidak pada suatu aksis (Bengen, 2000).

Nilai kosinus kuadrat dari spektrum orange dan Syringodium isoetifolium pada dimensi pertama sebesar 0.630 dan 0.651 (Lampiran 5), kemudian keduanya terletak pada kuadran yang sama, sedangkan spesies Halodule uninervis memiliki kedekatan dengan spektrum hijau yang berbeda kuadran dengan kedekatan nilai kosinus masing-masing sebesar 0.997 dan 0.823 (Lampiran 5). Spesies Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata dengan nilai kosinus 0.024 dan 0.598


(46)

memiliki kedekatan dengan spektrum hijau kuning yang berbeda kuadran dengan kedekatan nilai kosinus 0.524 (Lampiran 5).

Spektrum panjang gelombang Spesies lamun Su Sbl Sb Sh Shk Sk So Sm Smt Enhalus acoroides Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Cymodocea serrulata

-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3

Dimension 1; Eigenvalue: .01208 (84.70% of Inertia) -0.08 -0.06 -0.04 -0.02 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 D im ens ion 2; E igen v al ue: . 00217 ( 15. 19% of I ner ti a) Su Sbl Sb Sh Shk Sk So Sm Smt Enhalus acoroides Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Cymodocea serrulata

Gambar 14. Hasil analisis koresponden antara spektrum panjang gelombang dan reflektansi lamun

Keterangan : Su = Spektrum Ungu (400-450 nm)

Sbl = Spektrum Biru Langit (450-480 nm)

Sb = Spektrum Biru (480-510 nm)

Sh = Spektrum Hijau (510-550 nm)

Shk = Spektrum Hijau Kuning (550-575 nm)

Sk = Spektrum Kuning (575-585 nm)

So = Spektrum Orange (585-620 nm)

Sm = Spektrum Merah (620-700 nm)

Smt = Spektrum Merah Tepi (700-750 nm)

Secara umum dari hasil ketiga analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini seperti analisis cluster, analisis diskriminan, dan analisis


(47)

33

koresponden, yang lebih prospek digunakan dalam menganalisis citra yaitu analisis diskriminan. Hal ini disebabkan karena analisis diskriminan merupakan analisis statistik multivarian yang digunakan untuk meprediksikan suatu individu (lamun) termasuk kedalam kelompok (spektrum warna) tertentu. Menurut Fyfe (2004), prosedur pengklasifikasian pengindraan jauh biasanya didasarkan pada teknik-teknik numerik yang mengkelompokan suatu respon spektral pada suatu panjang gelombang. Hasil dari penelitian ini lebih lanjut diharapkan dapat memberikan acuan dalam pemilihan saluran/ spektrum panjang gelombang yang dapat diterapkan pada sensor citra satelit dalam suatu tahapan pengklasifikasian untuk tanaman bentik air.


(48)

34

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Secara umum pola reflektansi Enhalus acoroides, Halodule uninervis,

Syringodium isoetifolium, dan Cymodocea serrulata, cenderung memiliki pola yang sama dengan dua puncak gelombang pada spektrum hijau (500-600 nm) dan spektrum inframerah dekat (700-750 nm), namun besaran nilai yang dihasilkan berbeda-beda menurut rentang panjang gelombang tertentu. Perbedaan pola respon ini disebabkan oleh variasi anatomi daun lamun masing-masing spesies.

Analisis pengelompokkan berdasarkan nilai reflektansi mendapati bahwa

Syringodium isoetifolium, memiliki tingkat ketidaksamaan yang besar pada skala jarak 7.46 dibandingkan tiga sepsis lamun yang lainnya Perbedaan karakteristik spektral dapat difokuskan pada spektrum warna ungu (400-450 nm), warna merah (620-700 nm), dan warna orange (585-620 nm), untuk membedakan spesies lamun dengan yang lainnya. Analisis korespondensi menunjukan adanya keterkaitan antara spesies lamun dengan spektrum panjang gelombang tertentu. Keterkaitan tersebut ditunjukkan pada dimensi pertama dengan inertia 84.70% dan pada dimensi kedua 15.19%, sehingga hubungan antar variabel lebih utama dijelaskan pada pada dimensi pertama yang lebih dapat menggambarkan


(49)

35

5.2 Saran

Penelitian ini tidak menganalisis kandungan pigmen daun lamun yang diukur sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa analisis kandungan pigmen yang terdapat pada lamun sehingga dapat diketahui bagaimana pengaruh kandungan pigmen daun lamun terhadap pola karakteristik spektral lamun.


(50)

36

Adrim, M. 2006. Asosiasi Ikan di Padang Lamun. Oseana. 31(4):1-7.

Aggarwal, S. 2001. Principles of Remote Sensing. Photogrammetry and Remote Sensing Division Indian Institute of Remote Sensing. Dehra Dun. India Amstrong, J. Scott, and C. Fred. 1992. A Commentary on Error Measures.

International Journal of Forecasting, 8, 69-80

Azkab, M.H. 2006. Ada Apa dengan Lamun. Oseana. 31(3):45-55.

Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dekker, A.G., V.E. Brando , and J.M. Anstee,. 2006. Retrospective seagrass

change detection in a shallow coastal tidal Australian lake. Remote sensing and Environment. 97(1):415-433.

DKP. 2008. Pedoman Umum Identifikasi dan Monitorimg Lamun. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta.

Durako, M.J. 2006. Leaf optical properties and photosynthetic leaf absorptances in several Australian seagrass. Department of Biology and Marine Biology. The University of North Carolina Wilmington. USA.

Enriquez, S,. and M. A. Borowitzka. 2010. The use of the fluorescence signal in studi of seagrass and macroalgea in D. J. Suggett, O.Prasil, and M.A. Borowitzka (editor). Chlorophyll a Fluorescence in Aquatic Science: Methods and Applications. Springer. Australia. Pp 187-208.

Fyfe, S.K. 2004. Hyperspectral studies of New South Wales seagrass with particular emphasis on detection of light stress in Eelgrass Zostera capricorni. PhD Thesis. School of Earth and Evironmental Sciences. University of Wollongong.

Fyfe, S.K., and A.G. Dekker, 2001. Seagrass species:are they spectrally distinct?,

Proceeding of the IEEE International Geosciences and Remote Sensing Symposium, Sydney, Vol VI: 2740-2742.

Hemminga, M.A. and C.M. Duarte. 2001. Seagrass Ecology. Cambridge University Press. Cambridge.


(51)

37

Kiswara, W. dan M.H. Azkab. 2000. Katalog Koleksi Biota Laut Puslitbang Oseanologi-LIPI Jilid III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta.

Kerle, N., Janssen, Lucas. L.F., Huurneman, G.C (editor). 2004. Principles of Remote Sensing. International Institute For Geo-Information Science and Earth Observation. Enschede. The Netherlands.

KMNLH (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup). 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta

Larkum, A.W.D., R.J. Orth dan C.M. Duarte. 2006. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Springer. Netherlands. xvi+691 h

Lillesand, T.M and F.W. Kiefer.1994. Remote sensing and Image Interpretatioon. John Wiley & Sons. New York. xi+741 h.

Mardesyawati, A. dan K. Anggraini. 2007. Dinamika Struktur Komunitas Makrobentos Non-Karang di Kepulauan Seribu in Estradivari, E. Setyawan, dan S. Yusri (editor). Trumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta.

Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2011. Sidik Perubahan Ganda Dengan Menggunakan SAS. Departemen Statistika. Institut Pertanian Bogor Nurnberger, T. and Scheel, D. 2001. Signal Transmission in The Plant Immune

Response. Institute of Plant Biochemistry. Weinberg. Vol VI no 8-14. Nurjannah. 2006. Observasi Radiometrik, Analisis Karakteristik Reflektansi

Spektral dan Perumusan Indeks Pembeda Karang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ocean optics, 2007. Ocean Optics Bringing Answer to Light. USA

Sathyendranath, S (ed).2000 Remote sensing of ocean colour in coastal, and other optically complex waters. Reports of the International Ocean-Colour Coordinating Group No. 3, IOCCG. Dartmouth. Canada.

Sachoemar, S. I. 2008. Karakteristik Lingkungan Perairan Kepulauan Seribu.

Jurnal Air Indonesia. BPPT. 4(2)

Seniati, L. 2011. Discriminant Analysis. Statistika Lanjut. Magister Profesi UI. [22 Mei 2012]

Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2008. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. www.tnlkepulauanseribu.net [22 Juni 2012]


(52)

Zimmerman, R.C and A.G. Dekker. 2006. Aquatic Optics: Basic Concepts for Understanding How Light Affects Seagrasses and Makes them

Measurable from Space in Larkum, A. W. D., Orth, R. J., Duarte, C. M. (eds.) Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Springer, The Netherlands. Pp 295-301.

Zulkifli, E. 2003. Kandungan Zat Hara dalam Air Poros dan Air Permukaan Padang Lamun Bintan Timur Riau. Jurnal Natur Indonesia. 5(2): 139-144.


(53)

(54)

39

1 I/1 10:30:10AM -5.74363 106.5905 Ea, Si 42 cm Cerah

2 I/2 11:08:22AM -5.74376 106.5905 Ea, Hu, Si 46 cm Cerah

3 I/3 12:52:09PM -5.74372 106.5905 Cs,Ea,Si 44 cm Cerah

4 I/4 11:54:08AM -5.74378 106.5905 Ea,Hu 42 cm Cerah

5 II/5 08:40:48AM -5.745186 106.6049 Ea,Hu 40 cm Cerah berawan

6 II/6 10:18:19AM -5.745279 106.6050 Ea,Hu 52 cm Cerah berawan

Keterangan : Ea = Enhalus acoroides

Hu = Halodule uninervis

Si = Syringodium isoetifolium


(55)

40

Lampiran 2. Foto kegiatan penelitian

Laptop yang digunakan untuk penyimpanan data USB 4000

Probe yang diarahkan ke permukaan daun lamun

Spektrometer USB 4000 yang digunakan saat penelitian


(56)

Lampiran 3. Analisis cluster nilai reflektansi keempat jenis lamun pada spektrum sinar tampak.

Correlation Coefficient Distance, Average Linkage Amalgamation Steps

Step

Number of cluster

Similarity level

Distance level

Cluster joined

New cluster

Number of obs, in new cluster

1 3 99.51 0.009 1 4 1 2

2 2 98.87 0.02 1 3 1 3

3 1 91.33 0.17 1 2 1 4

Final Partition Cluster 1

Enhalus acoroides Cymodocea serrulata Cluster 2

Halodule uninervis Cluster 3


(57)

42

Lampiran 4. Analisis diskriminan nilai reflektansi keempat jenis lamun pada spektrum sinar tampak.

Wilks' Lambda Test of

Function(s) Wilks' Lambda Chi-square df Sig.

1 through 3 .000 3323.784 27 .000

2 through 3 .000 1684.479 16 .000

3 .027 696.765 7 .000

Eigenvalues Functio

n Eigenvalue % of Variance Cumulative %

Canonical Correlation

1 4992.390a 96.1 96.1 1.000

2 168.183a 3.2 99.3 .997

3 36.321a .7 100.0 .987

Canonical Discriminant Function Coefficients Function

1 2 3

Su 1.912 -1.307 7.468

Sbl 13.129 -11.474 9.325

Sb 2.841 -1.751 1.099

Sh .709 -.851 -.553

Shk 2.759 -3.090 -3.584

Sk 3.268 .362 -2.373

So -.019 -.506 -.473

Sm 7.798 5.202 2.205

Smt 1.505 2.253 .199


(58)

Lampiran 5. Analisis koresponden nilai reflektansi keempat jenis lamun pada spektrum sinar tampak.

Column Coordinates and Contributions to Inertia (Spreadsheet1) Input Table (Rows x Columns): 9 x 4

Standardization: Row and column profiles Column Name Column Number Coordin. Dim.1 Coordin. Dim.2

Mass Quality Relative Inertia Inertia Dim.1 Cosine² Dim.1 Inertia Dim.2 Cosine² Dim.2 Enhalus acoroides Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Cymodocea serrulata

1 0.008057 -0.049865 0.150269 0.972799 0.027634 0.000808 0.024753 0.172496 0.948046 2 -0.201597 0.009670 0.222263 0.999964 0.634819 0.747732 0.997669 0.009595 0.002296 3 0.072644 0.053131 0.364060 0.999987 0.206759 0.159030 0.651484 0.474443 0.348503 4 0.065109 -0.053146 0.263407 0.997445 0.130789 0.092431 0.598604 0.343466 0.398842

Row Coordinates and Contributions to Inertia (Spreadsheet1) Input Table (Rows x Columns): 9 x 4

Standardization: Row and column profiles Row Name Row Number Coordin. Dim.1 Coordin. Dim.2

Mass Quality Relative Inertia Inertia Dim.1 Cosine² Dim.1 Inertia Dim.2 Cosine² Dim.2 Su Sbl Sb Sh Shk Sk So Sm Smt

1 -0.035650 0.082676 0.028765 0.994899 0.016433 0.003026 0.155979 0.090769 0.838919 2 -0.117507 0.090438 0.042092 0.999428 0.064925 0.048110 0.627646 0.158932 0.371782 3 -0.113674 0.074956 0.081031 0.999518 0.105384 0.086673 0.696626 0.210172 0.302892 4 -0.081329 -0.036911 0.151689 0.992592 0.085469 0.083052 0.823062 0.095404 0.169529 5 -0.058346 -0.055389 0.184317 0.997063 0.083887 0.051939 0.524433 0.261054 0.472630 6 -0.024883 -0.016665 0.171414 0.996431 0.010818 0.008785 0.687897 0.021976 0.308534 7 0.033517 0.025654 0.139846 0.999930 0.017469 0.013004 0.630531 0.042490 0.369400 8 0.079313 0.057349 0.073747 0.999617 0.049551 0.038401 0.656419 0.111972 0.343198 9 0.251790 -0.011101 0.127100 0.999998 0.566064 0.667008 0.998058 0.007231 0.001940


(59)

44

Lampiran 6. Grafik hasil curvefiting data reflektansi dengan metode moving average untuk jenis

Enhalus acoroides


(60)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 5 April 1989 dari Ayah H. Katim Kosasih dan Ibu Hj. Djudju. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 2004-2007, Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA

Cenderawasih 1, Jakarta. Pada tahun 2007 penulis tercatat sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu dan

Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi Himpunan Profesi (Himpro) Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA). Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Karawang, Jawa Barat.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Karakteristik Reflektansi Spektral Lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu”


(1)

Lampiran 2. Foto kegiatan penelitian

Laptop yang digunakan untuk penyimpanan data USB 4000

Probe yang diarahkan ke permukaan daun lamun

Spektrometer USB 4000 yang digunakan saat penelitian


(2)

Lampiran 3. Analisis cluster nilai reflektansi keempat jenis lamun pada spektrum sinar tampak.

Correlation Coefficient Distance, Average Linkage Amalgamation Steps

Step

Number of cluster

Similarity level

Distance level

Cluster joined

New cluster

Number of obs, in new cluster

1 3 99.51 0.009 1 4 1 2

2 2 98.87 0.02 1 3 1 3

3 1 91.33 0.17 1 2 1 4

Final Partition

Cluster 1

Enhalus acoroides Cymodocea serrulata Cluster 2

Halodule uninervis Cluster 3


(3)

Lampiran 4. Analisis diskriminan nilai reflektansi keempat jenis lamun pada spektrum sinar tampak.

Wilks' Lambda Test of

Function(s) Wilks' Lambda Chi-square df Sig.

1 through 3 .000 3323.784 27 .000

2 through 3 .000 1684.479 16 .000

3 .027 696.765 7 .000

Eigenvalues Functio

n Eigenvalue % of Variance Cumulative %

Canonical Correlation

1 4992.390a 96.1 96.1 1.000

2 168.183a 3.2 99.3 .997

3 36.321a .7 100.0 .987

Canonical Discriminant Function Coefficients Function

1 2 3

Su 1.912 -1.307 7.468

Sbl 13.129 -11.474 9.325

Sb 2.841 -1.751 1.099

Sh .709 -.851 -.553

Shk 2.759 -3.090 -3.584

Sk 3.268 .362 -2.373

So -.019 -.506 -.473

Sm 7.798 5.202 2.205

Smt 1.505 2.253 .199


(4)

Lampiran 5. Analisis koresponden nilai reflektansi keempat jenis lamun pada spektrum sinar tampak.

Column Coordinates and Contributions to Inertia (Spreadsheet1) Input Table (Rows x Columns): 9 x 4

Standardization: Row and column profiles Column Name Column Number Coordin. Dim.1 Coordin. Dim.2

Mass Quality Relative Inertia Inertia Dim.1 Cosine² Dim.1 Inertia Dim.2 Cosine² Dim.2 Enhalus acoroides Halodule uninervis Syringodium isoetifolium Cymodocea serrulata

1 0.008057 -0.049865 0.150269 0.972799 0.027634 0.000808 0.024753 0.172496 0.948046 2 -0.201597 0.009670 0.222263 0.999964 0.634819 0.747732 0.997669 0.009595 0.002296 3 0.072644 0.053131 0.364060 0.999987 0.206759 0.159030 0.651484 0.474443 0.348503 4 0.065109 -0.053146 0.263407 0.997445 0.130789 0.092431 0.598604 0.343466 0.398842

Row Coordinates and Contributions to Inertia (Spreadsheet1) Input Table (Rows x Columns): 9 x 4

Standardization: Row and column profiles Row Name Row Number Coordin. Dim.1 Coordin. Dim.2

Mass Quality Relative

Inertia Inertia Dim.1 Cosine² Dim.1 Inertia Dim.2 Cosine² Dim.2 Su Sbl Sb Sh Shk Sk So Sm Smt

1 -0.035650 0.082676 0.028765 0.994899 0.016433 0.003026 0.155979 0.090769 0.838919

2 -0.117507 0.090438 0.042092 0.999428 0.064925 0.048110 0.627646 0.158932 0.371782

3 -0.113674 0.074956 0.081031 0.999518 0.105384 0.086673 0.696626 0.210172 0.302892

4 -0.081329 -0.036911 0.151689 0.992592 0.085469 0.083052 0.823062 0.095404 0.169529 5 -0.058346 -0.055389 0.184317 0.997063 0.083887 0.051939 0.524433 0.261054 0.472630 6 -0.024883 -0.016665 0.171414 0.996431 0.010818 0.008785 0.687897 0.021976 0.308534

7 0.033517 0.025654 0.139846 0.999930 0.017469 0.013004 0.630531 0.042490 0.369400

8 0.079313 0.057349 0.073747 0.999617 0.049551 0.038401 0.656419 0.111972 0.343198


(5)

Lampiran 6. Grafik hasil curvefiting data reflektansi dengan metode moving average untuk jenis

Enhalus acoroides


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 5 April 1989 dari Ayah H. Katim Kosasih dan Ibu Hj. Djudju. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 2004-2007, Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA

Cenderawasih 1, Jakarta. Pada tahun 2007 penulis tercatat sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu dan

Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi Himpunan Profesi (Himpro) Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA). Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Karawang, Jawa Barat.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Karakteristik Reflektansi Spektral Lamun di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu”