Humanis (Insâniyy)

3. Humanis (Insâniyy)

Manajemen Islam selaras dengan kehidupan manusia. Kehidupan manusia terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Manajemen Islam di desain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Konsep kebutuhan menurut Imam al-Syathibi (w.790 H) ada lima; Pertama, kebutuhan terhadap agama (al-din). Setiap muslim niscaya

membutuhkan agama sebagai pedoman hidup. Tanpa agama manusia akan hidup tanpa aturan, yang berdampak kepada rusaknya kehidupan. Melindungi agama berarti memelihara iman, islam dan ihsan dalam kehidupan. Melindungi agama juga berarti mencegah segala perbuatan yang dapat merusak iman, islam dan ihsan. Seperti melindungi agama dari segala perilaku kesyirikan, ajaran-ajaran sesat, gerakan sekulerisme, liberalisme, orientalisme, kristenisasi dan zionisme.

Kedua, kebutuhan terhadap jiwa (al-nafs). Melindungi jiwa berarti menjamin akan keberlangsungan hidupnya melalui pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pemenuhan kebutuhan tersebut menjadi wajib, dalam rangka mengoptimalkan ibadahnya kepada Allah Swt, karena Allah Swt berfirman, “tidaklah Aku menciptakan jin dan

manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Al- Dzariyyat: 56). Melindungi jiwa juga berarti meningkatkan nilai-nilai

maknawiyah (spritual), memerhatikan kebersihan hatinya, agar senantiasa hidup bersama prinsip dan nilai-nilai Islam. Melindungi jiwa juga bermakna mencegah segala perbuatan yang dapat merusak jiwa, seperti dilarang membunuh jiwa, mencederainya, melukainya, memfitnahnya, menzhaliminya, dan lain sebagainya.

Pengantar Manajemen Syariah Pengantar Manajemen Syariah

Pengantar Manajemen Syariah

Adapun A.H. Maslow mengemukakan piramida hierarki kebutuhan Kedua, Hâjiyât, yaitu kebutuhan hidup yang seyogianya dipenuhi, manusia yang diawali oleh kebutuhan fisiologi seperti sandang,

yang jika tidak dipenuhi akan berdampak kepada kesulitan. Misalnya pangan, papan. Kebutuhan pada tingkat berikutnya adalah kebutuhan

adanya pintu dan jendela pada rumah.

akan keamanan, misalnya proteksi terhadap bahaya fisikal. Kebutuhan tingkat selanjutnya adalah kebutuhan sosial, bahwa manusia ingin

Ketiga, Tahsînât, yaitu kebutuhan pelengkap, yang jika tidak dipenuhi berasosiasi dengan pihak lain, ingin diterima oleh rekan-rekannya,

akan berdampak kepada kurang nyaman. Misalnya AC pada rumah. ingin berbagi dan berkawan. Kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan akan penghargaan, seperti kebutuhan untuk mencapai kepercayaan

Imam Syathibi telah pun mengawali pembagian tingkatan kebutuhan diri, prestasi, kompetensi, pengetahuan, reputasi, apresiasi. Kebutuhan

manusia berdasarkan tingkat prioritasnya kepada primer, sekunder dan selanjutnya merupakan tingkat kebutuan yang paling tinggi dalam

pelengkap. Ketiga tingkatan urgensi tersebut diterapkan dalam kulliyât piramidanya, yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasi diri.

al-khamsah (lima bentuk prinsip umum) atau lima bentuk maqashid syariah, yaitu: melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi

Hal yang sangat mendasar dan nyata bahwa A.H. Maslow tidak

keturunan, melindungi pikiran, melindungi harta.

menjadikan kebutuhan akan agama sebagai suatu kebutuhan bagi manusia! Sementara imam al-Syathibi menjadikan kebutuhan akan

Korelasi antara dharûriyyât, hâjiyât dan tahsînâtdisebutkan al- agama sebagai kebutuhan pertama yang dibutuhkan manusia guna

Syathibi dalam lima kaedah; (1) Dhârûriyyat merupakan dasar dari mencapai keseimbangan hidup!Ketika A.H. Maslow tidak bersandar

maqashid hâjiyât dan tahsînât.(2) Kerusakan pada maqâshid kepada agama dan Tuhan dalam konsepnya, maka visi, misi, karakter,

dharûriyyât akan membawa implikasi buruk pula pada maqâshid target dan tujuan dari piramida kebutuhannya menjadi samar dan

hajiyât dan tahsînât. (3) Kerusakan pada maqashid hâjiyâtdan tahsînât rancu. Disaat A.H. Maslow mengabaikan agama dan Tuhan, maka

belum tentu merusak maqashid dharûriyyât. (4) Kerusakan pada piramida kebutuhannya jauh dari ukuran-ukuran fitrah manusia

maqashid hâjiyât dan tahsînâtyang bersifat absolut terkadang dapat sesungguhnya, dan sebaliknya ia akan didasari oleh akal dan hawa

merusak maqashid dharûriyât. (5) Pemeliharaan terhadap maqashid nafsu manusia yang relatif bebas. Akhirnya masyarakat yang beragama

hâjiyât dan maqashid tahsînât diperlukan demi pemeliharaan sulit merealisasikannya.

maqashid dharûriyyât secara tepat. 1

Al-Syathibi mengungkapakan tingkatan urgensi dan prioritas Dengan demikian, tingkat hâjiyâtmerupakan penyempurnaan tingkat kebutuhan manusia ada tiga:

dharûriyyât, dan tingkat tahsînât merupakan penyempurnaan bagi tingkat hâjiyât, sedangkan dharûriyyât menjadi pokok hâjiyât dan

Pertama, Dharûriyyât, yaitu kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, tahsînât. Apabila maqashid hâjiyât berselisih dengan tahsînât maka yang jika tidak dipenuhi maka akan berdampak kepada kerusakan.

maqashid hâjiyâtlebih diprioritaskan.

Misalnya pondasi pada bangunan rumah.

¹Bin Zaghibah 'Izzuddin, al- Maqâshid al-'Âmmah li al-Syarî'ah al-

BAB II Islâmiyyah, Dar al-Shafwah: Kairo, 1996, KARAKTER DAN PRINSIP

“Tidak akan mantap generasi akhir umat ini, melainkan dengan perkara yang telah menjadikan mantap generasi awalnya.” 2

Ini merupakan implementasi daribenchmarking. Jika generasi sekarang ingin jaya, lakukanlah benchmarking terhadap kehidupan generasi-generasi sukses terdahulu. Analisis faktor-faktor

kesuksesannya, amati dimensi dan indikator dari setiap faktor sukses mereka. Jadikan sebagai inspirasi untuk diterjemahkan dalam perilaku manajemen kekinian. Uniknya, jawaban terhadap kata kunci kesuksesan umat terdahulu dan sekarang ternyata sama, yakni kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bagi muslim manajemen adalah kehidupan. Jika muslim menginginkan kehidupan yang bahagia dan berkualitas, maka ia harus menata proyek kebaikannya secara terbaik. Jika rindu akan kejayaan Islam maka tatalah dakwah Islam dengan sebaik-baiknya. Semua aturan syariat itu adalah proses kerja manajemen.

Karakter ini juga akan membimbing seseorang untuk berfikir realistis berdasarkan data dan fakta. Berfikir sistematik. Tidak terburu-buru untuk melewati tahapan dan lompatan manajemen, selalu memperhatikan proses dalam peningkatan dan berpindah dari satu tahap ke tahapan berikutnya, dari satu tangga ke tangga berikutnya, atas dasar kematangan dan kemampuan untuk disiplin. Tidak tergesa- gesa menikmati buah sebelum ia matang, tidak menabrak hukum- hukum alam. Sesungguhnya usia manajemen lebih panjang daripada si pelakunya. Boleh jadi hasil dari kerja manajemen saat ini, dirasakan oleh generasi sesudahnya. Tidak ada yang sia-sia dari usaha yang ditampilkan apabila segalanya bernilai ibadah.