Satu hal yang perlu diingat adalah penggunaan terminologi perbuatan melawan hukum lebih luas daripada wanprestasi dimana penggunaan terminologi
wanprestasi terbatas pada perjanjian perdata saja.
D. Cara Pengajuan Gugatan
Berdasarkan ketentuan pasal 118 1 HIR dan 142 Rbg, gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh yang menggugat atau kuasanya
pasal tersebut berbunyi “Tuntutan sipil, yang mula-mula harus diadili pengadilan negeri, dimasukkan dengan surat permintaan yang ditanda-tangani oleh yang
menggugat, atau oleh wakilnya ..........” Baik HIR maupun Rbg tidak mengatur mengenai isi dan bentuk surat gugatan. Berdasarkan ketentuan pasal di atas dapat
disimpulkan bahwa setiap gugatan pada saat diperiksa di persidangan oleh majelis hakim harus sudah dalam bentuk tertulis, jadi hakim hanya akan mengadili
perkara berdasarkan surat gugatan. Setelah surat gugatan ditandatangani oleh penggugat atau kuasa hukumnya
disertai dengan salinannya didaftarkan di panitera pengadilan negeri yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan pasal 121 ayat 4 dan pasal 145 ayat 4 Rbg
dan pasal undang-undang nomor 13 tahun 1985 perlu dibubuhi meterei. Surat gugatan atau permohonan pada dasarnya tidak perlu bermaterai, tetapi dalam
praktek masih menggunakan materai. Yang perlu dibubuhi materai adalah surat bukti yang diajukan dalam perkara perdata berdasarkan pasal 2 1 UU No. 13
tahun 1985. Materai merupakan syarat sahnya surat sebagai alat bukti dalam perkara perdata dan bukan merupakan syarat sahnya perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
Pendaftaran perkara harus disertai dengan menyetor uang muka biaya perkara, yang meliputi biaya kepaniteraan, biaya materai dan biaya pemanggilan dan
pemberitahuan. Bagi penggugat yang tidak mampu dapat beracara dengan cuma- cuma.
Dalam hal tempat pengajuan gugatan, Perlu dikemukakan kerangka pengadilan di Indonesia. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan umum pengadilan negeri, peradilan agama, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara Pasal 10 UU No. 4 th 2004. Pengadilan Negeri merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk, yang
mempunyai wewenang memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputuskan oleh
pengadilan-pengadilan peninggalan pemerintah kolonial atau pengadilan desa yang kini telah dihapuskan. Pengadilan Negeri disebut juga Pengadilan Umum
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 2 UU No. 4 tahun 2004. Kekuasaan Pengadilan negeri dalam mengadili perkara perdata meliputi semua
sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan lainnya, kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan
lain yang berwenang mengadili dan memutusnya. Namun ada pula kecenderungan penanganan perkara perdata melalui
mediasi, seperti : Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa melahirkan ketentuan Pengadilan Negeri tidak
Universitas Sumatera Utara
berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
HIR maupun Rbg mengatur tentang cara mengajukan gugatan tetapi tidak mengatur tentang syarat dan isi gugatan, bagi pencari keadilan kekuarangan
tersebut dapat diisi dengan ketentuan pasal 119 HIR atau 143 Rbg, yang menyatakan bahwa “ketua pengadilan berwenang untuk memberi nasihat dan
bantuan kepada penggugat atau kuasanya dalam pengajuan gugatan. Ketentuan mengenai isi gugatan terdapat dalam Rv pasal 8 yang gugatan harus memuat
Comparisi para pihak dan identitasnya, Fundamentum Petendi atau Posita yaitu
dalil konkrit tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai dasar gugatan dan Petitum
yaitu hal-hal yang minta diputus oleh hakim.
Fundamentum petendi atau posita adalah dasar dari tuntutan hak, lazim
disebut duduk perkara, yaitu uraian tentang peristiwa-peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Fundamentum petendi terdiri dari dua bagian yaitu :
Uraian mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hukum yang menjadi dasar seseorang mengajukan gugatan. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan
penjelasan duduk perkara. Uraian tentang hukum yaitu uraian mengenai adanya hak atau hubungan
hukum yang menjadi dasar yuridis tuntutan. Uraian yuridis ini bukan merupakan penyebutan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang dijadikan
dasar tuntutan, tetapi hubungan hukum antara peristiwa-peristiwa dangan hak-hak penggugat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian hak dan peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di persidangan harus dimuat dalam fundamentum petendi sebagai dasar dari tuntutan
atau petitum, yang akan memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan tersebut.
Mengenai luasnya rincaian tentang peristiwa-peristiwa yang harus diuraikan dalam Fundamentum petendi
terdapat dua teori yaitu Substantieringstheorie
dan Individualiseringstheorie sebagai berikut : Substantieringstheorie
, menyatakan bahwa gugatan disamping harus menyebutkan peristiwa yang menjadi dasar tuntutan juga harus menyebutkan
kejadian-kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa-peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan atau yang menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum yang
menjadi dasar gugatan tersebut. Dengan kata lain sebuah Fundamentum Petendi harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan dan memuat pula
sejarah terjadinya peristiwa-peristiwa dasar gugatan tersebut. Individualiseringstheorie
, teori ini menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang dikemukakan dalam gugatan cukup mengenai adanya hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan, sedangkan uraian mengenai sejarah terjadinya peristiwa dapat dikemukakan dalam persidangan. Teori ini diterima oleh Mahkamah Agung.
Dalam praktek sekarang lebih banyak menggunakan teori ini.
Kedua teori ini jika dipertimbangkan dalam praktek dewasa ini sama- mama mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing serta membawa
keuntungan dan kerugian yang hampir sama, adapun alasannya sebagai berikut : Proses persidangan perkara perdata dewasa ini berjalan secara tertulis, oleh sebab
Universitas Sumatera Utara
itu untuk mencegah kemungkinan hakim atau lawan menyatakan bahwa “dalil gugatan tidak jelas atau kabur obscuur liebel atau kurang lengkap” atau gugatan
disanggah oleh lawan, sedangkan penggugat tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memberikan tanggapan sampai akhirnya hakim memutus perkara tersebut.
Hal ini memungkinkan hakim dalam putusannya menyatakan “jawaban tergugat tidak disanggah atau dianggap diakui oleh penggugat”. Dengan demikian perlu
menguraikan secara lengkap sebagaimana dalam substantieringstheorie. Sebaliknya jika uraian terlalu panjang yang bisa membuka kesempatan lawan
memanfaatkan celah-celah sebagai kelemahan gugatan atau akan menyebabkan pihak lawan atau hakim memberikan penafsiran yang tidak dikehendaki
penggugat atau bahkan hakim menjadi tidak gairah membacanya dan akan memutus yang tidak menguntungkan penggugat.
Individualiseringstheorie mempunyai kelebihan karena uraian secara
pokoknya saja sehingga lawan maupun hakim akan lebih mudah memahami duduk perkara yang sebenarnya tertapi tidak berarti ada petitum yang tidak
berdasar pada fundamentum petendi untuk mencegah kemungkinan dinyatakan gugatan obscuur libel. Kelemahannya karena terlalu ringkas sering dinyatakan
gugatan tidak jelas. Disamping hal-hal yang telah diuraikan di atas terdapat hal-hal yang harus
dimuat dalam gugatan adalah : a.
Surat gugatan harus ditanda tangani oleh yang mengajukan atau kuasanya dan bertanggal. Jika gugatan diajukan oleh kuasa tanggal surat kuasa harus lebih
dulu dari tanggal gugatan.
Universitas Sumatera Utara
b. Kualifikasi perbuatan tergugat, apakah sebagai perbuatan melawan hukum
atau wanprestasi.Dalam praktek hal yang sangat penting dalam fundamentum petendi
adalah rincian unsur-unsur kerugian penggugat akibat perbuatan tergugat, yang dinyatakan secara jelas dan tegas, yang akan menjadi dasar
tuntutan ganti kerugian bahkan dwang som. Tanpa pemaparan rincian kerugian yang baik dan mudah dicerna hakim akan sulit mengabulkan gugatan
penggugat. c.
Objek perkara, yang pada umumnya dapat meliputi sebab-musabab pengajuan surat gugatan. Apabila objek perkara mengenai benda tetap hendaknya
dinyatakan secara rinci, baik mengenai cara memperoleh, luas dan batas-batas secara tegas dan hubungan hukumnya dengan penggugat.
d. Untuk menjamin gugatan supaya tidak menjadi gugatan yang illusoir sia-sia
harus memuat permohonan sita jaminan. Bahwa Penggugat mengajukan gugatan kepada pengadilan adalah untuk mempertahankan atau mendapatkan
haknya yang dikuasai oleh pihak lawan. Dengan kata lain menggugat berarti menuntut pihak lawan untuk memenuhi kehendak Penggugat yang intinya
dapat berupa Tergugat harus dihukum untuk membayar atau menyerahkan sesuatu kepada Penggugat atau Tergugat dihukum untuk melakukan guna
kepentingan Penggugat. Apabila gugatan penggugat dikabulkan seluruhnya, Tergugat belum tentu mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.
Oleh sebab itu Tergugat harus dipaksa, untuk memaksanya dilakukan sita jaminan. Sita jaminan berfungsi untuk mencegah terjadinya gugatan hanya
menang di atas kertas dan untuk memaksa Tergugat melaksanakan putusan
Universitas Sumatera Utara
pengadilan tersebut secara benar dan tepat waktu maka harus dilakukan sita jaminan yang dapat berupa revindicatoir beslaag atau conservatoir beslaag.
Dalam praktek permohonan sita jaminan selain dimuat dalam surat gugatan diajukan pula permohonan sita jaminan dalam surat tersendiri dan
diajukan setelah sidang pertama. Dasar mengenai alasan tuntutan denda dan ganti rugi, bahwa perbuatan
melawan hukum onrechtmatigedaad atau wanprestasi sering membawa kerugian kepada kreditur atau dalam hal ini penggugat. Penggugat harus membuat
perhitungan yang cermat dan dapat dibuktikan mengenai kerugian akibat tergugat wanprestasi atau melakukan perbuatan melawan hukum, perhitungan kerugian ini
harus mengenai kerugian yang nyata dan ingkar janji atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat.
Petitum , merupakan hal yang paling inti dalam gugatan, yaitu segala
keinginan dan harapan yang diminta kepada hakim untuk diputus, hakim perdata bersifat pasif sehingga hakim tidak dapat mengabulkan sesuatu yang tidak di
tuntut atau melebihi tuntutan. Oleh sebab itu petitum harus lengkap dengan memuat permohonan-permohonan yang ingin dikabulkan oleh hakim dalam
putusan perkara, tetapi setiap unsur petitum harus ada dasarnya dalam Fundamentum petendi. Petitum
harus dinyatakan secara jelas dan tegas mengenai apa yang menjadi tuntutan penggugat terhadap tergugat yang akan diputuskan
oleh hakim dalam amar putusan dictum. Dalam praktek petitum dapat berupa tuntutan pokok primair dan tuntutan tambahan subsidair.
Universitas Sumatera Utara
Hal-hal yang lazim dimuat dalam petitum primair antara lain memohon kepada Majelis hakim untuk menjatukan putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakan. apabila
dipandang sulit sita dapat dimintakan izin untuk dilakukan lelang melalui lembaga lelang negara.
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
3. Menyatakan Tergugat telah terbukti melakukan ……ingkar janji
wanprestasi, perbuatan melawan hukum, ……… sebagaimana dalam gugatan.
4. Menghukum Tergugat untuk .... menyerahkan,membayar dan sebagainya.
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
6. Menghukum untuk membayar uang paksa bila Tergugat lalai
melaksanakan putusan ini bila ada. 7.
Menyatakan putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam hukum acara perdata tuntutan subsidair merupakan tuntutan
pendamping, jika tuntutan primair ditolak meminta hakim agar memberikan putusan yang seadil-adilnya dan tidak terlalu merugikan pengugat, biasanya
berbunyi : apabila majelis hakim berpendapat lain penggugat memohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono.
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan batasan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Dimana bicara tentang wanprestasi apabila ada
perjanjian yang berlaku untuk para pihak, sedangkan bila berbicara mengenai perbuatan melawan hukum kalau suatu perbuatan melanggar undang-undang yang
Universitas Sumatera Utara
berlaku untuk umum. Dalam mengajukan gugatan terhadap suatu kasus, kita harus mampu untuk membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan
melawan hukum agar tidak terdapat celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tergugat.
Oleh sebab itu, sebelum mengajukan gugatan, ada baiknya calon penggugat mempertimbangkan terlebih dahulu apakah akan mengajukan gugatan
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Seandainya calon penggugat ingin mengajukan gugatan wanprestasi, cukup menunjukkan perjanjian yang telah
dilanggar, dan dengan demikian tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk menyatakan tidak terjadi wanprestasi. Namun, kalau calon penggugat akan
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, maka penggugat harus bersiap- siap untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa bukan hanya ada satu
perbuatan melawan hukum, tetapi ada juga unsur kesalahan schuld yang telah dilakukan oleh tergugat.
Dalam prakteknya, apabila pihak debitur telah melakukan wanprestasi, maka pihak kreditur yang akan menuntut ataupun mengajukan gugatan. Ada tiga
kemungkinan bentuk gugatan yang mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu :
1. Secara Parate Executie; Dalam hal ini kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung kepada
debitur tanpa melalui pengadilan. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan bertindak secara eigenrichting menjadi hakim sendiri secara bersama-sama.
Universitas Sumatera Utara
Pada prakteknya, parate executie ini berlaku pada perikatan yang ringan dan nilai ekonomisnya kecil.
2. Secara arbitrage arbitrase atau perwasitan; Oleh karena kreditur merasa dirugikan akibat cidera janji atau wanprestasi
yang dilakukan pihak debitur, maka antara pihak kreditur dan pihak debitur bersepakat untuk menyelesaikan persengketaan masalah mereka itu pada wasit
arbitrator. Dalam hal ini apabila arbitrator telah memutuskan sengketa itu, maka pihak kreditur ataupun pihak debitur harus menaati setiap putusan,
walaupun pada kenyataannya putusan itu menguntungkan atau merugikan salah satu pihak.
3. Secara rieele executie. Yaitu cara penyelesaian sengketa antara pihak kreditur dan debitur melalui
hakim di pengadilan. Cara rieele executie ini biasanya dipilih dalam sengketa masalah besar dan nilai ekonomisnya tinggi atau antara pihak kreditur dan
pihak debitur tidak ada konsensus penyelesaian sengketa dengan cara parate executie.
Maka, penyelesaian perkara ditempuh dengan cara rieele executie di depan hakim di pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN