METODE ANALISIS MINYAK NILAM

31 Tabel 15. Kondisi Budidaya dan Pengolahan Minyak Nilam di Kabupaten Pak-pak barat, Sumatera Utara. Parameter yang Diamati Hasil Pengamatan Lokasi Kecamatan Sitellu Tali Urang Jahe, Kabupaten Pak-pak Barat Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pak-pak Barat Ketinggian mdpl 650 – 950 700-1400 Curah hujan mmth 2500-3000 - Teknik budidaya  Asal bibit  Jarak tanam  Pupuk  Tanaman sebelumnya  0,33 x 0,33 m  Kompos, urea, ponska, ZA, KCL, SS, SP36  Tanaman sebelumnya  0,33 x 0,33 m  Kompos, urea, ponska, ZA, KCL, SS, SP36 Pemanenan dan pasca panen  Pemanenan  Bagian tanaman yang dipanen  Pada usia nilam 6 bulan  25- 40 cm dari tanah  Pada usia nilam 7-8 bulan  10- 30 cm dari tanah Penyulingan  Ketel suling  Prinsip kerja  Kapasitas ketel kg bahan nilam kering  Waktu Penyulingan jam  Drum  Kukus  15 dan 30  -  Stainlessteel  Steam  300  10  Drum  Kukus  15 dan 30  -  Stainlessteel  Steam  100  6-8 Rajagukguk 2009 Metode penyulingan yang banyak digunakan di berbagai daerah adalah metode kukus. Penggunaan drum sebagai alat penyuling merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan rendahnya kualitas mutu minyak nilam yang dihasilkan. Untuk daerah Jawa, peralatan yang digunakan untuk menyuling sudah ada yang menggunakan semi stainless steel tapi masih banyak juga yang menggunakan drum sebagai alat penyuling.

4.1 METODE ANALISIS MINYAK NILAM

Penelitian ini dimulai dengan memilih kondisi analisis yang akan digunakan pada alat GC-MS. Kondisi yang digunakan dalam menganalisis suatu minyak atsiri, termasuk minyak nilam, oleh setiap peneliti bisa berbeda satu sama lain tergantung pada alat GC-MS dan kolom yang digunakan. Xu et al. 2009 menggunakan GC-MS dari Shimadzu dengan tipe GC-2010 dan MS QP2010. Kolom yang digunakan adalah kolom silika DB-1 100 Polymethylsiloxane, 30 m X 0.25 mm i.d., tebal film 0.25 µm dan program suhu oven yang digunakan seperti berikut : suhu awal 50 C ditahan selama 2 menit, kemudian suhu mengalami peningkatan 4 C per menit sampai suhu mencapai 220 C ditahan selama 2 menit juga. Split rasio 1 : 10 dan kecepatan aliran gas helium 1.0 ml per menit. Sedangkan Zhao et al. 2005, menggunakan Gas 17 32 Chromatography-Tandem Mass Spectrophotometer dengan kolom kapiler Alltech AT-5 25m X 0.25mm i.d. tebal film 0.25 µm dan program suhu oven sebagai berikut: suhu awal 60°C dan dinaikkan sampai suhu 150 °C dengan kenaikan 5°Cmin. Suhu kemudian dinaikkan kembali sampai 200°C dengan kenaikan suhu 2°Cmin dan ditahan selama 10 menit dan kecepatan aliran gas helium 1 mlmin. Karena kolom dan kondisi analisis GC-MS yang digunakan berbeda, kromatogram yang dihasilkan kemungkinan juga berbeda terutama waktu analisis. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pemilihan kondisi analisis ini ditujukan agar hasil analisis yang berupa kromatogram tersebut bagus yaitu yang bentuk peaknya tidak menumpuk ataupun melebar. Pada awalnya kondisi analisis yang digunakan adalah kondisi analisis seperti pada tabel 11 berdasarkan trial and error. Kromatogram yang dihasilkan gambar 5 menunjukkan bahwa peak yang dihasilkan menumpuk kecuali pada menit-menit awal dan beberapa diantaranya melebar. Pada kondisi analisis ini dapat dilihat bahwa pada kenaikan suhu tertentu tidak terdapat komponen yang dideteksi. Waktu untuk mendeteksi seluruh komponen yang terdapat pada minyak nilam dengan menggunakan kondisi analisis ini kurang lebih hampir 1.5 jam. Bentuk kromatogram dan waktu analisis pada kondisi analisis yang pertama merupakan dasar untuk memodifikasi kondisi analisis tersebut agar didapatkan pemisahan komponen yang baik dan waktu pendeteksian yang lebih singkat pada penelitian ini. Gambar 5. Kromatogram Kondisi Analisis Pertama. Gambar 6. Kromatogram Kondisi Analisis Kedua. 18 33 Gambar 7. Kromatogram Kondisi Analisis Ketiga. Kondisi analisis kedua dan ketiga pada dasarnya sama dan yang membedakan adalah pada kondisi analisis ketiga dilakukan penahanan utamanya saat suhu 225 C seperti yang telah dijelaskan pada bab metode dan pemisahan peak pada menit 49.475 pada kondisi analisis ketiga lebih jelas dibandingkan dengan kondisi analisis kedua. Karena dinilai peak yang dihasilkan sudah cukup baik tidak terlalu melebar dan pemisahannnya jelas, kondisi analisis ketiga ini dipilih sebagai kondisi analisis yang digunakan untuk menganalisis sampel minyak nilam. Untuk mengetahui apakah kondisi analisis ketiga ini cukup baik menghasilkan peak dengan pola yang tidak jauh berbeda ketika digunakan kembali kekonsistenan kondisi analisis, kondisi analisis ini diulang dua kali untuk sampel minyak nilam yang sama. Minyak nilam yang digunakan untuk menganalisis kekonsistenan kondisi analisis ini adalah minyak nilam dari Pak-pak Barat karena sampelnya paling banyak dibanding sampel dari daerah lain. Peak yang dihasilkan dari pengulangan kondisi analisis tersebut terlihat pada gambar 8. Gambar 8. Kromatogram Kondisi Analisis Ketiga.Hasil Pengulangan. Jika dilihat dan dibandingkan, kedua peak gambar 7 dan gambar 8 yang dihasilkan dari kondisi analisis ketiga tidak jauh berbeda sehingga dapat dikatakan kondisi analisis ini cukup konsisten untuk digunakan sebagai metode analisis. Untuk lebih meyakinkan lagi, kekonsistenan kondisi analisis ketiga ini juga dapat dilihat dari komposisi komponen yang dapat 19 34 dideteksi dari kedua peak dari minyak yang sama yang dianalisis menggunakan kondisi analisis ketiga tersebut. Komposisi dari kedua peak tersebut dapat dilihat pada tabel 16 di bawah ini. Tabel 16. Komposisi Minyak Nilam Ulangan 1 dan Ulangan 2 Kondisi Analisis 3 No Komponen Persentase Area No Komponen Persentase Area No Komponen Persentase Area 1 2 1 2 1 2 1 α-Pinene 0.05 0.05 17 α-Bulnesene 12.64 11.73 33 Unidentified 11 3.08 3.09 2 -Pinene 0.15 0.13 18 -Vetivenene 0.14 0.14 34 Patchouli alkohol 31.40 29.47 3 -Patchoulene 2.53 2.36 19 -- α-Panasinsen 0.31 0.26 35 Khusinol 0.31 0.40 4 -Elemene 0.85 0.88 20 -Vetiverene 0.09 0.09 36 Unidentified 12 0.17 0.21 5 Thujopsene 0.85 0.89 21 Unidentified 1 0.00 0.14 37 Zerumbone 0.53 0.65 6 -Caryophyllene 3.14 3.10 22 Longichamphenylone 0.81 0.92 38 2H-Pyran-2-one. 3-acetyl-4- hydroxy-6- methyl- 1.91 2.04 7 α-Guaiene 12.34 11.27 23 Isoaromadendrene Epoxide 0.28 0.34 39 Unidentified 13 0.31 0.37 8 -Patchoulene 8.84 8.58 24 Unidentified 2 0.71 0.85 40 Unidentified 14 0.20 0.24 9 α-Humulene 0.47 0.51 25 Unidentified 3 0.24 0.00 41 Aristolone 0.23 0.32 10 α-Patchoulene 5.51 5.49 26 Unidentified 4 0.20 0.21 42 Unidentified 16 0.15 0.17 11 Seychellene 1.41 1.47 27 Caryophyllene oxide 2.18 2.56 43 Corymbolone 0.00 0.10 12 Patchoulene 1.32 1.46 28 Unidentified 6 0.18 0.22 13 -Selinene 0.34 0.38 29 3-Cis iso thujopsanone 1.33 1.55 14 Viridiflorone 0.00 0.05 30 CEDR-8-15-en-9 alpha-ol 0.83 0.99 15 Trans beta guaiene 0.50 0.54 31 Unidentified 7 0.28 0.33 16 Germacrene A 2.96 3.05 32 Unidentified 8 0.27 0.40 Ket : 1. Ulangan 1, 2. Ulangan 2 Berdasarkan tabel 16 tersebut dapat dilihat bahwa komponen yang berhasil dideteksi dari ulangan 1 sebanyak 40 komponen dan ulangan 2 sebanyak 42 komponen. Perbedaan jumlah komponen yang terdeteksi dikarenakan beberapa komponen yang persentase area cukup kecil tadinya tidak terdeteksi pada ulangan 1 terdeteksi pada ulangan 2. Perbedaan ini dirasa tidak terlalu mempengaruhi kekonsistenan kondisi analisis ketiga dalam melakukan analisis dan mengahasilkan peak karena komponen utama yang persentase areanya besar persentasenya tidak terlalu jauh berbeda ulangan 1 dibanding ulangan 2. Atas dasar tersebutlah, kondisi analisis ketiga ini digunakan untuk menganalisis sampel minyak nilam yang digunakan dalam penelitian ini. Pada saat analisis sampel disuntikkan sebanyak dua kali untuk melihat apakah kondisi analisis tersebut masih konsisten untuk sampel yang berbeda.

4.2 KOMPOSISI MINYAK NILAM