BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah
Kebutuhan akan informasi bisnis yang akurat menjadi salah satu kebutuhan utama bagi para pelaku bisnis. Hal ini tak dapat dipungkiri karena informasi ini
nantinya akan mempengaruhi berbagai pihak dalam membuat keputusan bisnis. Adapun pihak-pihak yang akan menggunakan informasi ini antara lain pemegang
saham, kreditor, pemerintah dan juga pihak-pihak lain yang berkepentingan. Salah satu informasi bisnis utama yang paling sering digunakan adalah laporan
keuangan. Laporan keuangan suatu perusahaan adalah jendela dari suatu perusahaan yang selalu terbuka bagi pihak eksternal. Laporan keuangan ini
merupakan suatu bentuk informasi yang menyajikan kenyataan material dari kondisi perusahaan.
Salah satu asumsi yang dipakai dalam menyusun laporan keuangan adalah asumsi going concern. Asumsi ini mengharuskan entitas bisnis secara operasional
memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya atau going concern. Hal ini adalah salah satu syarat laporan keuangan yang disusun
menggunakan dasar akrual. Going concern dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal entitas bisnis
bersangkutan. Faktor eksternal adalah faktor di luar entitas itu sendiri seperti pasar, kondisi ekonomi makro, sosial politik dan lain-lain. Faktor internal adalah
faktor yang ada di dalam perusahaan itu sendiri, seperti keuangan, sumber daya manusia, teknologi dan lain-lain. Faktor eksternal yang mempengaruhi going
concern suatu entitas dapat dilihat pada kasus krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi ditandai dengan
depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS sehingga menimbulkan keraguan atas kemampuan setiap entitas bisnis dalam menyelesaikan hutang luar negerinya dan
pada akhirnya akan mengganggu kelangsungan hidup entitas-entitas bisnis tersebut.
Isu going concern akan berdampak pada opini yang diberikan oleh akuntan publik auditor terhadap suatu laporan keuangan. Auditor bertanggung jawab
untuk mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode waktu
pantas, tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit IAI, 2001: SA Seksi 341 paragraf 02.
Fenomena yang terjadi beberapa tahun belakangan yaitu meningkatnya tuntutan hukum terhadap kantor akuntan. Di Indonesia, beberapa perusahaan besar
diantaranya Bank Lippo mendapat opini audit wajar tanpa pengecualian pada tahun 2002 namun gagal pada tahun 2003. Kimia Farma dahulunya mendapat
opini audit yang tinggi, namun terjerat kasus hukum akibat praktik manipulasi akuntansi. Weiss 2002 menemukan bahwa dari 228 perusahaan publik yang
mengalami kebangkrutan, Enron dan 95 perusahaan lainnya menerima opini wajar tanpa pengecualian pada tahun sebelum terjadinya kebangkrutan. Fabozzi 2000
menyatakan Baldwin United, Penn Square Bank, Continental Illinois juga mendapat opini wajar tanpa pengecualian namun gagal pada tahun berikutnya.
Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan mengapa perusahaan yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian tiba-tiba berhenti beroperasi.
Pemberian status going concern bukanlah perkara yang mudah. Banyak auditor mengalami dilema antara moral dan etika dalam memberikan opini going
concern yang disebabkan self fulfilling prophecy. Self fulfilling prophecy merupakan keyakinan akan terjadinya suatu peristiwa yang sama di masa depan
akibat dari kejadian yang sama di masa lalu, hal ini membuat auditor bertindak sesuai keyakinannya untuk mewujudkan keyakinan tersebut Venuti, 2007.
Adanya self fulfilling prophecy membuat auditor mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian yang seharusnya auditor meragukan kemampuan suatu entitas untuk
melanjutkan kelangsungan hidupnya Venuti, 2007. Auditor enggan untuk memberikan opini going concern disebabkan oleh self fulfilling prophecy yang
menyatakan apabila auditor memberikan opini going concern, akan mempercepat kebangkrutan suatu perusahaan karena banyak investor membatalkan investasinya
atau kreditor yang menarik dananya Venuti, 2007. Hal ini dapat dilihat pada masa krisis yang terjadi sekitar tahun 1997 dimana perusahaan-perusahaan yang
menerima opini going concern akhirnya berhenti beroperasi, meskipun demikian auditor harus tetap mengungkapkan masalah going concern dengan harapan dapat
segera mengupayakan penyelamatan perusahaan yang bermasalah. Going concern merupakan salah satu bagian dari opini audit wajar dengan
bahasa penjelasan. Going concern adalah kelangsungan hidup suatu badan usaha, dengan adanya going concern maka badan usaha dianggap mampu untuk
mempertahankan kelangsungan usahanya dalam jangka panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam jangka pendek Tamba, 2009.
Ada banyak faktor yang dapat menjadi pertimbangan auditor dalam memberikan opini audit going concern, diantaranya adalah tren negatif, masalah
internal, masalah eksternal dan masalah keuangan lain SA Seksi 341 paragraf 06. Faktor-faktor ini menyangkut mengenai laporan keuangan perusahaan,
kerugian operasi yang berulang kali terjadi, arus kas negatif, kegagalan dalam memenuhi kewajiban hutang, serta kehilangan pelanggan atau pemasok utama.
Faktor pertama yang dapat mempengaruhi pemberian opini going concern adalah pertumbuhan perusahaan. Pertumbuhan perusahaan mengindikasikan
kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Pertumbuhan perusahaan diproksikan dengan pertumbuhan penjualan. Penjualan
yang meningkat menunjukkan aktivitas operasional perusahaan berjalan seperti yang telah direncanakan. Dengan demikian, penjualan yang meningkat akan
memberikan peluang kepada perusahaan dalam meningkatkan laba dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi pemberian opini going concern adalah debt default. Keadaan default dapat dilihat dari tidak dipenuhinya syarat-
syarat perjanjian hutang atau tidak melakukan pembayaran sesuai jadwal hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki masalah dengan keuangan. Sejak
pemakai laporan audit cenderung mempersalahkan auditor yang dianggap gagal mengeluarkan opini going concern setelah peristiwa-peristiwa yang menyarankan
bahwa opini harusnya telah sesuai, biaya kegagalan untuk mengeluarkan opini
going concern ketika perusahaan dalam keadaan default tinggi sekali, untuk itu diharapkan status default dapat meningkatkan kemungkinan auditor mengeluarkan
opini going concern. Faktor ketiga yang mempengaruhi pemberian opini going concern adalah
audit report lag. Audit report lag adalah jumlah hari antara akhir periode akuntansi sampai dikeluarkannya laporan audit. Utami 2006 menyatakan bahwa
perusahaan yang menerima opini going concern membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan perusahaan yang menerima opini wajar tanpa pengecualian
unqualified opinion. Lennox 2002, Januarti dan Fitrianasari 2008 menemukan adanya hubungan positif antara audit report lag yang panjang dengan
opini audit going concern. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Sinaga 2009 yang meneliti
mengenai penerimaan opini going concern menggunakan pertumbuhan perusahaan sebagai variabel independennya. Hasilnya adalah pertumbuhan
perusahaan tidak berpengaruh terhadap opini going concern. Hasil tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Solikah 2007 yang menyatakan
bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini going concern.
Selain itu Januarti dan Fitrianasari 2008 meneliti pengaruh audit report lag terhadap opini going concern hasilnya adalah audit report lag berpengaruh
signifikan terhadap opini going concern. Hasil penelitian ini tidak didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Sinaga 2009 yang menyatakan bahwa audit
report lag tidak berpengaruh terhadap opini going concern.
Ramadhany 2004 meneliti bagaimana pengaruh debt default terhadap penerimaan opini going concern dimana hasilnya menunjukkan bahwa debt
default berpengaruh positif signifikan terhadap opini going concern. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Praptitorini dan Januarti 2007
serta Tamba 2009. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam
penelitian ini peneliti menambahkan variabel kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional dapat digunakan untuk mengendalikan agar tujuan
perusahaan tercapai. Kepemilikan institusional diharapkan dapat meningkatkan keefektifan pengawasan oleh pihak institusi yang menanamkan dananya pada
perusahaan Ismiyanthi, 2007. Semakin besar kepemilikan institusional diharapkan akan ada monitoring keputusan manajemen sehingga mengurangi
potensi kebangkrutan. Pencegahan dalam kebangkrutan akan berdampak pada tidak diterimanya opini audit going concern.
Opini audit yang diberikan oleh auditor menjadi penting untuk bahan pertimbangan karena kesalahan didalam memberikan opini akan sangat fatal
akibatnya. Banyak perusahaan besar yang melakukan berbagai kasus manipulasi sehingga mendapat citra yang baik dalam pandangan investor dan kreditor namun
akhirnya bangkrut. Hal ini menjadi tantangan bagi auditor sebagai pihak independen yang profesional dalam pelaksanaan proses auditnya terutama dalam
pemberian opini audit going concern. Pada kenyataannya, masalah going concern merupakan hal yang kompleks
dan terus ada, sehingga auditor perlu berhati-hati dalam pemberian status going
concern karena hal ini dapat mempengaruhi pengampilan keputusan oleh pihak- pihak berkepentingan. Faktor-faktor sebagai tolok ukur yang pasti untuk
menentukan status going concern pada perusahaan juga perlu diuji kekonsistenannya agar dalam keadaan ekonomi yang fluktuatif status going
concern tetap dapat diprediksi. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh
pertumbuhan perusahaan, kepemilikan institusional, debt default dan audit report lag terhadap opini going concern pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia.
B. Perumusan Masalah