Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas

(1)

Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

HANA ZAFIRAH ARDANI

091301009

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2013/2014


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

“Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas”

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2014

Hana Zafirah Ardani NIM: 091301009


(3)

Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas

Hana Zafirah Ardani dan Indri Kemala Nasution

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penerimaan diri remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas. Penerimaan diri adalah kondisi dimana seseorang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan maupun pikiran yang ada pada dirinya dan mampu merangkul apapun yang muncul atau ada pada dirinya tersebut dari waktu ke waktu (Germer, 2009). Partisipan pada penelitian ini adalah 2 orang remaja perempuan yang mengalami kecacatan fisik setelah menjadi korban sebuah kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Wawancara mendalam digunakan sebagai teknik untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan mengalami kesulitan untuk menerima dirinya yang tidak lagi sempurna. Proses penerimaan diri yang dilalui kedua partisipan penelitian dipenuhi dengan beragam emosi yang muncul. Kedua partisipan juga menunjukkan rasa malu ketika berinteraksi dengan orang lain. Rasa malu tersebut membuat kedua partisipan sering mempunyai keinginan untuk kembali dengan tubuhnya yang normal. Tahapan penerimaan diri partisipan berbeda, partisipan 1 masih sampai tahap ketiga di mana tahapan ini ditandai dengan keinginan partisipan 1 agar perasaan dan pikiran mengenai keinginan untuk kembali sempurna dan kejadian kecelakaan segera hilang. Sedangkan partisipan 2 sudah mencapai tahap keempat di mana partisipan 2 memilih untuk tidak terlalu memikirkan mengenai pikiran dan perasaannya akan ketidaksempurnaannya.


(4)

The Description of Self Acceptance Process on Adolescent with Physical Disabilities due to Traffic Accident

Hana Zafirah Ardani and Indri Kemala Nasution

Psychology Faculty in University of North Sumatera

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe the self acceptance process on adolescent with physical disabilities due to traffic accident. Self acceptance is a condition where an individual aware that they have experienced a sensations, feelings, or thoughts inside them and be able to embrace it moment to moment (Germer, 2009). Participants of this study are two adolescents whom have physical disabilities after being a victim on a traffic accident. This study uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. In-depth interview used as a technique to collect the data. The result shows that both participants have difficulties to accept their self which no longer perfect. Both participants had been through the self acceptance process with many kind of emotions. They also showed a shame when interacted with other persons. That shame makes both participants have the desire to back with their normal body. The stage of self acceptance process on both participants are different, participant 1 is on the third stage which in this stage marked with participant 1 who wants to remove the feeling and a thought about the accident and desire to back with her perfect body. Whereas, participant 2 has reached the fourth stage which participant 2 choose not to think too much about her thought and feeling of her imperfection.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena dengan ridho, rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul

“Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas”. Pembuatan skripsi ini dilakukan sebagai suatu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU).

Pembuatan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan beberapa pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang senantiasa mendukung para mahasiswa/i agar dapat menjadi calon sarjana muda yang cerdas dan bertanggung jawab.

2. Kakak Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk senantiasa membantu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih banyak untuk semuanya, kak.

3. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Psi, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si selaku dosen penguji yang bersedia memberikan waktunya untuk menguji skripsi ini dan memberikan kritik serta saran yang sangat membantu dalam perbaikan-perbaikan penelitian ini.


(6)

4. Ibu Aprilia Fajar Pertiwi, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik dan Kak Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, psikolog selaku dosen pengganti pembimbing akademik selama 4 semester terakhir. Terima kasih Mbak Iteng dan Kak Juli atas bimbingannya dikala galau-galau pilih mata kuliah.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga dan membantu proses penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang telah diperoleh dapat bermanfaat untuk penulis dan masyarakat luas.

6. Seluruh staf bidang akademik, administrasi, dan perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam proses administrasi selama penelitian ini berlangsung hingga selesai.

7. Papa dan mama tercinta, Arman Lingga Wisnu, S.E. dan Nur‟aini Sirait, atas doa, dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang selama ini diberikan sehingga membantu Hana selama proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih banyak, pa, ma, semoga Hana akan selalu buat papa dan mama bangga. Amin. I love you so much.

8. Kakak-kakak dan adikku tersayang, Sierra Putri Ardani, S.Sos, Sarifah Vesselina Ardani, S.E, dan Aprilina Mora Ardani atas dukungan dan perhatiannya pada proses penulisan skripsi ini ataupun pada keberlangsungan hidupku di perantauan yang walaupun seringnya keliatan nyebelin tapi benar-benar bikin sadar.

9. Dior Ragiba Fihi, S.T yang selalu ada dikala suka ataupun duka, yang bersedia dengerin cerita, curhatan, ataupun omelan kalau lagi suntuk, yang bisa


(7)

diandalin juga untuk nenangin pikiran dengan nasihat dan dukungannya. Makasih banyak yaa, bo, atas dukungan, perhatian dan doanya. It‟s time for us to catch another dreams!

10.My girls, Wulan, Marini, Lily, Dhiela, Qisty, Wanda, dan Farah (diurutan berdasarkan NIM, hahaha) atas persahabatan yang dipenuhi dukungan, perhatian, tawa, keributan, dan kasih sayang yang unik selama 4 tahun ini. I can‟t imagine how I live my life in Medan without you all, girls. I love you, endlessly my second family!

11.Kak Lulu, Adlan, Rasydan, Kak Yuyud, Naya, Syafira, Bang Febby, Bang Rizal, dan Bang Mashuri yang secara tidak langsung kasih motivasi yang pada ujungnya bikin kangen untuk pulang ke rumah.

12.Seluruh teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Angkatan 2009 yang selalu memberikan dukungan dan menjadi teman diskusi sehingga membantu penulis untuk mengerjakan skripsi ini. Terima kasih juga sudah memberi warna persahabatan, kekeluargaan, kebahagiaan, dan kebersamaan pada kehidupan kampus selama 4 tahun ini. Semoga sukses semuanya.

13.Kedua partisipan atas waktu dan kesediaannya untuk ikut serta dalam penelitian ini. Tidak mudah untuk mengungkit kembali kenangan pahit kalian, tapi kalian mampu menanganinya. Semoga bahagia, sehat, dan kesuksesan selalu menyertai kalian berdua.


(8)

14.Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Persatuan Tunadaksa Indonesia (PTDI), dan panti sosial yang membantu penulis untuk bertemu dengan partisipan pada penelitian ini.

15.Pihak-pihak lain yang mungkin namanya tidak disebutkan namun turut serta membantu selama proses penelitian berlangsung. Terima kasih atas bantuannya hingga skripsi ini bisa selesai.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi dengan metode penelitian kualitatif ini.

Demikian kata pengantar yang dapat disampaikan melalui tulisan ini. Penulis mengucapkan selamat membaca skripsi yang berjudul “Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas.” Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian para pembaca sekalian.

Medan, Januari 2014

Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Daftar Isi... v

Daftar Tabel... ix

Daftar Gambar... x

Daftar Lampiran... xi

BAB I: PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ……….…….. 1

I.2 Perumusan Masalah ……… 9

I.3 Tujuan Penelitian ……….………... 9

I.4 Manfaat Penelitian ……….………. 10

I.4.A. Manfaat Teoritis ……….. 10

I.4.B Manfaat Praktis ……….………... 10

I.5 Sistematika Penulisan ……….….. 11

BAB II: LANDASAN TEORI II.1 Penerimaan Diri..……….. 13

II.1.A. Definisi………..…..……… 13

II.1.B. Tahap Penerimaan Diri……… 14

II.1.C Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri………..……. 16

II.1.D Dampak Penerimaan Diri……… 19

II.1.E Ciri-ciri Orang yang Menerima Dirinya………. 21

II.2 Tunadaksa ….………..……. 22

II.2.A Definisi………. 22


(10)

II.2.C Tunadaksa Akibat Kecelakaan Lalu Lintas………. 25

II.2.D Reaksi Terhadap Kondisi Tunadaksa………... 26

II.3 Remaja………...………... 27

II.3.A. Definisi Remaja………..……….. 27

II.3.B. Tugas Perkembangan Remaja……...……… 27

II.3.C. Remaja Penyandang Tunadaksa………... 28

II.4 Penerimaan Diri pada Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas……….. 29

II.5 Kerangka Teoritis……… 34

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN III.1 Pendekatan Kualitatif………..………... 35

III.2 Metode Penelitian... 36

III.3 Metode Pengumpulan Data………..……….. 37

III.3.A. Wawancara………. 37

III.4 Alat Bantu Pengumpulan Data ………... 38

III.4.A. Alat Perekam (tape recorder)………... 38

III.4.B. Pedoman Wawancara……….. 39

III.5 Subjek Penelitian………. 39

III.5.A. Karakteristik Subjek Penelitian……….……….. 39

III.5.B. Jumlah Subjek Penelitian………..….. 40

III.5.C. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian……….. 40

III.6 Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif………..………... 41

III.7 Prosedur Penelitian………..42

III.7.A. Tahap Pralapangan……….. 42

III.7.B. Tahap Pelaksanaan Penelitian………. 43

III.7.C. Tahap Pencatatan Data……… 43


(11)

BAB IV: ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

IV.1 Analisa Partisipan I... 47

IV.1.A Identitas Diri Partisipan I………. 47

IV.1.B Latar Belakang Partisipan I...……… 48

IV.1.C Observasi Saat Pengambilan Data... 50

IV.1.D Data Wawancara... 53

IV.1.D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan I Setelah Diamputasi……... 53

IV.1.D.2 Tahapan Penerimaan Diri... 58

1. Kebencian/Keengganan (Aversion)………. 58

2. Keingintahuan (Curiosity)………... 64

3. Toleransi (Tolerance)……….. 67

IV.1.E Hasil Data Partisipan I... 69

IV.1.F Analisa dan Pembahasan Data Partisipan I... 75

IV.2 Analisa Partisipan II... 82

IV.2.A Identitas Diri Partisipan II………... 82

IV.2.B Latar Belakang Partisipan II... 82

IV.2.C Observasi Saat Pengambilan Data... 84

IV.2.D Data Wawancara... 87

IV.2.D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan II Setelah Diamputasi... 87

IV.2.D.2 Tahapan Penerimaan Diri Partisipan II……… 92

1. Kebancian/Keengganan (Aversion)………. 93

2. Keingintahuan (Curiosity)………... 97

3. Toleransi (Tolerance)……….. 99

4. Membiarkan Perasaan dan Pikirannya (Allowing)………. 101

IV.2.E Hasil Data Partisipan II... 104

IV.2.F Analisa dan Pembahasan Data Partisipan II... 108

Rangkuman Analisa Antar Partisipan... 114


(12)

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan……… 123

V.2 Saran……….. 126

V.2.A Saran Penelitian Lanjutan……… 126

V.2.B Saran Praktis………. 127

DAFTAR PUSTAKA……… 128


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identitas Diri Partisipan I... 47

Tabel 2. Waktu Pertemuan Partisipan I... 50

Tabel 3. Jadwal Wawancara Partisipan I... 50

Tabel 4. Gambaran Tahapan Penerimaan Diri Partisipan I... 80

Tabel 5. Identitas Diri Partisipan II... 82

Tabel 6. Waktu Pertemuan Partisipan II... 84

Tabel 7. Jadwal Wawancara Partisipan II... 84

Tabel 8. Gambaran Tahapan Penerimaan Diri Partisipan II... 112


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas... 34

Gambar 2 Skema Gambaran Proses Penerimaan Diri HK... 81


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rekonstruksi Data……….. 133

Lampiran 2 Pedoman Wawancara………. 222


(16)

Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas

Hana Zafirah Ardani dan Indri Kemala Nasution

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penerimaan diri remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas. Penerimaan diri adalah kondisi dimana seseorang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan maupun pikiran yang ada pada dirinya dan mampu merangkul apapun yang muncul atau ada pada dirinya tersebut dari waktu ke waktu (Germer, 2009). Partisipan pada penelitian ini adalah 2 orang remaja perempuan yang mengalami kecacatan fisik setelah menjadi korban sebuah kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Wawancara mendalam digunakan sebagai teknik untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan mengalami kesulitan untuk menerima dirinya yang tidak lagi sempurna. Proses penerimaan diri yang dilalui kedua partisipan penelitian dipenuhi dengan beragam emosi yang muncul. Kedua partisipan juga menunjukkan rasa malu ketika berinteraksi dengan orang lain. Rasa malu tersebut membuat kedua partisipan sering mempunyai keinginan untuk kembali dengan tubuhnya yang normal. Tahapan penerimaan diri partisipan berbeda, partisipan 1 masih sampai tahap ketiga di mana tahapan ini ditandai dengan keinginan partisipan 1 agar perasaan dan pikiran mengenai keinginan untuk kembali sempurna dan kejadian kecelakaan segera hilang. Sedangkan partisipan 2 sudah mencapai tahap keempat di mana partisipan 2 memilih untuk tidak terlalu memikirkan mengenai pikiran dan perasaannya akan ketidaksempurnaannya.


(17)

The Description of Self Acceptance Process on Adolescent with Physical Disabilities due to Traffic Accident

Hana Zafirah Ardani and Indri Kemala Nasution

Psychology Faculty in University of North Sumatera

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe the self acceptance process on adolescent with physical disabilities due to traffic accident. Self acceptance is a condition where an individual aware that they have experienced a sensations, feelings, or thoughts inside them and be able to embrace it moment to moment (Germer, 2009). Participants of this study are two adolescents whom have physical disabilities after being a victim on a traffic accident. This study uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. In-depth interview used as a technique to collect the data. The result shows that both participants have difficulties to accept their self which no longer perfect. Both participants had been through the self acceptance process with many kind of emotions. They also showed a shame when interacted with other persons. That shame makes both participants have the desire to back with their normal body. The stage of self acceptance process on both participants are different, participant 1 is on the third stage which in this stage marked with participant 1 who wants to remove the feeling and a thought about the accident and desire to back with her perfect body. Whereas, participant 2 has reached the fourth stage which participant 2 choose not to think too much about her thought and feeling of her imperfection.


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Masa remaja sering kali disebut masa transisi atau masa peralihan dari anak-anak sebelum akhirnya masuk ke masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami perubahan fisik, emosi, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Sama seperti tahapan-tahapan perkembangan lainnya, pada masa remaja juga terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh remaja tersebut demi kesejahteraan pada tahapan tersebut maupun pada tahapan selanjutnya. Salah satu tugas perkembangan menurut Havighurst (1972; Hurlock, 1993) adalah remaja harus menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan bahwa dari salah satu tugas perkembangan masa remaja tersebut diharapkan remaja menjadi bangga dengan tubuhnya agar dapat menggunakan dan melindungi tubuhnya secara efektif dan dengan merasa puas. Tugas perkembangan ini akan sulit dicapai apabila dihadapkan pada remaja yang kondisi fisiknya tidak normal.

Salah satu kondisi ketidaknormalan adalah bentuk kecacatan fisik yang disebut tunadaksa. Tunadaksa dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan


(19)

disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir (White House Conference; 1931, Somantri, 2006). Frances G. Koening (dalam Somantri, 2006) menjelaskan mengenai klasifikasi tunadaksa, yang salah satunya adalah kondisi atau kerusakan traumatik seperti amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan), kecelakaan akibat luka bakar, dan patah tulang. Klasifikasi tunadaksa tersebut dapat terjadi pada masa remaja, karena masa ini merupakan salah satu rentang usia yang termasuk beresiko terjadinya kecelakaan, menurut Hurlock (1974) kecelakaan umumnya terjadi antara umur 4 sampai 15 tahun dan setelah umur 65 tahun. Selain itu, berdasarkan hasil pendataan/survey yang dilakukan oleh Kementerian Sosial RI, terdapat beberapa jumlah korban penyandang cacat pada 9 provinsi yakni sebanyak 299.203 jiwa dan 10,5% (31.327 jiwa) merupakan penyandang cacat berat yang mengalami hambatan dalam kegiatan sehari-hari (activity daily living/ADL). Dari kelompok umur, usia 18-60 tahun menempati posisi tertinggi. Kecacatan yang paling banyak dialami adalah cacat kaki (21,86%), mental retardasi (15,41%) dan bicara (13,08%).

Bentuk kecelakaan yang kerap kali terjadi pada masa remaja adalah kecelakaan lalu lintas. Hal ini dikarenakan perilaku tidak tertib lalu lintas atau kebut-kebutan yang merupakan salah satu bentuk permasalahan-permasalahan yang timbul pada masa ini (Kartono, 1986). Masalah kebut-kebutan yang berujung terjadinya kecelakaan lalu lintas ini tidak jarang memakan korban, dijelaskan bahwa 2 dari 5 penyebab kematian pada masa remaja dikarenakan kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada anak usia 16 sampai 19 tahun (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Tabrakan menjadi lebih fatal apabila pengemudi masih


(20)

masuk dalam tahap perkembangan remaja, mungkin karena remaja cenderung mengemudi gila-gilaan dihadapan teman-temannya (Chen, Baker, Braver, & Li, 2000).

Setiap tahunnya selalu saja ada kecelakaan yang memakan korban di Indonesia. Korban yang berjatuhan tentunya masuk kedalam kategori ringan sampai kategori yang berat. Pada tahun 2010, Kepolisian Republik Indonesia mencatat angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebanyak 61.606 kasus, di mana angka tersebut naik 1,04% dari tahun 2009. Dari total kecelakaan tersebut, terdapat 10.349 korban jiwa, 13.600 korban luka berat, dan 30.794 korban mengalami luka ringan. Sedangkan kasus kecelakaan saat mudik 2012 mencapai 4.744 kejadian, dengan jumlah korban jiwa 779 orang. Dari jumlah itu, terdapat 62 kasus kecelakaan di jalan tol dengan korban meninggal 10 orang, luka berat 31 orang, dan luka ringan 78 orang.

Remaja penyandang tunadaksa yang dikarenakan kecelakaan lalu lintas tentunya tidak mudah menerima kecacatannya. Sehingga, tidak mengherankan apabila korban atau penyandangnya mengalami gejolak emosi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Somantri (2006) bahwa individu yang baru mengalami kondisi yang menyebabkan dirinya cacat memang lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi. Gejolak emosi ini tentunya akan lebih kompleks apabila dialami oleh remaja yang memang kondisi emosinya masih belum stabil, hal tersebut merupakan konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 1993).


(21)

Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja sudah menjadi hal yang sangat diperhatikan dan membuat remaja tersebut gelisah, hal ini dikarenakan remaja mulai sadar bahwa penampilan merupakan hal penting dalam kehidupan sosial (Hurlock, 1993). Pada remaja penyandang tunadaksa tentunya akan mengalami kesulitan untuk menerima keadaan fisiknya karena kondisinya sudah sangat jauh dari kata ideal, terlebih lagi apabila sebelumnya dia mempunyai tubuh yang normal/ideal. Hal ini sesuai dengan pengalaman Tavip yang merupakan seorang penyandang cacat dikarenakan tertimpa alat berat. Ia mengaku sangat tertekan dikarenakan musibah yang menimpanya.

“Saya merasa jiwa saya menjadi begitu tertekan. Saya mulanya sehat dan tidak mengalami gangguan apa-apa, namun saat ini tiba-tiba tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam usia muda, dalam usia yang produktif, saya harus mengalami kecelakaan seberat ini. Saya menjadi begitu takut, dalam usia yang masih muda tidak terbayang dalam pikiran bahwa saya harus mengalami kelumpuhan seumur hidup. Saya menjadi sangat tertekan.”

(Tavip, penderita kelumpuhan, 15 Agustus 2012) Kondisi fisik yang sebelumnya normal lalu berubah menjadi tidak normal tentunya akan menimbulkan permasalahan baru pada diri remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Patty & Johnson (1953) bahwa individu yang sudah merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat untuk menerima ketika dirinya dihadapkan pada keterbatasan. Anak yang baru mengalami kejadian yang menyebabkan dirinya menyandang tunadaksa umumnya menganggap hal yang terjadi pada dirinya merupakan kemunduran dan sangat sulit untuk menerima kondisi tersebut (Somantri, 2006).


(22)

Somantri (2006) menjelaskan beberapa dampak menjadi tunadaksa berdasarkan perkembangan sosial dan kepribadian anak tunadaksa. Secara perkembangan sosial, dijelaskan bahwa lingkungan disekitar anak tunadaksa akan mempengaruhi konsep diri dan pergaulan sosial mereka. Anak tunadaksa yang dihargai akan memberikan penghargaan juga terhadap dirinya, sehingga dapat memperoleh konsep diri yang lebih baik. Namun, anak tunadaksa kerap kali menerima ejekan dari orang-orang disekitarnya, hal ini dapat mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka yang akhirnya dapat menghambat pergaulan sosial anak tunadaksa. Secara perkembangan kepribadian, terlihat atau tidak terlihatnya kondisi kecacatan akan memberikan dampak pada kepribadian anak tunadaksa, karena hal ini sangat terkait dengan gambaran tubuh (body

image) yang berkembang pada tahap perkembangan remaja. Umumnya anak-anak

tunadaksa menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Christie Damayanti dalam sebuah artikel mengenai seorang remaja berumur 14 tahun yang bernama Ayu. Ia merasa rendah diri sebagai penyandang tunadaksa.

“Aku, seorang yang cacat fisik, juga kadang-kadang sering merasa sedikit rendah diri, ketika lingkunganku yang baru (misalnya jika berjalan-jalan di mall), melihat dan memandangku rendah, walau biasanya hanya beberapa saat, sebelum aku bangkit lagi untuk menyemangati diriku supaya lebih merasa percaya diri”

“Ayu sering merasa rendah diri sebagai remaja yang „berkebutuhan khusus‟, sehingga Ayu hanya sering di rumah, melakukan aktifitas dan hobi sendiri, padahal remaja-remaja teman-temannya bisa berlari-lari, main sepeda dan belajar menari di desa.”


(23)

Remaja berkembang dalam dua kondisi, yaitu normatif dan non normatif. Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menjelaskan mengenai pengaruh normatif dan non normatif dalam perkembangan manusia. Mereka menyatakan bahwa pengaruh normatif adalah karakteristik dari sebuah peristiwa yang terjadi dengan cara yang sama pada sebagian besar orang dalam sebuah kelompok. Sedangkan pengaruh non normatif adalah peristiwa luar biasa yang berpengaruh besar dalam kehidupan seseorang, hal ini nantinya akan berpengaruh pada tahapan perkembangan individu. Contoh dari pengaruh non normatif ini seperti kematian orangtua, anak cacat, atau terancam serangan teroris. Kecelakaan yang menyebabkan remaja menyandang tunadaksa dapat dikatakan salah satu bentuk pengaruh non normatif, sehingga nantinya perkembangan remaja tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Hobbs dan Horne (1975; 1988; Santrock, 2003) bahwa remaja yang mempunyai label cacat (tunadaksa) mungkin akan merasa selamanya dianggap sebagai remaja yang terbelakang atau tidak mampu serta ditolak, dan mereka bisa jadi tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara penuh.

Remaja penyandang tunadaksa mengalami beberapa masalah konsep diri negatif, rendah diri, cemas, dan agresif, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dampak-dampak tersebut tentunya dapat berpengaruh pada tahapan kehidupan remaja selanjutnya. Somantri (2006) menjelaskan bahwa keterbatasan yang dialami oleh penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat. Hal ini juga dapat menimbulkan masalah pada kehidupan remaja selanjutnya, karena menurut Erikson, remaja harus bereksperimen di


(24)

lingkungan masyarakat mengenai peran dan ideologi yang berbeda-beda agar dapat mengetahui mana yang paling sesuai dengan dirinya (Schultz & Schultz, 1994).

Dampak-dampak tunadaksa (Somantri, 2006) akibat kecelakaan pada remaja seperti konsep diri yang negatif, menarik diri dari lingkungan, cemas, rendah diri, dan agresif dapat ditanggulangi dengan kemampuan remaja tersebut untuk bisa menerima diri mereka sebagaimana mestinya, menerima dirinya dengan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Tentu saja proses penerimaan diri ini harus timbul dari dalam diri korban sendiri. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Germer (2009) mengenai penerimaan diri yaitu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam diri kita, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana mestinya apa yang kita miliki tersebut. Lebih lanjut dijelaskan oleh Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik kepribadiannya, akan kemauan untuk hidup dengan keadaan tersebut.

Proses penerimaan diri pada masing-masing orang berbeda. Seperti yang dituliskan pada hasil penelitian Damayanti dan Rostiana (2003; Fatwa Tentama, 2010), keempat penyandang tunadaksa pasca kecelakaan yang menjadi subjek dalam penelitian ini masing-masing membutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai tahap penerimaan diri setelah kecelakaan yang dialami, sehingga dinamika emosinya juga bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, variasi dalam penerimaan diri seorang penyandang tunadaksa dapat dilihat pada tahapan


(25)

menyatakan bahwa ada lima tahapan penerimaan, yaitu aversion (keengganan, kebencian), curiosity (keingintahuan akan minat), tolerance (merasa aman), allowing (membiarkan perasaan datang dan pergi), dan friendship (melihat nilai-nilai yang tidak terlihat).

Cepat atau lambatnya penerimaan diri seseorang dapat juga dilihat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri tersebut. Menurut Hurlock (1974) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistik, tidak adanya hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, pengaruh keberhasilan, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, pola asuh di masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil.

Dampak dari penerimaan diri akan mengarah kepada penyesuaian diri dan sosial yang lebih baik. Penyesuaian diri yang baik akan membuat seseorang bahagia dan sukses. Sedangkan penyesuaian sosial yang baik akan membuat seseorang menjadi lebih populer, menikmati kontak sosial, dan akan memiliki kehidupan yang penuh makna (Hurlock, 1974). Selain itu, pada remaja penerimaan akan kondisi tubuhnya juga termasuk salah satu hal yang dapat membuat remaja tersebut bahagia (Hurlock, 1993)

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan diri sangat dibutuhkan bagi para remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini berguna agar para korban tersebut dapat menjalankan proses tumbuh-kembangnya secara lebih optimal walupun dengan


(26)

kekurangan yang dimiliki. Maka, pada penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana proses penerimaan diri remaja tunadaksa dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini akan melihat tahapan penerimaan diri menurut Germer (2009) pada remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan dengan melihat juga faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock (1974).

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana proses penerimaan diri remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas?”

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penerimaan diri remaja tunadaksa dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Pada penelitian ini akan dilihat pada tahapan mana subjek dalam penelitian menerima dirinya. Hal lainnya yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana pengaruh kondisi fisik subjek terhadap kehidupannya sehari-hari.


(27)

I.4 Manfaat Penelitian

I.4.A. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan mengenai permasalahan pada tahap perkembangan remaja yang dapat mempengaruhi pemenuhan tugas-tugas perkembangan pada tahapan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk psikologi klinis, karena penyandang cacat memiliki masalah-masalah psikologis yang apabila tidak segera diselesaikan bisa menjadi permasalahan klinis.

b. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai penerimaan diri, terutama pada anak berkebutuhan khusus seperti penyandang cacat fisik.

I.4.B Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Dapat dijadikan sebagai masukan pada penyandang tunadaksa untuk menerima dirinya dengan keterbatasan yang dimiliki.

b. Memberikan informasi mengenai pemasalahan yang terjadi pada remaja yang sebelumnya normal lalu menjadi penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas, sehingga penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan solusi pada korban atau penyandangnya dalam proses penerimaan dirinya.


(28)

c. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi atau acuan bagi kalangan yang tertarik pada kehidupan anak berkebutuhan khusus khususnya remaja penyandang tunadaksa.

I.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai remaja, tunadaksa, dan penerimaan diri.

BAB III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpul data, teknik pengambilan sampling, subjek penelitian, panduan wawancara dan observasi, prosedur penelitian, serta prosedur analisis data.


(29)

BAB IV Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan hasil data wawancara pada partisipan penelitian. Data-data tersebut akan dibahas sesuai dengan teori proses penerimaan diri untuk menjawab pertanyaan penelitian.

BAB V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini, di dalamnya dibahas kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.


(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1Penerimaan Diri II.1.A Definisi

Germer (2009) menyatakan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu. Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana yang ada pada dirinya. Definisi menurut Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tingkat dimana individu memiliki kesadaran mengenai karakteristik dirinya, mampu dan mau hidup dengan kondisi itu. Jersild dalam Hurlock (1974) juga menjelaskan mengenai penerimaan diri:

The self-accepting person has a realistic appraisal of his resorces combined with appreciation of his own worth ; assurance about standards and convictions of his own without being a slave to the opinions of others; and realistic assessment of limitations without irrational self-reaproach. Self-accepting people recognize their assets and are free to draw upon them even if they are not all that could be desired. They also recognize their


(31)

shortcomings without needlessly blaming themselves” (Jersild, dalam Hurlock 1974, hal. 434)

Berdasarkan definisi di atas, maka Jersild menyimpulkan bahwa orang-orang yang menerima dirinya memiliki penilaian realistis terhadap sumber daya yang dimilikinya yang dikombinasikan dengan penghargaan atas dirinya sendiri; yakin akan standar dan diri sendiri tanpa harus dikendalikan oleh orang lain; dan memiliki penilaian realistis mengenai keterbatasan tanpa harus mencela diri sendiri. Orang yang menerima dirinya menyadari aset-aset yang dimiliki dan bebas untuk menggunakannya bahkan jika aset tersebut tidak diinginkan. Mereka juga mengetahui kelemahannya tanpa perlu menyalahkan dirinya.

Dari pernyataan beberapa tokoh di atas mengenai penerimaan diri, maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi di mana individu sadar akan segala yang dimilikinya dan bersedia untuk hidup dari waktu ke waktu dengan apa yang dimilikinya tersebut baik itu berupa kelebihan ataupun kekurangan. Individu yang menerima dirinya akan merasakan kenyamanan pada apa yang dia miliki.

II.1.B Tahap Penerimaan Diri

Germer (2009) menyatakan bahwa proses penerimaan diri sebagai bentuk keadaan melawan ketidaknyamanan terjadi dalam tahapan-tahapan; ada pelunakan progresif, atau tidak ada perlawanan, untuk menghadapi penderitaan. Proses awal yang terjadi adalah rasa kebencian,


(32)

selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah, dan jika hal-hal tersebut berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan merangkul apapun yang terjadi dalam hidup seorang individu. Proses ini biasanya berlangsung lama dan alami. Individu tidak dapat maju ketahapan selanjutnya jika ia tidak merasa sepenuhnya nyaman pada satu tahapan. Tahapan-tahapan penerimaan diri tersebut adalah sebagai berikut.

 Tahap 1: Aversion ─ kebencian/keengganan, menghindari, resisten Reaksi alami pada perasaan yang membuat tidak nyaman adalah kebencian atau keengganan. Kebencian/keengganan ini juga dapat membentuk keterikatan mental atau perenungan─mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk menghilangkan perasaan tersebut.

 Tahap 2: Curiosity─ melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian Pada tahapan ini individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya muncul adalah “Perasaan apa ini?” “Apa artinya perasaan ini?”“Kapan perasaan ini terjadi?”.

 Tahap 3: Tolerance ─ menanggung derita dengan aman

Toleransi berarti menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan segera hilang.


(33)

Pada tahapan ini individu membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi.

 Tahap 5: Friendship─merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi Individu melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya. Hala ini merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan diri.

II.1.C Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Hurlock (1974) dalam buku Personality Development mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, seperti:

1. Pemahaman Diri

Pemahaman diri seseorang tidak ditentukan oleh kapasitas intelektualnya, tapi melalui kesempatan untuk menggali potensi dalam dirinya. Individu harus memiliki kesempatan untuk mencoba kemampuannya tanpa harus dihalangi oleh orang lain.

Pemahaman dan penerimaan diri berhubungan erat. Semakin baik seseorang memahami dirinya, semakin dapat ia menerima dirinya, dan sebaliknya. Kurangnya pemahaman diri dapat mengarah kepada kesenjangan antara konsep diri yang ideal dan gambaran yang ia terima melalui kontak sosial, yang membentuk dasar konsep diri.

2. Harapan yang Realistik

Ketika harapan seseorang untuk sebuah pencapaian bersifat realistis, maka kinerjanya akan meningkat sesuai dengan harapannya.


(34)

Hal ini akan berkontribusi kepada kepuasan diri yang sangat penting dalam penerimaan diri. Harapan dapat menjadi kenyataan ketika seseorang cukup memahami dirinya sendiri untuk dapat mengenali keterbatasan dan kekuatannya.

3. Tidak Adanya Hambatan di Dalam Lingkungan

Ketidakmampuan seseorang untuk mencapai tujuan hidup yang realistis dapat berasal dari hambatan yang berasal dari lingkungan yang tidak dapat dikendalikan, misalnya seperti diskriminasi ras, jenis kelamin, maupun agama. Ketika hal ini terjadi, seseorang yang mengetahui potensinya akan sulit untuk menerima diri. Ketika lingkungan mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan, maka ia akan puas dengan pencapaian yang membuktikan bahwa harapannya adalah suatu hal yang realistis.

4. Sikap-Sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan

Seseorang yang mendapatkan sikap yang menyenangkan dari masyarakat lebih dapat menerima dirinya. Tiga hal yang mengarah kepada evaluasi sosial yang menyenangkan adalah tidak adanya prasangka terhadap individu dan anggota keluarganya; memiliki keahlian sosial; dan mau untuk menerima kelompok.

5. Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat

Stres secara emosional dapat mengarah kepada

ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Ketidakseimbangan fisik yang diikuti oleh stres emosional dapat membuat seseorang bekerja


(35)

dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan bereaksi secara negatif kepada orang lain.

Tidak adanya stres dapat membuat seseorang melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat menjadi lebih rileks dan bahagia. Kondisi sepeti ini berkontribusi kepada evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi dan penerimaan diri yang baik pula.

6. Pengaruh Keberhasilan

Pengaruh kegagalan dapat mengarah kepada penolakan diri, dan pengaruh kesuksesan dapat mengarah kepada penerimaan diri. Kegagalan yang seringkali dirasakan seseorang akan membuat kesuksesan diartikan lebih bermakna.

7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang yang menyesuaikan diri dengan baik dapat mengembangkan sikap yang positif terhadap hidup dan berperilaku yang mengarah kepada penilaian dan penerimaan diri yang baik.

8. Perspektif Diri

Seseorang yang dapat melihat dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya memiliki pemahaman diri yang baik dibandingkan dengan seseorang yang perspektif dirinya cenderung sempit dan terdistorsi. Perspektif diri yang baik dapat mendukung penerimaan diri.


(36)

9. Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik

Inti dari konsep diri yang menentukan penyesuaian diri seseorang di masa depan berawal dari masa kanak-kanak. Pengasuhan secara demokratis mengarah kepada pola kepribadian yang sehat. Selain itu pada pengasuhan ini, peraturan-peraturan yang dijelaskan kepada anak dapat membuat anak dihormati sebagai seorang manusia. Anak akan belajar untuk menghormati dirinya dan bertanggung jawab untuk mengendalikan perilakunya dengan kerangka peraturan yang telah ditetapkan.

10. Konsep Diri yang Stabil

Konsep diri yang stabil merupakan cara seseorang melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu. Konsep diri yang baik mengarah kepada penerimaan diri, sedangkan konsep diri yang buruk mengarah kepada penolakan diri. Jika seseorang mengembangkan kebiasaan untuk menerima dirinya, maka hal itu akan menguatkan konsep diri yang baik sehingga penerimaan diri akan menjadi suatu kebiasaan bagi individu tersebut.

II.1.D Dampak Penerimaan Diri

Penelitian menunjukkan pengaruh yang luas dari penerimaan diri. Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri menjadi dua kelompok besar – terhadap penyesuaian diri dan penyesuaian sosial.


(37)

1. Dampak Terhadap Penyesuaian Diri

Orang dengan penerimaan diri mampu mengenali kelebihan maupun kekurangannya. Salah satu karakteristik orang yang penyesuaian dirinya baik adalah ia dapat mengenali dan menekankan kelebihannya terlebih dahulu dibandingkan dengan kekurangannya.

Seseorang dengan penerimaan diri yang baik memiliki kepercayaan diri dan self-esteem yang baik. Ia mau untuk menerima kritikan. Ia bahkan membuat critical self-appraisals untuk membantunya mengenali dan memperbaiki kelemahannya.

Penerimaan diri diikuti dengan personal security. Hal ini mendorong seseorang untuk percaya bahwa ia dapat mengendalikan permasalahan hidup dan bahwa ia diterima oleh orang-orang penting di dalam hidupnya. Orang-orang yang menerima dirinya mampu mengevaluasi diri secara realistis sehingga ia dapat menggunakan kapasitas dirinya secara efektif.

Orang yang dapat menerima dirinya tidak mau menjadi orang lain. Ia puas dengan menjadi dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan kualitas dirinya yang baik dan menghilangkan kuailtas diri yang buruk.

2. Dampak Terhadap Penyesuaian Sosial

Penerimaan diri seseorang diikuti oleh penerimaan oleh orang lain. Orang-orang yang mampu menerima dirinya tertarik untuk berhubungan dengan orang lain dan merasa empati – kemampuan


(38)

untuk menempatkan diri dalam pemikiran, perasaan, dan tindakan orang lain. Hasilnya, ia akan memiliki penyesuaian sosial yang lebih baik.

Orang-orang yang menerima dirinya memiliki toleransi kepada orang lain, mengabaikan kelemahannya. Toleransi juga sejalan dengan keinginan untuk menolong orang lain. Ia mau untuk membantu orang lain yang memerlukan bantuannya. Secara umum, semakin seseorang dapat menerima dirinya, ia akan lebih diterima orang lain di kehidupan sosial.

II.1.E Ciri-Ciri Orang yang Menerima Dirinya

Ciri-ciri orang yang menerima dirinya menurut Sheere (dalam Cronbach, 1963) adalah :

a. Mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya.

b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain.

c. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. d. Menerima pujian dan celaan secara objektif.

e. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya.


(39)

Berdasarkan beberapa ciri di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah orang yang merasa dirinya berharga dengan menerima kekurangan dan kelebihan dirinya serta berpikir objektif akan kritikan atau celaan yang diterimanya. Sehingga mempunyai keyakinan untuk menghadapi kehidupannya dengan bertanggung jawab akan setiap perilakunya.

II.2 Tunadaksa II.2.A Definisi

Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa adalah anak yang memiliki cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam bahasa asing sering dikenal dengan istilah crippled, physically handicapped, physically disable, dan sebagainya. Keragaman istilah yang dikemuakakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari alasan para ahli yang menentukan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda, tapi secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama (Pendidikan, 2006).

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat menyebutkan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan memiliki kelainan fisik dan atau mental yang oleh karenanya dapat


(40)

menjadi rintangan atau hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada bagian penjelasan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara (Raharjo, dalam Wrastari, 2003).

Menurut Mangunson (dalam Suranti, 2008) cacat fisik didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh seperti keadaan normal. Berdasarkan ketiga definisi di atas, cacat fisik adalah kelainan fisik dan atau mental sehingga timbul rintangan dan hambatan yang mengakibatkan tubuh tidak mampu berfungsi secara normal.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tunadaksa yang sering juga disebut cacat fisik adalah seseorang yang memiliki hambatan fisik yang mengakibatkan munculnya beberapa gangguan pada fungsi tubuh, seperti gerak tubuh ataupun mental yang tidak dapat berfungsi secara normal.

II.2.B Penyebab Tunadaksa

Suhartono (dalam Suranti, 2008) menemukan sebab-sebab cacat fisik sebagai berikut:

1. Cacat sejak lahir karena proses kelahiran individu sudah dalam keadaan cacat.


(41)

2. Cacat non bawaan adalah cacat yang dialami individu bukan sejak lahir tetapi terjadi pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan dan peperangan.

Menurut Koening (dalam Somantri, 2006), tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi:

1. Club-foot (kaki seperti tongkat) 2. Club-hand (tangan seperti tongkat)

3. Polydctylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki)

4. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka) 5. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan

yang lainnya)

6. Cretinism (kerdil atau katai)

7. Mycrocepalus (kepala yang kecil, tidak normal)

8. Hydrocepalus (kepala yang besar karena adanya cairan) 9. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)

10.Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu)


(42)

b. Kerusakan pada waktu kelahiran :

1. Erb‟s palys (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran)

2. Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah)

c. Infeksi :

1. Tuberkolosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku)

2. Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri)

3. Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan

kelumpuhan)

4. Tuberkolosis pada lutut atau sendi lain

d. Kondisi traumatik :

1. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan) 2. Kecelakaan akibat luka bakar

3. Patah tulang

II.2.C Tunadaksa Akibat Kecelakaan Lalu Lintas

Koening (dalam Somantri, 2006) menyebutkan bahwa salah satu penyebab seorang individu menjadi penyandang tunadaksa adalah dikarenakan kecelakaan, yang mana salah satu bentuk kecelakaan adalah


(43)

kecelakaan saat berkendara yang sering dikenal dengan kecelakaan lalu lintas (Baltus, 1983).

Hawari (1996) menyatakan bahwa pada dasarnya cacat fisik karena kecelakaan merupakan sumber stres yang menimbulkan depresi. Orang yang mengalami kecelakaan terkadang dihadapkan pada ketidakpastian mengenai keadaannya, apalagi setelah dia mengetahui keadaan fisiknya yang tidak sesuai dengan harapannya. Keadaan seperti ini bisa menyebabkan depresi sebab dia sendiri belum siap secara mental untuk menerima keadaannya.

II.2.D Reaksi Terhadap Kondisi Tunadaksa

Berbagai reaksi yang timbul pada tunadaksa dipengaruhi oleh berbagai faktor (Hurlock, 1974), yaitu :

a. Usia ketika terjadinya cacat tubuh dapat mempengaruhi reaksi individu mengenai kondisi kecacatannya. Jika cacat tubuh terjadi pada awal kehidupan, biasanya penyesuaian yang terjadi akan sangat baik. b. Reaksi masyarakat cenderung lebih menyenangkan pada cacat tubuh

daripada cacat mental. c. Berat ringannya kecacatan. d. Pengakuan adanya perbedaan.

e. Sikap sosial atau masyarakat yang berakibat pada sikap individu. f. Sikap individu terhadap cacat yang ditentukan oleh sikap sosial.


(44)

II.3 Remaja

II.3.A Definisi

Pengertian remaja menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2007) adalah transisi perkembangan yang dimulai dari usia 10 atau 11 tahun hingga awal usia dua puluhan yang berhubungan dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Masa remaja diawali dengan dimulainya pubertas, sebuah proses yang mengarah kepada kematangan seksual atau kesuburan – kemampuan untuk bereproduksi.

Remaja menurut Dariyo (2004) adalah masa transisi satau peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial yang berkisar di antara usia 12-13 tahun sampai 21 tahun. Thornburg (dalam Dariyo 2004) membagi remaja ke dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun), dan remaja akhir (usia 18-21 tahun).

Berdasarkan definisi di atas, masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang diawali oleh masa pubertas di usia 10 hingga 21 tahun dengan perubahan pada aspek fisik, psikis, dan psikososial. Masa remaja juga terbagi ke dalam 3 tahap, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir.

II.3.B Tugas Perkembangan Remaja

Pada tahap remaja, Havighurst (dalam Agustiani, 2006) menggambarkan delapan tugas perkembangan remaja yaitu:


(45)

1. Mencapai relasi baru dan lebih matang bergaul dengan teman seusia dari kedua jenis kelamin.

2. Mencapai maskulinitas dan femininitas dari peran sosial. 3. Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif.

4. Mencapai ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

5. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga. 6. Menyiapkan diri untuk karir ekonomi.

7. Menemukan set dari nilai-nilai dan sistem etika sebagai petunjuk dalam berperilaku mengembangkan ideologi.

8. Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku sosial secara bertanggung jawab.

II.3.C Remaja Penyandang Tunadaksa

Kondisi tunadaksa dapat terjadi pada siapa saja tidak terkecuali remaja. Remaja penyandang tunadaksa akan memiliki permasalahan, salah satunya adalah permasalahan pada gambaran tubuh (body image), yang merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja. Somantri (2006) menjelaskan bahwa kondisi tunadaksa yang dialami pada remaja akan membawa pengaruh pada persepsi gambaran tubuh mereka, hal ini merupakan bentuk permasalahan dalam perkembangan kepribadian pada tunadaksa. Kekurangan pada bagian tubuh remaja


(46)

penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif.

Hill dan Mönks (dalam Mönks dan Knoers, 1999 : hal.268), menyatakan bahwa penyimpangan-penyimpangan pada masa remaja akan menimbulkan masalah-masalah yang berhubungan dengan penilaian diri dan sikap sosialnya, oleh karena itu kondisi tunadaksa pada masa remaja akan mempengaruhi penilaian diri remaja sedemikian rupa sehingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat. Conger (dalam Crider dkk., 1983), menyatakan bahwa cacat tubuh (tunadaksa) yang berat akan mempengaruhi penilaian diri remaja.

II.4 Penerimaan Diri pada Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas

Kondisi ketidaknormalan yang dialami oleh seorang remaja dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikisnya. Penyebab ketidaknormalan pada seorang remaja dapat terjadi karena bawaan lahir atau karena kejadian-kejadian selama masa hidup yang menimbulkan bekas yang tidak normal. Walaupun kedua penyebab tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan kehidupan seorang remaja, namun penyebab yang dikarenakan tidak bawaan dari lahir akan lebih buruk mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis remaja tersebut. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang sudah


(47)

merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat menerima ketika dihadapkan pada keterbatasan (Patty & Johnson, 1953).

Salah satu kondisi yang membuat remaja menjadi tidak normal adalah kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas dapat memakan korban jiwa dan dapat juga meninggalkan bekas luka yang sangat parah, dalam hal ini seperti amputasi pada salah satu anggota tubuh. Kondisi ketidaknormalan karena amputasi ini dapat disebut cacat fisik atau tunadaksa.

Remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas akan mengalami berbagai macam dampak dari hilangnya salah satu anggota tubuhnya tersebut. Somantri (2006) menjelaskan dampak tunadaksa secara perkembangan sosial dan kepribadian, di mana secara perkembangan sosial anak tunadaksa akan memiliki konsep diri yang negatif akibat kerap kali mendapat ejekan dari lingkungan disekitarnya. Hal tersebut dapat membuat anak tunadaksa manarik diri dari lingkungan sekitarnya. Jika seorang remaja dibiarkan untuk tidak bergaul dalam lingkungan sekitarnya, maka remaja tersebut akan kehilangan kesempatan untuk bereksperimen mengenai peran dan ideologi yang berbeda-beda yang nantinya akan disesuaikan dengan dirinya (Schultz & Schultz, 1994). Dampak lainnya secara perkembangan kepribadian adalah anak tunadaksa kerap kali menunjukkan sifat rendah diri, cemas, dan agresif. Hal-hal tersebut dipengaruhi oleh terlihat atau tidak terlihatnya kecacatan yang dimiliki yang berkaitan dengan gambaran tubuh.


(48)

Kecacatan yang dialami oleh remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas harus bisa diterima oleh remaja tersebut. Penerimaan akan dirinya yang tidak lagi sempurna ini akan membantu remaja tunadaksa lebih mudah menjalani kehidupan dengan kecacatan yang dimiliki. Penerimaan diri dapat membantu penyandang tunadaksa menjalani hidupnya agar lebih bahagia dan sejahtera walaupun dengan kekurangan yang dimilikinya. Penerimaan diri menurut Germer (2009) adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu. Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana yang ada pada dirinya. Pada seorang remaja yang sedang mengalami berbagai macam perubahan seperti fisik, mental, maupun kehidupan sosial, tentunya penerimaan diri ini sangat dibutuhkan agar memperoleh kebahagian (Hurlock, 1993).

Seseorang yang ingin menerima dirinya akan masuk dalam sebuah proses. Germer (2009) menjelaskan mengenai proses penerimaan diri yang dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu tahap pertama adalah kebencian atau keengganan (aversion), pada saat seseorang dihadapkan pada kondisi tidak nyaman, maka orang tersebut akan merasa enggan atau benci pada hal yang membuatnya tidak nyaman tersebut. Tahap kedua adalah keingintahuan (curiosity), orang tersebut akan mulai untuk mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan perasaan tidak nyamannya tersebut seperti ada apa dengan perasaannya,


(49)

yaitu toleransi, individu tersebut mulai mengurangi perasaan tidak nyamannya, namun tetap mempunyai keinginan agar perasaan tersebut segera hilang. Tahap keempat adalah membiarkan perasaan datang dan pergi (allowing), individu membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi sebagaimana mestinya. Tahap terakhir dari penerimaan diri adalah melihat nilai-nilai yang tidak terlihat (friendship), individu sudah mulai beradaptasi dengan perasaan tidak nyamannya tersebut dan mulai melihat hikmah dari kondisi atau kejadian yang memberikan perasaan tidak nyaman terhadapnya.

Pencapaian setiap tahapan penerimaan diri dapat dibantu dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock (1974). Untuk bisa menerima dirinya seseorang harus paham akan dirinya sendiri. Hal tersebut merupakan faktor penerimaan diri yang oertama menurut Hurlock (1974). Orang yang memiliki pemahaman diri akan mengetahui potensi dalam dirinya yang dapat membantu untuk menciptakan konsep diri yang ideal untuk dirinya. Faktor kedua adalah harapan yang realistik, di mana harapan dengan pencapaian yang realistik akan memberikan kepuasan diri yang berpengaruh terhadap penerimaan diri. Faktor ketiga adalah tidak adanya hambatan di dalam lingkungan, seseorang yang tidak mempunyai hambatan dalam lingkungannya akan lebih mudah mengetahui potensi yang ada pada dirinya dan mudah untuk menerima dirinya. Seseorang juga akan lebih mudah menerima dirinya apabila mendapat perlakuan yang menyenangkan dari masyarakat. Hal tersebut merupakan faktor keempat dalam penerimaan diri. Selanjutnya faktor kelima adalah tidak adanya gangguan emosional yang berat,


(50)

orang yang tidak memiliki gangguan emosional seperti stres akan lebih bahagia dan dapat memberikan evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar dari evaluasi dan penerimaan diri yang baik pula. Orang yang berhasil dan memperoleh kesuksesan akan mengarah terhadap penerimaan diri. Hal tersebut merupakan faktor keenam penerimaan diri. Identifikasi terhadap orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mengembangkan sikap positif pada diri seseorang yang nantinya berpengaruh terhadap penilaian dan penerimaan diri yang baik. Faktor kedelapan adalah perspektif diri, orang yang melihat dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya dikatakan dapat mendukung penerimaan diri. Pola asuh dimasa kecil juga mempengaruhi penerimaan diri karena hal tersebut berkontribusi terhadap konsep diri seseorang. Faktor terakhir adalah konsep diri yang stabil, di mana dalam hal ini seseorang yang menerima dirinya akan mampu melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu.


(51)

II.5 Kerangka Teoritis

Keterangan:

Kecelakaan Lalu Lintas pada Masa Remaja

Menarik diri dari lingkungan, konsep diri negatif, rendah diri, cemas, agresif (Somantri, 2006)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri (Hurlock,

1974)

pemahaman diri, harapan yang realistik, tidak adanya

hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, pengaruh keberhasilan, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, pola asuh di masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil.

Tunadaksa

Penerimaan Diri

Tahapan Penerimaan Diri (Germer, 2009)

Aversion Curiosity Tolerance Allowing Friendship Kondisi Traumatik: Amputasi

: melihat proses penerimaan diri


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006), metode penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

Melihat masalah yang diangkat pada penelitian ini, yaitu penerimaan diri remaja tunadaksa karena kecelakaan, pendekatan kualitiatif sangat sesuai untuk digunakan agar dapat mengetahui bagaimana proses penerimaan diri tersebut. Proses penerimaan diri pada diri individu merupakan hal yang subjektif yang berbeda denga orang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif maka proses penerimaan diri yang subjektif itu dapat terungkap. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007) bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.

Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat proses penerimaan diri pada remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan faktor-faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi subyek penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2007) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting


(53)

penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti.

III.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Poerwandari (2007) menjelaskan mengenai kasus yaitu fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas. Kasus yang dimaksud dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau dapat berupa bangsa. Kasus juga dapat berupa keputusan, kebijakan, proses, dan lain sebagainya. Punch (1998; Poerwandari, 2007) menjelaskan beberapa tipe yang dapat diteliti dengan menggunakan studi kasus yaitu individu-individu, karakteristik atau atribut dari individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu.

Pada penelitian ini tipe studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Di mana yang dimaksud dengan studi kasus intrinsik adalah penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa adanya upaya untuk menggeneralisasi. Penelitian akan dilakukan dengan melihat kasus berbeda yang terjadi pada dua orang subjek dengan karakteristik yang sama.


(54)

III.3 Metode Pengumpulan Data

Poerwandari (2007) menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Metode-metode ini dapat dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dapat dikombinasikan dengan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.

III.3.A. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk., 1994 dalam Poewandari, 2007). Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, setidaknya satu orang memiliki tujuan yang meliputi proses bertanya dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2003).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Jenis wawancara ini digunakan agar dapat mengali lebih dalam proses penerimaan diri pada remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas dengan melihat faktor-faktor penerimaan diri.


(55)

Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur (dalam Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori faktor penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock (1974).

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk memandu peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

III.4 Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, dan catatan lapangan yang akan digunakan selama proses pengambilan data berlangsung.

III.4.A. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek


(56)

kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.

III.4.B. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2007).

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

III.5 Subjek Penelitian

III.5.A. Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini, karakteristik subjek yang dikehendaki adalah remaja dengan rentang usia 11-20 tahun (Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Karakteristik lain adalah subjek mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan subjek kehilangan salah satu anggota tubuh.


(57)

Penelitian ini akan diadakan di kota Medan, karena mempertimbangkan keterbatasan biaya, waktu, dan tenaga peneliti, sehingga dapat mempermudah peneliti untuk memperoleh dan mengumpulkan data.

III.5.B. Jumlah Subjek Penelitian

Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak 2 orang. Jumlah sampel yang tergolong sedikit dikarenkan penelitian dengan pendekatan kualitatif ini memerlukan pendekatan yang lebih mendalam kepada subjek-subjek penelitiannya, sehingga jumlah sampel yang sedikit akan memaksimalkan jalannya penelitian ini.

III.5.C. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian

Patton (1990; Poerwandari, 2007) menjelaskan pedoman pengambilan sampel pada penelitian kualitatif yang harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Untuk itu pada penelitian ini, teknik sampling untuk menentukan subjek penelitiannya adalah teknik pengambilan sampel yang berfokus pada intensitas. Di mana teknik ini bertujuan untuk memperoleh data yang kaya mengenai suatu fenomena tertentu. Subjek yang diambil dengan teknik ini merupakan subjek yang dianggap mewakili fenomena secara intens (Poerwandari, 2007). Fenomena yang terdapat pada penelitian ini adalah kecelakaan lalu lintas dengan subjek penelitian adalah remaja-remaja yang menjadi korban dalam kecelakaan-kecelakaan lalu lintas tersebut.


(58)

III.6 Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif

Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kompleksitas aspek-aspek terkait (disebut variabel pada penelitian kuantitatif) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007).

Upaya untuk menjaga kredibilitas dan keobjektifan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memilih subjek dengan karakteristik yang telah ditentukan, dalam hal ini yaitu remaja laki-laki atau perempuan usia 11-20 tahun yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya karena kecelakaan lalu lintas. 2. Membuat pedoman wawancara yang sesuai dengan teori tahapan

penerimaan diri.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dalam wawancara agar memperoleh hasil yang lebih akurat.

4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen-dosen yang ahli dalam metode kualitatif dan bahasan penelitian untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritikan agar memperkecil kesalahan akibat keterbatasan yang dimiliki peneliti.


(59)

III.7 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2006). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.

III.7.A. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan penerimaan diri, tunadaksa, dam remaja baik yang berasal dari teori maupun dari literatur lepas seperti artikel.

2. Menyusun pedoman wawancara. Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

3. Persiapan untuk pengumpulan data. Peneliti mencari beberapa orang subjek yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (informed consent) untuk menjadi subjek penelitian dan mengumpulkan informasi tentang calon subjek penelitian tersebut.

4. Membangun rapport. Setelah memperoleh kesediaan dari subjek penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah peneliti dan subjek penelitian mengadakan


(60)

kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.

III.7.B. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung sebagai bentuk observasi.

III.7.C. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada subjek penelitian untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.

III.8 Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan


(61)

mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.

Proses pengkodingan akan dilakukan setelah wawancara berlangsung. Hal ini juga berguna agar memudahkan peneliti dalam mengarsipkan data-data yang didapat dari lapangan.

2. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

a) Memperoleh data yang baik,

b) Mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

c) Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah sebagai berikut.

1) Data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman) 2) Data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara)

3) Data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode spesifik (dapat terdiri dari beberapa tahapan pengolahan)

4) Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas melalui skema 5) Memo dan dan draft insight untuk analisis data (refleksi konseptual peneliti

mengenai arti konseptual data)

6) Catatan pencarian dan penemuan (search and retrieval records), yang disusun untuk memudahkan pencarian berbagai kategori data


(62)

7) Display data melalui skema atau jaringan informasi dalam bentuk padat/esensial

8) Episode analisis (dokumentasi dari langkah-langkah dan proses penelitian) 9) Dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan

langkah analisis

10) Daftar indeks dari semua material

11) Teks laporan (draft yang terus menerus ditambah dan diperbaiki) 3. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

4. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran


(1)

V.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran praktis dan metologis yang berguna untuk penyandang tunadaksa dan peneliti lain yang tertarik untuk meneliti hal yang sama.

V.2.A Saran Penelitian Lanjutan

Beberapa saran yang diberikan peneliti pada peneliti-peneliti lain yang tertarik untuk meneliti hal yang sama adalah sebagai berikut.

a. Penerimaan diri penyandang tunadaksa dipengarui oleh dukungan orang-orang disekitarnya. Oleh karena itu, hendaknya dapat dilakukan pengambilan data terhadap orang-orang disekitar penyandang tunadaksa agar terlihat lebih jelas bentuk dukungannya.

b. Hendaknya dapat mencari tahu bagaimana perasaan orang disekitar penyandang tunadaksa. Hal ini dikarenakan seseorang yang baru menyandang tunadaksa tidak hanya mengalami dampak-dampak emosional bagi penyandangnya namun juga bagi orang-orang disekitarnya seperti keluarga. c. Teknik observasi dapat lebih didalami agar bisa melihat bentuk-bentuk nyata


(2)

127

V.2.B Saran Praktis

Beberapa saran yang diberikan peneliti antara lain:

1. Untuk Penyandang Tunadaksa

Kondisi tidak nyaman seperti ketunaan pada bagian fisik membutuhkan penerimaan diri. Dalam prosesnya memang dilalui dengan berbagai macam perasaan. Untuk itu bagi para penyandang tunadaksa diharapkan mampu melaluinya dengan membangkitkan semangat dari diri sendiri dan mencari tahu kelebihan dan kekurangan diri. Dukungan sosial juga diperlukan guna membantu bangkit dari rasa ketidaknyamanan tersebut.

2. Untuk Lingkungan Sosial Penyandang Tunadaksa

Proses penerimaan diri penyandang sangat ditentukan oleh lingkungan disekitarnya. Lingkungan yang mendukung akan menjadikan penyandang tunadaksa merasa tidak sendirian. Dukungan, motivasi, penerimaan dari keluarga ataupun teman-teman penyandang tunadaksa akan membuat penyandang tunadaksa mempu menerima dirinya.

3. Untuk Masyarakat

Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat lebih peduli terhadap penyandang tunadaksa dengan tidak mendiskriminasi mereka dalam lingkup interaksi sosial.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraaeni, R.R. 2008, Resiliensi pada penyandang iuna daksa pasca kecelakaan, Universitas Gunadarma.

Agustiani, H. 2006. Psikologi perkembangan: Pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT Refika Aditama.

Ayu remaja berkebutuhan khusus dalam mimpi-mimpinya. (Online). Diakses pada tanggal 8 Juni 2012. http://muda.kompasiana.com/2012/03/21/ayu-remaja-berkebutuhan-khusus-dalam-mimpi-mimpinya/

Cronbach, L.J. 1963. Educational psychology. New York: Haecourt, Brace and World, Inc.

Hawari, D. 1996. Ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa. Jakarta: PT. Dana Bhakti Primayara.

Dariyo, A. 2004. Psikologi perkembangan remaja. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Davey, J. & Kenny, M. 1997. Adolescent development (2nd ed). Dubuque, USA: Brown & Benchmark.

DSM-IV-TR (2000) edisi empat revisi.

Expose Data Penyandang Cacat Berdasarkan Klasifikasi ICF Tahun 2009. (Online). Diakses pada tanggal 8 Juni 2012.


(4)

129

Germer, C.K. 2009. The mindful path to self-compassion. USA: The Guilford Press.

Hallahan, D.P & Kauffman, J.M. 1988. Exceptional children: An introduction to special education (5th ed). New Jersey: Prentice – Hall

Heward, W.L. 1996. Exceptional children: An introduction to special education (5th ed). New Jersey: Prentice – Hall Inc.

Hurlock, E.B. 1974. Personality development. New Delhi: McGraw-Hill.

Hurlock, E.B. 1993. Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Jayanti, A.F. Self-disclosure pada remaja yang mengalami ketunadaksaan karena kecelakaan. Universitas Gunadarma.

Johnson, D.W. 1993. Reaching out: Interpersonal effectiveness and self actualization (5th ed). USA: Allyn and Bacon.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Online). http://kamusbahasaindonesia.org

Kartono, K. 1986. Patologi sosial 2: Kenakalan remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Machdan, D.M. & Hartini, N. 2012. Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada tunadaksa di UPT rehabilitasi sosial cacat tubuh pasuruan. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga: Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental: Vol.1, No.02, Juni, 2012.


(5)

Mönks, F.J. & Knoers, A.M.P. 1999. Psikologi perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya (terjemahan oleh Siti Rahayu Haditono). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Papalia, D.E., Olds, S.W. & Feldman, R.D. 2007. Human development (10th ed).

The McGraw Hill Companies : New York.

Patty, W.L. & Johnson, L.S.. 1953. Personality and adjustment. Los Angeles: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Santrock, J.W. 2003. Adolescence perkembangan remaja (edisi keenam). Jakarta: Erlangga.

Siaran pers kapolri pada acara konferensi pers akhir tahun. 2010. (Online). Diakses pada tanggal 7 Juni 2012. www.polri.go.id/banner/berita/29

Somantri, S. 2006. Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT Refika Aditama.

Sulistyaningsih, W. 2009. Mengatasi trauma psikologis: Upaya memulihkan trauma akibat konflik dan kekerasan. Yogyakarta: Paradigma Indonesia.

Suranti. 2008. Konsep diri dan religiusitas pada tuna daksa sebab lecelakaan, Fakultas Psikologi-Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tentama, F. 2010. Berpikir positif dan penerimaan diri pada remaja penyandang cacat tubuh akibat kecelakaan. Humanitas, Vol. VII No.1, Yogyakarta.


(6)

131

Waktu awan gelap berlalu. (Online). Diakses pada tanggal 11 Oktober 2012. http://www.kisahnyatakristen.com/Waktu-Awan-Gelap-Berlalu,/15/08/2012

Wrastari, A.T. 2003. Pengaruh pemberian pelatihan neuro linguistic programming (NLP) terhadap peningkatan penerimaan diri penyandang cacat tubuh pada remaja penyandang cacat tubuh di pusat rehabilitasi panti sosial bina daksa “suryatama” bangil pasuruan. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.