Prognosis Pasien Infark Miokardial Akut (IMA) Dengan Atau Tanpa Distorsi Terminal Kompleks QRS Yang mendapatkan Terapi Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPp)

(1)

Kepada Yth :

Dibacakan pada : Rabu, 18 September 2013

PROGNOSIS PASIEN INFARK MIOKARDIAL AKUT

DENGAN ATAU TANPA DISTORSI TERMINAL

KOMPLEK QRS YANG MENDAPAT TERAPI

INTERVENSI KORONER PERKUTAN PRIMER (IKPp)

TESIS

Oleh :

Evi Supriadi S.

NIM : 097115014

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN

2013


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Tesis : Prognosis Pasien Infark Miokardial Akut (IMA) Dengan Atau Tanpa Distorsi Terminal Kompleks QRS Yang mendapatkan Terapi Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPp)

Nama Mahasiswa : Evi Supriadi S.

Nomor Regristrasi : 097115004

Program Studi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Sutomo K., Sp.PD,Sp.JP(K)

NIP. 194604301973021001 NIP. 196203211988021002

Dr. Nizam Akbar, Sp.JP(K)

Mengetahui / Mengesahkan

Ketua Program Studi/ Ketua Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Jantung SMF Ilmu Penyakit Jantung

FK-USU / RSUP HAM Medan FK-USU/RSUP HAM Medan

Dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K) Prof. Dr. A. Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K)


(3)

PERNYATAAN

PROGNOSIS PASIEN INFARK MIOKARDIAL AKUT

DENGAN ATAU TANPA DISTORSI TERMINAL

KOMPLEK QRS YANG MENDAPAT TERAPI

INTERVENSI KORONER PERKUTAN PRIMER (IKPp)

TESIS

Dengan ini saya menyatakanbahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dlam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah, SWT atas segala berkat yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Prof.Dr.Abdullah Afif Siregar, SPJP(K), SpA(K), selaku Ketua Departemen

Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan di saat penulis melakukan penelitian yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Zulfikri M, Sp. JP (K) selaku Ketua Program Studi PPDS Ilmu Penyakit

Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara penelitian yang telah memberi kesempatan dan bimbingan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

4. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp. PD, SpJP(K) serta Dr.Nizam Akbar, SpJP(K)

selaku pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing, mengoreksi, dan memberikan


(5)

masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

5. Guru-guru penulis : Prof.Dr.T.Bahri Anwar, SpJP(K); Prof.Dr.Sutomo

Kasiman, SpPD, SpJP(K); Prof.Dr.Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K); Prof.Dr.Harris Hasan, SpPD, SpJP(K); Dr.Maruli T Simanjuntak SpJP(K); Dr.Nora C Hutajulu SpJP(K); Dr.Zulfikri Mukhtar SpJP(K); Dr.Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP(K); Dr.P.Manik, SpJP(K); Dr.Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); Dr.Amran Lubis, SpJP(K); Dr.Nizam Akbar, SpJP(K); Dr.Zainal Safri, SpPD, SpJP; Dr.Andre Ketaren, SpJP(K); Dr.Andika Sitepu SpJP(K); Dr.Anggia Chairudin Lubis SpJP; Dr.Ali Nafiah Nasution, SpJP; Dr.Cut Aryfa Andra, SpJP, serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh darah

6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah

memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

7. Dr. Taufiq Azhar, MKM, selaku pembimbing statistik yang telah membantu

membimbing penulis dalam pembuatan tesis ini.

8. Rekan-rekan sejawat anggota Kelakar Medan, terutama kepada teman

seangkatan penulis dr. Halim, dr.Artha, dan dr.Andi. Kepada sahabat penulis dr. Zulfahmi dan dr. Blessdova yang telah banyak memberikan dukungan moril dan bantuan tenaga selama penulis menjalani pendidikan PPDS.

9. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Syaiful yang telah banyak

membantu dalam pengerjaan tesis dan dr. Hasinah yang telah membantu dalam pengumpulan literatur.

10.Para perawat CVCU dan RIC yang telah membantu terselenggaranya

penelitian ini, terutama dalam hal pemberian obat yang diteliti secara cepat dan tepat baik dalam hal dosis, cara maupun jaminan dan kepastian pemberian obat.


(6)

11.Kedua orang tua penulis, (alm.) W. Sukardi dan Hj. Roslaina, yang selama ini telah memberikan dukungan moril dan materi serta doa dan nasihat yang tulus agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

12.Kedua Bapak dan Ibu mertua penulis, (alm.) H. Nasrun dan Hj. Husna, yang

selama ini telah memberikan dukungan moril dan materi serta doa dan nasihat yang tulus agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

13.Kepada saudara kandung penulis, Amlisnadi, Drs. Haryanto, MM; Junaidi,

SH; Armaini, dan Sutrisno; serta seluruh kakak ipar dan keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan doa, moril dan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan

14.Kepada istri tercinta, dr. Suci Ananda serta anak penulis, Atiqa Fairuz

Khalisah Supriadi yang telah memberikan dukungan semangat, moril dan materi sepenuhnya, perhatian, pengertian, toleransi yang besar serta kasih sayang yang tak berkesudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dan pendidikan yang ditempuh.

Semoga Allah, SWT Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi Kita semua. Amin

Medan, September 2013


(7)

ABSTRAK

Elektrokardiografi (EKG) merupakan alat diagnostik yang digunakan pada pasien infark miokard akut (IMA) yang dapat memberikan prediksi tentang anatomi arteri koroner yang mengalami infark dan terapi reperfusi yang akan diberikan. EKG pada pasien IMA dengan ST elevasi (IMA STE) dapat memberikan gambaran distorsi (+) dan (-) pada kompleks QRS. Distorsi terminal kompleks QRS merupakan emergence

J point ≥ 50% dari gelombang R pada sadapan qR (I, II, III, aVF, aVL, V4-V6) atau

tidak terbentuknya gelombang S pada sadapan Rs (V1-V3). Penelitian ini bersifat kohort retrospektif pada pasien IMA dengan ST elevasi yang mendapat terapi Intervensi Koroner Perkutan primer (IKPp) periode Juni 2010 sampai dengan Mei 2013 yang dirawat di Rumah Sakit Haji Adam Malik dan Rumah Sakit Columbia Asia Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dengan distorsi QRS atau tanpa distorsi dengan jumlah masing-masing 30 pasien. Angka kejadian aritmia pada pasien dengan distorsi terminal kompleks QRS bermakna secara statistik (p= 0,032). Hubungan yang signifikan juga ditunjukkan oleh pembuluh darah infark di arteri koroner anterior desending terhadap aritmia (p= 0.014). Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi

logistik berganda (multiple logistitic regression) ditemukan pasien dengan distorsi

QRS akan berpeluang mengalami aritmia tiga kali jika dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami distorsi QRS. Didapat tiga pasien meninggal selama rawatan di RS pada kelompok dengan distorsi QRS. Sebagai kesimpulan pasien dengan distorsi EKG akan berpeluang mengalami kejadian aritmia tiga kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa distorsi dan tiga pasien meninggal selama rawatan di RS pada kelompok dengan distorsi.


(8)

ABSTRACT

The ECG of patients with Acute Myocardial Infarction ST Elevation (AMI STE) can predict size of infarction and response to reperfusion therapy. The ECG with distortion of QRS means emergency of J point ≥ 50% of R wave in leads with Qr configuration (I, II, III, aVF, aVL, V4-V6), or disappearance of the S wave in leads with Rs configuration (V1-V3). This study is a retrospective cohort of patients with AMI STE treated by primary percutanous coronary intervention pPCI at Adam Malik general hospital and Colombia Asia hospital during June 2010 – May 2013, that fulfill inclusion and exsclusion criteria. The subjects were divided into two groups, with distortion QRS and without distortion QRS. Each group consist of 30 patients. The correlation between the two group were analyzed by chi-square test, Fischer Exact, Mann Whitney u test and logistic regression. The result showed that baseline characteristics were similar between the two groups. There were increasing arrhythmia events in patients with distortion QRS (p = 0.032). Significant correlation showed the culprit lession of left anterior coronary artery (p = 0.014). Multivariate analysis identified that patient with the QRS distortion has three times greater to have arrhythmia events. There were three patients with distortion QRS died during hospitalization. In conclusion patient with the QRS distortion is three times greater to have arrhythmia events and three patients died during hospitalization.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Lembar Pernyataan Orisinalitas ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Daftar Isi ... viii

Daftar Singkatan ... x

Daftar Lambang ... xii

Daftar Gambar ... xiii

Daftar Tabel ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Elektrokardiografi (EKG) pada Infark Miokard Akut (IMA) ... 5

2.1.1 Peranan EKG pada IMA ... 5

2.2 Patofisiologi elevasi segmen ST ... 7

2.2.1 Perubahan arus listrik pada fase diastolik ... 7

2.2.2 Perubahan arus listrik pada fase sistolik ... 8

2.2.3 Elevasi pada segmen ST ... 9

2.3 Distorsi terminal kompleks QRS pada IMA ... 10

2.4 Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPp) ... 12

2.5 Kerangka Teori ... 15

2.6 Kerangka Konsep ... 16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 17

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.3 Subjek Penelitian ... 17


(10)

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 18

3.6 Definisi Operasional ... 18

3.7 Identifikasi Variabel ... 21

3.8 Alur Penelitian ... 22

3.9 Analisa Data ... 23

3.10 Etika Penelitian ... 23

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik subjek penelitian ... 24

4.2 Hubungan Antara Distorsi QRS dan aritmia...26

4.3 Hubungan Antara Distorsi QRS dan jenis aritmia ... .27

4.4 Hubungan aritmia mayor dengan onset dan waktu simtom-reperfusi ... 27

4.5 Hubungan Antara Distorsi QRS dan mortalitas ... 28

4.6 Analisis Multivariat distorsi QRS dan pdi/IRA LAD...28

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ...30

5.2 Distorsi Terminal Kompleks QRS dan Terapi IKPp...31

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 35

6.2 Saran ... 35

6.3 Keterbatasan Penelitian ... 35

Daftar Pustaka ... 37

Lampiran

1. Persetujuan Komite Etik

2. Riwayat Hidup Peneliti

3. Formulir Penelitian

4. EKG pasien dengan distorsi QRS (+)


(11)

DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN Nama

ACS : Acute Coronary Syndrome

ADP : Adenosine Diphosphate

AHA : American Heart Association

ATP III : Adult Treatment Panel III

BMS : Bare metal stent

CABG : Coronary Artery Bypass Graft

CKMB : Creatinine Kinase Myocardial Band

CTR : Cardio Thorax Rasio

DES : Drug elucting stent

ESC : European Society Cardiology

GP : Glicoprotein

GUSTO : Global Utilization of Streptokinase and Tissue Plasminogen

Activator for Occluded Coronary Arteries

HDL : High Density Lipoprotein

IGD : Instalasi gawat darurat

IKPp : Intervensi Koroner Perkutaneus Primer

IMA : Infark Miokard Akut

IMA STE : Infark Miokard Akut ST Elevasi


(12)

LAD : Left artery decsending

LCx : Left circumflex

LDL : Low Density Lipoprotein

LBBB : Left Bundle Branch Block

LMWH : Low Moleculer Weight Heparin

NCEP-ATP : National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel

PDI : Pembuluh darah infark

RCA : Right coronary artery

RS HAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik

RR : Relative Risk

SKA : Sindroma Koroner Akut

SPSS : Statistical Package for the Social Sciences

STE AMI : ST elevation Acute Myocardial Infarction

TIMI : Thrombolysis in Myocardial Infarction


(13)

DAFTAR LAMBANG

n : Besar sampel

p : Tingkat kemaknaan

α : alpha

β : beta

< : lebih kecil

> : lebih besar

≤ : lebih kecil sama dengan

≥ : lebih besar sama dengans

Zα : deviat baku alpha (Zα = 1,96)

Zβ : deviat baku beta (Z β = 0,84)

P1 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya (0,5)

P : proporsi pada kelompok penelitian yang nilainya merupakan judgment penelitian (0,85)

P : proporsi total = (P1+P2)/2

Q : 1-P

Q1 : 1-Q1

Q2 : 1-Q2


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1 Distribusi persentasi waktu pasien meninggal akibat IMA ... ..5

2 EKG pasien STEMI tanpa distorsi QRS dan distorsi...12

3 STEMI anterior tanpa distorsi QRS dan dengan distorsi QRS...19

4 STEMI inferior tanpa distorsi QRS dan dengan distorsi QRS...20


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6

4.7 4.8

Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ... Hasil Laboratorium ... Hasil Angiografi ... Hubungan antara distorsi QRS terhadap aritmia ... Hubungan Jenis Aritmia dengan distorsi ... Hubungan aritmia mayor dengan onset dan waktu simtom-reperfusi ... Hubungan distorsi QRS terhadap Mortilitas ... Analisa Multivariat distorsi QRS dan pdi/IRA LAD terhadap aritmia ...

24 25 26 27 27

28 28


(16)

ABSTRAK

Elektrokardiografi (EKG) merupakan alat diagnostik yang digunakan pada pasien infark miokard akut (IMA) yang dapat memberikan prediksi tentang anatomi arteri koroner yang mengalami infark dan terapi reperfusi yang akan diberikan. EKG pada pasien IMA dengan ST elevasi (IMA STE) dapat memberikan gambaran distorsi (+) dan (-) pada kompleks QRS. Distorsi terminal kompleks QRS merupakan emergence

J point ≥ 50% dari gelombang R pada sadapan qR (I, II, III, aVF, aVL, V4-V6) atau

tidak terbentuknya gelombang S pada sadapan Rs (V1-V3). Penelitian ini bersifat kohort retrospektif pada pasien IMA dengan ST elevasi yang mendapat terapi Intervensi Koroner Perkutan primer (IKPp) periode Juni 2010 sampai dengan Mei 2013 yang dirawat di Rumah Sakit Haji Adam Malik dan Rumah Sakit Columbia Asia Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dengan distorsi QRS atau tanpa distorsi dengan jumlah masing-masing 30 pasien. Angka kejadian aritmia pada pasien dengan distorsi terminal kompleks QRS bermakna secara statistik (p= 0,032). Hubungan yang signifikan juga ditunjukkan oleh pembuluh darah infark di arteri koroner anterior desending terhadap aritmia (p= 0.014). Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi

logistik berganda (multiple logistitic regression) ditemukan pasien dengan distorsi

QRS akan berpeluang mengalami aritmia tiga kali jika dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami distorsi QRS. Didapat tiga pasien meninggal selama rawatan di RS pada kelompok dengan distorsi QRS. Sebagai kesimpulan pasien dengan distorsi EKG akan berpeluang mengalami kejadian aritmia tiga kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa distorsi dan tiga pasien meninggal selama rawatan di RS pada kelompok dengan distorsi.


(17)

ABSTRACT

The ECG of patients with Acute Myocardial Infarction ST Elevation (AMI STE) can predict size of infarction and response to reperfusion therapy. The ECG with distortion of QRS means emergency of J point ≥ 50% of R wave in leads with Qr configuration (I, II, III, aVF, aVL, V4-V6), or disappearance of the S wave in leads with Rs configuration (V1-V3). This study is a retrospective cohort of patients with AMI STE treated by primary percutanous coronary intervention pPCI at Adam Malik general hospital and Colombia Asia hospital during June 2010 – May 2013, that fulfill inclusion and exsclusion criteria. The subjects were divided into two groups, with distortion QRS and without distortion QRS. Each group consist of 30 patients. The correlation between the two group were analyzed by chi-square test, Fischer Exact, Mann Whitney u test and logistic regression. The result showed that baseline characteristics were similar between the two groups. There were increasing arrhythmia events in patients with distortion QRS (p = 0.032). Significant correlation showed the culprit lession of left anterior coronary artery (p = 0.014). Multivariate analysis identified that patient with the QRS distortion has three times greater to have arrhythmia events. There were three patients with distortion QRS died during hospitalization. In conclusion patient with the QRS distortion is three times greater to have arrhythmia events and three patients died during hospitalization.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit jantung koroner (PJK) saat ini merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia (Depkes, 2006). Penyakit ini menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik yang semakin tersebar merata. Menurut WHO pada tahun 2004, di negara yang sedang berkembang PJK merupakan penyebab kematian nomor dua setelah stroke atau penyakit serebrovaskular lainnya dengan angka kematian 3,40 juta jiwa per tahun, sedangkan di negara maju merupakan penyebab kematian utama dengan angka kematian 1,33 juta jiwa per tahun dan secara keseluruhan di dunia PJK merupakan penyebab utama kematian dengan angka kematian 7,20 juta jiwa per

tahun (12.2%).Di Indonesia, menurut hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan PJK

menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi (Depkes RI, 2008). Data di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita pada tahun 2004 didapatkan kunjungan pasien ke instalasi gawat darurat (IGD) sebanyak 695 orang dimana sindroma koroner akut didapat 120 orang (Masrul dkk, 2005).

Keputusan akan dilakukannya terapi reperfusi atau tidak pada pasien yang diduga menderita infark miokardial akut di instalasi gawat darurat rumah sakit harus diambil sesegera mungkin (Savanito dkk, 1995; Birnbaum dkk, 2001). Pada saat keputusan tersebut ditegakkan, alat bantu pertama yang dapat digunakan adalah elektrokardiografi. Hal ini menyebabkan pemeriksaan elektrokardiografi menjadi alat bantu yang sangat berperan dalam memutuskan terapi reperfusi dini pada pasien Sindroma koroner akut dibagi atas angina pektoris tidak stabil, infark miokardial tanpa ada elevasi segmen ST/NSTEMI dan infark miokardial dengan elevasi segmen ST/STEMI (Anderson dkk, 2007; Antman dkk, 2007).


(19)

infark miokardial dengan elevasi segmen ST /STEMI (Birnbaum dkk, 1996; Lee dkk, 2001; Hamoda dkk, 2003).

Penelitian yang menghubungkan gambaran elektrokardiografi awal pada pasien infark miokardial akut telah banyak dilakukan. Birnbaum dkk (1996) telah melakukan penelitian tentang korelasi tentang gambaran elektrokardiografi awal dan luas infark atau prognosisnya dengan melihat deviasi ST atau jumlah sadapan dengan elevasi ST. Pada GISSI trial yang dilakukan oleh Mauri dkk, didapatkan bahwa mortalitas pada pasien dengan infark miokardial akut meningkat 5% pada pasien dengan elevasi ST 2-3 sadapan menjadi 23,8% pada pasien dengan elevasi ST pada 8-9 sadapan. Birnbaum dkk menemukan bahwa jumlah sadapan ST-elevasi mempunyai korelasi dengan mortalitas di rumah sakit, dimana korelasinya bukan pada distorsi terminal kompleks QRS tetapi pada luasnya infark. Usia, jenis kelamin, dan fungsional Killip juga mempunyai korelasi yang bermakna terhadap kejadian mortalitas di rumah sakit (Birnbaum dkk, 1996; Birnbaum dkk, 2003).

Tindakan intervensi koroner perkutan primer (IKPp) pada pasien infark miokardial akut telah menunjukkan pengurangan ukuran infark dan memperbaiki prognosis pasien (Ziljstra dkk, 1999; Lee dkk, 2001). Ziljstra dkk (1997) juga menemukan bahwa pada pasien resiko rendah, prognosis jangka menengah pada pasien yang dilakukan IKPp lebih baik dibanding dengan pasien yang dilakukan terapi reperfusi dengan trombolitik. Akan tetapi, pada sebagian pasien gagal menunjukan hasil yang baik setelah tindakan IKPp dan mengacu pada pasien dengan resiko tinggi dan morfologi kompleks yang berbeda yaitu distorsi kompleks QRS. Hal ini menyebabkan identifikasi dini pasien infark miokard akut dengan distorsi terminal QRS menjadi sangat penting, sehingga dapat memberikan keuntungan yang lebih baik jika dilakukan tindakan IKPp. Distorsi terminal kompleks QRS saat masuk rumah sakit telah dilaporkan menjadi gambaran iskemik otot miokardial dan dihubungkan dengan prognostik yang lebih buruk pada pasien infak miokardial akut yang dilakukan terapi reperfusi (Lee dkk, 2001). Akan tetapi, penyebab determinan dan prognostik yang signifikan dari distorsi terminal komples QRS pada situasi ini belum diketahui pasti. Adanya aliran kolateral dianggap sangat berhubungan dengan


(20)

beratnya iskemik otot miokard selama terjadinya infark miokardial akut (Lee dkk, 2001; Birnbaum dkk, 2003).

Terdapat beberapa penelitian yang menunjukan buruknya prognosis pasien infark miokardial akut dengan distorsi terminal kompleks QRS saat masuk rumah sakit (Birnbaum, 2001; Lee dkk 2001). Masrul (2005) pada penelitian tentang prognosis jangka panjang pasien infark miokardial anterior dengan atau tanpa distorsi terminal kompleks QRS yang mendapat terapi reperfusi trombolitik menunjukan bahwa pasien dengan distorsi terminal QRS mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding tanpa distorsi. Pasien infark miokardial akut inferior dengan distorsi terminal kompleks QRS memiliki risiko tiga kali lipat untuk kejadian koroner akut berulang dibanding dengan tanpa distorsi (Kasim dkk, 2007). Sucu dkk (2004) menemukan bahwa pada pasien dengan distorsi kompleks QRS yang dilakukan dobutamin stress echo dosis rendah mempunyai segmen akinetik dan diskinetik yang lebih besar dibanding kelompok yang tanpa distorsi.

Penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk (2001) menemukan bahwa distorsi terminal kompleks QRS pada pasien infark miokardial akut saat masuk rumah sakit berhubungan erat dengan prognosis yang lebih buruk setelah dilakukan IKPp. Penelitian ini melibatkan 153 pasien infark miokardial akut yang dilakukan IKPp dan dibagi menjadi dua grup yaitu dengan distorsi QRS dan tidak. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada pasien yang meninggal setelah ditindak lanjut selama enam minggu dan pada kedua grup tidak menunjukkan perbedaan pada angka kejadian aritmia dan re-infark. Akan tetapi pasien dengan distorsi QRS memiliki kejadian gagal jantung yang lebih tinggi dibanding tanpa distorsi. Adanya aliran kolateral dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh besar pada terbentuk tidaknya distorsi terminal kompleks QRS pada pasien infark miokardial akut.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis bahwa distorsi terminal kompleks QRS saat masuk rumah sakit berhubungan dengan prognostik jangka pendek yang lebih buruk pada pasien dengan infark miokardial akut yang dilakukan IKPp.


(21)

1.2. Pertanyaan penelitian

Apakah adanya distorsi terminal kompleks QRS pada pasien infark miokardial akut yang mendapat terapi IKPp mempunyai prognosis jangka pendek yang lebih buruk dibandingkan dengan tanpa distorsi terminal kompleks QRS?

1.3. Hipotesa

Pasien dengan distorsi terminal kompleks QRS pada infark miokardial akut yang mendapat terapi IKPp mempunyai prognosis jangka pendek yang lebih buruk dibandingkan dengan tanpa distorsi terminal kompleks QRS.

1.4. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui apakah ada korelasi antara distorsi terminal kompleks QRS awal dengan prognosis jangka pendek pada pasien infark miokardial akut yang mendapat terapi IKPp.

1.5. Manfaat penelitian

Penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa pasien infark miokardial akut dengan distorsi terminal kompleks QRS mempunyai prognosis jangka pendek yang buruk sehingga terapi yang lebih agresif perlu diberikan sedini mungkin.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Elektrokardiografi (EKG) pada infark miokardial akut (IMA) 2.1.1 Peran EKG pada IMA

Penyakit jantung koroner (PJK) saat ini merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara maju dan negara berkembang (Depkes, 2006). Data gabungan dari Klienman dkk dan GUSTO-I menunjukan angka mortalitas dalam 30 hari pertama rawatan pasien dengan IMA adalah 52% saat sebelum masuk RS, 19% dalam 24 jam rawatan RS, 8% saat 48 jam rawatan RS, dan 21% setelah 30 hari (gambar 1). Secara global, dari 55 juta kematian dalam setahun, 30% disebabkan penyakit kardiovaskular dimana hampir 50% akibat serangan IMA (Yusuf, S et al 2001).

Gambar 1. Distribusi persentasi waktu pasien meninggal akibat IMA (ECC guidelines, 2000)

Identifikasi pasien dengan keluhan nyeri dada akut yang tepat dan cepat merupakan suatu tantangan klinik dalam rangka mendapatkan mamfaat terapi yang optimal yaitu terapi reperfusi. Elektrokardiografi merupakan alat diagnosa pertama yang paling bermamfaat, mudah tersedia dan umum dipakai pada pasien dengan nyeri


(23)

dada akut dalam penegakkan diagnosa IMA (Noris RM, 2000; Sgarbossa dkk, 1996; Katritis GD, 2003). Peranan elektrokardiografi masih sangat penting dalam diagnosis dini dan penatalaksanaan pasien dengan persangkaan IMA, meski telah ada pemeriksaan pencitraan yang lebih mutakhir seperti ekokardiografi, perfusi miokardial, serta biomarker jantung baru troponin I dan T. Elektrokardiografi menjadi alat bantu yang paling mudah, sederhana, tepat dan murah pada evaluasi rutin pada pasien dengan keluhan nyeri dada di unit gawat darurat (Estes dkk, 1999; Chia dkk, 2004; Kadish dkk, 2001).

Secara definisi, elektrokardigrafi merupakan rekaman grafik potensial listrik jantung yang direkam pada permukaan tubuh, yang merupakan perbedaan potensial listrik. Sebagai organ, jantung adalah otot tubuh yang memiliki sifat yang dapat membentuk impuls sendiri dan berkontraksi secara teratur. Impuls listrik terbentuk dalam sistem penghantaran listrik sehingga menimbulkan kontraksi otot jantung. Perekaman elektrokardiografi dilakukan dengan menggunakan elektroda-elektroda yang diletakkan pada beberapa titik di permukaan tubuh, kemudian dihubungkan dengan alat perekam. Hubungan ini akan menyebabkan defleksi ke atas menghasilkan potensial positif dan defleksi ke bawah menghasilkan potensial negatif. Timbulnya perbedaan potensial ini dikarenakan ion-ion masuk melewati membran sel dan menyebabkan perbedaan tegangan sehingga sel miokard teraktivasi (Goldman dkk, 1984; Goldberger, 1984; Hurst, 2001).

Dijumpai empat peristiwa elektrofisiologis yang berperan dalam pembentukan elektrokardiografi yaitu pembentukan impuls pada pacu jantung primer, penghantaran impuls melalui serabut penghantar khusus, pengaktifan (depolarisasi) miokardium, dan repolarisasi (relaksasi) miokardium. Saat awal depolarisasi, terjadi perubahan permiabilitas membran sel yang cepat dengan masuknya ion Na ke dalam sel yang akan mengakibatkan potensial aksi intrasel akan meningkat tajam dari -90 menjadi +20 mV (fase 0). Setelah fase depolarisasi ini, potensial aksi akan melambat secara perlahan ke potensial istirahat (proses repolarisasi), dimana fase 1 adalah proses kembalinya potensial intrasel cepat ke 0 mV akibat penutupan ion Na; fase 2 terjadi akibat masuknya ion Ca secara lambat ke dalam sel (plateu); fase 3 terjadi akibat


(24)

pengembalian potensial intrasel ke potensial istirahat akibat pengeluaran ion K dari sel. Kompleks QRS timbul akibat potensial aksi sel miokardium ventrikel pada fase 0, fase 2 sesuai dengan segmen ST, sedangkan fase 3 sesuai dengan gelombang T (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

Elektrokardiografi merupakan alat bantu diagnosa sederhana dan non invasif yang pemeriksaannya dapat dilakukan di tempat pasien. Untuk jangka waktu yang lama, elektrokardiografi merupakan bagian yang penting dalam penegakkan diagnosis dan pemberian terapi pada pasien dengan nyeri dada. Elektrokardiografi memberikan informasi tentang aspek patofisiologi pada IMA dibandingkan informasi yang diberikan oleh ekokardiografi atau angiografi koroner. Angiografi koroner dapat

menilai anatomi pembuluh darah koroner, sedangkan elektrokardiografi

mencerminkan fisiologi dari miokardium selama proses iskemik akut.

Elektrokardiografi juga mengobservasi pemulihan patensi koroner pada angiografi

koroner dengan bukti EKG yang masih mengalami proses iskemik (on going

ischemic) akibat aliran pada pembuluh darah koroner yang tersumbat (no reflow),

atau kerusakan miokardial yang baru berkembang sebelum reperfusi terjadi (injury

reperfusion). Elektrokardiografi dapat membantu dalam memperkirakan luasnya area iskemik, membedakan iskemik subendokardial atau transmural, dan adanya infark sebelumnya. Adanya elevasi segmen ST pada pasien dengan keluhan nyeri dada yang khas, dikombinasi dengan adanya resiprokal, akan mempunyai nilai prediktif yang tinggi untuk terjadinya suatu IMA (Goldman dkk, 1984; Norris RM, 2000; Hurst, 2001).

2.2 Patofisiologi elevasi segmen ST

2.2.1 Perubahan arus listrik pada fase diastolik

Segmen ST normal adalah isoelektris, dimana selama fase repolarisasi dini membawa potensial membran yang sama dan berhubungan dengan fase plateau dari potensial aksi. Perubahan pada segmen ST akibat iskemik miokardial disebabkan oleh aliran arus listrik yang abnormal antara perbatasan zona normal dan iskemik (Goldman dkk, 1984; Barnhill JE, 1989; Hurst, 2001). Selama fase diastolik, listrik


(25)

otot miokard akan terdepolarisasi sebagian atau komplit yang menyebabkan terbawanya suatu ekstraselulet yang relatif negatif terhadap otot terepolarisasi. Oleh karena itu, selama fase diastolik ini akan terjadi aliran listrik antara miokardial iskemik yang terdepolarisasi sebagian atau lengkap, dan biasanya repolarisasi tidak merusak otot miokard (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

Vektor arus listrik yang mengalami iskemik menjauh dari area iskemik yang relatif lebih negatif dan menuju ke arah potensial aksi positif pada otot miokard normal. Hal ini menyebabkan sadapan dari area yang sangat iskemik akan merekam defleksi negatif selama fase diastol yang meghasilkan depresi segmen TQ (mulai dari akhir gelombang T sampai awal gelombang Q). Segmen TQ yang mengalami depresi ini akan menghasilkan bentuk gelombang yang mengalami elevasi pada segmen ST. Hal ini dikarenakan alat EKG dalam penggunaan klinik memakai arus listrik AC negatif dan bergandengan dengan pengganda (amplifier) yang secara otomatis mengkompensasi terhadap perubahan negatif pada segmen TQ dengan membawa alat pencatat kembali ke garis dasar (isoelektrik). Proses ini akan menyebabkan segmen ST akan naik ke atas dan mengalami elevasi ST (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

2.2.2 Perubahan arus listrik pada fase sistolik

Perubahan arus listrik akibat iskemik akut pada sistolik ini didasari pada asumsi bahwa otot miokardium yang mengalami iskemik merupakan area yang tidak

mampu terdepolarisasi secara penuh selama fase sistolik (electrical systole). Otot

yang membawa muatan positif pada membrannya relatif menyebabkan proses depolarisasi otot secara normal (area non-iskemik). Perbedaan potensi listrik ini akan

menghasilkan aliran arus listrik (systolic current of injury) di antara otot yang tidak

mengalami iskemik dan yang relatif iskemik akan lebih positif, sehingga penempatan elektroda pada area yang iskemik ini akan menghasilkan rekaman arus listrik yang

deflesi positif pada EKG (upward) (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

Percepatan repolarisasi dari miokardial yang mengalami infark secara akut secara relatif merupakan suatu fenomena antara (transient). Waktu repolarisasi iskemik yang relatif lama, secara karakteristik akan meningkat pada daerah infark.


(26)

Proses potensial aksi yang memanjang ini akan terlihat selama fase kronik atau

subakut dari injury otot miokardial, yang berhubungan dengan munculnya gelombang

T terbalik. Proses repolarisasi dini dari sel-sel yang mengalami iskemik secara akut ini akan menyebabkan perbedaan listrik antara sel normal dan infark selama fase

akhir dari electrical systole. Hal ini menyebabkan vektor arus listrik injury akan

diarahkan menuju yang relatif positif, zona iskemik terepolarisasi secara dini pada waktu segmen ST dan gelombang T digores. Perpindahan vektor ST-T ini menuju zona iskemik membantu menerangkan munculnya morfologi elevasi ST yang upsloping dan tinggi, gelombang T hiperakut selama fase paling awal dari infark.

Kontribusi relatif dari arus listrik injury diastolik dan sistolik terhadap elevasi segmen

ST tidak pasti. (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

2.2.3 Elevasi pada segmen ST

Pada keadaan istirahat, sel-sel miokardial mempunyai potensial transmembran sekitar -90 mV, dengan bagian dalam sel relatif negatif dari luar sel. Potensial transmembran istirahat yang negatif ini merupakan akibat langsung dari gradien konsentrasi dari potasium (rasio intraseluler dan ekstraseluler adalah 30 : 1) dan adanya gradien konsentrasi dari sodium (rasio intaseluler dan ekstraseluler adalah 1:10). Proses depolarisasi terjadi akibat konsentrasi potasium ekstraseluler meningkat atau konsentrasi intraseluler sodium meningkat. Hal ini telah diobservasi secara eksperimental dimana perfusi dari otot jantung dengan larutan yang cenderung membran menjadi hipopolarisasi (larutan potasium tinggi atau rendah sodium), mengakibatkan elevasi segmen ST. Sebaliknya kalau perfusi miokardial dengan larutan yang meningkatkan potensial membran istirahat (larutan-larutan hiperpolarisasi) dihubungkan dengan depresi segmen ST (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

Besarnya elevasi segmen ST (amplitudo) yang direkam pada berbagai sadapan elektrokardiografi merupakan fungsi dari dua variabel primer yaitu sudut pandang (solid angle) antara elektoda yang merekam dengan batas dari zona iskemik serta gradien voltase antara regio normal dan infark. Berdasarkan teori ini, hubungan


(27)

geometri antara elektroda yang terekam dan area iskemik adalah determinan mayor

dari derajat elevasi ST. Jika sudut padang (solid angle) yang terbentuk lebih besar

maka akan lebih besar juga amplitudo pada elevasi segmen ST (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

Berdasarkan perbedaan gradient voltase, elevasi segmen ST merupakan hasil

dari pembentukan arus listrik injury oleh gradien voltase antara area iskemik dan

normal selama fase diastolik dan sistolik. Makin besar perbedaan potensial membran ini maka akan lebih besar pula elevasi segmen ST yang terekam pada elektrokardiografi. Oleh karena beberapa faktor yang meningkatkan gradien voltase antara zona normal dan iskemik akan meningkatkan jumlah elevasi ST. Karena kompleksnya determinan tersebut, maka besarnya elevasi absolut segmen ST tidak boleh dipakai sebagai indikator yang dapat dipercaya dari ukuran infark. Elevasi segmen ST yang khas pada fase akut infark miokard dapat disimpulkan sebagai hasil kombinasi efek dari pergeseran TQ primer, yang berkorelasi dengan penurunan primer dari potensial membran istirahat, dan perpindahan positif primer dari segmen ST, sebagai akibat percepatan paradoksal atau repolarisasi dini dari miokardial yang mengalami iskemik akut (Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001).

2.3 Distorsi terminal QRS pada IMA

Elevasi segmen ST merupakan manifestasi dari kerusakan segmental miokardial (Birnbaum dkk, 2003). Pada fase awal terjadinya infark miokard, vektor ST menghadap ke anterior dan kiri, mengakibatkan elevasi segmen ST pada sandapan

I dan prekordial kiri. Daerah yang nekrosis (death zone) dari infark biasanya

dikelilingi oleh area injury epikardial segmental predominan, dimana area injury ini

lebih besar pada epikardium daripada endokardium. Sebagai hasilnya, vektor segmen

ST yang abnormal yang mengarah menuju injury epikardial dihasilkan oleh

miokardial infark (Schweitzer dan Keller, 2001; Thomson, 2003).

Timbulnya gelombang T hiperakut pada kasus IMA akan terekam 30 menit setelah onset dari oklusi arteri koroner dan infark transmural. Ini merupakan fenomena yang singkat dan akan dengan cepat berkembang menjadi elevasi segmen


(28)

ST. Gelombang hiperakut pada IMA dini sering asimetris dengan dasar lebar. Berbeda pada kasus hiperkalemi juga didapatkan gelombang T yang tinggi, tetapi cenderung tinggi, tajam dan lancip. Elevasi segmen ST disebabkan karena arus listrik

dari daerah injury yang dihubugkan dengan celluler compromise dan atau kematian

sel. Pada keadaan adanya disfungsi miosit, terjadinya kebocoran terutama ion negatif dari intaseluler menuju ekstraseluler yang mengubah listrik di dalam membran sel. Akibatnya adalah sel miokardial tidak mampu lebih lama untuk mempertahankan potensial membran istirahat normal selama fase diastol. Perbedaan relatif pada

membran potensial antara daerah injury dan sel normal menghasilkan arus listrik dari

daerah injury yang bermanifestasi sebagai elevasi segmen ST pada elektrokardiogram

(Goldman dkk, 1984; Hurst, 2001; Birnbaum dkk, 2003; Thomson, 2003).

Terjadinya distorsi terminal komplek QRS selama iskemik miokard disebabkan oleh adanya perubahan kecepatan konduksi dari gelombang aktifasi pada serabut purkinye melalui jalan daerah iskemik. Perlambatan konduksi ini meningkatkan amplitudo gelombang R pada sandapan dengan terminal gelombang qR (I, II, III, aVL, aVF, V4-V6) dan menyebabkan hilangnya gelombang S pada sandapan dengan gelombang S terminal. Hilangnya gelombang S pada sandapan dengan konfigurasi rS pada V1-V3 dengan mudah dikenal (Birnbaum dkk, 2003; Sucu dkk, 2004). Sistem purkinye adalah kurang sensitif terhadap iskemik daripada miosit kontraktil jantung. Terhadap perubahan pada bagian terminal komplek QRS, harus ada derajat iskemik yang berat dan berkepanjangan yang akan menimbulkan

kerusakan (injury) pada sistem purkinye. Tingginya kejadian disfungsi miokard yang

berat pada pada pasien dengan distorsi terminal komplek QRS disebabkan karena arteri yang berhubungan dengan infark mungkin mengalami oklusi yang tiba-tiba, yang menghasilkan iskemi berat atau nekrosis dari miokardium yang tidak terproteksi (unprotected). Sedangkan pasien tanpa distrosi, oklusi terjadi secara perlahan atau

dari preexiting coronary narrowing, yang memberikan beberapa proteksi oleh

kolateral atau ischemic preconditioning (Sucu dkk, 2004). Jadi pada pasien dengan

sirkulasi kolateral, tidak perubahan yang terdeteksi pada komplek QRS. Tidak adanya distorsi terminal QRS walaupun lamanya iskemik, mungkin karena adanya proteksi


(29)

miokardial. Proteksi ini karena tetapnya aliran koroner karena oklusi subtotal,

sirkulasi kolateral atau akibat myocardial preconditioning (Birnbaum dkk, 2003;

Sucu dkk, 2004).

Gambar 2. EKG pasien STEMI tanpa distorsi QRS (a dan c) dan distorsi (b dan d)

2.4 Intervensi Koroner Perkutan primer (IKPp)

Terdapat dua terapi utama pada pasien dengan penyakit jantung koroner yaitu obat-obatan (medikamentosa) dan terapi intervensi dengan cara membuka pembuluh darah koroner yang menyempit. Tujuan utama dalam memberi terapi pada pasien adalah untuk menghilangkan gejala seperti angina dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Pada beberapa kasus, terapi intervensi tidak saja menunda atau menghentikan progesifitas penyakit, akan tetapi juga memperpanjang umur harapan hidup (Anderson dkk, 2007; Aroesti JM, 2006).

Tindakan angioplasti pada pembuluh darah koroner pertama kali dilakukan oleh Andreas Gruentzig pada tahun 1977 sebagai suatu tindakan non bedah untuk melakukan revaskularisasi pada arteri koroner. Pada dasarnya, tindakan ini merupakan suatu prosedur mekanis yang menggunakan kateter dengan balon melalui


(30)

pembuluh darah arteri femoralis atau radialis untuk melebarkan pembuluh darah koroner yang mengalami penyempitan, balon kemudian diinflasi untuk melebarkan pembuluh darah. Laporan awal menyebutkan bahwa angioplasti dengan balon dapat mengurangi keparahan stenosis dan menghilangkan gejala angina akibat iskemik otot miokard (King dkk, 2008; Priori dkk, 2005).

Hasil beberapa studi telah mengklarifikasi tindakan angioplasti dalam efektifitas tindakan, komplikasi yang mungkin muncul, dan pemilihan pasien. Teknik yang digunakan juga telah berkembang dengan pesat dan adanya alat baru yang dapat digunakan untuk mengganti balon. Teknik intervensi yang berkembang pesat ini

berhubungan dengan penggunaan stent yaitu bare-metal stent (BMS) dan drug-eluting

stent (DES), yang telah meningkatkan efektifitas dan keamanan tindakan revaskularisasi pada tindakan intervensi koroner (King dkk, 2008; Priori dkk, 2005). Keberhasilan alat ini (stent) menyebabkan terjadinya peningkatan penggunaan teknik intervensi perkutan koroner (IKP) dengan menggunakan stent (lebih dari 70% kasus) dibandingkan dengan hanya dengan angioplasti saja (kurang dari 30% kasus) pada akhir tahun 1990-an. Lebih dari satu juta prosedur intervensi koroner perkutan (IKP) telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat, dan diperkirakan hampir dua juta prosedur telah dilakukan di seluruh dunia setiap tahunnya. Tingkat keberhasilan prosedur IKP telah banyak diteliti dan dibandingkan dengan pilihan terapi infark miokard akut lainnya. Kepuasan hasil prosedur IKP yang berkualitas disebabkan antara lain karena prosedur ini disukai oleh pasien dan prosedur yang dilakukan telah memiliki standar dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dan efek samping yang rendah (King dkk, 2008; Ardissino dkk, 2003; Priori dkk, 2005) .

Terapi reperfusi dini merupakan suatu prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan aliran darah pembuluh darah arteri koroner yang tersumbat oleh trombus dalam waktu < 12 jam sejak awal serangan. Pilihan terapi reperfusi dini tersebut yaitu obat medikamentosa (trombolitik) dan intervensi perkutan koroner primer (IKPp). Beberapa studi menunjukan bahwa angka keberhasilan reperfusi dini

dengan obat trombolitik berkisar 50-60% TIMI (thrombolysis in myocardial


(31)

sakit dada dirasakan maka didapat 50-70% keberhasilan reperfusi (Ramrakha P dkk, 2006). Jika terapi reperfusi dini dilakukan dengan tindakan IKPp angka keberhasilan

ini akan mencapai sebesar 90-95% reperfusi TIMI flow 3 (Widimsky P dkk, 2007;

Ramrakha P dkk, 2006). Tindakan IKPp yang dilakukan < 6 jam dari pertama sakit dada dirasakan dapat menyelamatkan 70-90% sel otot jantung, sedangkan jika dilakukan dalam rentang waktu 6-12 jam dapat menyelamatkan 50-60%. Tindakan IKPp akan memberikan mamfaat yang sangat maksimal jika dilakukan dalam 3 jam pertama keluhan sakit dada dirasakan. Jika prosedur IKPp dilakukan pada rentang waktu > 12 jam setelah serangan sakit dada pertama dirasakan, maka mayoritas sel otot jantung pada area yang tersumbat akan mengalami nekrosis, sehingga manfaat tindakan menjadi sangat kecil (Ramrakha P dkk, 2006).

Tujuan dari tindakan IKPp adalah untuk membuka sumbatan trombus sehingga aliran darah kembali lancar dalam rentang waktu < 12 jam sejak keluhan sakit dada dirasakan (Kalla K dkk, 2006; Cambou JP dkk, 2007; Keeley EC dkk, 2007). Hasil yang diharapkan dari tindakan IKPp pada pasien STEMI < 12 jam adalah didapat rekanalisasi aliran darah arteri koroner epikardial (makrovaskular) dan

reperfusi miokardium (mikrovaskular) pada pembuluh darah infark (culprit vessel).

Prosedur IKPp dikatakan berhasil bila setelah tindakan mencapai TIMI flow 2-3


(32)

2.5 Kerangka Teori (Birnbaum dkk, 2003; Lee dkk, 2001)

Distrosi QRS (+) : EF rend

Plak aterotrombosis koroner

Ruptur Plak

Oklusi tiba-tiba Kolateral (-)

Oklusi secara gradual Kolateral (+)

Gangguan konduksi serabut purkinye

Distrosi QRS (+) : EF Rendah

Gagal Reperfusi : Tinggi Aritmia Sering

Re-Infark

BERAT TIDAK BERAT

Distrosi QRS (-) : EF tinggi

Gagal Reperfusi : rendah Aritmia jarang


(33)

2.6 Kerangka konseptual

Infark Miokard Akut

IKPp

Distorsi QRS (+) Distorsi QRS (-)

Variabel Konfonding :

• Leukosit

• CKMB

• Timi Flow

• Jumlah stenosis

• IRA/pdi : LAD

Variabel Independen : Distorsi QRS

Variabel dependen :

• Reinfark

• Aritmia


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat kohort-restrospektif terhadap pasien-pasien infark miokardial yang mendapatkan terapi reperfusi intervensi koroner perkutan primer (IKPp).

3. 2. Tempat dan Waktu Penelitian

Data diambil dari rekam medis pasien infark miokardial akut (IMA) yang dilakukan IKPp pada April 2010 s/d Mei 2013 di RS Haji Adam Malik Medan dan RS Colombia Asia Medan

3. 3. Subyek Penelitian

Pasien IMA dengan ST elevasi dengan onset di bawah 12 jam yang mendapat terapi reperfusi IKPp yang dirawat di RS. H. Adam Malik Medan dan RS Colombia Asia Medan dan memenuhi kriteria penelitian.

3. 4. Besar Sampel Penelitian

Besar sample dihitung berdasarkan rumus (Sastroasmoro dkk, 2010): � =�Z∝�2PQ+Zβ�P1Q1+P2Q2�

(P1−P2)2

2

Keterangan:

Zα = deviat baku alpha (Zα = 1,96)

Zβ = deviat baku beta (Z β = 0,84)


(35)

P2 = proporsi pada kelompok penelitian yang nilainya merupakan judgment penelitian (0,85)

P = proporsi total = (P1+P2)/2 Q = 1-P

Q1 = 1-Q1 Q2 = 1-Q2

�1 = �2 = �1,96�2(0,675x0,325)+0,84�(0,5x0,5)+(0,85x0,15� (0,85−0,5)2

2

n 1= n2 = 26,86

Dari rumus diatas, didapat jumlah pasien masing-masing kelompok adalah 30 pasien.

3. 5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria Inklusi

• Infark miokardial akut dengan onset < 12 jam

• ST elevasi ≥ 2 mm di lead V1-V3 dan ST elevasi ≥ 1 mm di lead lainnya pada

≥ 2 lead yang berpasangan.

• Gelombang T defleksi positif (upright)

• Pasien tidak dengan riwayat trombolitik

• Pasien tidak dengan riwayat CABG

• Pasien tidak syok kardiogenik

2. Kriteria Eksklusi

• Kelainan konduksi intraventrikuler

• Aritmia ventrikel

• Irama pacu jantung


(36)

1. Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut : adanya nyeri dada khas infark (durasi nyeri lebih dari 20 menit, tidak respon sepenuhnya dengan nitrat, nyeri dapat menjalar ke leher, rahang bawah atau lengan kiri, dapat disertai dengan gejala aktivasi sistem syaraf otonom seperti mual, muntah serta keringat dingin), dijumpai elevasi

segmen ST yang persisten ( lebih dari 2 mm pada lead V2-V3, atau lebih

dari 1 mm pada lead lainnya), atau adanya left bundle branch block

(LBBB) yang baru atau yang dianggap baru, peningkatan marker (enzym jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin) (Thygensen dkk, 2007; Van de Werf dkk, 2008).

2. Intervensi koroner perkutan primer (IKPp) adalah tindakan kateterisasi

jantung untuk melihat pembuluh darah koroner dan melakukan tindakan reperfusi pasen infark miokardial akut dengan ST-elevasi dengan onset < 12 jam (Ramrakha P dkk, 2006 ; Vlaar PJ dkk, 2011).

3. Distorsi terminal QRS adalah rasio dari J point dibandingkan gelombang

R ≥ 50% pada sadapan dengan konfigursi qR (I, II, III, aVL, V4-V6) atau tidak terbentuknya gelombang S pada sadapan konfigurasi rS (V1-V3).

Gambar 3. STEMI anterior tanpa distorsi terminal QRS (A dan C) dan dengan distorsi (B dan D)


(37)

Gambar 4. STEMI inferior tanpa distorsi terminal QRS (A dan B) dan dengan distorsi (C dan D)

4. Segala penyebab kematian kardiovaskular selama perawatan dirumah sakit

dan rentang waktu sampai dengan 6 minggu onset infark, dimasukkan sebagai angka mortalitas. Kematian kardiovaskular tersebut dapat disebabkan oleh aritmia maligna seperti ventrikular takikardia, ventrikular fibrilasi, kondisi syok kardiogenik, edema paru akut, yang semuanya berujung pada kematian

5. Reinfark didefinisikan apabila penderita mengalami nyeri dada berulang

lebih dari 20 menit disertai peningkatan enzim jantung CKMB lebih dari 2 kali batas atas normal atau peningkatan enzim jantung lebih dari 20% dibandingkan dengan level enzim jantung terendah sebelumnya, dengan atau tanpa dijumpainya perubahan EKG dibandingkan sebelumnya (Gelombang Q patologis baru, segmen ST elevasi atau depresi baru lebih dari 1mm minimal pada 2 lead yang berhubungan) (Thygensen dkk, 2007).

6. Aritmia adalah jika dijumpai atrial fibrilasi, SVT, dan VT/VF.

7. Definisi kelas Killip adalah sebagai berikut (Van de Werf, 2008);

• Killip 1 : tidak dijumpai ronkhi maupun gallop

• Killip 2 : Dijumpai ronkhi kurang dari setengah lapangan paru atau


(38)

• Killip 3 : Dijumpai ronkhi lebih dari setengah lapangan paru

• Killip 4 : syok kardiogenik

8. Merokok didefinisikan sebagai riwayat merokok aktif (sampai dengan

subjek menderita IMA STE) atau subjek baru berhenti merokok dalam 6

bulan terakhir (ACSM , coronaryarterydiseaseriskfactorthresholds).

9. Riwayat hipertensi didefinisikan apabila memenuhi minimal salah satu

kriteria berikut ini (Karlsberg dkk, 2011) ;

• Riwayat pernah didiagnosis oleh dokter menderita hipertensi dan telah

diberikan terapi obat anti hipertensi serta advis diet dan olahraga

• Pada anamnesis dijumpai riwayat pemakaian obat anti hipertensi

10. Diabetes didefinisikan sebagai berikut ;

Subjek selama ini telah atau pernah menggunakan obat hipoglikemik oral atau insulin, atau hasil pemeriksaan kadar gula darah selama perawatan

dirumah sakit memenuhi salah satu dari kriteria berikut ; kadar HBA1C ≥

6,5%, kadar gula darah puasa ≥ 126mg/dl, atau kadar gula darah post

prandrial≥ 200 mg/dl (Karlsberg dkk, 2011)

11.Dislipidemia didefinisikan apabila dijumpai minimal salah satu dari

kriteria pemeriksaan kadar profil lipid (Karlsberg dkk, 2011, NCEP-ATP III, 2002), selama perawatan di rumah sakit sebagai berikut ;

• Kadar total kolesterol > 200 mg/dl

• Kadar LDL > 130 mg/dl

• Kadar HDL < 40 mg/dl pada laki-laki, atau < 50mg/dl pada

perempuan

• Kadar trigliserida > 150 mg/dl

3. 7. Identifikasi variabel Variabel independen :

Distorsi terminal kompleks QRS pada 12 sadapan EKG Variabel dependen :


(39)

- Aritmia - Kematian

Variabel Konfonding : - Leukosit

- CKMB - TIMI Flow - Jumlah stenosis - IRA/pdi : LAD

3. 8 Alur Penelitian

Infark Miokardial Akut

IKPp

Distorsi QRS (+)

Distorsi QRS (-)

Selama Rawatan : Aritmia Reinfark Kematian

6 minggu follow up :


(40)

3. 9 Analisa Data

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program

komputer Windows SPSS-15 (Statistical Product and Science Service). Analisa dan

penyajian data dilakukan sebagai berikut :

• Data kontinu ditunjukkan dengan mean +/- standar deviasi dari mean atau

nilai median (min - maks) sesuai dengan hasil uji normalitas sebagai data karakteristik dasar.

• Data kategorik ditunjukkan dengan frekuensi dan persentase.

• Uji Chi-square dipakai untuk menentukan hubungan variabel kategorikal

dengan atau tanpa distorsi terminal kompleks QRS. Fisher exact dan

• P value < 0.05 dianggap bermakna

Mann Whitney dipakai untuk menilai bivariat dan beda rerata dengan atau tanpa distorsi terminal QRS. Out-come klinik ditampilkan dengan frekuensi, presentase, odds rasio dan 95% Confidence Interval.

3. 10 Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh komite etik kesehatan dari fakultas kedoteran Universitas Sumatera Utara.


(41)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Subyek pada penelitian ini berjumlah 60 pasien IMA dengan ST elevasi, yang dibedakan berdasarkan gambaran EKG awal berupa distorsi terminal kompleks QRS (QRS+) dan tanpa distorsi terminal kompleks QRS (QRS -) yang masing-masing sebanyak 30 pasien. Rerata umur pada penelitian ini adalah 52 tahun pada kelompok distorsi dan 49 tahun pada kelompok tanpa distorsi. Jenis kelamin pasien pada penelitian ini terutama adalah laki-laki, yaitu 29 orang (96,7%) pada QRS (+) dan 27 orang (90%) pada kelompok QRS (-). Data karateristik subjek penelitian lainnya ditampilkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik

Distrorsi Terminal Kompleks QRS Tidak

n = 30

Ya n = 30 Jenis Kelamin, n (%)

Laki-laki 27 (90) 29 (96,7)

Perempuan 3 (10) 1 (3,3)

Umur, mean (SD), tahun 49,53 (8,84) 52,6 (10,23)

Onset nyeri dada, mean (SD), menit 202,5 (192,04) 114,83 (89,70)

Killip, n (%)

1 19 (63,3) 14 (46,7)

2 11 (36,7) 16 (53,3)

TD Sistolik, mean (SD), mmHg 140,67 (31,81) 139,83 (34,20)

Heart Rate, mean (SD), x/menit 76 (12,06) 78,67 (15,64)

Door to balloon, n (%)

Waktu simtom-reperfusi, mean (SD), menit

13 (43) 457,1(109,7)

13 (43) 433,4 (118,5) Hipertensi, n (%)

Diabetes, n (%)

16 (53,3) 11 (36,7)

18 (60) 12 (40)


(42)

Dislipidemia, n (%) 6 (20) 8 (26)

Merokok, n (%) 23 (76,7) 24 (80)

TIMI score, mean (SD) 3,17 (1,37) 3,37 (1,59)

Onset rata-rata dari keluhan nyeri dada sampai datang ke instalasi gawat darurat adalah cukup dini, dimana pada kelompok QRS (+) adalah 114,83 ± 89,70 menit dan pada kelompok dengan QRS (-) adalah 202,5 ± 192,04 menit. Tekanan darah sistolik rata-rata saat datang pada kedua kelompok adalah pada kelompok QRS (+) adalah 139,83 ± 34,2 mmHg dan pada QRS (-) adalah 140,67 ± 31,81 mmHg.

Berdasarkan faktor risiko untuk kejadian penyakit jantung koroner, yang terbanyak adalah merokok dimana pada kelompok QRS (+) adalah 23 orang (79%) dan pada kelompok QRS (-) adalah 24 orang (80%). Kemudian diikuti oleh

hipertensi, diabetes melitus, dan dislipidemia. TIMI risk score pada kelompok QRS

(+) adalah 3,17 ± 1,37 dan QRS (-) adalah 3,37 ± 1,59.

Dari hasil laboratorium, secara umum pada kedua kelompok tidak berbeda dan seimbang. Kadar leukosit pada kelompok QRS(+) dijumpai lebih tinggi yaitu

13.756 ± 3.214 dibanding pada kelompok QRS (-) yaitu 11.843 ± 2.478. Dijumpai

pasien dengan kadar leukosit > 15.000 lebih banyak pada kelompok distorsi yaitu 12 berbanding 4. Kadar CKMB pada kelompok dengan distorsi lebih rendah dibanding

tanpa distorsi. Hasil laboratorium lainnya ditampilkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2 Hasil Laboratorium

Karakteristik Distrorsi Terminal Kompleks QRS

Tidak Ya

Hb, mean (SD), mg/dl

Kolesterol Total, mean (SD), mg/dl

14,87 (1,52) 200,12 (35,42)

14,89 (1,33) 212,96 (40,16)

HDL, mean (SD), mg/dl 46,12 (9,65) 43,92 (9,57)

Trigliserida, mean (SD), mg/dl 153,76 (40,36) 177,28 (44,61)

LDL, mean (SD), mg/dl 120,2 (29,33) 130,64 (33,19)

Leukosit, mean (SD), ribu mg/dl 11,84 (2,5) 13,76 (3,2)

≤ 15.000, n (%) 26 (86,7) 18 (60)

> 15.000, n (%) 4 (13,3) 12 (40)


(43)

Ureum, mean (SD),mg/dl 30,17 (9,23) 34,59 (12,57)

Kreatinin, mean (SD), mg/dl 0,96 (0,23) 1,14 (0,41)

CKMB, mean (SD) 50,32 (31,28) 44,46 (36.23)

Data hasil angiografi didapat pada kelompok distorsi QRS lebih banyak menggunakan GPIIbIIIa dan jumlah stenosis lebih atau sama dengan 2 dibanding dengan tanpa distorsi. Hasil angiografi pada kedua kelompok adalah yang ditampilkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3 Hasil Angiografi

Karakteristik Distrorsi Terminal Kompleks QRS

Tidak Ya

GPIIbIIIa, n (%)

Tidak 17 (56,7) 11 (36,7)

Ya

TIMI Flow ≥ 2, n (%)

Jumlah, n (%) 1 Stenosis ≥ 2 Stenosis

13 (43,3) 30 (100) 21 (70) 9 (30) 19 (63,3) 30 (100) 12 (40) 18 (60) IRA/pdi, n (%)

LAD 20 (66,7) 14 (46,7)

LCX 1 (3,3) 1 (3,3)

RCA

Jenis Stent, n (%) BMS DES 9 (30) 18 (60) 12 (40) 15 (50) 20 (66,7) 10 (33,3)

4.2 Hubungan Distorsi QRS terhadap Aritmia

Ditemukan hubungan yang signifikan antara distorsi QRS dengan aritmia (p = 0,032). Dari 30 responden yang mengalami distorsi QRS, sebanyak 15 pasien mengalami aritmia, sedangkan hanya ditemukan 7 pasien yang mengalami aritmia dari 30 orang responden tanpa distorsi QRS. Hubungan yang signifikan juga ditunjukkan oleh IRA/pdi terhadap aritmia (p = 0,014).


(44)

Tabel 4.4 Hubungan Distorsi QRS terhadap Aritmia

Karakteristik

Aritmia

P Ya

n = 22

Tidak n = 38 Distorsi QRS, n (%)

Ya 15 (68,2) 15 (39,5) 0,032

Tidak 7 (31,8) 23 (60,5)

Leukosit, n (%)

≤ 15.000 13 (59,1) 31 (81,6) 0,058

> 15.000 9 (40,9) 7 (18,4)

CKMB, mean (SD) 52,04 (43,43) 44,7 (26,81) 0,812

Jumlah Stenosis ≥ 2, n (%) 10 (45,5) 17 (44,7) 0,975

IRA/pdi, n (%)

LAD 8 (36,4) 26 (68,4) 0,014

4.3 Hubungan antara jenis aritmia dengan distorsi QRS

Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan jenis aritmia berdasarkan distorsi QRS (p = 0,523, p > 0,05).

Tabel 4.5 Jenis Aritmia berdasarkan Distorsi QRS

Jenis Aritmia Distrorsi Terminal Kompleks QRS P

Tidak Ya

AF/SVT, n (%) 7 (100) 12 (80) 0,523

VT/VF, n (%) 0 3 (20)

4.4 Kejadian aritmia mayor (VT/VF) dengan onset dan waktu simton-reperfusi Dijumpai 3 pasien yang menderita aritmia mayor (VT/VF) dimana dijumpai onset pada masing-masing pasien adalah 30, 120, dan 180 menit. Sedangkan waktu simton- reperfusi adalah 420, 410, 490 menit.


(45)

Tabel 4.6 Kejadian VT/VF dengan onset dan waktu simton-reperfusi

Pasien VT/VF Onset (menit) Waktu simtom-reperfusi

(menit) Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 30 120 180 420 410 490

4.5 Hubungan antara Distorsi QRS terhadap Mortalitas

Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara variabel independen dan konfonding terhadap mortalitas (p > 0,05).

Tabel 4.7 Hubungan Distorsi QRS terhadap Mortalitas

Karakteristik

Mortalitas

P Ya

n = 3

Tidak n = 57 Distorsi QRS, n (%)

Ya 3 (100) 27 (47,4) 0,237

Tidak 0 30 (52,6)

Leukosit, n (%)

≤ 15.000 1 (33,3) 43 (75,4) 0,171

> 15.000 2 (66,7) 14 (24,6)

CKMB, mean (SD) 92,87 (72,59) 44,99 (29,85) 0,406

Jumlah Stenosis ≥ 2, n (%) 1 (33,3) 26 (45,6) 1,000

IRA/pdi, n (%)

LAD 2 (66,7) 32 (56,1) 0,907

4.6 Analisa Multivariat Distorsi QRS dan IRA/pdi (LAD) terhadap aritmia

Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik

berganda (multiple logistitic regression) ditemukan bahwa hanya distorsi QRS yang


(46)

OR = 3,286 yang berarti pasien dengan distorsi QRS akan berpeluang mengalami aritmia 3,286 kali bila dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami distorsi QRS.

Tabel 4.8 Analisis Multivariat Distorsi QRS dan IRA/pdi LAD terhadap Aritmia

P OR 95% CI

Distorsi QRS 0,035 3,286 1,085 – 9,952


(47)

BAB V PEMBAHASAN

5.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian oleh Lee dkk mendapatkan bahwa pada kelompok dengan distorsi QRS (+) adalah usianya lebih tua yaitu 59 ± 10 tahun dan QRS (-) 57 ± 11. Sedangkan pada penelitian yang kami lakukan ini ternyata usia pada kelompok QRS (+) maupun QRS (-) usianya lebih rendah dibanding penelitian sebelumnya yaitu 52 ± 10 tahun dan 49 ± 8 tahun.

Pada penelitian lain, Birnbaum dkk mendapatkan tidak ada perbedaan dalam hal angina preinfeksi, hipertensi, merokok ataupun onset pada masing-masing kelompok. Hal ini juga sesuai dengan yang kami dapatkan dimana hipertensi pada distorsi QRS (+) dan (-) adalah 53,3% dan 60%. Penelitian tersebut juga mendapatkan bahwa diabetes melitus lebih banyak pada kelompok QRS (+) dibanding QRS (-), sedangkan pada penelitian ini hampir seimbang yaitu 36,7 % banding 40%.

Profil lipid umumnya seimbang pada kedua kelompok. Dari ATP III dinyatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara kadar kolesterol LDL dengan kejadian PJK. Kolesterol LDL merupakan faktor risiko indepeden untuk penyakit jantung koroner. Klasifikasi kolesterol LDL pada ATP III adalah < 100 mg% (optimal), 100-129 mg % (diatas optimal), 130-159 mg % (borderline tinggi), 160-189 mg % (tinggi) dan > 190 mg % (sangat tinggi). Hasil pada penelitian ini terlihat bahwa hasilnya berada pada di atas optimal pada kelompok distorsi QRS dan borderline tinggi pada kelompok tanpa distorsi.

Pada TIMI-4 trial, pasien dengan QRS (+) mempunyai infark yang lebih besar berdasarkan pelepasan enzim CKMB dalam 24 jam dibanding QRA (-) yaitu 209 ± 147 VS 155 ± 129 dengan p= 0,003. Sedangkan pada penelitian ini terlihat bahwa enzim CKMB pada kedua kelompok adalah 44,46 ± 36,23 berbanding 50.32 ± 31,28.


(48)

Nilai ini rendah diakibatkan karena nilai CKMB yang kami ambil adalah nilai saat datang ke instalasi gawat darurat, tidak seperti TIMI-4 yang menjumlahkan 3 kali pemeriksaan dalam 24 jam. Apalagi rata-rata onsetnya sampai ke instalasi gawat darurat pada penelitian ini adalah 114,83 ± 89,7 menit berbanding 202,5 ± 192 menit, cukup dini sehungga enzimnya belum meningkat banyak.

Penelitian yang dilakukan oleh Mukhtar (1994) menemukan korelasi yang signifikan secara statistik antara peningkatan puncak kadar leukosit dengan kadar puncak CKMB pada pasien IMA onset di bawah 12 jam (p < 0,01, r = 0,561). Pada penelitian ini didapatkan angka kematian RS sebesar 11% dimana penderita dengan kadar leukosit > 15.000/uL memiliki risiko disfungsi ventrikel kiri 4 kali lebih besar dibanding kadar leukosit < 15.000/uL. Risiko kematian 4 kali lebih besar dan risiko

kejadian VT/VF 2 kali lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok penderita ≤

10.000/uL. Kadar lekosit darah pada kedua kelompok penelitian ini terlihat meningkat, yang biasa terjadi pada pasien dengan serangan jantung akut. Pada penelitian ini dijumpai kadar leukosit di atas 15 ribu lebih tinggi pada kelompok dengan distorsi QRS lebih tinggi dibanding tanpa distorsi yang secara statistik tidak signifikan untuk kejadian aritmia dan kematian di RS (p > 0,05).

5.2 Distorsi terminal kompleks QRS dan Terapi IKPp

Perubahan EKG terjadi setelah oklusi pada arteri koroner yang terdeteksi oleh sadapan pada area yang mengalami iskemik. Hal pertama terjadi adalah terbentuknya gelombang T yang tinggi, simetris, dan runcing (iskemik grade I); kedua terbentuknya elevevasi segmen ST dengan morfologi tanpa distorsi terminal kompleks QRS (iskemik grade II); dan ketiga perubahan pada terminal kompleks QRS yaitu distorsi (iskemik grade III). Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh peningkatan konduksi elektrikal pada serabut purkinje pada area yang mengalami iskemik. Hal ini menyebabkan peningkatan amplitudo pada gelombang R pada sadapan qR (I,II, III, aVF, aVL, V4-V6) dan hilangnya gelombang S pada sadapan rS (V1-V3). Serabut purkinje dianggap kurang sensitif pada zona area yang mengalami iskemik dibandingkan dengan otot miokardial yang sehat. Terbentuknya distorsi


(49)

teminal QRS ini dimungkinkan karena terjadinya iskemik yang lebih lama dan berat pada serabut purkinje. Tidak terbentuknya distorsi terminal QRS ini, mungkin merupakan suatu proteksi bagi otot miokardial yang disebabkan oleh oklusi yang terjadi tidak total dan terbentuknya kolateral (Birnbaum, 2003).

Tindakan IKPp telah dilaporkan menjadi acuan strategi terapi reperfusi pada pasien IMA dengan ST elevasi. Akan tetapi, luasnya otot miokardium yang dapat diselamatkan setelah tindakan ini masih sangat bervariasi sehingga diperlukan suatu metoda untuk memprediksi potensial keselamatan otot miokard dengan tindakan IKPp ini (Ziljstra dkk, 1999). Pemeriksaan elektrokardiografi saat masuk merupakan alat diagnostik sederhana dan mudah tersedia dalam memberikan informasi prognostik pasien yang diberi terapi reperfusi (Birnbaum dkk, 1999). Telah diketahui sebelumnya bahwa adanya perlambatan konduksi pada serabut purkinje sepanjang regio miokard yang iskemik mengurangi derajat perekaman yang menghasilkan peningkatan amplitudo gelombang R dan pengurangan amplituda gelombang S pada rekaman EKG. Sistem serabut purkinje lebih sensitif pada area iskemik dibandingkan area miokard yang berkontraksi dan distorsi terminal kompleks QRS menggambarkan hal tersebut sebagai akibat iskemik pada serabut purkinje (Birnbaum, 1999; Hurts, 2001).

IKPp merupakan tindakan intervensi koroner pada IMA dengan ST elevasi

dengan onset-simtom ≤ 12 jam. Pada penelitian ini didapat onset-simtom pada kedua

kelompok cukup dini yaitu 114 menit dan 202 menit. Penelitian yang dilakukan oleh Migliorini (2010) mendapatkan onset-simtom adalah 135 menit pada pasien yang

menjalani direct stenting. Tindakan IKPp yang dilakukan sebaiknya dengan waktu

standard door to baloon ≤ 90 menit dimana pada penelitian ini didapat 43% pada

masing-masing kelompok. Penelitian di Amerika Serikat didapatkan bahwa door to

baloon ≤ 90 menit adalah 86% (Ramrakha P dkk, 2006 ; Vlaar PJ dkk, 2011).. Tindakan IKPp dinilai berhasil jika setelah tindakan mencapai TIMI Flow 2-3 dengan residual stenosis < 20 % (Ramrakha P dkk, 2006; Vlaar PJ dkk, 2011). Pada penelitian ini didapat keberhasilan reperfusi TIMI 2/3 pada masing-masing kelompok sama yaitu 100%.


(50)

Evaluasi kejadian aritmia selama rawatan di RS pada pasien QRS (+) didapatkan aritmia sebanyak 15 orang (50%) dimana VT/VF 3 orang (25%) dan AF/SVT 12 orang (75%). Sedangkan pada kelompok QRS (-) didapatkan 7 orang (23,3%) dimana tidak didapat pasien dengan VT/VF dan 7 orang AF/SVT. Terlihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna untuk kejadian aritmia antara pasien distorsi QRS (+) dengan QRS (-), p= 0,032, meskipun untuk kejadian aritmia mayor tidak bermakna secara statistik. Pada penelitian Lee dkk, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna untuk kejadi aritmia mayor pada kedua kelompok yaitu 2,4% berbanding 6,8%. Dari hasil penelitian ini didapat waktu simton-reperfusi adalah 433,4 ± 118,5 menit pada kelompok dengan distorsi QRS dan 457,1 ± 109,7 menit pada kelompok tanpa distorsi QRS. Mockel (2001) dalam penelitiannya mendapatkan rerata waktu simtom-reperfusi adalah 205 menit. Sedangkan Lee dkk mendapatkan rerata waktu simtom-reperfusi pada kelompok distorsi QRS adalah 288 ± 144 menit dan pada kelompok tanpa distorsi QRS adalah 246 ± 144 menit.

Pada penelitian ini didapat bahwa hubungan antara pembuluh darah infark (pdi) di arteri koroner anterior desending (LAD) dengan kejadian aritmia secara statistik bermakna (p=0,014). Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji

regresi logistik berganda (multiple logistitic regression) ditemukan bahwa hanya

distorsi QRS yang berpengaruh secara signifikan terhadap aritmia (p = 0,035; OR = 3,286, 95% CI 1,085 – 9,952). Hal ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Masrul dkk (2005) dimana pasien dengan distorsi QRS mempunyai angka kejadian aritmia lebih tinggi (p < 0,05).

Pada kelompok QRS (+) didapat 3 pasien meninggal selama rawatan di RS, sedangkan pada kelompok QRS (-) tidak dijumpai. Ross dan Dachin (2009) menyebutkan bahwa bahwa angka kematian di RS pasien dengan tindakan IKPp

secara keseluruhan adalah 3,32-5%. Setelah follow-up 6 minggu didapatkan bahwa

tidak dijumpai adanya pasien yang meninggal. Penelitian oleh Lee dkk menyebutkan

bahwa juga tidak dijumpai pasien yang meninggal setelah 6 minggu follow-up.

Beberapa penelitian sebelumnya telah menganjurkan pemberian terapi trombolitik pada pasien dengan distorsi terminal kompleks QRS saat masuk ke


(51)

IGDdikarenakan berhubungan erat dengan angka kematian yang lebih tinggi, infark yang lebih luas, dan kejadian penurunan fungsi ventrikel kiri yang lebih sering (Birnbaum dkk, 1999). Penelitian terbaru mencoba menghubungkan hal ini terhadap pasien yang dilakukan tindakan IKPp. Hal yang menjadi dasarnya adalah fenomena tidak dialirinya pembuluh darah koroner secara angiografi berhubungan erat dengan kerusakan mikrovaskular yang lebih luas, memprediksi kemungkinan akan terjadi penurunan fungsi ventrikel kiri, dan tingginya angka kematian setalah AMI (Agati L, 1999; Morishima dkk, 2000). Penelitian Lee dkk mendapatkan bahwa distorsi terminal kompleks dapat dijadikan sebagai prediktor lambatnya aliran pada pembuluh darah yang terkena infark (pdi/IRA). Dengan kata lain, distorsi terminal kompleks QRS menggambarkan kerusakan mikrosirkular yang lebih luas sebagai akibat iskemik yang terjadi juga lebih luas. Pada penelitian kami, dijumpai adanya prognostik yang lebih buruk pada pasien dengan distorsi terminal kompleks QRS yang mendapat tindakan IKPp dibandingkan tanpa distorsi, dalam hal ini kejadian aritmia. Akan tetapi, penelitian kami ini bersifat retrospektif sehingga data mengenai angiografi dan fungsi ventrikel kiri tidak kami dapatkan sehingga kami tidak dapat menilai fungsi kolateral pada angiografi dan fungsi ventrikel kiri secara ekokardiografi.


(52)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1Kesimpulan

Berdasarkan analisa data yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa angka kejadian aritmia pada pasien dengan distorsi terminal kompleks QRS lebih tinggi dibandingkan tanpa distorsi dan bermakna secara statistik. Hubungan yang signifikan juga ditunjukkan oleh IRA/PDI terhadap aritmia. Berdasarkan hasil

analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda (multiple logistitic

regression) ditemukan pasien dengan distorsi QRS akan berpeluang mengalami aritmia 3 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa distorsi QRS. Dijumpai ada 3 pasien meninggal selama rawatan di RS pada pasien dengan distorsi QRS (+), akan tetapi secara statistik tidak didapat hasil yang bermakna.

Pasien dengan distorsi terminal kompleks QRS mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengn tanpa distorsi kompleks QRS.

6.2 Keterbatasan Penelitian

Sampel penelitian yang kecil dan desain penelitian ini merupakan retrospektif sehingga penilaian terhadap hasil angiografi dan hasil lainnya tidak dapat diperoleh secara maksimal untuk dapat dianalisa.

6.3 Saran

Penelitian ini mendapatkan komplikasi kejadian aritmia 3 kali lebih besar pada kelompok dengan distorsi QRS, sehingga tindakan IKPp sebaiknya dilakukan

lebih dini dan sesuai yang dianjurkan oleh guidelines agar komplikasi yang tidak


(53)

Sebaiknya dilakukan studi kohort dengan sampel yang lebih besar dan pengamatan yang lebih lengkap serta waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Andersen HR, Nielsen TT, Rasmusssen K, et al. A comparison of coronary angioplasty with fibrinolytic therapy in acute myiocardial infarction. N Eng J Med. 2003; 349; 733-42.

Anderson JL, Adams CD, Antman EM et al. ACC/AHA 2007 : Guidelines for the Management of Patient With Unstable Angina/Non ST-Elevation Myocardial Infarction : A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 2002 Guidelines for the Management of Patient With Unstable Angina/Non ST-Elevation Myocardial Infarction). Circulation. 2007; 116: e148-e304.

Antman EM, Hand M, Armstrong PW et al. Focused Update of the ACC/AHA 2004

Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial

Infarction : A Report of the American College of Cardiology/American Heart

Association Task Force on Practice Guideline. Circulation. 2007; 117;

296-329.

Ardissino D, Betrieu A, Cokkinos DV et al. Management of Acute Myocardial Infarction in Patient Presenting with ST-segment Elevation: The Task Force in the Management of Acute Myocardial Infarction in Patient Presenting with ST-Segment Elevation of the European Society of Cardiology. European Heart Journal. 2003; 24:28-66.

Aroesti JM. Percutaneuos Coronary Intervention. American Journal of Cardiology. 2006; 97 ;485.

Birnbaum Y, Kloner RA, Sclarosky S, et al. Distortion of the terminal of the QRS on the admission electrocardiogram in acute myocardial infarction and correlation with infarct size and long-term prognosis (Thrombolysis in myocardial infarction 4 trial). Am J Cardiol. 1996; 76; 396-403.

Birnbaum Y, Herz I, Sclarovsky S, et al. Prognostic significance of the admission electrocardiogram in acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 1996; 27; 1128-32.

Birnbaum Y, Maynard C, Wolfe S, et al. Terminal QRS distortion on admission is better tahn ST-segment measurements in predicting final size and assesing teh potential effect of thrombolityc therapy in anterior wall acute myocardial infarction. Am J cardiol. 1999; 84; 530-4.


(55)

Birnbaum Y, Goodman S, Barr A, et al. Comparation of primary coronary angioplasty versus thrombolysis in patient with ST-segment elevation acute myocardial infarction Grade II and Grade III nyocardial ischemic on the enrollment electrocardiography. Am J Cardiol. 2001; 88; 842-7.

Birnbaum Y, Drew BJ. The electrocardiography in ST elevation acute myocardial infarction: correlation with coronary anatomy and prognosis. Postgrad Med J. 2003; 79; 490-504.

Barnhill JE, Tendera M, Cade H, et al. Depolarization changes early in the course of myocardial infarction: significant of changes in terminal portion of the QRS complex. J Am Coll Cardiol. 1989; 14; 143-9.

Cambou JP, Simon M, Bataille V, Danchin, N. The French registry of acute ST elevation or non ST elevation myocardial infarction (FAST-MI). Study desing and baseline characteristics. Arch M Coeur Vaiss. 2007; 100; 524-34.

Chia BL. The Electrocardiography in acute myocardial infarction-New insights in the

reperfusion era. 14th Asian pacific Congress of Cardiology. 2004.

Danchin, N. 'System of care for ST-segment elevation myocardial infarction. Impact of different model on clinical outcomes'. J Am Coll Cardiol Intv, 2009; 2: 901-8.

David D, Naito M, Michelson E, et al. Intramyocardial conduction: a mayor determinant of R-Wave amplitude during acute myocardial infarction. Circulation. 1982; 65; 161-7.

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta. 2006 Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Profil Kesehatan Indonesia. 2008

ECC guidelines. Part 7: The era of reperfusion: section 1: Acute coronary ayndrome (acute myocardial infarction). Circulation 2000; 102; 172-203

Engelen DJ, Gorgels AP, Cheriex EC, et al. Value of the electrocardiography in localizing the occlusion site in the left anterior descending coronary artery in acute anterior myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 1999; 34; 389-95. Estes NAM, Salem DN. Predictive value of Electrocardiography in acute coronary


(56)

Goldberger LA. Clinical electrocardigraphy: a simplified approach. New York. 1984; 87-107.

Goldman MJ, Goldschlager N. Electrocardiography: Essential of Interpretation. San Fransisco. 1984; 84-121

Hamoda GA, Caldwell MA, Stotts NA, et al. Factors to consider when analyzing 12-lead electrocardiography for evidence of acute myocardial infarction. Am J Critical Care. 2003; 12; 9-11.

Hurst JW. Interpreting electrocardiogram, Using basic principles and vector conceps. Marcel Dekker Inc. New York; 2001; 159-204.

Kadish AH, Buxton AE, Kennedy HL, et al. ACC/AHA Clinical Competence Statement on Electrocardiography and Ambulatory electrocardiography. J Am Coll Cardio. 2001; 38; 2091-100.

Kasim M, Sunanto, Sewanto A, Kusmana D. QRS distortion increased risk re-occurance acute coronary event. Med J Indones. 2007; 16; 240-4.

Karlsberg RP, Tcheng JE, Boris JR, Buxton AE, Dove JT, Fonarow GC, dkk. ACCF/AHA 2011 Key data elements and definitions of a base cardiovascular

vocabulary for electronic health records. J Am Coll Cardiol.

2011;58(2):202-222

Katritsis GD. Reperfusion in Acute Myocardial Infarction: How is the Future Shaping up? Hellenic J Cardiol. 2003; 44; 256-65.

Keeley, EC and Hills, LD. Primary PCI for myocardial infarction with ST-segment elevation. Lancet 2007; 356; 47-54.

King SB, Smith SC, Hirshfeld JW et al. 2007 Focused Update of the ACC/AHA/SCAI 2005 Guideline Update for Percutaneous Coronary Intervention: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guideline Circulation. 2008: 117; 261-295.

Lee CH, Hong MK, Yang HS, et al. Determinant and prognostic implication of terminal QRS complex distortion in patient treated with angioplasty for acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2001; 88; 210-3.

Masrul, Setianto B, Haryono H. Tesis: Prognosis jangka panjang pasien infark miokardial anterior dengan atau distorsi terminal kompleks QRS yang


(57)

mendapat terapi trombolitik. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas. Jakarta. 2005.

Mockel M, Vollert J, Lansky AJ, Witzenbichler B et al. Comparison of direct with conventional stent implantation in acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2011; 108: 1697-1703.

Mukhtar Z. Tesis : Makna klinis leukosit dan prognosis pada pasein Infark Miokard Akut. Tesis. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas. Jakarta. 1994.

National Cholesterol Education Program (NCEP). Expert panel on detection, evaluation and treatment of high blood cholesterol in adult (Adult treatment

panel III). Circulation. 2002;106:3143

Norris RM. Coronary disease: the natural history of acute myocardial infarction. Heart. 2000; 83; 726-30.

Priori SG, Blanc JJ, Cowie M et al. Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention: The Task for Percutaneous Coronary Interventions of the European Society of Cardiology. European Heart Journal. 2005; 26: 804-847.

Ramrakha, P , Hill, J 2006, 'Oxford Handbook of Cardiology', 1st published, Oxford

University Press, New York. 2006; 238-42.

Ross, AM, Huber, K, Zeymer, U, Armstrong, PW, Granger, CB, Goldstein, P et al, 'The impact of place of enrollment and delay to reperfusion on 90-day post-infraction mortality in the ASSENT-4 trial'. J Am Coll Cardiol Intv. 2009; 2: 925-30.

Sastroasmoro S, Madiyono B, Moeslichan S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Dasar-dasar metodologi penelitian. Jakarta: Sagung Seto. 2010; 3; 348-81.

Savanito S, Ardisso D, Granger CB, et al. Prognostic value of the admission electrocardiogram in acute coronary syndrome. JAMA. 1995; 281; 707-13 Schweitzer P, Keller S. The role of the initial 12-lead ECG in risk stratification

patients with acute coronary syndrome. Bratisl Lck Listy. 2001; 102; 406-11. Sgarbossa EB, Pinski SL, Barbagelata A, et al. Electrocarigraphy diagnosis of

envolving acute myocardial infarction in presence of LBBB. N Eng J Med. 1996; 334; 481-7.


(58)

Sucu MM, Karadede A, Aydinalp O, et al. The relationship between terminal QRS complex distortion and early dose stress echocardiography in acute miocardial infarction. Jpn Heart J. 2004; 2004; 373-86.

Thompson. Hot topics in healthcare. Mastering the ECG: State of the art technique for evaluating ST-segmen elevetion in AMI. American Health Consultan. 2003; 1-12.

Thygesen, K, Alpert, JS, White, HD, et al. Universal definition of myocardial infraction. European Heart Journal. 2012; 28, 2525-38.

Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstorm-Lundgvista C, Crea F, Falk V dkk. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST segmen elevation, the task force on the management of ST segment elevation acute myocardial infarction of European Society of

Cardiology. EurHeartJ. 2008; 29 : 2909-2945

Vlaar PJ, Mahmoud KD, Holmes DR, Valkenhoef G, Hillege HL, Horst ICC. Culprit vessel only versus multivessel and staged percutaneous coronary intervention for multivessel disease in patients presenting with ST segment elevation myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 2001; 58; 692-703.

Widimsky P, Bilkova D, Martin P. Long-term outcomes of patients with acute myocardial infarction to hospital without catheterization laboratory and randomized to immediate thrombolysis or interhospital transport for Primary Coronary Intervention. Five years follow up of the Praque 2 trial. European Heart Journal. 2007; 28; 679 - 84.

World Health Organization. Deaths from Coronary Heart Disease. 2008. Available fro

Yusuf S, Reddy S, Ounpuu S, Anand S.'Global Burden of Cardiovascular Disease part I: General Consideration, the Epidemiologic Transition, Risk Factor and Impact of Urbanization'. Circulation. 2000; 104; 2746-53.

Zijlstra F, Beukema PW, van Hof WA, et al. Randomized comparation of primary coronary angioplasty with theraphy in low risk patient with acute miocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 1997; 29; 908-12.

Zijlstra F, Hoorntje ACJ, De Boer JM, et al. Long term benefit of primary angioplasty as campared with thrombolytic therapy for acute myocardial infarction. N Engl J Med 1999; 341; 1413-19.


(59)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi

Nama : dr. Evi Supriadi S.

NIP : 19770906 200502 1002

Pangkat/Golongan : Penata/IIIC

Jabatan : Dokter PNS RSUD Mayjend. H.A Thalib Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci

Tempat/tanggl lahir : Kerinci/ 06 September 1977

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Nama Ayah : (alm.) W. Sukardi

Nama Ibu : Hj. Roslaina

Nama Istri : dr. Suci Ananda

Nama Anak : Atiqa Fairuz Khalisah Supriadi

Alamat : Kompleks Johor Indah Permai I No. 11 Blok 4 Johor,

Medan

B. Pendidkan

1. 1990 : Lulus SD Negeri 10 Sungai Penuh

2. 1993 : Lulus SMP Negeri 9 Sungai Penuh

3. 1996 : Lulus SMA Negeri 4 Sungai Penuh

4. 2003 : Lulus Dokter FK Universitas Padjadaran (UNPAD), Bandung.

C. Jabatan dan Pekerjaan

Pangkat/Golongan

1. Februari 2005 : Calon Pegawai Negeri Sipil/ Gol IIIB

2. Februari 2006 : Pegawai Negeri Sipil/ Gol IIIB


(1)

Nitrat oral

Dosis = ………

Aspilet

Dosis = ………

Clopidogrel

Dosis = ………

trombolitik

Dosis = ………

GPIIb/IIIa

Dosis = ………

UFH

Dosis = ………

LMWH

Dosis = ………


(2)

ACE-I/ ARB

Dosis = ………

Diuretik

Dosis = ………

Statin

Dosis = ………

B-Blocker

Dosis = ………

Inotropik (I.V)

Dosis = ………

Digoxin

Dosis = ………

Amiodarone

Dosis = ………


(3)

10 Komplikasi Selama Rawatan

Heart Failure (HF) 0. Kls I 1. Kls II 2. Kls III 3. Kls IV

Aritmia

0.

Tidak 1. Ada AF / SVT / VT / VF/ ...

Stroke

0.

Tidak 1. Stroke Iskemik 2. Stroke Hemoragik

Revaskularisasi

0.

Tidak 1. PCI

Kematian

0.

Tidak 1. Ada

6 minggu follow up

Heart Failure (HF) 0. Kls I 1. Kls II 2. Kls III 3. Kls IV

Aritmia

0.

Tidak 1. Ada AF / SVT / VT / VF/ ...

Stroke

0.

Tidak 1. Stroke Iskemik 2. Stroke Hemoragik

Revaskularisasi

0.

Tidak 1. PCI


(4)

Tidak

11 Lama Rawatan CVCU : ……… jam /hari ICU : ……… jam/ hari Ruangan : ……… jam/hari

12 TIMI RISK

2 , 3 65 - 74 th / > 75 th : + /+

1 DM / Ht / Angina : +

3 SBP < 100 mmHg : +

2 HR > 100 x/mnt : +

2 Killip II - IV : +

1 BB < 67 kg : +

1 Anterior / LBBB : +

1 Onset > 4 jam : +

13 Kateterisasi

Diagnostik 0. Tidak

1. Ada

LM 0. (N) 1. stenosis < 50% 2. Stenosis > 50% 3. Total Oklusi

LAD 0. (N) 1. stenosis < 50% 2. Stenosis > 50% 3. Total Oklusi

LCx 0. (N) 1. stenosis < 50% 2. Stenosis > 50% 3. Total Oklusi

RCA 0. (N) 1. stenosis < 50% 2. Stenosis > 50% 3. Total Oklusi

Graft IRA/pdi --> RCA / LAD / LCx Stent --> 1 / 2 / 3 ( DES / BMS ) ... 14

Perjalanan Klinis

Selama Rawatan / Follow up 6 Minggu

Meninggal 0. Tidak 1. Ya ... (DD/MM/YY)

MACE 0. Cardiac Related Death 1. Fatal MCI 2. Fatal Stroke 3. Non Fatal MCI

4. Non Fatal Stroke 5. CHF 6. PTCA 7. CABG 8. Non Cardiovasculer Death


(5)

(6)