SIKAP ELITE PARTAI GOLONGAN KARYA TERHADAP KONFLIK INTERNAL PARTAI GOLONGAN KARYA (Studi pada DPD I Provinsi Lampung)
(Skripsi)
Oleh LENI YULIANI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2015
(2)
SIKAP ELITE PARTAI GOLONGAN KARYA TERHADAP KONFLIK INTERNAL PARTAI GOLONGAN KARYA
(Studi pada DPD I Provinsi Lampung)
Oleh
LENI YULIANI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sikap elite partai Golongan Karya terhadap konflik internal partai Golongan Karya di DPD I Provinsi Lampung. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan sikap elite Partai GOLKAR Provinsi Lampung dari 3 aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan konatif. Yang pertama adalah aspek kognitif (pengetahuan) diantaranya yang berkaitan dengan kronologi konflik, penyebab konflik, serta adanya kepentingan pribadi dinyatakan baik dengan ciri-ciri pengetahuan yang baik tentang kronologi konflik dan pemicunya. Aspek yang kedua yaitu aspek afektif (perasaan) diantaranya terhadap sikap yang diambil dengan adanya dualisme kepengurusan, sikap terkait adanya islah bersyarat, serta kemungkinan perdamaian antara kedua kubu, para elite Partai GOLKAR rasional dalam menentukan dukungan terhadap kubu masing-masing. Yang ketiga aspek konatif (kecenderungan bertindak) diantaranya langkah selanjutnya jika kubu yang didukung menang, adalah mengakomodir kader-kader partai dari kubu lawan yang memenuhi kriteria Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela (PDLT).
(3)
THE ATTITUDE OF POLITICAL ELITE PARTIES GOLONGAN KARYA OF INTERNAL CONFLICT GOLONGAN KARYA PARTIES
(Studies on DPD I Lampung Province)
By
LENI YULIANI
The purpose of this study was to determine how attitudes of elite Golkar party against the party's internal conflicts DPD Golkar in Lampung Province. This research used descriptive method with a qualitative approach.\
The results shows attitudes of elite Golkar Party Lampung from three aspects: cognitive, affective and conative. The first is cognitive (knowledge) of which related to the chronology of the conflict, the causes of conflict, as well as their personal interest is expressed well with the characteristics of a good knowledge of the chronology of the conflict and trigger. The second aspect is the aspect of affective (feeling) of them against the stance taken by the dualism management, related to the reconciliation conditional attitude, as well as the possibility of peace between the two camps, the Golkar Party elite rational in determining support for their respective camps. The third aspect of conative (tendencies) including the next steps if the faction that supported winning, is to accommodate the party cadres from the opposite camp who meet the criteria for achievement, dedication, loyalty and Not Disgraced (PDLT).
(4)
Oleh LENI YULIANI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN
Pada
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2015
(5)
Penulis dilahirkan di Tulang Bawang, Rawa Jitu pada tanggal 31 Mei 1992. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Safrudin dan Ibu Nur khadijah. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri I Tanjung Harapan pada tahun 1997 dan menyelesaikan studinya pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah SMP Negeri 1 Gedung Meneng yang diselesaikan pada tahun 2008 dan melanjutkan pendidikan ke SMA PGRI 1 Terbanggi Besar yang selesai pada tahun 2011.
Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, Universitas Lampung melalui jalur PMPAP. Pada awal tahun 2014 penulis mengikuti pengabdian kepada masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sri Pendowo, Kabupaten Lampung Tengah.
Selama menjadi mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, penulis pernah mengikuti beberapa organisasi internal kampus antara lain Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Pemerintahan.
(6)
Lakukan yang terbaik dan yang terbaik akan datang kepadamu
(Dino Patti Djalal)
Jadikanlah kekecewaan masa lalu menjadi senjata sukses
dimasa depan.
(Leni Yuliani)
Jangan pernah melupakan apa pun yang dikatakan seseorang ketika
ia marah, karena akan seperti itu pulalah perlakuannya kepada Anda.
(7)
Kupersembahkan Karya Sederhana Ini Kepada
Allah SWT yang telah begitu banyak memberikan
Rahmat dan Hidayahnya kepada seluruh umatnya
Ibuku Tercinta, terimakasih atas doa a, kasih sayang
serta pengorbanan selama ini, yang telah mendidik
dengan penuh kesabaran, menyayangi dan selalu
memberikan semangat sehingga dapat menyelesaikan
karya ini. Ayah, terima kasih atas pelajaran hidup yang
sangat berarti.
Kakakku tersayang, Danu Hermawan
Almamater tercinta tempatku menimba ilmu
UNIVERSITAS LAMPUNG
(8)
Bismillahirohmanirohim.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan rangkaian perkuliahan di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang ditutup dengan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Sikap Elite Partai Golongan Karya Terhadap Konflik Internal Partai Golongan Karya (Studi pada DPD I Provinsi Lampung)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Universitas Lampung.
Penulis menyadari banyak kesulitan yang dihadapi dari awal pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak, terutama dosen pembimbing, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut:
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan selaku Dekan fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas lampung.
2. Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Lampung.
(9)
bersedia membimbing, mengarahkan, serta memberikan motivasi dan saran yang sangat berguna bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Himawan Indrajat, S.IP. M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta saran-saran yang sangat berguna bagi penulis untuk mencapai gelar sarjana bagi penulis.
5. Bapak Budi Harjo, S.Sos, M.I.P selaku dosen penguji yang telah memberikan begitu banyak masukan serta saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Seluruh dosen pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu dan pengetahuan.
7. Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan dan Petugas Ruang Baca.
8. Seluruh Pihak DPD I Partai Golongan Karya Provinsi Lampung dan DPD II Partai Golongan Karya Kota Bandar Lampung yang telah memberikan izin penelitian sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh informan yang telah bersedia memberikan informasi sehingga penulis dapat melaksanan penelitian ini.
10. Teristimewa untuk Ayah, Ibu dan Kakak ku tersayang, yang telah mendoakan, mendidik, mendukung serta memberikan kasih sayang dan mendoakanku dengan sepenuh hati.
(10)
Kusuma, Mbak niken, Bibi Ras, Alm. Om Sani, Paman Sukir, Paman Sudir, yang selalu seru dan rame.
12. Kak Edo Putra Fitriadi yang selalu menemani hari-hariku, terima kasih atas semua doa, waktu, bantuan, dukungan dan semangatnya.
13. Sahabat yang tanpa lelah memberikan senyum semangat: Putri, Shedy, Wirda, Endah, Desi Wijaya, Desi Nurfitria, Cici, Mahmudah, Genta, mas Ahlan Fahriadi, bang Harizon, mas Leo, nduk Lala, Wiwik, Doma dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas canda, tawa, suka, duka, motivasi saat dalam kesulitan.
14. Teman-teman Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA angkatan 2011 serta Kakak tingkat 2010. Terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.
15. Serta rekan-rekan yang telah berpartisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung, terima kasih sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu dan teman-teman semua. Hanya ucapaan terima kasih dan doa yang bisa penulis berikan.
(11)
Aamiin.
Bandar Lampung, Oktober 2015 Penulis
(12)
i
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Sikap ... 8
B. Tinjauan Tentang Elite ... 27
C. Tinjauan Tentang Partai Politik ... 30
D. Tinjauan Tentang Konflik ... 34
E. Kerangka Pikir ... 40
III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 43
B. Jenis Data ... 44
C. Fokus Penelitian ... 45
D. Lokasi Penelitian... 46
E. Informan... 46
F. Teknik Pengumpulan Data... 47
G. Teknik Pengolahan data ... 49
H. Teknik Analisis Data... 50
IV. GAMBARAN UMUM A. Sejarah Partai Golongan Karya (GOLKAR) ... 52
B. Visi Partai Golongan Karya (GOLKAR) ... 57
C. Misi Partai Golongan Karya (GOLKAR) ... 59
D. Tujuan dan Fungsi Partai Golongan Karya (GOLKAR) ... 60
E. Keanggotaan dan Sistem Kaderisasi Partai ... 61
(13)
ii V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Informan ... 83 B. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sikap Elite
Partai Golongan Karya (GOLKAR) di DPD I Provinsi
Lampung ... 85 1. Aspek Kognitif (pengetahuan) Elite Partai GOLKAR
DPD I Provinsi Lampung terhadap konflik internal
partai GOLKAR ... . 86 2. Aspek Afektif (perasaan) Elite partai GOLKAR
terhadap konflik internal partai GOLKAR di DPD I
Partai GOLKAR Provinsi Lampung ... 101 3. Aspek Konatif (kecenderungan untuk bertindak) elite
DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung terhadap
konflik internal Partai GOLKAR... 110 C. Analisis Karakteristik Sikap Elite Partai GOLKAR
Terhadap Konflik Internal Partai GOLKAR DPD I
Provinsi Lampung ... 114 D. Masalah, Gejala (penyebab)dan Solusi Konflik Internal
Partai ... 121
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ... 123 B. Saran ... 124
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(14)
iii
Tabel Halaman
1. Respons Mengenai Sikap ... 22 2. Daftar Komposisi Personalia DPD I Partai GOLKAR
Provinsi Lampung Kubu M. Alzier Dianis Thabranie ... 77 3. Daftar Komposisi Personalia DPD I Partai GOLKAR
Provinsi Lampung Kubu MW.Heru Sambodo ... 80 4. Deskripsi Informan Kubu Agung Laksono ... 84 5. Deskripsi Informan Kubu Aburizal Bakrie ... 84 6. Pola Sikap Politik Elite Partai GOLKAR terhadap Konflik
Internal Partai Golkar di DPD I Provinsi Lampung ... 120 7. Gejala (Penyebab), Masalah dan Solusi Konflik Internal
(15)
(16)
(17)
(18)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik internal yang terjadi pada Partai Golongan Karya (GOLKAR) bukan pertama kalinya, tetapi pernah terjadi pada masa pasca reformasi yaitu pada tahun 2004 saat pemilihan ketua umum Partai GOLKAR periode 2004 - 2009, musyawarah nasional (munas) yang dilakukan GOLKAR terbukti empat kali memunculkan partai baru, yaitu Wiranto dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Prabowo Subianto dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Sutiyoso dengan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Surya Paloh dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) pada pemilihan ketua umum periode 2009 - 2014.
Konflik internal partai Golongan Karya (GOLKAR) yang berlangsung hingga saat ini berawal dari perbedaan dukungan pada Pemilihan Presiden 2014 lalu. Aburizal Bakrie yang memilih bergabung dengan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto - Hatta Rajasa membuat kecewa para kader GOLKAR di Provinsi maupun daerah.
(19)
GOLKAR sebagai Partai Politik yang menempati urutan kedua dalam Pemilihan Legislatif 2014 (setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) seharusnya GOLKAR mengajukan Calon Presiden ataupun Wakil Presiden sesuai dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), tetapi pada kenyataannya Aburizal Bakrie memilih berpihak kepada pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden Prabowo-Hatta.
Konflik partai GOLKAR pada saat Pemilihan Presiden 2014 dipicu oleh masalah bergabungnya Aburizal Bakrie pada pihak Prabowo - Hatta yang membuat kecewa banyak kader GOLKAR, juga masalah kader “Partai Beringin” di daerah banyak yang mendukung pasangan Jokowi - Jusuf Kalla. Hal tersebut dikarenakan Muhammad Jusuf Kalla yang notabene adalah kader senior dari Partai GOLKAR dicalonkan sebagai Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo. Sebagai senior Partai, Jusuf Kalla mempunyai banyak pengalaman di pemerintahan dan juga mempunyai pengaruh besar terhadap simpatisan dan kader GOLKAR di Provinsi dan daerah.
Internal Partai GOLKAR terpecah karena perbedaan pendapat penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas). Bila sesuai Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga ( AD/ART ) Partai GOLKAR sesuai Munas Riau tahun 2009, seharusnya Munas dilaksanakan pada Januari 2015. Akan tetapi, Aburizal Bakrie dan pendukungnya menginginkan penyelenggaraan Munas di percepat, dan Aburizal Bakrie menyelenggarakan Munas di Bali sejak 30 November hingga 2 Desember 2014.
(20)
Adapun kubu Agung Laksono yang menolak percepatan Munas meminta agar Munas tetap diselenggarakan pada Januari 2015. Mereka pun membentuk Presidium Penyelamat Partai GOLKAR dan mengadakan Munas Tandingan. Setelah kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono melaksanakan Munas dan menetapkan masing-masing Ketua Umum, kedua kubu mengajukan struktur kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM ( Menkum HAM ).
Seperti yang dikutip dari berita online (https://www.selasar.com/ politik/penyebab-konflik-GOLKAR di akses pada 6 Juni 2015 pukul 20.30 WIB ) Belakangan muncul istilah Musyawarah Nasional (Munas) Tandingan dan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Tandingan di dalam tubuh Partai GOLKAR. Tuduhan itu ditujukan terhadap Munas yang berlangsung di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014, termasuk keputusan-keputusannya. Pasalnya, pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2014, juga berlangsung Munas di Bali. Dua struktur kepengurusanpun sudah dilaporkan kepada Kementerian Hukum dan HAM guna diverifikasi dan dinyatakan sebagai kepengurusan yang sah menurut hukum positif yang berlaku.
Struktur Kepengurusan yang diajukan oleh masing – masing kubu ke Menteri Hukum dan HAM menghasilkan keputusan bahwa struktur kepengurusan yang diakui dan dianggap sah adalah struktur kepengurusan Partai GOLKAR kubu Agung Laksono.
Menanggapi keputusan Menkum HAM, Kubu Aburizal Bakrie menganggap adanya intervensi pemerintah atas keputusan Menkum HAM yang mengesahkan struktur kepengurusan kubu Agung Laksono. Karena kubu Aburizal Bakrie masih menggugat keputusan Mahkamah Partai ke Pengadilan dan belum ada jawaban atas gugatan tersebut. Kubu Aburizal Bakrie menganggap bahwa pemerintah sengaja mengarahkan dukungan partai
(21)
GOLKAR Kubu Agung Laksono untuk mendukung pemerintahan dan tidak lagi berada pada Koalisi Merah Putih (KMP).
Seperti yang dikutip dari berita online jpnn.com (http://www.jpnn.com/read/2015/03/16/292715/Harusnya-Kubu-Ical-tahu-Yasonna-Hanya-Pelaksana-UU di akses pada 05 April 2015 pukul 20.30 WIB) Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengakui kepengurusan GOLKAR kubu Agung Laksono menuai kecaman dari pihak Aburizal Bakrie. Kubu Ical -sapaan Aburizal- bahkan menuding Yasonna telah merecoki urusan internal GOLKAR.
Namun, anak buah Agung di GOLKAR, Agun Gunanjar Sudarsa menilai kubu Ical justru tak tahu undang-undang sehingga menganggap Yasonna melakukan intervensi. Agun mengatakan, Yasonna selaku menkumham hanya melaksanakan undang-undang. "Mereka (kubu Ical, red) lupa kalau menkumham hanya melaksanakan UU saja. Kami juga menyayangkan langkah menkumham ini dikatakan intervensi, bahkan disebut begal demokrasi," kata Agun kepada JPNN, Senin (16/3).
Berdasarkan UU No 2 Tahun 2011 pasal 32 dan 33 tentang partai politik sudah diatur dengan jelas, proses penyelesaian konflik pada internal Partai GOLKAR sudah sampai pada tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mencabut Surat Keputusan (SK) dari Kemenkumham yang mengakui struktur kepengurusan Agung Laksono.
Saat ini, konflik internal partai GOLKAR belum dapat diselesaikan. Bahkan konflik internal ini berimbas pada kepengurusan partai GOLKAR di Provinsi dan daerah, khususnya di Provinsi Lampung.Perpecahan yang terjadi pada kepengurusan Partai GOLKAR di Provinsi Lampung yaitu antara M. Alzier Dianis Thabranie dari kubu Aburizal Bakrie dan anaknya Heru Sambodo dari kubu Agung Laksono.
(22)
Seperti yang dikutip dari media online Republika.com (http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/15/03/17/nlcfqz-konflik-GOLKAR-anak-kudeta-posisi-bapak di akses pada tanggal 04 April 2015, Pukul 9:42 WIB) Politik tak mengenal istilah kawan dan lawan. Yang ada hanyalah kepentingan. Kisruh di tubuh Partai GOLKAR antara kubu Ketua Umum DPP hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie, dengan Ketua Umum DPP hasil Munas Ancol, Agung Laksono, turut berdampak kepada perseteruan Heru Sambodo dengan ayahnya, Alzier Dianis Thabranie. Heru merupakan Ketua Fraksi Partai GOLKAR di DPRD Kota Bandar Lampung. Sejak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan surat yang mengesahkan GOLKAR pimpinan Agung Laksono, Heru terpaksa meninggalkan pilihan politik bapaknya yang berkiblat kepada kubu Ical.
Konflik kepengurusan Partai GOLKAR di Lampung ini terjadi karena perbedaan dukungan pada pelaksanaan Musyawarah Nasional ( Munas ). Dimana Alzier mendukung kubu Aburizal Bakrie dan menghadiri Munas di Bali. Sedangkan anaknya, Heru Sambodo mendukung Agung Laksono dan menghadiri Munas Jakarta. Perbedaan dukungan tersebut berujung pada pemecatan Heru Sambodo sebagai Ketua DPD II Partai GOLKAR Bandar Lampung oleh ayahnya Alzier Dianis Thabranie selaku Ketua DPD I Partai GOLKAR Lampung.
Seperti yang dikutip dari media online Radar Lampung (diakses dari http://reg.gb-forex.com/read/politika/77274-alzier-cabut-kta-dan-paw-heru-barlian pada tanggal 26 Februari 2015 pukul 14.30 WIB), Kisruh di tubuh Partai GOLKAR (PG) Lampung antara M.W. Heru Sambodo dan M. Alzier Dianis Tabranie meruncing. Hasil rapat pleno diperluas yang digelar di aula DPD I Partai GOLKAR Lampung kemarin memutuskan mencabut kartu tanda anggota (KTA) dan mengusulkan pergantian antarwaktu (PAW) Heru Sambodo dan Barlian Mansyur.
Rapat pleno dipimpin langsung Ketua DPD I PG Lampung versi Munas Bali M. Alzier. Alasan pencabutan KTA Heru dan Barlian, kata Alzier, karena keduanya sudah melanggar AD/ART partai berlambang pohon beringin ini. “Heru Sambodo dan Barlian Mansyur kita cabut KTA-nya dan akan kita PAW dari anggotaan DPRD Provinsi Lampung. Kesalahan Heru yakni karena sudah menghadiri Munas Ancol dan mengaku sebagai Plt ketua DPD I PG Lampung. Sedangkan Barlian Mansyur dicabut KTA
(23)
dan akan di PAW karena memimpin Musdalub tandingan beberapa waktu lalu,” ungkap Alzier, kemarin.
Konflik DPP GOLKAR yang berdampak pada konflik kepengurusan partai GOLKAR di Provinsi Lampung menarik perhatian penulis. Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “Sikap Politik Elite Partai Golongan Karya Terhadap Konflik Internal Partai Golongan Karya (studi pada DPD I Partai Golongan Karya Provinsi Lampung).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah“Bagaimanakah Sikap Politik Elite Partai Golongan Karya Terhadap Konflik Internal Partai Golongan Karya ( Studi pada DPD I Partai Golongan Karya Provinsi Lampung )?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Sikap Politik Elite Partai Golongan Karya Terhadap Konflik Internal Partai Golongan Karya (Studi pada DPD I Partai Golongan Karya Provinsi Lampung).
(24)
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1. Penelitian ini memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan ilmu politik dan ilmu pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan kajian sikap politik para elite partai.
2. Memberikan wawasan pengetahuan agar dapat menyikapi konflik internal dalam organisasi kepartaian
3. Menjadi bahan pijakan penelitian selanjutnya
b. Manfaat Praktis
1. Memberikan gambaran bagaimana konflik yang terjadi di Internal Partai GOLKAR khususnya di DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung
2. Memberi masukan untuk penelitian – penelitian lanjut, khususnya penelitian terapan yang berkaitan dengan permasalahan internal partai politik
3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi elite partai politik dalam menyikapi konflik internal partai politik
(25)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Sikap
1. Sikap
a. Definisi Sikap
Ada banyak sekali definisi tentang sikap, dalam bab ini penulis akan mengemukakan definisi sikap menurut beberapa ahli, yaitu;
Secord dan Backman (Azwar, 2013: 5) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya.
Menurut Petty dan Cacioppo (Azwar, 2013: 6) sikap merupakan evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu. Sedangkan menurut Mar’at dalam (Ahmadi, 1999: 161) sikap merupakan kesiapan bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek tersebut.
Menurut Robbins (Ardana, dkk., 2009: 21) sikap adalah Pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak tentang objek, orang atau peristiwa.
(26)
Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Misalnya
“Saya menyenangi pekerjaan saya”. Menurut Sudjono (1995:4) definisi sikap adalah :
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecenderungan atau pre-disposisi. Sikap mengandung tiga komponen yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Konasi berkenaan dengan ide dan konsep, afeksi menyangkut dengan kehidupan emosional, sedangkan konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku.
Berdasarkan pengertian sikap yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan individu untuk memberikan respons atau tanggapan yang berupa kesiapan dari perwujudan perasaan individu terhadap objek tertentu. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti bagaimana sikap politik elite Partai Golkar di DPD I Partai Golkar Provinsi Lampung terhadap konflik yang terjadi pada tubuh partai beringin itu.
b. Teori Organisasi Sikap
1) Teori Keseimbangan Heider
Teori Keseimbangan (Balance Theory) yang dikemukakan oleh Fritz Heider merupakan formulasi yang paling awal dan sederhana dari prinsip konsistensi yang dianut dalam teori organisasi sikap. Keadaan keseimbangan atau ketidakseimbangan selalu melibatkan tiga unsur yaitu individu (I), orang lain (O) dan objek sikap(Ob). Pengertian keadaan seimbang atau adanya keseimbangan menunjuk kepada suatu
(27)
situasi dimana hubungan diantara unsur-unsur yang ada berjalan harmonis sehingga tidak terdapat tekanan untuk mengubah keadaan.
Dengan memberi tanda ‘+’ untuk afek positif dan tanda ‘-’ untuk afek
negatif, maka suatu keseimbangan akan tercapai bila hubungan diantara ketiga unsur tersebut ditunjukkan oleh tanda ++ atau ditunjukkan oleh tanda – yaitu bila ketiga-tiganya positif atau dua diantara ketiganya adalah negatif. Dengan demikian, prinsip keseimbangan Heider dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Diantara dua unsur,suatu keadaan seimbang akan terjadi apabila hubungan diantara keduanya adalah positif atau negatif dari semua segi, yaitu sesuai dengan semua arti L dan U...Diantara tiga unsur, suatu keadaan seimbang akan terjadi apabila ketiga hubungan semuanya positif dari semua segi atau bila dua diantaranya negatif
dan satu positif”
Teori keseimbangan Heider menurut para ahli psikologi sosial memang merupakan awal yangbaik dalam melakukan analisis mengenai konsistensi kognitif dan implikasinya sangat luas walaupun memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu antara lain, pertama dalam sifat hubungan unsur-unsur yang hanya kualitataif (suka-tidak suka) padahal sikap dan kepercayaan memiliki derajat atau tingkatan yang perlu dikuantifikasikan. Kedua, teori ini berbicara mengenai hubungan antar unsur-unsur yang banyaknya hanya terbatas pada tiga unsur saja. Ketiga, walaupun Heider mendiskusikan kemungkinan adanya hubungan ganda diantara dua unsur tapi ia tidak bicara mengenai
(28)
tingkat keseimbangan yang dapat terjadi dalam konfigurasi yang kompleks seperti itu (Azwar, 2013: 42)
2) Teori Disonansi Kognitif Festinger
Ada kecenderungan pada manusia untuk tidak mengambil sikap-sikap yang bertentangan satu sama lain dan kecenderungan untuk menghindari tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya.namun, menurut Festinger, asumsi bahwamanusia selalu logis dan termotivasi untuk menjaga konsistensi kognitif itu ternyata harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perilaku manusia seringkali irrasional. Motif yang terlalu kuat untuk mempertahankan konsistensi kognitif dapat menimbulkan perilaku yang irasional bahkan menyimpang. Rumusan teori disonansi kognitif terlebih terpusat pada apa yang akan terjadi bila terdapat ketidaksesuaian antara sikap atau antara sikap dan kenyataan.
Untuk menjelaskan teorinya ini, Festinger mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa yangdipercayai orang mengenai lingkungan, mengenai diri sendiri atau mengenai perilakunya. Sewaktu terjadi konflik diantara kognisi-kognisi, terjadilah disonansi. Disonansi kognitif sendiri mempunyai arti keadaan psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul ketika dalam diri manusia terjadi konflik antara dua kognisi. Disonansi kognitif hanya dapat terjadi pada unsur-unsur
(29)
kognitif yang relevan atau yang ada hubungannya satu sama lain.Festinger mengemukakan hipotesis dasar dalam teori ini yaitu:
“Adanya disonansi, yang menimbulkan ketidakenakan psikologis, akan memotivasi seseorang untuk mencoba mengurangi disonansi tersebutdan mencapai konsonansi... Kekuatan tekanan untuk mengurangi disonansi itu merupakan fungsi besarnya disonansi yang
dirasakan.”
Untuk mengurangi disonansi ini biasanya berupa pengubahan salah satu atau kedua unsur kognitif yangterlibatatau berupa penambahan unsur kognitif ketiga sedemikian rupa sehinggakonsonansi tercapai kembali. 3 cara pengurangan disonansi adalah mengubah unsur kognitif yangberupa perilaku; mengubah unsur kognitifdari lingkungan; dan menambahkan unsur kognitif yang baru (Azwar, 2013:45).
3) Teori Konsistensi Afektif-Kognitif Rosenberg
Rosenberg memandang pengertian komponen kognitif sikap tidak saja sebagai apa yang diketaui mengenai objeksikap akan tetapi mencakup pula apa yang dipercayai mengenai hubungan antara objek sikap itu sendiri dengan nilai-nilai pentinglainnya dalam diri individu. Dengan pandangannya, Rosenberg telah mengemukakan secara lebih spesifik bagaimana organisasi antar komponen afektif dan komponen kognitif sikap.
(30)
Pusat perhatian utama Rosenberg dengan teorinya ini adalah konsepsinya mengenai apa yangterjadi dalam individu sewaktu terjadi perubahan sikap. Hipotesis utamanya adalah bahwa hakikat dan kekuatan perasaan terhadap suatu objek sikap berkorelasi dengan pengertian mengenai objek tersebut. Dikatakannya bahwa afek positif yang kuat dan stabil terhadap suatu objek tentu berkaitan dengan keyakinan bahwa afek positif itu akan membawa kepada tercapainya sejumlah nilai yang penting sedangkan afek yangnegatif tentu berkaitan dengan keyakinan bahwa afek negatif itu akan menjadi hambatan dalam mencapai sejumlah nilai-nilai yang penting pula.
Tampaklah bahwa Rosenberg lebih menekankan pada pentingnya usaha mempengaruhi komponen afektif agar komponen kognitif berubah daripada sebaliknya, sedangkan para teoris lain biasanya lebih menekankan pada cara mempengaruhi komponen kognitif guna mengubah komponen afektif (Azwar, 2013:51).
4) Teori Fungsional Katz
Teori ini mengatakan bahwa untuk memahami bagaimana sikap menerima dan menolak perubahan haruslah berangkat dari dasar motivasional sikap itu sendiri. apa yang dimasudkan oleh Katz sebagai dasar motivasional merupakan fungsi sikap bagi individu yang bersangkutan. Fungsi sikap bagi manusia telah dirumuskan menjadi 4 macam, yaitu:
(31)
- Fungsi Instumental, Fungsi Penyesuaian atau Fungsi Manfaat
Fungsi ini menyatakan bahwa individu dengan sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan dan meminimalkan hal-hal yangtidak diinginkan. Dengan demikian, individu akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang dirasakannyaakan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang dirasanya dapatmerugikan dirinya. Dalam pergaulan sosial, sikap yang sesuai akan memungkinkan seseorang untuk memperoleh persetujuan sosial dai orang-orang disekitarnya.
- Fungsi Pertahanan Ego
Sewaktu individu mengalami hal yang tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam egonya atau sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan bagi dirinya, maka sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut. sikap dalam hal ini merefleksikan problem kepribadian yang tidak terselesaikan (Azwar, 2013:53).
- Fungsi Pernyataan Nilai
Nilai adalah konsepdasarmngenai apa yang dipandang sebagai baik dan diinginkan. Nilai-nilai terminal merupakan preferensi mengenai keadaan akhir tertentu seperti persamaan, kemerdekaan, hak asasi dll. Nilai instrumental merupakan preferensi atau pilihan mengenai
(32)
berbagai perilaku dan sifat pribadi seperti kejujuran, keberanian, atau kepatuhan akan aturan.
- Fungsi Pengetahuan
Menurut fungsi ini, manusia mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai suatu konsistensi. Jadi, sikap berfungsi sebagai suatu skema, yaitu suatu cara strukturisasi agar dunia disekitar tampak logis dan masuk akal. Sikap digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap fenomena luar yang ada dan mengorganisasikannya.
Selanjutnya, Katz dan Stotland mengatakan bahwa prinsip konsistensi dalam teori ini terutama berlaku bagi objek sikap tunggal. Komponen-komponen kognitif, afektif dan perilaku dalam objek sikap tunggal bergerak menuju suatu konsistensi namun dalam suatu sistem secara keseluruhan berbagai sikap yang berbeda dapat saja tidak konsisten satu sama lain tanpa menimbulkan ketegangan.
(33)
5) Teori Kepentingan Ekonomi
Kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya yang ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat Ada beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk Berdasarkan sejarah, titik balik perkembangan gagasan-gagasan hubungan politik dengan ekonomi jelas-jelas terjadi di abad kedelapan belas. Sebelumnya yang diterima adalah pembagian fungsional: disepakati bahwa ekonomi dan politik merujuk pada arena-arena kegiatan yang berbeda. Ekonomi adalah cara-cara untuk mewujudkan sasaran-sasaran moral spesifik atau (dalam periode Merkantilis abad keenam belas dan ketujuh belas) cara-cara untuk melestarikan dan meningkatkan kekuasaan politik (dari negara dan penguasa). Zaman Yunani Kuno (atau setidaknya dalam karya Aristoteles, Politics), ekonomi merupakan bagian dari studi politik yang pada gilirannya menjadi bagian dari penelaahan etika dan filosofi. Awalnya ekonomi dianggap sebagai seni manajemen domestik, dimana lewat perluasannya berkembanglah makna paling awal ekonomi politik, merujuk pada seni mengelola ekonomi sebuah negara (Staniland, 2003:16).
6) Teori Kekuasaan
Harold D. Laswell (1984 : 9) berpendapat bahwa kekuasaan secara
umum berarti ‘’kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku
(34)
menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan’’. Sejalan dengan itu, dinyatakan Robert A. Dahl (1978 : 29)
bahwa ‘’kekuasaan merujuk pada adanya kemampuan untuk
memengaruhi dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu pihak
kepada pihak lain’’.
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi pikiran atau tingkah laku orang atau kelompok orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu yang sebetulnya orang itu enggan melakukannya. Bagian penting dari pengertian kekuasaan adalah syarat adanya keterpaksaan, yakni keterpaksaan pihak yang dipengaruhi untuk mengikuti pemikiran
ataupun tingkah laku pihak yang memengaruhi “(Mochtar Mas’oed dan
Nasikun, 1987 : 22). “Kekuasaan merupakan suatu kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk memengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang memengaruhi.
Dalam pengertian yang lebih sempit, kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan, sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya dan masyarakat
pada umumnya” (Ramlan Surbakti, 1992 : 58) ‘’Kekuasaan merupakan
(35)
mendapat kepatuhan dan tingkah laku menyesuaikan dari orang lain’’
(Charles F. Andrain, 1992 : 130). Kekuasaan pada dasarnya dianggap sebagai suatu hubungan, karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain. Pemegang kekuasaan bisa jadi seseorang individu atau sekelompok orang, demikian juga obyek kekuasaan bisa satu atau lebih dari satu.
Menurut Walter S. Jones (1993 : 3) kekuasaan dapat didefinisikan sebagai berikut :
a. Kekuasaan adalah alat aktor-aktor internasional untuk berhubungan satu dengan lainnya. Itu berarti kepemilikan, atau lebih tepat koleksi kepemilikan untuk menciptakan suatu kepemimpinan;
b. Kekuasaan bukanlah atribut politik alamiah melainkan produk sumber daya material (berwujud) dan tingkah laku (yang tidak berwujud) yang masing-masing menduduki posisi khusus dalam keseluruhan kekuasaan seluruh aktor;
c. Kekuasaan adalah salah satu sarana untuk menancapkan pengaruh atas aktor-aktor lainnya yang bersaing menggapai hasil yang paling sesuai dengan tujuan masing-masing;
d. Penggunaan kekuasaan secara rasional merupakan upaya untuk membentuk hasil dari peristiwa internasional untuk dapat mempertahankan atau menyempurnakan kepuasan aktor dalam lingkungan politik internasional.
(36)
Menurut Benedict Anderson (1972 : 48) kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep pemikiran barat dan konsep pemikiran Jawa. Menurutnya kekuasaan dalam konsep pemikiran Barat adalah abstrak, bersifat homogen, tidak ada batasnya, dan dapat dipersoalkan keabsahannya. Sedangkan kekuasaan menurut konsep Jawa adalah konkrit, bersifat homogen, jumlahnya terbatas atau tetap dan tidak mempersoalkan keabsahan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan sangat penting kedudukannya dalam masyarakat, dengan kekuasaan suatu kelompok dapat melakukan apa saja yang diinginkan dan dapat memengaruhi perbuatan-perbuatan kelompok lain agar taat dan patuh terhadap pemegang kekuasaan (https://donipengalaman9.wordpress.com/2012/11/16/teori-kekuasaan/, diakses pada 20 Oktober 2015, pikul 21.34WIB).
c. Ciri-ciri Sikap
Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya dengan perangsang yang relevan, dapat dikatakan bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor internal adalah sikap. Adapun ciri-ciri sikap menurut Gerungan (2004: 151) yaitu:
1) Sikap bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.
2) Sikap itu dapat berubah-ubah, karena itu sikap dapat dipelajari orang, atau sebaliknya, sikap itu dapat dipelajari karena itu sikap dapat berubah-ubah pada orang-orang bila terdapat keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap orang itu.
(37)
3) Sikap itu berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipalajari atau berubah.
4) Objek sikap dapat merupakan suatu hal tertentu, akan tetapi dapat merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.
Berdasarkan ciri-ciri sikap yang dikemukakan di atas, maka ciri-ciri sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap dapat terbentuk dan berubah sesuai dengan hal-hal yang mempengaruhinya, dalam sikap mengandung segi motivasi dan perasaan.
d. Fungsi Sikap
Menurut Ahmadi (1999:179) bahwa fungsi sikap dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu :
Pertama, sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Bahwa sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable, artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah pula dimiliki bersama. Justru karena itu suatu golongan yang mendasarkan atas kepentingan bersama dan biasanya ditandai oleh adanya sikap anggotanya yang sama terhadap suatu objek.
Kedua, sikap berfungsi sebagai alat pengukur tingkah laku, bahwa tingkah laku timbul karena hasil pertimbangan-pertimbangan perangsang-perangsang yang tidak reaksi secara spontan, akan tetapi mendapat proses yang secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang tersebut. Jadi diantara perangsang-perangsang dan reaksi disisipkannya sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan terhadap perangsang itu sebenarnya.
Ketiga, sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia dalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar yang sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua pengalaman yang berasal dari luar tidak sepenuhnya dilayani oleh manusia, tetapi manusia memilih mana-mana yang perlu dan tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian, lalu dipilih.
Keempat, sikap politik berfungsi sebagai pernyataan pribadi. Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang. Ini sebabnya bahwa sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada objek-objek tertentu, sedikit banyak
(38)
orang dapat mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi disimpulkan bahwa sikap merupakan pernyataan pribadi.
Berdasarkan fungsi sikap yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi sikap yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai tolak ukur tingkah laku yang timbul karena hasil pertimbangan dari perangsang yang tidak bereaksi secara spontan.
e. Komponen-komponen Sikap
Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen. Menurut Brecler, Katz dan Rajecki (Azwar, 2013: 6), ketiga komponen sikap terdiri dari :
1) Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Sering kali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut isu atau problem yang kontroversial.
2) Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini lah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan merubah sikap seseorang.
3) Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap suatu dengan cara-cara tertentu.
Menurut Azwar (2013: 20) disebutkan bahwa terdapat tiga respons mengenai sikap, yaitu: kognitif, Afektif, dan Konatif. Ketiga respons mengenai sikap tersebut dapat dilihat melalui dua tipe responsive yaitu Verbal dan Nonverbal. Untuk melihat kategori respons mengenai sikap, dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
(39)
Tabel 1. Respons Mengenai Sikap
Tipe Respons
Kategori Respons
Kognitif Afektif Konatif
Verbal Pernyataan keyakinan mengenai objek sikap Pernyataan perasaan terhadap objek sikap Pernyataan intensi perilaku
Nonverbal Reaksi perseptual terhadap objek sikap Reaksi fisiologis terhadap objek sikap Perilaku tampak sehubungan dengan objek sikap Sumber : Azwar (2013 : 20)
Respons kognitif verbal merupakan pernyataan mengenai apa yang dipercayai atau diyakini mengenai objek sikap. Respons kognitif yang nonverbal lebih sulit diungkap karena informasi tentang sikap yang diberikan lebih bersifat tidak langsung.
Respons afektif verbal dapat dilihat pada pernyataan verbal perasaan seseorang mengenai sesuatu. Respons afektif nonverbal berupa reaksi fisik seperti ekspresi muka yang mencibir, tersenyum, gerakan lengan dan sebagainya dapat menjadi indikasi perasaan seseorang apabila dihadapkan pada objek sikap.
Respons konatif pada dasarnya merupakan kecenderungan berbuat. Dalam bentuk verbal, intensi ini dapat terungkap lewat pernyataan keinginan
(40)
melakukan atau kecenderungan untuk melakukan. Sedangkan respons konatif nonverbal dapat berupa ajakan pada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dalam penelitian ini yaitu kesiapan untuk memberikan sikap atau respons terhadap objek yang dihadapinya. Sikap tersebut merupakan suatu hal untuk mendukung atau tidak mendukung terhadap objek tersebut, dalam hal ini adalah sikap anggota Partai Golkar terhadap konflik internal Partai Golkar.
Aspek tersebut terdiri dari aspek kognitif yang berkaitan dengan pandangan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai suatu hal yang dalam penelitian ini yaitu terhadap konflik internal Partai Golkar. Aspek afektif yaitu pada dasarnya merupakan kecenderungan untuk berbuat. Dalam bentuk verbal, intensi ini terungkap lewat pernyataan keinginan melakukan atau kecenderungan untuk melakukan. Dalam penelitian ini, bentuk pernyataan konatif dapat berupa keinginan untuk ikut serta dalam proses penyelesaian konflik internal Partai Golkar.
Aspek konatif yaitu aspek yang berkaitan dengan perilaku dengan kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap suatu hal dengan cara-cara tertentu dengan menanggapi dan menyikapi konflik yang terjadi pada internal Partai Golkar di pusat yang berimbas pada kepengurusan di daerah.
(41)
2. Tinjauan Tentang Politik
1) Menurut David Easton yang dikutip oleh Philipus (2004: 90) politik merupakan semua aktifitas yang mempengaruhi kebijaksanaan itu dilakukan.
2) Menurut Joyce Mitchel yang dikutip oleh Philipus (2004: 92) politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
3) Menurut Maran yang dikutip oleh Susilo (2003:4) politik merupakan studi khusus tentang cara-cara manusia memecahkan permasalahan bersama dengan masalah lain. Dengan kata lain, politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan.
Dari berbagai definisi politik di atas, dapat disimpulkan bahwa politik sebagai aktifitas yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijaksanaan demi kepentingan bersama. Menurut Dahl (1994: 157-163) menyebutkan beberapa alasan mengapa seseorang berperilaku tidak mau terlibat dalam politik, jika :
1. Orang mungkin kurang tertarik dalam politik, jika mereka memandang rendah terhadap segala manfaat yang diharapkan dan keterlibatan politik, dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh dari aktivitas lainnya.
(42)
2. Orang merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas antara keadaan sebelumnya, sehingga apa yang dilakukan seseorang tersebut tidaklah menjadi persoalan.
3. Seseorang cenderung tidak terlibat dalam politik jika merasa tidak ada masalah terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat merubah dengan jelas hasilnya.
4. Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa hasilnya relatif memuaskan orang tersebut, sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
3. Tinjauan tentang Sikap Politik
Menurut Soewondo (Tamimi, 2004), sikap politik diartikan sebagai kesiagaan mental yang diorganisir lewat pengalaman yang mempunyai pengaruh tertentu kepada tanggapan seseorang terhadap orang lain, objek, dan situasi yang berhubungan dengan itu. Menurut Soewondo (Tamimi 2004:20) sikap mempunyai hubungan yang erat dengan nilai dalam arti bahwa nilai-nilai dapat digunakan sebagai suatu cara untuk mengeluarkan sejumlah sikap. Dengan sikap, seseorang dapat menyatukan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan pola yang menentukan pandangan tentang dunia.
Menurut Plano (Khoirudin, 2004:95) sikap politik merupakan pertalian diantara berbagai keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang
(43)
untuk menanggapi suatu objek atau situasi politik dengan suatu cara-cara tertentu. Sikap politik tergantung dari persoalan-persoalan para pemimpin, gagasan-gagasan, lembaga-lembaga atau peristiwa-peristiwa politik. Walaupun sikap lebih abadi daripada pikiran atau suasana hati, namun sikap cenderung berubah sesuai dengan berlakunya waktu dan dengan berubahnya keadaan dan cenderung dipengaruhi oleh berbagai macam motif (karena sikap itu sifatnya insidentil) tergantung dari kondisi atau peristiwa yang mendukung dan melatarbelakanginya.
Sikap politik elite partai banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan. Dimana pernyataan para elite tidak dapat dilihat semata-mata demi kepentingan partai, tetapi kita harus dapat melihat apa alasan dibalik sikap/pernyataan politik para elite partai.Dalam konflik internal Partai Golkar yang terjadi saat ini, dukungan yang diberikan oleh Heru Sambodo terhadap kubu Agung Laksono tidak dapat dilihat secara tersurat, tetapi harus dilihat apa alasan dibalik dukungan yang diberikan.
Dapat kita lihat, keberpihakan Heru Sambodo terhadap kubu Agung Laksono berbuah “kursi empuk” DPD I Partai Golkar Provinsi Lampung. Dengan adanya “hadiah” tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa sikap elite
partai politik di DPD I Provinsi Lampung dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kepentingan pribadi, jabatan politik,
imbalan, atau bahkan dapat berupa situasi untuk “mencari aman” atas konflik
(44)
Penulis melihat, dalam perpecahan pada internal Partai Golkar di DPD I Provinsi Lampung antara Alzier Dianis Thabrani dengan Heru Sambodo yang
tidak lain adalah bapak dengan anak itu ada unsur “politik dua kaki”. Dimana
perbedaan dukungan tersebut adalah bagian dari strategi politik untuk tetap berkuasa.Alzier yang berpihak pada kubu Aburizal Bakrie akan tetap berkuasa jika yang memenangkan konflik adalah Aburizal Bakrie. Dan jika yang menang adalah kubu Agung Laksono, kekuasaan DPD I Provinsi Lampung tetap berada pada keluarga Alzier yaitu Heru Sambodo sebagai anak dari Alzier.
Hal tersebut memang tidak terbuka, tetapi mudah sekali terbaca. Politik dua kaki ini adalah bagian dari strategi politik yang dimainkan oleh para elite partai karena ada kepentingan di dalamnya, yaitu kekuasaan. Pada penelitian ini, penulis mengkaji komponen dan sikap politik elite Partai Golkar terhadap konflik internal Partai Golkar di DPD I Provinsi Lampung dimana komponen sikap tersebut terdiri dari komponen kognitif (pengetahuan), komponen afektif (perasaan), dan komponen konatif (kecenderungan bertindak).
B. Tinjauan Tentang Elite
1. Definisi Elite
Menurut Pareto (Sitepu, 2012: 82) elite adalah kelompok orang yang mempunyai indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka,
(45)
apapun bentuknya akan tetapi dia mengkonstruksikan diri pada apa yang
disebutnya “elite penguasa”.
Sirkulasi elite (Varma, 2007: 201) juga dikembangkan oleh Pareto. Ia mengemukakan berbagai jenis pergantian elite, yaitu pergantian:
1) Di antara kelompok-kelompok elite yang memerintah itu sendiri 2) Di antara elite dengan penduduk lainnya.
Pergantian yang terakhir itu bisa berupa pemasukan:
a. Individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elite yang sudah ada
b. Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk ke dalam suatu kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah ada.
Mengenai penyebab runtuhnya elite yang berkuasa, Pareto menjawab pertanyaan ini dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat psikologis berbagai kelompok elite yang berbeda. Dalam hubungan inilah Pareto mengembangkan konsep residu. Konsep ini didasarkan pada perbedaan antara tindakan logis dan non-logis dari individu-individu dalam kehidupan sosialnya.
Selain Pareto yang mengembangkan teorinya atas dasar keahliannya sebagai sosiolog dan psikolog, Mosca (Sitepu, 2012: 202) juga mengembangkan teori elite politik secara lebih jauh. Ia menegaskan bahwa hanya ada satu bentuk pemerintahan, yaitu oligarki. Mosca menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk Monarki, Demokrasi, dan Aristokrasi.
Menurut Mosca, selalu muncul dua kelas dalam masyarakat, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama, yang biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua yang jumlahnya lebih besar, lebih legal, terwakili dan keras serta menyuplai kebutuhan kelas yang pertama, paling tidak pada saat kemunculannya, dengan instrumen-instrumen yang penting bagi vitalitas organisme politik.
Mengacu pada definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa elite adalah kelompok orang yang memegang fungsi politik, memonopoli kekuasaan,
(46)
berjumlah sedikit, dan merupakan kelompok yang mampu memengaruhi kebijakan maupun situasi politik yang sedang berjalan.
2. Elite Partai Golkar
Menurut Mosca (Sitepu, 2012: 202) elite partai politik adalah sekelompok orang yang memegang semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Dalam struktur kepengurusan Partai Golkar, yang termasuk kedalam elite partai politik yaitu terdiri dari tingkat nasional, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, kelurahan/desa, dusun/kampung.
Berdasarkan sumber (AD/ART Partai Golkar, di akses dari http://partaigolkar.or.id/golkar/art/ pada tanggal 16 Maret 2015 pukul 13.45 WIB ) Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar Bab VII tentang struktur organisasi serta wewenang dan kewajiban pimpinan Pasal 17 yaitu:
1. Ketua
2. Ketua Harian (apabila diperlukan) 3. Wakil Ketua
4. Sekretaris
5. Wakil-wakil Sekretaris 6. Bendahara
7. Wakil-wakil Bendahara 8. Ketua-ketua Biro
9. DPD Provinsi terdiri atas Pengurus Pleno dan Pengurus Harian 10. Pengurus Pleno adalah seluruh pengurus DPD Provinsi
Struktur organisasi Partai Golkar terdiri atas tingkat pusat, tingkat Provinsi, tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Kecamatan, dan tingkat Desa/Kelurahan atau sebutan lainnya, yang masing-masing berturut-turut dipimpin oleh Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah Provinsi, Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota, Pimpinan Kecamatan dan Pimpinan Desa/Kelurahan atau sebutan lain.
Dalam penelitian ini penulis akan meneliti elite Partai Golkar pada jenjang kepengurusan daerah Provinsi, yaitu Dewan Pimpinan Daerah Provinsi Lampung (DPD I).
(47)
C. Tinjauan Tentang Partai Politik
1. Definisi Partai Politik
Gelombang reformasi telah mengakibatkan munculnya bermacam-macam aspirasi, diantaranya terjadi pergerakan rakyat untuk menciptakan suasana yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada semacam luapan kegembiraan dengan tuntutan kebebasan politik yaitu pembentukan partai-partai baru di Indonesia. Untuk menuju demokratisasi, partai politik memainkan peranan penting dalam proses perwakilan dalam penyelenggaraan negara.
Dengan demikian, penataan kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, yaitu kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan. Di era reformasi ini terdapat dua Undang - Undang Partai Politik yang telah disahkan oleh Negara, yaitu UU No.2 tahun 1999 dan UU No.31 tahun 2002. Perkembangan Undang-Undang Partai Politik tersebut mengikuti perkembangan demokratisasi di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 (Safa’at, 2011: 1)
tentang Partai Politik, hak membentuk Partai Politik diakui setelah dikekang selama Orde Baru. Muncul 141 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman dan HAM.
(48)
Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para ahli. Diantaranya ahli ilmu klasik kontemporer (Budiardjo, 2008: 404) yaitu :
Carl J. Freidrich mendefinisikan partai politik adalah sebagai kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin partainya berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal serta meteral.
Menurut Max Weber (Firmanzah, 2007: 66) partai politik didefinisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai politik menurut Max Weber sangat berkembang pesat di abad ke-19 karena didukung oleh legitimasi legal-rasional.
Menurut Marijan (2010: 60) munculnya partai-partai politik di Indonesia tidak lepas dari adanya iklim kebebasan yang luas pada masyarakat pasca pemerintahan kolonial Belanda. Kebebasan demikian memberikan ruang kepada masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai politik. Selain itu, lahirnya partai politik di Indonesia juga tidak terlepas dari peranan gerakan-gerakan, yang tidak saja dimaksudkan untuk memperoleh kebebasan yang lebih luas dari pemerintahan kolonial Belanda, juga menuntut adanya kemerdekaan. Hal ini bisa kita lihat dengan lahirnya partai-partai sebelum kemerdekaan.
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa partai politik adalah suatu organisasi yang terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai cita-cita, tujuan-tujuan dan orientasi-orientasi yang sama untuk memperoleh kekuasaan atau kedudukan politik, dengan kekuasaan tersebut memberikan manfaat terhadap partai, pemimpin dan anggotanya yang bersifat ideal dan material.
(49)
2. Fungsi Partai Politik
Menurut Safa’at (2011: 66-70) sesuai dengan landasan teori partai politik dan asal-usul serta perkembangannya, terdapat beberapa fungsi partai politik yang dikemukakan oleh para ahli. Fungsi-fungsi tersebut pada umumnya adalah: (1) sarana komunikasi politik; (2) sarana sosialisasi politik; (3) rekrutmen politik; (4) Pengelola konflik.
Hampir sama dengan fungsi-fungsi tersebut Almond dan Powell (Safaat, 2011: 66) mengemukakan tiga fungsi partai politik, yaitu rekrutmen politik (political recruitment), sosialisasi politik (political socialization), dan artikulasi dan agregasi kepentingan (interest articulation and aggregation). Sedangkan Friedrich mengemukakan fungsi partai politik sebagai berikut: (1) selecting future leader; (2)
maintaining contact between the government, including the oposition;
(3) representing the various groupings in the community, and; (4)
integrating as many of the groups as possible.
a. Fungsi Komunikasi dan Sosialisasi Politik
Partai politik berkomunikasi dengan rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan menyampaikan program-program politik. Partai politik menerima aspirasi dan mengelolanya menjadi pendapat umum dan dituangkan dalam bentuk program serta diperjuangkan menjadi keputusan pemerintah. Fungsi ini juga dikenal sebagai fungsi “broker of idea” dan bagi partai yang
sedang memerintah berfungsi sebagai instrumen kebijakan (parties of policy instrument).
Melalui fungsi itu, partai politik menerjemahkan dan menggabungkan pandangan-pandangan individual dan kelompok-kelompok tertentu (interest aggregation) menjadi program (interest articulation) yang akan dilaksanakan pemerintah dan menjadi dasar legislasi.
(50)
b. Fungsi Rekrutmen Politik
Melalui partai politik dilakukan rekrutmen dan seleksi terhadap calon-calon anggota lembaga perwakilan. Calon-calon tersebut nantinya akan dipilih oleh rakyat. Selain itu kepala pemerintah baik pusat maupun daerah juga dipilih dengan rekrutmen dan seleksi melalui partai politik, baik yang berasal dari partai itu sendiri maupun yang berasal dari pihak ketiga. Salah satu tujuan sistem kepartaian adalah untuk mengontrol pemerintahan. HAMpir setiap partai politik memiliki tujuan menguasai dan memelihara kontrolnya atas pemerintahan. Fungsi ini membuat partai politik menjalankan peran yang efektif.
c. Fungsi Pengelola Konflik
Dalam sistem konstitusi berdasarkan separation of power, fungsi partai politik adalah memelihara dan mengelola konflik antara legislatif dan eksekutif. Salah satu konsekuensi demokrasi adalah perluasan partisipasi politik. Partisipasi tidak hanya dalam bentuk pemilihan dan aspirasi kebijakan, tetapi juga membuka peluang terhadap semua warga negara untuk memerintah dalam jabatan publik.
Peluang itu membuka kemungkinan terjadinya pertentangan atau konflik. Konflik hanya dapat dikelola dengan baik jika terdapat aturan main dan pelembagaan kelompok-kelompok sosial dalam organisasi politik. Tanpa adanya pengorganisasian, partisipasi akan berubah menjadi gerakan massal yang merusak sehingga perubahan politik cenderung terjadi melalui revolusi atau kudeta. Oleh karena itu, partai politik juga menjalankan fungsi sebagai pengelola konflik.
Beberapa fungsi yang telah disebutkan tidak selalu dapat diperankan dalam praktik kehidupan politik. Dapat terjadi suatu partai politik tidak memberikan informasi yang benar dan bermanfaat, sebaliknya informasi yang diberikan oleh partai politik berpotensi menimbulkan perpecahan. Suatu partai juga mungkin juga tidak menjadikan kepentingan nasional sebagai orientasi utama, tetapi lebih memperhatikan kepentingan golongan.
(51)
Beberapa teori tentang Partai Politik yang telah digunakan untuk mengkritik kiprah Partai Politik adalah teori oligarki. Teori ini menunjukan kiprah partai politik lebih mengutamakan kepentingan elite Partai Politik, bukan konstituen/pemilih, apalagi rakyat kebanyakan. Reformasi dan demokratisasi di Indonesia gagal menghentikan kecenderungan oligarki. Kecenderungan oligarki partai terlihat jelas di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie dimana kaderisasi seharusnya bersifat terbuka dan berbasis pada kualifikasi yang akuntabel dan profesional.
D. Tinjauan Tentang Konflik
1. Hakekat Konflik
Konflik dalam sebuah organisasi merupakan hal yang wajar terjadi. Karena banyaknya anggota organisasi menjadikan perbedaan pendapat sering terjadi antar anggota maupun dengan pemimpinnya. Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, jika tidak diselesaikan dengan cara yang baik akan menimbulkan konflik yang dapat berdampak buruk bagi kelangsungan organisasi.
Menurut Ardana (2009:111) konflik adalah suatu gejala yang sudah merupakan suratan tangan dalam garis kehidupan organisasi ia merupakan kekuatan besar yang dapat membawa organisasi ke arah yang positif, tetapi terkadang dapat memecah belah dan bahkan mampu menghancurkan. Salah satu realitas, kehadiran konflik tidak perlu dipandang sebagai suatu persoalan.
Akan lebih berguna apabila dipandang sebagai suatu tantangan yang harus dijawab secara tepat. Mempermasalahkan sesuatu yang eksistensinya tidak bisa dihindari adalah perbuatan yang mubazir.
(52)
Lebih bijaksana bila hal itu dibedah secara seksama serta direspons secara positif. Artinya konflik adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin dihindari dan yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelolanya secara baik dan benar.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dampak konflik pada internal Partai Golkar tergantung pada cara pandang anggota terhadap konflik dan cara menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Jika anggota Partai Golkar dapat memandang konflik sebagai suatu tantangan seperti yang dijelaskan di atas, maka Partai Golkar akan menjadi lebih berkembang pasca konflik.
2. Definisi Konflik
Menurut Wahjono (2010:161) konflik merupakan suatu proses apabila satu pihak mulai merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau sesuatu yang menjadi perhatian pihak pertama. Definisi tersebut merupakan pengertian yang luas yang menjelaskan bahwa suatu titik pada setiap kegiatan yang tengah berlangsung bila
suatu interaksi “bersilangan” dapat menjadi suatu konflik antar pihak.
Definisi sebagai mana dikemukakan tersebut cukup fleksibel yang mencakup semua rentang tingkat konflik, dari tindakan yang terbuka dan penuh kekerasan sampai ke bentuk halus dari ketidaksepakatan.
Menurut Robbins (Ardana, 2009:112) konflik adalah suatu proses dengan mana usaha yang dilakukan oleh A untuk mengimbangi usaha - usaha B dengan cara merintangi yang menyebabkan B frustasi dalam mencapai tujuan atau meningkatkan keinginannya.
(53)
Menurut AL Banesc (Ardana, 2009:112) konflik merupakan kondisi yang dipersepsikan ada di antara pihak - pihak merasakan adanya ketidak sesuaian tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan.
Menurut Schmidt dan Kochan (Ardana, 2009:112) konflik merupakan suatu perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak yang ditandai dengan menunjukan permusuhan secara terbuka dan/atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya. Gangguan yang dilakukan dapat meliputi usaha–usaha yang aktif atau penolakan pasif.
Mengacu pada definisi tersebut, penulis menggunakan teori konflik untuk mengkaji lebih dalam. Dimana teori konflik merupakan teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
3. Cara Pandang Terhadap Konflik
Menurut Ardana (2009: 112) ada tiga cara pandang terhadap konflik yaitu:
1) Pandangan tradisional, semua konflik berbahaya maka harus dihindari, dengan cara apapun. Disini muncul kecenderungan untuk menekannya dan menyembunyikan dari permukaan dengan harapan lenyap dengan sendirinya.
2) Pandangan hubungan kemanusiaan, bahwa konflik adalah sesuatu yang alami dan merupakan hal yang tak dapat dikesampingkan dalam kelompok, karenanya konflik tidak dapat dihindari dan berpotensi positif dalam menentukan kinerja kelompok.
3) Pandangan interaksionis, bahwa konflik tidak saja dapat menjadi kekuatan positif, bahkan mutlak diperlukan.
Dari ketiga padangan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa konflik merupakan sesuatu yang alami dan tidak dapat dikesampingkan dalam
(54)
kelompok/organisasi, cara pandang anggota kelompok/organisasi juga memengaruhi dampak pasca konflik.
4. Sumber Konflik
Menurut Islami (Ardana, 2009:113) secara rinci mengemukakan sumber konflik yang diuraikan sebagai berikut :
1) Manusia yang agresif dan menggunakan organisasi sebagai tempat untuk penyalur konflik.
2) Persaingan karena adanya sumber–sember yang terbatas seperti modal, material, tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
3) Adanya kepentingan, hal ini dapat terjadi bila dua unit organisasi atau lebih memiliki tujuan yang berbeda–beda.
4) Perbedaan fungsi/peranan, karena adanya peranan yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok berbeda dan secara intern berbeda satu sama lain.
5) Ketidakkompakan, terutama dalam mencapai tujuan organisasi. 6) Adanya harapan peranan yang gagal dilaksanakan.
7) Ketidaktentuan tugas dan tanggung jawab. 8) Iklim organisasi yang tidak sehat.
9) Ambisi yang berlebihan.
10) Sifat manusia yang cenderung untuk berbuat rakus.
Mengacu pada sumber konflik yang dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sumber konflik khususnya konflik dalam Partai Politik bersumber pada anggota Partai Politik yang cenderung menggunakan organisasi sebagai alat untuk memperkaya diri dan mengesampingkan kepentingan masyarakat.
5. Konflik Politik
Menurut Gatara (2011:183) konflik politik adalah percekcokan, pertentangan, perselisihan dan ketegangan. Sedangkan menurut
(55)
Soekanto (1989:90) konflik politik, yaitu konflik yang terjadi akibat kepentingan atau tujuan politis yang berbeda antara seseorang atau kelompok. Seperti perbedaan pandangan antarpartai politik karena perbedaan ideologi, asas perjuangan, dan cita-cita politik masing-masing.
Gatara (2011:181) perspektif konflik menyatakan bahwa masyarakat selalu berada pada ruang konflik yang terjadi secara terus menerus, baik pada tingkat dan skala kecil maupun skala besar dalam setiap masyarakat. Pandangan perspektif konflik ini dilandaskan pada sebuah asumsi utama yakni:
1. Masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan dominan. Kekuatan dominan ini dapat berupa pemodal (orang yang memiliki kekuasaan di bidang ekonomi) atau negara (penguasa).
2. Masyarakat mencakup berbagai bagian yang memiliki kepentingan berbeda dan saling bertentangan. Karena itu, masyarakat selalu dalam keadaan konflik.
Pertentangan dan perbedaan menjadi kunci dalam mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan konflik politik. Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa konflik politik adalah “gejala
pertentangan dalam masyarakat yang berkaitan dengan mata rantai
kekuasaan dan negara”.
6. Bentuk dan Penyebab Konflik Politik
Fisher, dkk (Gatara, 2011: 183-185) menjelaskan tentang berbagai teori penyebab terjadinya konflik.
(56)
1) Teori hubungan masyarakat. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya polarisasi yang terus terjadi dalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust)
dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda.
2) Teori negosiasi prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik.
3) Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar menusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau sengaja dihambat oleh pihak lain. Kebutuhan dasar manusia biasanya menyangkut tiga hal, yakni kebutuhan fisik, mental, dan sosial. 4) Teori identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi akibat adanya identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan.
5) Teori kesalahpahaman antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan adanya ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.
6) Teori transformasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi.
Dari teori-teori di atas, penulis menyimpulkan bahwa penyebab konflik yang terjadi pada internal Partai Golkar adalah adanya posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik.
7. Resolusi Konflik
Davies (Gatara, 2011:185) membedakan tiga pendekatan dalam pengelolaan konflik.
1. Pendekatan berdasarkan kekuasaan (power-based approach),
menggunakan kekuatan kekuasaan untuk memecahkan semua jenis konflik. Seandainya sifat pemerintahan adalah otoriter (authorian), pemecahan konflik tampak pada tingkat permukaan (surface), tidak sampai pada tingkat akar penyebab konflik.
(57)
2. Pendekatan berdasarkan hukum (right-based approach), pendekatan ini biasanya lebih menggunakan hukum, adat, norma dan sistem hukum sebagai alat penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, struktur politik di Indonesia memungkinkan untuk melakukan subordinasi penegak hukum pada kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan.
3. Pendekatan berdasarkan kepentingan (interest-based approach). Kepentingan ini berupaya untuk membangun pemecahan yang mencerminkan nilai, kebutuhan dan kepentingan yang terpendam dalam hati pihak yang bertentangan.
Dari berbagai pendekatan pengelolaan konflik di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Partai Golkar adalah pendekatan berdasarkan hukum (right-based approach), dimana pengelolaan konflik partai lebih menggunakan hukum, norma dan sistem hukum sebagai alat penyelesaian konflik yang terjadi.
E. Kerangka Pikir
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sikap politik elite Partai Golkar yang ada di DPD I Provinsi Lampung terhadap konflik internal yang terjadi di pusat dan berimbas pada kepengurusan di daerah. Penelitian ini akan membahas sikap politik elite Partai Golkar yang ada di DPD I Provinsi Lampung dengan mengunakan teori sikap yaitu dengan mengukur sikap para elite Partai Golkar di DPD I Lampung dengan 3 aspek, yaitu:
1. Aspek kognitif (pengetahuan) yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran, yang berwujud pengolahan, pengalaman, dan
(58)
keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu.
2. Aspek afektif (perasaan) yaitu berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati dan sebagainya yang ditujukan terhadap objek-objek tertentu.
3. Aspek konatif (kecenderungan bertindak) yaitu aspek yang berwujud proses tendensi atau kecenderungan untuk berbuat sesuatu kepada objek misalnya, kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.
(59)
Gambar 1. Kerangka Pikir Teori Organisasi Sikap 1. Teori Keseimbangan Heider
2. Teori Disonansi Kognitif Fertinger
3. Teori Konsistensi Afektif-Kognitif Rosenberg 4. Teori Fungsional Katz
a. Fungsi Instrumental, Penyesuaian, dan Manfaat b. Fungsi Pertahanan Ego
c. Fungsi Pernyataan Nilai d. Fungsi Pengetahuan
Sikap Politik Elite Partai Golkar di DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung terhadap Konflik Internal Partai GOLKAR Dilihat dari 3 aspek, yaitu:
1. Kognitif, yaitu aspek yang berhubungan dengan gejala yang mengenal pikiran.
2. Afektif, yaitu aspek yang berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu.
3. Konatif, yaitu aspek yang berwujud proses tendensi atau kecenderungan untuk berbuat sesuatu.
Konflik internal Partai GOLKAR di DPD I Provinsi Lampung • Perbedaan dukungan pada pemilihan Presiden tahun 2014 • Perbedaan pelaksanaan Munas.
• Aburizal Bakrie kembali mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai GOLKAR
• Perpecahan berimbas pada kepengurusan daerah
• Partai GOLKAR Provinsi Lampung terpecah menjadi 2 kubu, yaitu Kubu Alzier Dianis Thabranie dengan Kubu Heru Sambodo
(60)
A. Tipe Penelitian
Menurut Sugiono (2013: 3) tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yaitu penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana penulis sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna.
Soejono (1999: 21) mengatakan bahwa dalam metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Metode penelitian deskriptif hanya bersifat terbatas untuk melukiskan apa yang ada sekarang dan hanya terbatas sampai pada taraf melukiskan saja.
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
(61)
yang dapat diamati. Penelitian ini adalah penelitian yang mengkaji kualitas hubungan, kegiatan, situasi atau material dengan penekanan kuat pada deskripsi menyeluruh dalam menggambarkan rincian segala sesuatu yang terjadi pada suatu kegiatan atau situasi tertentu.
Pada penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan. Oleh karena itu analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori.
Penelitian kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan keterangan-keterangan secara jelas dan faktual tentang sikap politik elite Partai GOLKAR atas konflik internal Partai GOLKAR yang terjadi, yaitu pandangan, pendapat dan respon para elite GOLKAR di DPD I Provinsi Lampung pada saat penelitian dilakukan. Dalam hal ini mengenai konflik yang terjadi pada internal DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung.
B. Jenis Data
Jenis data penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder, yaitu sebagai berikut:
1. Lofland (Moloeng, 2006:157) menyatakan data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari sumber penelitian atau
(62)
lokasi penelitian. Data primer penelitian ini adalah hasil wawancara antara penulis dengan informan.
2. Lofland (Moloeng, 2006: 157) menyatakan data sekunder merupakan data yang diperlukan dalam penelitian ini untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari data primer. Data sekunder penelitian ini adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian ini, seperti buku, jurnal atau literatur lain.
C. Fokus Penelitian
Moloeng (2006: 92) menyatakan fokus penelitian merupakan pedoman untuk mengambil data apa saja yang relevan dengan permasalahan penelitian. Fokus penelitian harus konsisten dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang diterapkan terlebih dahulu. Penentuan fokus penelitian dimaksudkan agar dapat membatasi studi serta dapat memenuhi kriteria memasukkan dan mengeluarkan informasi. Penelitian ini difokuskan pada sikap politik elite Partai GOLKAR terhadap konflik internal Partai GOLKAR (studi pada DPD I Provinsi Lampung). Penelitian ini difokuskan pada sikap politik elite Partai GOLKAR dalam menyikapi konflik internal Partai GOLKAR yang terjadi di pusat yang berimbas pada kepengurusan di daerah khususnya di DPD I Provinsi Lampung.
(63)
D. Lokasi Penelitian
Menurut Moloeng (2006:86) menyatakan bahwa dalam penentuan lokasi penelitian cara terbaik yang ditempuh dengan jalan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan dengan yang ada di lapangan, sementara itu keterbatasan geografis dan praktis, seperti waktu, biaya dan tenaga perlu dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitain.
Lokasi penelitian ditentukan dengan cara sengaja (purposive) yaitu Kantor Dewan Pimpinan Daereah Tingkat I (DPD I) Partai GOLKAR Provinsi Lampung yang terletak di Jl. Gajah Mada, Pahoman, Bandar Lampung.
E. Informan
Informan penelitian (Herdiansyah 2012:55) berisi tentang informasi mengenai informan penelitian, keterkaitan antara informan dengan subjek penelitian, dan seberapa dalam informan mengenali subjek penelitian dengan baik. Menurut Moloeng (2006:6) penelitian kualitatif pada umumnya mengambil jumlah informan yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk penelitian lainnya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu atau peorangan. Untuk memperoleh informasi yang diharapkan, penulis terlebih dahulu menentukan informan yang akan dimintai informasinya. Untuk memilih dan menentukan informan, penulis mengacu pada teknik “purposive sampling” dan “snowball
sampling”, di mana penulis memilih informan yang dianggap tahu (key informan) dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mendalam
(64)
dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Informan dalam penelitian ini adalah :
• Kubu Aburizal Bakrie
1. M. Alzier Dianis Thabranie (Ketua DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung).
2. H Ibrahim Bastari (Sekretaris DPD I Partai GOLKAR Lampung kubu ARB).
• Kubu Agung Laksono
1. M.W Heru Sambodo, ST, MH (Plt. Ketua Harian DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung).
2. Irfan Balga (Wakil Ketua Bidang Kaderisasi dan Keanggotaan). 3. Sumarna, SE (Sekretaris DPD II Partai GOLKAR Kota Bandar
Lampung).
4. Soni Eriko (Wakil Ketua Bidang Infokom dan Penggalangan Opini DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung).
5. Sugeng Kristanto (Sekretaris DPD I Partai GOLKAR Provinsi Lampung ).
F. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu:
(1)
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap politik Elite Partai GOLKAR terhadap Konflik Internal Partai GOLKAR di DPD I Provinsi Lampung. Sikap politik Elite Partai GOLKAR dilihat berdasarkan tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan konatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :
Aspek kognitif (pengetahuan), elite Partai GOLKAR Provinsi Lampung memiliki pengetahuan yang sangat baik mengenai konflik internal Partai GOLKAR di DPD I Provinsi Lampung. Hal ini dapat diketahui dengan pengetahuan masing-masing elite mengenai kronologi terjadinya konflik, penyebab konflik, serta adanya kepentingan pribadi dalam konflik.
Aspek afektif (perasaan), elite Partai GOLKAR Provinsi Lampung memiliki sikap profesional, rasional dan tidak menyertakan emosi atau perasaan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan Partai. Para elite Partai GOLKAR lebih mengutamakan kepentingan dan kemajuan Partai GOLKAR.
(2)
124
Sikap elite Partai GOLKAR Provinsi Lampung terhadap konflik internal Partai GOLKAR dari aspek konatif (kecenderungan untuk bertindak), mengakomodir kader-kader partai yang memenuhi kriteria Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela (PDLT) dan melaksanakan keputusan Kemenkumham, yaitu melakukan Munas pada tahun 2016.
Adanya fenomena hukum besi oligarki, dimana secara mendasar akar penyebab semua konflik itu adalah (pertarungan) kepentingan para elite partai untuk mempertahankan kekuasaan.
Perebutan kekuasaan antara Heru Sambodo dengan ayahnya Alzier Dianis Thabranie dapat disimpulkan sebagai politik dua kaki. Karena kubu siapapun yang menang keluarga Alzier akan tetap memimpin DPD I Partai Golkar Provinsi Lampung.
B. SARAN
Berdasarkan simpulan di atas maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Konflik yang terjadi hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana oleh setiap anggota partai yang ada di daerah khususnya Provinsi Lampung artinya anggota Partai GOLKAR harus dapat menyikapi konflik sebagai dinamika dan pembelajaran politik bagi kader atau anggota dalam berorganisasi.
(3)
125
2. Demokrasi harus lebih ditingkatkan dan ditegaskan kembali dalam internal Partai GOLKAR untuk mencapai kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi yang mengatasnamakan kepentingan bersama.
3. Peraturan yang ada di Partai GOLKAR harus ditegakkan, dijunjung tinggi dan dilaksanakan dalam segala hal yang menyangkut kepartaian, hal ini karena peraturanlah yang dijadikan pedoman untuk bertindak dalam kehidupan partai.
4. Lakukan perubahan mindset pada anggota partai politik mengenai kekuasaan, bahwa jabatan bukan menjadi tempat untuk memperkaya diri melainkan tempat aktualisasi diri yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1999.Psikologi Sosial.Jakarta : Rineka Cipta.
Ardana, Komang., Ni Wayan Mujiati, Anak Agung Ayu Sriathi. 2008. Perilaku Keorganisasian.Yogyakarta : Graha Ilmu.
Azwar, Saifudin. 2007. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi.2; Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bagong, Suyanto, Sutinah. 2011. Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan.Jakarta : Kencana.
Budiardjo, Miriam. 2008.Dasar Dasar Ilmu Politik edisi revisi. Jakarta: PT GramediaPustaka Utama.
Debora Sanur L. 2014. Dinamika Internal Partai Golkar dan Dampaknya Terhadap Kinerja DPR RI. Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri: Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini Vol.VI No23/I/P3DI/Desember/2014. Jakarta: Sekjen DPR RI
Faisal,Sanapiah. 2010.Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Firmanzah. 2011. Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi.Jakarta: Buku Obor.
Gatara, Said., Moh. Dzulkiah Said. 2007.Sosiologi Politik.Bandung : Pustaka Setia. Gerungan. 2004.Psikologi Sosial.Bandung : Refika Aditama.
Herdiansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Jatmiko, Brian Andry. 2010. Dinamika Politik Partai Golkar 1998-2004. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Moloeng, Lexy. 2006.Metode Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosda karya.
Nasikun. 2011. Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial Indonesia.Universitas Gajah Mada
(5)
Nugroho,Notosusanto. 1971.Norma-Norma Dasar Penelitan dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Dephankam.
Khoirudin. 2004.Partai Politik dan Agenda Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Philipus, Ng dan Nurul Aini. 2004.Sosiologi Politik. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Safa’at, Muchamad Ali, 2011. Pembubaran Partai Politik : Pengaturan daan Praktik
Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Satori, Djam’an dan Aan Komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Sastroadmodjo, Sudjono. 2006.Perilaku Politik.Semarang : IKIP Semarang Press.
Sears, David, Jonathan L Freedman dan L Anne Peplau. 1999. Psikologi sosial. Jakarta : Erlangga.
Sitepu, P. Anthonius, 2012. Teori-Teori Politik, Jakarta : Graha Ilmu.
Soejono & Abdurrahman. 1999.Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan.Jakarta: Rineka Cipta.
Staniland, Martin. 2003. Apakah Ekonomi Politik Itu? Sebuah Studi Teori Sosial dan Keterbelakangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2013.Memahami Penelitian Kualitatif.Bandung: Alfabeta.
Susilo, Suko dan Basrowi, dkk. 2003.Sosiologi Politik.Surabaya : Yayasan Kampusina. Varma, S.P. 2007.Teori Politik Modern.Jakarta : Rajawali Pers.
Wahjono, Sentot Imam, 2010. Perilaku organisasi, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Sumber Dokumen:
Undang-Undang Partai Politik No.2 Pasal 32 dan 33 Tahun 2011.
Sumber Media:
http://partaigolkar.or.id/golkar/art/, diakses pada tanggal 08 Februari 2015 pukul 13.45 WIB. http://reg.gb-forex.com/read/politika/77274-alzier-cabut-kta-dan-paw-heru-barlian, diakses
(6)
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/11/141126_golkar, diakses pada tanggal 07 Februari 2015 pukul 15.35 WIB.
http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/15/03/17/nlcfqz-konflik-golkar-anak-kudeta-posisi-bapak, diakses pada tanggal 04 April 2015, Pukul 9:42 WIB
http://www.jpnn.com/read/2015/03/16/292715/Harusnya-Kubu-Ical-tahu-Yasonna-Hanya-Pelaksana-UU di akses pada 05 April 2015 pukul 20.30 WIB
http://lampung.tribunnews.com/2015/03/28/alzier-merasa-diadu-domba-anaknya-ditunjuk-plt-ketua-golkar-lampung diakses pada tgl 25 Agustus 2015.
http://www.kompasiana.com/fayakhun/imunitas-golkar-pada-oligarki-kekuasaan_55487a8dd3927318048b4586, diakses pada 20 Oktober 2015, pukul 20.09 WIB.
http://nasional.sindonews.com/read/945522/18/faksionalisasi-partai-dan-oligarki-elite-1420264386, diakses pada Senin, 20 Oktober 2015 pukul 20.22 WIB.
https://donipengalaman9.wordpress.com/2012/11/16/teori-kekuasaan/,diakses pada 20 Oktober 2015, pikul 21.34WIB.