Binatang yang Hidup di Darat
1. Binatang yang Hidup di Darat
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa makanan yang berasal dari binatang yang hidup di darat, di dalam al-Qur’an dijelaskan secara eksplisit dengan lafazh al-an’âm, sebagaimana terdapat dalam ayat berikut :
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Mâ’idah : 1)
Kata ﺔـﻤﻴﲠ berarti sesuatu yang tidak memiliki akal, biasanya kata ini
dikhususkan untuk menyebutkan empat jenis binatang ternak yang di dalam al-Qur’an di sebut ﻡﺎﻌﻧﻷﺍ yaitu unta, sapi, kambing dan kerbau. Termasuk juga dalam pengertian ini binatang yang menyerupainya seperti domba, dan dikhususkan untuk menyebutkan empat jenis binatang ternak yang di dalam al-Qur’an di sebut ﻡﺎﻌﻧﻷﺍ yaitu unta, sapi, kambing dan kerbau. Termasuk juga dalam pengertian ini binatang yang menyerupainya seperti domba, dan
Qur’an surah an-Nahl ayat 66 disebutkan :
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (Q. S. an-Nahl : 14)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah memberikan minuman kepada manusia berupa susu yang berasal dari perut binatang. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia biasanya mengambil susu dari binatang yang
tiga, yaitu : unta, sapi dan kambing. Jadi yang termasuk dalam kata ﻡﺎـﻌﻧﻷﺍ
adalah ketiga binatang tersebut. 3
Dalam ayat lain disebutkan bahwa selain untuk dimakan, binatang ternak memiliki manfaat yang banyak, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di bawah ini :
1 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-M unir, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), juz VI, h 64 2 Hamid an-Najdi,
A l-I’j â z al-‘Ilm î f î al-Qur’an al-Kar î m, (Syam : Jauhar asy-Syam, 1993), cet. I, h 25
3 Ibid, h. 26
“ Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfa`at, dan sebahagiannya kamu makan” . (Q.S. an-Nahl : 5)
Allah menciptakan binatang ternak untuk manusia berupa sapi, kambing, biri-biri dan unta, agar manusia dapat mempergunakan bulunya sebagai selimut yang dapat menghangatkan, serta manfaat-manfaat lain misalnya dari bulu-bulu itu manusia dapat menenunnya menjadi pakaian, dan kulitnya untuk sepatu dan lain-lain. Sedangkan dagingnya adalah untuk
dimakan, daging itu mnenjadi sangat penting sebagai gizi penguat badan. 4 Manusia sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi daging, karena ia memiliki kandungan nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti protein, lemak, vitamin-vitamin, mineral, zat besi, dan lain-lain. Bila dikonsumsi secara teratur dan tidak berlebihan, daging dapat mencegah penyakit anemia (kurang darah).
Karena kandungan lemak pada daging binatang ternak merupakan jenis asam lemak jenuh yang berkolesterol, maka harus diwaspadai terutama oleh kaum lansia agar tidak berlebih-lebihan dalam memakan daging tersebut, dan hendaknya diimbangi dengan konsumsi sayur-sayuran hijau
dan buah-buahan. 5
Selain makanan hewani di atas, di dalam al-Qur’an dijelaskan satu jenis burung yaitu salwa, yang disebutkan sebanyak tiga kali. 6
4 Hamka, Tafsir A l-A zhar, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas, 1983), Juz XIV, h. 223
5 Soenarso Soehardi, Memelihara Kesehatan Jasmani M elalui M akanan, (Bandung : Penerbit ITB, 2004), h. 123-124
6 Terdapat dalam Surat al-Baqarah : 57, al-A’râf : 160, dan Thâha : 80
“ Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa". Makanlah dari makanan yang baik- baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri” . (Q.S. al-Baqarah : 57)
Salwa adalah sejenis burung sebangsa burung puyuh yang datang berbondong-bondong, sehingga mudah ditangkap untuk kemudian
disembelih dan dimakan. Burung-burung ini adalah rezeki yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang Yahudi yang sedang tersesat di
padang pasir, yang seharusnya mereka syukuri. 7
Biasanya kaum lelaki menangkap burung ini sebagai persediaan makanan yang cukup untuk satu hari satu malam. Tetapi setiap hari jum’at mereka menangkapnya lebih banyak, yaitu untuk persediaan dua hari,
karena burung-burung itu tidak turun setiap hari sabtu. 8
Walaupun binatang ternak dan beberapa binatang lainnya, seperti unggas, (ayam, burung, bebek dan lain sebagainya) halal hukumnya untuk dimakan, namun hal itu sangat terkait dengan cara penyembelihannya. Terkait dengan masalah ini, al-Qur’an menyatakan bahwa diantara binatang yang haram dimakan adalah :
8 Mutawalli Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, Al-Khâzin, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), juz I, h. 350 Tafsîr al-Khâzin, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1979), juz I, h. 63
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah …” (Q.S. al-Mâ’idah : 3)
Dalam ayat lain juga dijelaskan :
“ Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan” . (Q.S. al-An‘âm : 121)
Dari sini, lahir pembahasan panjang lebar tentang syarat-syarat penyembelihan yang harus dipenuhi bagi kehalalan memakan binatang- binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan dengan penyembelih, cara dan tujuan penyembelihan, anggota tubuh binatang yang harus disembelih, dan alat penyembelihan. Pembahasan secara lengkap mengenai
masalah ini dapat ditemukan dalam buku-buku fiqih. 9
Al-Qur’an juga menjelaskan secara eksplisit bahwa dihalalkan memakan sembelihan ahlul kitab, firman-Nya :
“ Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka” . (Q.S. al- Mâ’idah : 5)
9 Secara lengkap mengenai syarat-syarat penyembelihan ini dapat dilihat dalam kitab Bidâyah al-M uhtahid wa Nihâyah al-M uqtashid, karya Ibnu Rusyd, (Beirut : Dar al-Fikr,t.th) juz
I, h. 321-330
Dari ayat-ayat tersebut di atas, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl al-Kitab (Yahudi/ Nasrani).
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab, dan apakah umat Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl al-Kitab? Mayoritas
ulama berpendapat bahwa mereka tidak termasuk dalam kategori ahlul kitab yang diisyaratkan dalam ayat di atas.
Menurut Imam Syafi’i, yang dimaksud ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berasal dari keturunan Bani Israel. Sedangkan bangsa-bangsa lain yang ikut-ikutan mengadopsi agama Yahudi atau Nashrani sebagai agamanya, maka tidak termasuk dalah kategori ahlul kitab. Dengan alasan bahwa Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali kepada Bani Israel, dan dakwahnyapun tidak diperuntukkan bagi semua bangsa di dunia selain bangsa Israel. Pendapat Imam Syafi’i ini berlandaskan pada sebuah hadis shahih yang marfu’ sampai kepada Rasulullah saw. yang berbunyi : “ Adalah Nabi-nabi terdahulu itu diutus kepada kaumnya (bangsanya)
saja, sedangkan aku (Nabi Muhammad) diutus untuk seluruh manusia” . 10 Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh ayat tadi adalah semua sembelihan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebelum diutusnya Rasulullah saw. itu halal bagi kamu sedangkan orang-orang yang
10 Abdul Muta’âl Muhammad al-Jabary, Jarîmat az-Zawâj bi Ghairi al-M uslimât; Fiqhan wa Siyasatan, (terj.), (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996), Cet. III, h. 22 10 Abdul Muta’âl Muhammad al-Jabary, Jarîmat az-Zawâj bi Ghairi al-M uslimât; Fiqhan wa Siyasatan, (terj.), (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996), Cet. III, h. 22
adalah haram. 12 Selain syarat-syarat di atas, masih ada syarat-syarat yang diisyaratkan
oleh al-Qur’an, yaitu tentang cara menyembelih dengan menyebutkan beberapa cara yang tidak direstuinya, seperti dalam ayat :
“ …Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih atas nama berhala …” . (Q.S. al-Mâ’idah : 3)
Binatang yang mati dengan cara-cara di atas dapat dikategorikan sebagai makanan yang haram. Karena binatang yang mati karena tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, adalah dapat dikatakan sebagai bangkai. Al-Qur’an dengan tegas mengharamkan memakan bangkai. Diantara hikmah dari pengharaman bangkai ini adalah karena bangkai merupakan media pertumbuhan bakteri-bakteri yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Penjelasan secara panjang lebar mengenai masalah ini penulis uraikan dalam bab berikutnya.
11 Al-Baghaw i, M a’âlim at-Tanzîl fî at-Tafsîr wa at-Ta’wîl, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1985), juz II, h. 57
12 Al-Khâzin, Op. Cit., juz II, h. 14
2. Binatang yang Hidup di Laut
Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan oleh Allah swt. sebagaimana terdapat dalam ayat berikut :
“ Dan Dia-lah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)...” . (Q.S. an-Nahl : 14)
Bahkan hewan laut atau sungai yang sudah mati dengan sendirinya (bangakai) tetap dihalalkan berdasarkan ayat 96 yang terdapat dalam surat
al-Mâ’idah :
“ Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang- orang yang dalam perjalanan” . (Q.S. al-Mâ’idah : 96)
Yang dimaksud dengan ﺮــﺤﺒﻟﺍ ﺪﻴــﺻ (buruan laut) adalah binatang
hidup yang ditangkap atau diperoleh dengan jalan upaya seperti memencing, menjaring, dan sebagainya baik dari laut, sungai, danau, kolam dan lain-lain.
sedangkan kata ﻪـﻣﺎﻌﻃ (makanan yang berasal dari laut) adalah ikan dan
semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung dan terdampar. Karena yang mengapung atau terdampar tidak
lagi diperoleh dengan memburunya. 13 Ada juga yang mengatakan bahwa
13 M. Quraish Shihab, Tafsir A l-M ishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian A l-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2001) cet. I, h. 189, Lihat juga keterangan beliau dalam bukunya W awasan A l- 13 M. Quraish Shihab, Tafsir A l-M ishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian A l-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2001) cet. I, h. 189, Lihat juga keterangan beliau dalam bukunya W awasan A l-
pantai. 14
Allah swt. berfirman :
“ Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar...” (Q.S. Fâthir : 12)
Ayat ini menjelaskan bahwa ikan hukumnya halal dimakan baik ikan yang hidup di laut maupun yang hidup di air tawar seperti di sungai, danau, kolam dan lain sebagainya.
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang hukum memakan bangkai ikan atau ikan yang sudah mengapung di permukaan air karena mati. Menurut Madzhab Abu Hanifah tidak dibenarkan memakan ikan yang mengapung di permukaan laut atau sungai dengan alasan bahwa ia termasuk bangkai. Madzhab ini berpegang pada ayat yang mengharamkan bangkai, yaitu surat al-Mâ’idah ayat 3 :
Q ur’an, Tafsir M audlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2003) cet. XIV, h. 141 14 Ibnu Katsir A d-Dimasyqi, Tafsîr A l-Qur’ân A l-‘A zhîm, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1992), Jilid II, h. 126
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (Q.S. al-Mâ’idah : 3) Juga pada subuah hadis yang yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu
Majah dari Jabir : 15
“ Sesuatu yang ada di laut yang surut maka makanlah, dan sesuatu yang dikeluarkan dari padanya maka makanlah, dan sesuatu yang terapung (karena mati) maka janganlah dimakan” . (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Sedangkan menurut pendapat Jumhur ulama, boleh memakan ikan yang mengapung di permukaan air, berdasarkan ayat ke 96 dalam surat al- Mâ’idah di atas. Juga berpegang pada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan lain-lain melalui Abu Hurairah yang menyatakan bahwa :
“ Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya” . (H.R. Muslim dan lain-lain)
Menurut hemat penulis, pendapat yang dikemukakan oleh Jumhur ulama adalah lebih tepat, karena selain hadis di atas, ada sebuah yang dapat menguatkan pendapat tersebut, yaitu :
15 Wahbah az-Z uhaili, Op. Cit., juz XIV, h. 102 16 Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Jabir. Hadis ini dha’if 17 An-Nawawi, Shahih M uslim bi Syarh an-Nawawi, (Kairo : Dar al-Hadits, 1994), jilid
XIII, h. 86
“ Dihalalkan untuk kita dua macam bangkai; ikan dan belalang, dan dua darah : hati dan limpa” . (H.R. Ahmad)
Dari hadis-hadis ini, maka dapat kita ketahui bahwa bangkai ikan tidak termasuk dalam keumuman ayat yang mengharamkan bangkai, sebagaimana terdapat dalam surat al-Mâ’idah di atas. Oleh karena itu,
bangkai ikan tidak diragukan lagi kehalalannya. Kita sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan karena ikan ternyata tidak hanya enak dimakan, tetapi kandungan gizinya juga berdampak preventif terhadap penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, tekanan darah tinggi, stroke, dan kanker. Protein ikan memiliki komposisi dan kadar asam amino esensial yang cukup. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu protein ikan setingkat dengan mutu protein daging, sedikit di bawah mutu protein telur, dan di atas protein serealia dan kacang-kacangan.
Asam amino dalam protein ikan dapat meningkatkan mutu protein pangan lainnya. Misalnya, beras memiliki kadar asam amino lisin rendah tetapi ikan mengandung lisin lebih tinggi. Jadi mengkonsumsi nasi dan ikan bersama-sama akan bersifat komplementer atau saling melengkapi. Ikan sangat kaya akan protein. Selain itu, ikan khususnya ikan laut, juga kaya
A hmad bin Hanbal, M usnad Imam A hmad bin Hanbal, juz II.
akan yodium. Itulah sebabnya banyak mengkonsumsi ikan laut dapat
mencegah penyakit gondok. 19
Ikan merupakan sumber pemasukan DHA 20 , senyawa yang penting untuk perkembangan sel otak; dan sebagai sumber pemasukan EPA 21 , senyawa untuk memelihara tubuh dan mengurangi proses radang sendi akibat penuaan usia maupun akibat produksi eicosanoids yang berlebihan.
Eicosanoids yang berasal lemak jenuh hewan adalah senyawa yang dalam jumlah tertentu dibutuhkan tubuh, namun jika berlebihan menyebabkan
timbulnya radang pada persendian sehingga persendian menjadi kaku dan nyeri. 22 Kajian epidemiologis 23 mengungkapkan bahwa bangsa Eskimo yang langka berpenyakit jantung ternyata mereka mengkonsumsi ikan 300-400 gram per hari. Sementara rata-rata orang Indonesia saat ini baru makan ikan sekitar 50 gram per hari. Telah diketahui bahwa ikan laut mengandung asam lemak omega-3 yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Sering mengkonsumsi ikan dapat membantu menghambat terjadinya aterosklerosis (menyumbatan pembuluh darah).
Para ahli gizi juga sepakat bahwa asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terdapat dalam ikan dan produk olahannya (termasuk minyak ikan)
19 Ali Khomsan, Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), h. 41
20 DHA adalah singkatan dari “ Docosahexaenoic Acid” , salah satu komponen nutrien yang terdapat di dalam asam lemak tak jenuh Omega-3. Soenarso Soehardi, Op. Cit.,
h. 305 21 EPA adalah singkatan dari “ Eicosapentaenoic Acid” , yang juga merupakan salah
satu komponen nutrien yang terdapat di dalam asam lemak tak jenuh Omega-3. Ibid. 22 Ibid, h. 125
23 Epidemiologis adalah suatu studi yang menyelidiki tentang pengaruh penyebaran penyakit pada masyarakat. Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
(Surabaya : Arkola, 1994), h. 155 (Surabaya : Arkola, 1994), h. 155
agar ibu-ibu yang sedang hamil lebih banyak mengkonsumsi ikan. 24 Demikianlah Allah swt. menciptakan lautan yang begitu kaya akan jenis-jenis ikan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Sebagai makhluk Allah yang diperintahkan untuk senantiasa berpikir, maka
seharusnya manusia mengembangkan pengetahuannya mengenai kelautan dan perikanan khususnya dalam kaitannya dengan perbaikan gizi dan
kesehatan. Demikianlah beberapa jenis makanan hewani yang secara tegas dihalalkan oleh al-Qur’an dan memiliki kandungan gizi yang baik, sehingga sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
B. Sumber-sumber Makanan Nabati
Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit melarang makanan nabati tertentu. Kalaupun ada tumbuh- tumbuhan tertentu yang kemudian terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau merusak
kesehatan. 25 Surat ‘Abasa yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan makannya menyebutkan sekian banyak jenis tumbuh- tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan manusia dan binatang :
24 Ali Khomsan, Op. Cit.,
h. 42-43
25 M. Quraish Shihab, W awasan A l-Qur’an, O p. Cit.,
h. 140-141
“ Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami
tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang- binatang ternakmu” . (Q.S. ‘Abasa : 24 - 32)
Berikut ini akan dijelaskan penafsiran ayat-ayat yang menunjukkan pentingnya beberapa jenis makanan nabati yang disebutkan di dalam al- Qur’an, kemudian akan dijelaskan manfaat dari makanan-makanan tersebut berdasarkan kajian ilmiah.