Analisis Rantai Pasok Minyak Akar Wangi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Rantai Pasok Minyak Akar Wangi

Minyak akar wangi merupakan jenis minyak atsiri yang dihasilkan dari tanaman akar wangi. Sentra produksi akar wangi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut, terdapat tiga propinsi yang menjadi sentra produksi akar wangi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Sentra akar wangi di Jawa Barat yang terletak di Kabupaten Garut merupakan penghasil akar wangi terbanyak dengan luas lahan terbesar yaitu 2.500 Ha. Sentra akar wangi di Kabupaten Garut mampu menghasilkan 90 persen lebih dari total produksi minyak akar wangi Indonesia, yaitu sekitar 60-75 ton per tahun Sinar Tani, 2009. Sedangkan sentra produksi yang berada di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta tidak mengalami perkembangan. Tabel 9 . Sentra Produksi Akar Wangi di Indonesia No Propinsi Jumlah Kabupaten Luas Ha 1 Jawa Barat 1 2.500 2 Jawa Tengah 2 29 3 DI Yogyakarta 3 11 Jumlah 6 2.540 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2007 Budidaya akarwangi di Kabupaten Garut berdasarkan keputusan Bupati Kabupaten Garut Nomor : 520SK. 196-HUK96 tanggal 6 Agustus 1996 menetapkan bahwa luas areal perkebunan akar wangi dan pengembangannya oleh masyarakat seluas 2.400 Ha, namun pada kenyataannya hanya terdapat 2.318 Ha areal perkebunan akar wangi yang tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Samarang seluas 1.141 Ha, Kecamatan Bayongbong seluas 112 Ha, Kecamatan Cilawu seluas 240 Ha, dan Kecamatan Leles seluas 750 Ha. Lahan seluas 2.318 Ha tersebut dapat menghasilkan 75 ton minyak akar wangi dalam satu tahun, dengan rincian dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Luas Areal dan Produksi Akar Wangi di Kabupaten Garut Kecamatan Luas Areal Ha Hasil Produksi Ton Cilawu 240,00 8,00 Bayongbong 112,00 3,70 Samarang 1.141,00 37,40 Pasirwangi 75,00 2,50 Leles 750,00 23,40 Jumlah 2.318,00 75,00 Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Garut 2009 Berdasarkan data Dinas Perkebunan 2010, kegiatan pengembangan budidaya akar wangi melibatkan 1.203 orang sebagai pemilik Kepala Keluarga dan 52.717 orang tenaga kerja. Petani akar wangi tergabung dalam 33 Kelompok Tani yang tersebar di Kecamatan Samarang 9 Kelompok Tani, Leles 12 Kelompok Tani, Cilawu 10 Kelompok Tani dan Bayongbong 2 Kelompok Tani. Jumlah pengolah atau penyuling sebanyak 30 unit usaha yang tersebar di Kecamatan Samarang dan Pasirwangi 11 unit usaha, Leles 12 unit usaha, Bayongbong 5 unit usaha, dan Cilawu 2 unit usaha. Minyak akar wangi asal Kabupaten Garut diekspor ke beberapa negara, diantaranya Jepang, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Swiss, Italia, Jerman, Hongkong dan India. Negara yang saat ini mengembangkan komoditi akar wangi adalah Haiti dan Bourborn. Hasil produksi minyak akar wangi asal Kabupaten Garut termasuk nominatif dunia tetapi produksinya masih sangat terbatas baik dalam teknologi maupun permodalannya. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Perkoperasian Kabupaten Garut, pada tahun 2009 dan 2010 nilai penjualan ekspor komoditas minyak akar wangi tidak berubah yaitu sebesar 25.750 kg dengan nilai 1.416.250,00 US. Pada Gambar 9 dapat dilihat kegiatan rantai pasokan minyak akar wangi. Gambar 9. Rantai Pasokan Minyak Akar Wangi Indonesia Rantai pasokan minyak akar wangi pada umumnya merupakan rangkaian kegiatan produktif yang terhubung antara aktifitas nilai yang satu dengan yang lain membentuk rantai nilai industri. Rantai pasok minyak akar wangi di Indonesia terputus sebatas eksportir saja, sedangkan konsumen industri merupakan negara tujuan ekspor. Anggota primer rantai pasokan minyak akar wangi terdiri dari petani akar wangi, pengumpul akar wangi, penyuling akar wangi, pengumpul minyak akar wangi dan eksportir minyak akar wangi. Setiap anggota rantai pasokan mempunyai fungsi dan peranan masing-masing untuk menghasilkan minyak akar wangi yang berkualitas tinggi. Rantai pasokan minyak akar wangi dimulai dari petani sebagai penghasil bahan baku akar wangi. Hasil panen akar wangi dari petani akan dibeli oleh pengumpul akar wangi atau penyuling akar wangi dengan harga antara Rp. 2.000 sampai Rp. 3.000 per kg pada musim kemarau. Harga akar wangi sangat tergantung pada kualitas akar wangi sedangkan kualitas akar wangi sangat dipengaruhi oleh musim, keadaan tanah dan teknik budi daya yang dilakukan. Musim kemarau menyebabkan kualitas akar wangi lebih bagus karena dapat menghasilkan kandungan minyak yang lebih banyak. Pada musim hujan, akar wangi dijual di bawah harga standar yaitu bisa mencapai Rp 1.200 per kg. Hasil panen akar wangi langsung diantarkan oleh petani ke penyuling ke tempat penyulingan dengan menggunakan mobil pick up atau truk. Biaya transportasi ditanggung oleh penyuling atau sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak. Selain pembelian langsung, pembelian akar wangi juga dapat dilakukan dengan cara penyuling membeli akar wangi yang masih ada di lahan dimana belum diketahui secara pasti berapa hasil panen akar wangi tersebut. Setelah bahan baku berada di tangan penyuling, kemudian dilakukan proses penyulingan untuk menghasilkan minyak akar wangi. Minyak akar wangi yang dihasilkan kemudian dijual ke pengumpul minyak akar wangi atau eksportir minyak akar wangi yang berada di luar wilayah Garut. Eksportir paling banyak berada di Bogor dan Jakarta. Eksportir mengekspor minyak akar wangi ke beberapa negara yaitu Jepang, Singapura, Inggris, USA, Swiss, Italia, Jerman, Hongkong, dan India. Harga minyak akar wangi berkisar antara Rp 1.000.000 sampai Rp 1.400.000 per kg tergantung pada kualitas minyak yang dihasilkan. Harga akan semakin mahal jika kualitas minyak semakin baik. Baik atau buruknya kualitas minyak akar wangi dapat diamati dari warna, bobot jenis, indeks bias dan kadar vetiverol. Gambaran mutu hasil penyulingan rakyat dibandingkan dengan beberapa standar mutu nasional dan internasional dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perbandingan Mutu Minyak Akar Wangi Penyulingan Rakyat dengan Standar Mutu Nasional dan Internasional Parameter Penyulingan Rakyat Standar Mutu Indonesia Reunion Haiti Warna Coklat tuagelap Kuning muda- coklat kemerahan Coklat-merah kecoklatan Coklat-merah kecoklatan Bobot Jenis 2020°C 0.9882- 0.9870 0.980-1.003 0.9900- 1.1015 0.9860- 0.9980 Indeks Bias pada 20°C 1.5178-15221 1.520-1.530 1.5220- 1.5300 1.521-1.526 Bilangan asam 26.82-51.17 10-35 Maks 35 Maks 14 Kelarutan dalam etanol 80 pada 20°C 1 : 1 1 : 1 Maks 1 : 2 Maks 1 : 2 Bilangan ester 3.17-17.82 5-26 5-16 5-16 Vetiverol total asetilasi - Min 50 - - Kadar vetiverol 4.44-6.31 - - - Sumber: Tutuarima 2009 Aliran keuangan pada rantai pasokan minyak akar wangi terjadi dari konsumen, eksportir minyak akar wangi, pengumpul minyak akar wangi atau langsung ke penyuling minyak akar wangi, pengumpul akar wangi atau langsung ke petani akar wangi. Pengumpul minyak akar wangi atau penyuling memperoleh uang pembayaran yang ditransfer dari eksportir dalam jangka waktu satu sampai dua hari setelah minyak akar wangi dikirim. Petani memperoleh uang pembayaran secara tunai dari penyuling saat pengiriman akar wangi. Petani yang mempunyai hubungan kerjasama dengan penyuling sebesar 72 persen. Pada hubungan kerjasama tersebut penyuling memberikan modal kepada petani untuk usaha budidaya akar wangi. Hasil budidaya tersebut harus dijual kepada penyuling yang memberi modal dan dibeli dengan harga yang sedang berlaku yaitu Rp 2.000 sampai Rp 3.000. Aliran informasi rantai pasokan minyak akar wangi terjadi pada eksportir minyak akar wangi, pengumpul minyak akar wangi, penyuling, pengumpul akar wangi dan petani. Aliran informasi tersebut mempunyai arus dua arah. Informasi dari konsumen ke eksportir berhubungan dengan status pengiriman, berapa banyak pesanan yang harus dikirim dan tanggal pengiriman. Komunikasi antara eksportir dengan penyuling terkait dengan harga minyak akar wangi yang berlaku dan tanggal pengiriman minyak akar wangi. Komunikasi tersebut dilakukan dengan menggunakan telepon selular. Komunikasi antara penyuling dengan petani dilakukan untuk mengetahui harga akar wangi, waktu panen akar wangi dan kapasitas panen akar wangi. Komunikasi tersebut biasanya dilakukan secara informal di lahan perkebunan saat para petani dan penyuling melakukan budidaya akar wangi. Komunikasi antara petani akar wangi, pengumpul akar wangi dan penyuling minyak akar wangi dilakukan melalui rapat atau musyawarah. Rapat tersebut tidak dilakukan secara rutin. Biasanya rapat tersebut diadakan apabila ada hal yang sangat penting atau saat Rapat Anggota Tahunan RAT Koperasi USAR. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran anggota terhadap pentingnya rapat atau musyawarah. Masalah yang dibahas pada rapat tersebut berkaitan dengan bantuan modal, perijinan bahan bakar, penggunaan pupuk dan pemilihan bibit. Aktivitas pada anggota rantai pasokan akar wangi akan dibahas secara rinci pada sub bab berikut:

4.1.1 Aktivitas Petani Akar Wangi

Usaha budidaya akar wangi di Kabupaten Garut dimulai pada tahun 1918. Umumnya kegiatan budidaya akar wangi merupakan kegiatan turun temurun. Petani akar wangi di Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Samarang 40 persen, Bayongbong 28 persen, Cilawu 28 persen dan Leles 4 persen. Karakteristik petani akar wangi dibedakan menjadi tiga yaitu petani individu, petani kelompok dan petani penyuling. Sebesar 72 persen petani tergabung dalam kelompok tani. Kelompok tani diketuai oleh seorang penyuling yang berperan sebagai pemberi modal dan pembina teknik budidaya bagi anggotanya. Kesepakatan umum antara petani dan penyuling adalah petani harus menjual hasil panennya kepada ketua kelompok tani penyuling pemberi modal. Namun, beberapa penyuling membebaskan anggota kelompok taninya menjual hasil panen kepada pengumpul atau penyuling lain dengan ketentuan petani dapat membayar modal pinjamannya. Kelompok tani akar wangi terdiri dari kelompok tani tidak berbadan hukum 40 persen dan 32 persen lainnya berbentuk CV. Kelompok tani terbesar adalah Kelompok Tani Sinar Wangi jumlah anggota tani sebanyak 200 anggota. Luas lahan budidaya akar wangi milik petani bervariasi antara lain kurang dari 5 Ha 40 persen, 5-10 Ha 36 persen dan lebih dari 10 Ha 24 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa petani akar wangi di Kabupaten Garut merupakan petani kecil. Rata-rata hasil produksi akar wangi mencapai 10-21 ton per hektar. Usaha budidaya akar wangi umumnya merupakan usaha turun temurun. Lama usaha budidaya yang telah dijalankan oleh petani antara lain kurang dari 10 tahun 12 persen, 10-20 tahun 40 persen, 20-30 tahun 32 persen, 30-40 tahun 12 persen dan lebih dari 40 tahun 4 persen. Budidaya akar wangi dapat dilakukan dengan sistem monokultur dan tumpang sari. Petani yang melakukan budidaya akar wangi dengan sistem tumpang sari sebanyak 84 persen. Tahapan budidaya akar wangi yaitu pembibitan, pencangkulan, penanaman, pemangkasan daun, penyiangan, pemupukan dan pemanenan. Pembibitan akar wangi dilakukan dengan cara memisahkan daun dan akar kemudian diambil bonggol akarnya untuk ditanam. Bibit yang diperlukan untuk satu hektar lahan ± 10.000 rumpun. Setelah penyiapan bibit, proses budidaya dilanjutkan dengan pencangkulan secara manual kemudian dilakukan proses penanaman. Saat akar wangi berusia lima bulan sebaiknya dilakukan pemangkasan daun agar meningkatkan pertumbuhan akar. Proses penyiangan dilakukan sebanyak tiga kali selama musim tanam. Masa penyiangan pertama dilakukan pada saat akar berusia antara satu sampai dua bulan. Masa penyiangan kedua dilakukan antara usia tiga sampai empat bulan dan masa penyiangan ketiga dilakukan antara usia empat sampai enam bulan. Proses penyiangan dimaksudkan untuk menghilangkan tanaman-tanaman penganggu yang dapat mengurangi nutrisi bagi akar. Selain itu penyiangan juga berpengaruh pada jumlah rendemen minyak akar wangi. Pemupukan dilakukan saat akar berusia dua sampai empat bulan. Tidak semua petani melakukan proses pemupukan karena tidak sesuainya harga beli pupuk yang dikeluarkan dengan harga jual akar wangi yang dihasilkan. Selain alasan tersebut, sebagian petani menyatakan bahwa tanaman akar wangi dapat tetap tumbuh dengan baik walaupun tidak diberi pupuk. Pemberian pupuk biasanya dilakukan oleh petani akar wangi yang menerapkan sistem tumpang sari. Jenis pupuk anorganik yang digunakan antara lain ZA, TSP, NPK dan KCL sedangkan pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang. Saat tanaman akar wangi berusia 12 bulan maka tanaman siap dipanen. Sebagian besar petani memanfaatkan tenaga kerja borongan untuk proses pemupukan, penyiangan dan pemanenan. Upah tenaga kerja borongan sebesar Rp 15.000 – Rp 20.000 per hari untuk wanita dan Rp 25.000 – Rp 35.000 per hari untuk laki-laki. Permasalahan yang ditemui dalam budidaya akar wangi antara lain ketersediaan bibit yang tidak konsisten, mutu bibit tidak sesuai dengan yang diharapkan dan cuaca yang tidak menentu. Petani menjual hasil panen akar wangi kepada pengumpul atau penyuling. Petani individu menjual hasil panennya kepada pengumpul atau penyuling yang membeli dengan harga paling tinggi. Petani kelompok menjual hasil panennya kepada penyuling yang memberi pinjaman modal sedangkan petani penyuling langsung menyuling hasil panen tersebut sendiri. Harga jual akar wangi berkisar antara Rp 1.200-Rp 3.000 per kg berat basah. Harga jual akar wangi cenderung turun pada harga Rp 1.200 saat musim hujan. Namun kebanyakan petani menjual pada harga Rp 2.000 per kg. Tidak ada kendala yang signifikan dalam penjualan akar wangi karena seluruh hasil panen pasti dibeli oleh pengumpul akar wangi atau penyuling akar wangi. Modal petani umumnya adalah modal sendiri atau modal pinjaman dari saudara. Modal yang dibutuhkan petani dalam satu masa tanam kurang dari Rp 25.000.000. Kendala modal sering dihadapi oleh petani karena lamanya masa tanam. Hal tersebut menyebabkan petani menjual akar wangi dengan sistem ijon saat tanaman berumur delapan bulan dan siap dipanen setelah berumur 12 bulan. Sebagian besar petani tidak memanfaatkan fasilitas kredit dari lembaga keuangan karena persyaratan yang terlalu memberatkan dan berbelit-belit. Petani sangat mengharapkan peran pemerintah dalam memberi bantuan permodalan atau meringankan persyaratan pinjaman di lembaga keuangan. Petani akar wangi yang melakukan kemitraan sebesar 76 persen. Mitra petani antara lain adalah kelompok tani, penyuling, pengumpul bahan baku, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Garut. Bentuk kemitraan yang dilakukan antara lain pembelian bibit, pelatihan budidaya akar wangi, pemberian modal dan pemasaran akar wangi. Manfaat yang diperoleh selama bermitra antara lain meningkatkan pendapatan dan meningkatkan hasil budidaya karena adanya pembinaan budidaya. Harapan petani untuk bisnis akar wangi antara lain meluasnya pangsa pasar akar wangi Indonesia di dunia dengan peningkatan kualitas dan kuantitas akar wangi, tingginya harga akar wangi sehingga dapat berdampak pada meningkatnya kesejahteraan petani akar wangi. Selain itu bantuan dari pemerintah untuk meningkatkan bisnis akar wangi juga sangat diharapkan.

4.1.2 Aktivitas Pengumpul Akar Wangi

Pengumpul akar wangi mengumpulkan hasil panen akar wangi dari beberapa petani yang kemudian dijual kepada penyuling akar wangi. Pengumpul individu bekerja sendiri karena tidak ada kelompok pengumpul akar wangi secara khusus. Pengumpul yang juga berperan sebagai petani atau penyuling bergabung dalam suatu kelompok tani. Jumlah pengumpul akar wangi tidak banyak, hanya terdapat satu atau dua orang pengumpul dalam satu wilayah kecamatan. Lama usaha yang telah dijalankan oleh pengumpul rata-rata lebih dari lima tahun. Usaha lain yang dijalankan oleh pengumpul akar wangi adalah sebagai petani sayuran atau pedagang kelontongan. Pengumpul akar wangi membeli akar wangi langsung dari petani setelah panen. Pengumpul biasanya mendapat modal dari penyuling untuk mencari akar wangi. Apabila terjadi kekurangan pasokan, maka pengumpul mencari akar wangi ke luar wilayah. Sebagian pengumpul akar wangi melakukan penyulingan sendiri dengan menyewa alat suling kepada penyuling. Pengumpul akar wangi mampu mengumpulkan rata-rata 4-5 ton per hari dengan harga Rp 2.000 - Rp 3.000 per kg. Sistem pemesanan dilakukan secara langsung dengan mekanisme bayar cash and carry yaitu membayar secara langsung kas kemudian dapat membawa akar wangi yang sudah dibeli. Modal yang digunakan oleh pengumpul berasal dari modal sendiri atau pinjaman dari penyuling. Modal awal yang dibutuhkan oleh pengumpul antara lain kurang dari Rp 25.000.000 untuk pengumpul berskala kecil dan Rp 25.000.000 sampai Rp 50.000.000 untuk pengumpul berskala besar. Tidak ada pengumpul akar wangi yang memanfaatkan pinjaman kredit dari bank karena persyaratan yang rumit. Solusi dalam masalah permodalan yaitu dengan melakukan kerjasama dengan penyuling. Kerjasama tersebut dilakukan dengan cara pengumpul mencari bahan baku akar wangi dari petani untuk penyuling dengan menggunakan modal pinjaman dari penyuling. Kendala yang dialami pengumpul adalah ketersediaan akar wangi yang tidak konsisten serta mutu yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Mutu yang tidak sesuai menyebabkan rendahnya harga akar wangi. Harapan pengumpul akar wangi untuk keberlanjutan bisnis akar wangi di masa depan adalah bisnis akar wangi akan semakin baik.

4.1.3 Aktivitas Penyuling Akar Wangi

Penyuling akar wangi di Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Samarang, Bayongbong, Cilawu, Leles dan Pasirwangi. Penyuling individu di Kabupaten Garut sebesar 25 persen sedangkan penyuling yang bergabung dalam kelompok penyuling USAR sebesar 75 persen. Bentuk usaha penyuling akar wangi adalah tidak berbadan hukum 66,7 persen, persekutuan komanditer 8,3 persen dan koperasi 25 persen. Persentase jumlah penyuling menurut bentuk usaha dapat dilihat pada Gambar 10. Lama penyuling menjalankan usaha antara lain lebih 20 tahun sebesar 75 persen, 10 – 20 tahun sebesar 16,67 persen dan kurang dari 10 tahun sebesar 8,3 persen. Gambar 10. Jumlah Penyuling Menurut Bentuk Usaha Penyuling akar wangi yang juga merupakan petani akar wangi di Kabupaten Garut sebesar 44 persen. Penyuling membeli akar wangi dari pengumpul akar wangi atau langsung dari petani akar wangi. Penyuling akar wangi yang diberi pinjaman modal oleh pengumpul minyak akar wangi atau eksportir minyak akar wangi dengan ketentuan minyak akar wangi hasil sulingannya didistribusikan kepada pemberi pinjaman modal sebesar 50 persen. Pengiriman minyak dilakukan apabila minyak sudah terkumpul rata- rata 40 kg. Saat musim kemarau yaitu pada bulan Juli – September, produksi minyak akar wangi lebih banyak. Penyuling dapat mengumpulkan 50 kg minyak akar wangi selama seminggu. Modal awal yang dibutuhkan oleh penyuling akar wangi adalah sebesar Rp 100.000.000. Penyuling memenuhi kebutuhan modal tersebut dari modal sendiri 50 persen dan 50 persen lainnya dari pinjaman eksportir. Penyuling yang memanfaatkan jasa kredit dari Bank Umum sebesar 8,33 persen dan jasa kredit dari Kementrian UKM sebesar 16,67 persen, sedangkan 75 persen penyuling tidak memanfaatkan jasa kredit karena rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi. Hal tersebut menyatakan bahwa umumnya penyuling akar wangi di Kabupaten Garut tidak memanfaatkan jasa kredit untuk permodalan dari perbankan. Proses produksi minyak akar wangi dilakukan dengan cara dikukus menggunakan ketel stainless steel 50 persen, menggunakan boiler atau sistem uap terpisah 33 persen dan menggunakan sistem rebus 17 persen. Bahan bakar yang digunakan dalam proses produksi adalah solar dan oli bekas. Harga solar Rp 4.500 per liter sedangkan harga oli antara Rp 2.200 sampai Rp 2.500 per liter. Namun di daerah Leles masih menggunakan kayu bakar. Kenaikan harga bahan bakar minyak membuat biaya operasional semakin meningkat. Selain itu kelangkaan bahan bakar memperburuk kondisi penyulingan. Akibatnya banyak usaha penyulingan yang tidak beroperasi karena tidak bisa menutupi biaya operasional dari harga jual minyak. Kualitas minyak akar wangi dipengaruhi oleh suhu dan tekanan yang digunakan selama proses produksi. Penyuling menghemat bahan bakar dengan cara melakukan proses pengukusan yang tidak terlalu lama dan menaikkan tekanan pada 5 bar yang sebelumnya dijaga pada 3 bar dengan suhu 140-160°C pada sistem kukus. Pada sistem uap terpisah atau boiler suhu ditetapkan pada 120° dengan tekanan 2-3 bar selama 20 jam. Tekanan yang rendah membuat kualitas minyak akar wangi lebih baik. Tekanan yang tinggi dapat menyebabkan minyak akar wangi gosong. Penyuling membutuhkan waktu 12 jam untuk satu kali proses penyulingan. Waktu yang digunakan untuk memasukkan dan membongkar akar wangi ke dalam tungku adalah dua jam dan sepuluh jam digunakan untuk proses pengukusan. Satu hari satu alat suling dapat digunakan untuk dua kali proses penyulingan. Kapasitas tungku per penyulingan sebesar 1,2-2 ton akar wangi. Minyak akar wangi yang dihasilkan dalam satu kali suling sebesar 4-8 kg dalam kondisi akar wangi yang bagus. Rendemen rata-rata yang dihasilkan adalah 0,4-0,5 persen. Hasil minyak akar wangi kemudian dijual ke pengumpul minyak akar wangi atau ke eksportir. Permasalahan yang dihadapi oleh penyuling adalah ketersediaan bahan baku yang tidak konsisten, kualitas bahan baku yang tidak sesuai standar, modal dan alat suling yang tidak sesuai standar. Alat pemisah air dan minyak yang masih sederhana menyebabkan kualitas minyak kurang bagus dan rendahnya rendemen akibat tingginya penyusutan. Selain itu, mutu oli bekas yang rendah membuat pembakaran tidak optimal karena terlalu banyak dicampur dengan cairan lain. Tidak ada kesulitan yang dialami oleh penyuling akar wangi dalam memasarkan minyak akar wangi. Wilayah pemasaran minyak akar wangi yaitu 75 persen di Kabupaten Garut dan 25 persen di Jakarta dan Bogor. Penyuling melakukan penjualan minyak secara individu ke pengumpul atau eksportir. Pengumpul biasanya mendatangi tempat penyulingan atau penyuling mengirim langsung minyak ke pengumpul atau eksportir tersebut. Penyuling melakukan kerjasama dengan petani, pengumpul atau eksportir dan pemasok bahan bakar. Kerjasama antara penyuling dengan pemasok bahan bakar berupa dagang umum dengan hubungan jangka pendek. Sedangkan kerjasama antara penyuling, petani dan pengumpul atau eksportir merupakan hubungan sub kontrak jangka panjang. Kerjasama yang dibentuk memudahkan penyuling untuk melakukan usaha penyulingan. Manfaat melakukan kerjasama antara lain mendapat informasi dengan efektif. Informasi yang didapat berupa informasi mengenai proses penyulingan, harga minyak akar wangi dan mutu minyak akar wangi.

4.1.4 Aktivitas Pengumpul Minyak Akar Wangi

Berdasarkan suvey, jumlah pengumpul minyak akar wangi berskala besar di Kabupaten Garut ada dua. Kedua pengumpul minyak akar wangi tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Salah satu pengumpul minyak akar wangi di Kabupaten Garut merupakan perwakilan eksportir dari PT. Djasula Wangi Jakarta. PT Djasula Wangi merupakan perusahaan ekspor impor minyak atsiri yang didirikan sejak 1962. Pengumpul yang merupakan perwakilan PT Djasula Wangi ini sangat memperhatikan kualitas minyak akar wangi sedangkan pengumpul yang lain tidak memperhatikan kualitas minyak akar wangi. Adanya pengumpul yang tidak memperhatikan kualitas minyak akar wangi menyebabkan penyuling tidak memperhatikan kualitas pada proses penyulingannya karena menganggap minyak akar wangi akan tetap terjual walaupun dengan kualitas yang rendah. Hal tersebut juga menyebabkan daya saing minyak akar wangi Indonesia di dunia menurun. Harga minyak akar wangi Indonesia tidak dapat bersaing dengan harga minyak akar wangi dari negara pesaing. Lama usaha yang telah dijalankan oleh pengumpul minyak akar wangi yaitu lebih dari sepuluh tahun. Modal awal yang dibutuhkan oleh pengumpul minyak akar wangi lebih dari Rp 100.000.000. Pada umumnya pengumpul minyak akar wangi mendapatkan bantuan modal dari eksportir. Pasokan minyak akar wangi berasal dari penyuling yang berada di Kabupaten Garut. Saat panen raya pengumpul minyak mampu mengumpulkan 100 kg – 400 kg minyak akar wangi dalam satu minggu. Sedangkan saat musim paceklik hanya mampu mengumpulkan 200 kg dalam waktu sepuluh hari. Minyak yang terkumpul tersebut langsung dikirim ke eksportir yang berada di luar wilayah Garut yaitu Jakarta dan Bogor. Pengumpul minyak akar wangi merupakan price taker sehingga tidak mengetahui secara pasti harga ekspor minyak. Permasalahan yang sering muncul adalah ketersediaan minyak akar wangi yang tidak konsisten dan mutu minyak akar wangi yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan eksportir. Mutu minyak yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan tidak akan diterima oleh eksportir. Oleh karena itu, pengumpul minyak akar wangi membutuhkan pengalaman untuk menguji standar mutu sebelum diuji oleh laboratorium eksportir.

4.1.5 Sumber Daya Rantai Pasokan

1. Sumber Daya Fisik Sumber daya fisik rantai pasokan minyak akar wangi meliputi lahan pertanian dan sarana prasarana penyulingan. Sarana dan prasarana penyulingan seperti ketel dan pipa harus mendapat perhatian khusus. Umur ekonomis dari alat suling ketel adalah sekitar 10 – 15 tahun. 2. Sumber Daya Teknologi Penyulingan akar wangi di Kabupaten Garut masih dilakukan secara tradisional yaitu menggunakan sistem kukus. Penyulingan dengan menggunakan sistem uap terpisah boiler masih sangat sedikit. Bantuan peralatan yang didapat masih ada kendala operasional yaitu kapasitas mesin yang masih kurang. Kendala lain adalah belum adanya operator yang ahli tentang mesin tersebut dan mesin masih banyak kendala teknis. Perbedaan tipis keuntungan antara proses penyulingan uap terpisah dengan proses kukus membuat penyuling masih menggunakan sistem kukus. 3. Sumber Daya Manusia Proses penyulingan melibatkan dua orang tenaga kerja dalam satu kali penyulingan yang bertindak sebagai operator. Proses pencucian melibatkan pekerja borongan yang biasanya dilakukan oleh suami dan istri. 4. Sumber Daya Permodalan Pembiayaan pada budidaya akar wangi cukup sulit didapat dari perbankan. Syarat yang rumit dan adanya agunan membuat petani enggan untuk meminjam modal dari perbankan. Petani lebih memilih menggunakan modal sendiri, modal dari saudara atau modal pinjaman dari penyuling. Petani lebih nyaman membayar pinjaman dengan hasil panen mereka. Hal serupa juga terjadi pada penyuling. Penyuling lebih memilih menggunakan modal sendiri atau modal pinjaman dari pengumpul minyak atau eksportir. Syarat perbankan yang menuntut kepastian hasil dari penyuling sedangkan rendemen tidak dapat ditentukan secara pasti membuat penyuling tidak menggunakan jasa kredit dari perbankan. Anggota rantai pasokan minyak akar wangi sangat memerlukan bantuan modal dari pemerintah dan perbankan. Sistem bagi hasil perlu diterapkan untuk memberikan bantuan modal kepada penyuling atau petani sehingga tidak memberatkan bagi peminjam.

4.2. Gambaran Umum Kemitraan