Hendra Tirtana Historitas (Sejarah) Hukum al Quran
HUKUM AL-QUR’ÂN) TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama Dalam Bidang Tafsir Hadis
Disusun Oleh:
HENDRA TIRTANA
NIM. 04.2.00.1.05.01.0052
KONSENTRASI TAFSIR HADIS SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2007 M/1428 H
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “HISTORISITAS HUKUM AL-QUR’ÂN, ANALISIS
KRITIS PENGARUH TRADISI ARAB TERHADAP HUKUM AL-QUR ’ÂN
yang ditulis oleh saudara Hendra Tirtana, dengan nomor induk: 04.2.00.1.05.01.0052, konsentrasi Tafsir Hadis, telah disetujui untuk dibawa ke dalam ujian tesis.
Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, MA
PENGESAHAN
Tesis yang berjudul Historisitas Hukum Al-Qur’ân: Analisis Kritis Pengaruh Tradisi Arab Terhadap Hukum Al-Qur ’ân, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari kamis tanggal 31 Mei 2007.
Tesis ini telah selesai direvisi dan diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama dalam bidang Tafsir Hadis.
Tim Penguji,
Penguji, Penguji,
Dr. Muchlis M. Hanafi, MA Dr. Abdul Chair, MA Tanggal:
Tanggal:
Ketua sidang/Penguji, Pembimbing/Penguji,
Prof. Dr. Suwito, MA Dr. Yusuf Rahman, MA Tanggal:
Tanggal:
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “Historisitas Hukum Al-Qur’ân, Analisis Kritis Pengaruh Tradisi Arab Terhadap Hukum Al-Qur ’ân”, ditulis oleh Hendra Tirtana, dengan NIM: 04.2.00.1.05.01.0052, di bawah bimbingan Dr. Yusuf Rahman, MA. Tesis ini berusaha mengungkapkan peran tradisi Arab terhadap produktifitas hukum Al-Qur’ân. Al-Qur’ân merupakan kalam Allah yang transenden, ketika menubuhkan dirinya dalam dunia Arab dan memilih bahasa Arab, terkait erat dengan realitas Arab saat itu. Setiap hukum Al-Qur’an yang lahir, merupakan respon, baik secara universal maupun parsial, terhadap realitas yang terjadi. Dengan demikian, hukum-hukum Al-Qur’ân ketika berada pada ranah dan situasi yang berbeda dengan dunia Arab harus mendapat kajian kritis untuk disesuaikan dengan realitas
kontemporer yang dihadapinya. Asumsi ini turut didukung oleh pelbagai piranti tafsir yang menegaskan historisitas hukum Al-Qur’ân. Pertama, konsep asbâb al-nuzûl dan kedua, konsep nasakh. Kedua konsep ulûm al-Qur’an ini, berjalin berkelindan dengan pelbagai konsep ulûm Al-Qur’ân lainnya yang menyiratkan pengakuan penuh terhadap peran konteks sosio-historis masyarakat Arab dalam produktifitas hukum Al-Qur’ân.
Untuk lebih memfokuskan penelitian, penulis hanya membatasi pada pembahasan hijâb dan haji. Persolan hijab dipilih, karena hijab sering dimaknai sebagai sarana pemingitan wanita dan konsep gaya busana tertentu, padahal konsep ini pada awalnya tidak dimaksudkan untuk menunjukkan makna demikian. Sementara dalam persoalan haji yang pada awalnya merupakan sumber inspirasi spritual bagi umat Islam, seiring dengan bergulirnya waktu, kini berubah jauh menjadi lahan bisnis bagi sebagian kelompok tertentu. Selain itu, haji kerap menimbulkan kemudlaratan bagi umat Islam yang berakibat fatal dengan hilangnya nyawa para jamaah haji.
Dalam tahap operasionalnya, kedua konsep ini akan ditelusuri melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan historis-sosiologis. Pada level ini penulis akan menelusuri situasi bangsa Arab yang melatari lahirnya konsep Al-Qur’ân tentang hijâb dan haji. Untuk dapat memahami kedua konsep tersebut secara utuh, penulis tidak hanya mencukupkan dengan penjelasan dari asbâb al-nuzûl sebagaimana dijelaskan dalam pelbagai kitab tafsir dan hadis, namun juga akan ditelusuri konteks sosio-historis secara universal yang turut mempengaruhi lahirnya konsep hijab dan haji versi Al-Qur’ân. Selain itu, akan ditelusuri aneka ragam respon dari para cendekiawan muslim terhadap kedua konsep tersebut. Kedua, pendekatan hermeneutik. Pada level ini, akan ditelusuri pelbagai makna hijâb dan haji serta eksistensinya dalam prilaku bangsa Arab pra Islam dan kaum muslim awal. Selanjutnya akan dilacak metodologi penafsiran kedua konsep tersebut ketika konteks yang dihadapinya saat ini berbeda dengan realitas saat ia lahir. Pada level ini, akan digunakan teori double movement milik Fazlur Rahman. Konsep hermeneutik tersebut, akan didialogkan dengan teori penafsiran versi ushul fiqh untuk dapat menawarkan solusi pada problematika yang terjadi di seputar hijâb dan haji.
Dari hasil penelusuran penulis, hijâb pada dasarnya berarti penutup dan bukan merujuk pada makna pembatasan akses bagi para wanita untuk menggeluti kehidupan di ruang publik. Selain itu, hijâb, bukan dalam rangka menunjuk pola busana tertentu. Al-Qur’ân hanya mengajarkan kesopanan dalam berbusana. Artikulasi hijâb pada makna pemingitan dan busana tertentu merupakan makna baru yang dipengaruhi oleh tradisi sosio-kultural Arab.
Sedangkan haji, dapat ditelusuri jejaknya dalam pelbagai ritual haji yang dilakukan masyarakat Arab. Al-Qur’ân menekankan pelbagai prinsip dasar yang tercermin dalam ritual haji; kembali pada agama Ibrahim, monotheis dan mengenang napak tilas perjalanan Ibrahim. Mengenai pembatasan waktu pelaksanaan haji, Al- Qur’ân menyebutkan waktu haji terdapat pada bulan-bulan tertentu. Pernyataan umum Al-Qur’ân ini, tidak dapat dibatasi oleh hadis-hadis yang dianggap membatasi
waktu pelaksanaan haji.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâh, puji dan syukur selalu terpanjatkan ke hadirat Allah swt. atas rahmat, karunia dan pertolongan-Nya yang telah dilimpahkan pada penulis, sehingga penelitian mengenai “Historisitas Hukum Al-Qur’ân, Analisis Kritis Pengaruh Tradisi Arab Terhadap Hukum Al-Qur’ân” ini, dapat terselesaikan setelah sekian lama bergumul dengan pelbagai kesulitan. Shalawat serta salam, semoga selalu tercurahkan ke haribaan baginda Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing dan memberikan pencerahan kepada umat manusia untuk memikirkan jalan kebenaran.
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak berhutang budi kepada pelbagai fihak yang ikut memberikan motivasi dan dukungan baik secara moril maupun
materiil. Oleh sebab itu, dari lubuk hati yang terdalam, penulis haturkan selaksa terima kasih kepada mereka yang ikut berjasa, terutama:
Kepada kedua orang tua penulis, yang selalu memberikan motivasi, arahan, dan tidak pernah bosan mengingatkan penulis terhadap segala perintah Allah baik yang wajib maupun sunnah, serta memberikan seluruh biaya selama pendidikan S2 sehingga penulis tidak pernah merasa hidup kesulitan hidup di belantara kota Ciputat ini
Kepada bapak pembimbing, Dr. Yusuf Rahman, MA yang selalu mengoreksi, mengkritisi dan menjadi teman diskusi, termasuk meminjamkan buku-buku kepada penulis, sehingga dapat merampungkan tesis ini serta menambah cakrawala penulis dalam menganalisis pelbagai teks Al-Qur’ân.
Kepada Bapak Rektor, Direktur Pascasarjana bersertra seluruh dosen dan staf civitas akademika Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kepada Bapak kepala beserta staf Perpustakaan utama, dan Perpusatakaan Pasca Sarjana UIN (Mr. Suali and Mr. Syukron), perpustakaan Iman Jama, dan Kepada Bapak kepala beserta staf Perpustakaan utama, dan Perpusatakaan Pasca Sarjana UIN (Mr. Suali and Mr. Syukron), perpustakaan Iman Jama, dan
Kepada semua guru, pengajar, pendidik, kyai dan dosen dan teman sejawat yang telah berjasa mendidik dan mengembangkan jiwa kritis penulis serta menjadi sahabat diskusi, terutama ketika nyantri di Ma’had Aly Sukorejo-Situbondo, yang berperan besar mencetak pola fikir penulis.
Kepada pamanda Fadli, Fauzi, adinda Erwin Zulfikar dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan, baik moril maupun materiil ketika penulis sudah merasa jenuh dengan kehidupan di belantara kota Jakarta. Kepada sang pujaan hati yang selalu menjadi teman tidak nyata penulis ketika merasa sepi dan sendiri. Semoga kita menemukan momen terbaik untuk memulai hubungan yang lebih baik.
Kepada teman-teman konsentrasi Tafsir Hadis (Syeh Badru dan Istri (Rey), Jume’, Jauhar, Novi, dll) serta shobat-shobat penulis di lain konsentrasi (Izet (mama genk), Nisa’, Ema, dan Lala), penulis ucapkan semoga kita selalu optimis, semangat dan sukses selalu. Tak lupa juga teman-teman kos (Fahmi, Dana, Di2t, Ucup, Pak Daus (super semangat), Najib), saya ucapkan terima kasih telah menjadi sahabat penulis yang setia mendengar pelbagai ocehan dan komentar yang kerap membuat telinga kalian ‘merah’.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah Swt. semoga Ia berkenan menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baik balasan atas amal baiknya. Amin.
Jakarta, 24 Mei 2007
Hendra Tirtana
B. Penjelasan Al-Qur’ân Terhadap Hukum ………………………. 22
C. Petunjuk Al-Qur’ân Terhadap Hukum ………………………… 29
D. Prinsip-Prinsip Hukum Al-Qur’ân …………………………….. 33
BAB III. RELASI TRADISI ARAB DAN HUKUM AL-QUR ’ÂN
38
A. Pengertian Tradisi Arab ………………………………………...
B. Situasi Masyarakat Arab Menjelang Turunnya Al-Qur’ân …. 41
1. Situasi sosial budaya ………………………………………. 41
50
2. Situasi keagamaan …………………………………………
59
C. Tradisi Masyarakat Arab, Hukum Arab dan Hukum Al-Qur’ân..
61
1. Hijâb ……………………………………………………….
65
2. Qishâsh …………………………………………………….
69
3. Hukum Waris ……………………………………………..
BAB IV. PENGARUH TRADISI ARAB TERHADAP KONSTRUKSI HUKUM AL-QUR ’ÂN
79
A. Analisis Metodologis ………………………………………….
B. Analisis Kritis Persoalan Hukum Al-Qur’ân yang Bercorak
96
Arab ……………………………………………………………
viii
Huruf Huruf
Keterangan Arab
Keterangan
Huruf
Huruf
latin
Arab latin
ا tidak dilambangkan ض dl
de dengan el
te dengan ha ت t
ب b be ط th
zet dengan ha ث ts
te
ظ zh
te dan es
ج j je غ gh ge dan ha ح h h dengan garis bawah
ف f ef
خ kh Ka dan ha
qi
د d De ك k
ka
ذ dz De dan zet
el
ر r Er
Em
ز z Zet
En
س s es
We
ش sy es dan ye
ﻫ h Ha
ص sh es dah ha
Apostrof ي y
Ye
VOKAL PANJANG
Tanda vokal arab
Tanda vokal latin
keterangan
a dengan topi di atas
i dengan topi di atas
u dengan topi di atas
Transliterasi yang diikuti adalah buku panduan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Akademik 2004/2005 serta dibantu oleh buku Penyusunan Proposal Tesis/Disertasi yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
Pengecualian:
Transliterasi tidak diberlakukan pada istilah al-Qur’ân dan hadits, yang ditulis dengan Al-Qur’ân dan hadis.
DAFTAR SINGKATAN
Swt. Subhânah wa ta`âlâ saw. Shallâ Allâh `alayh wa sallam w.
Wafat t.th
tanpa tahun t.tp.
tanpa tempat penerbit as.
`alayh al-salâm ra.
Radliya Allah `anh M
Masehi
H Hijriah
ed. Editor Pent. Penterjemah
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan laju perkembangan zaman, di mana dunia memasuki gerbang modernitas yang meniscayakan pembauran seluruh lapisan masyarakat tanpa dibatasi oleh sekat-sekat ideologi dan kebudayaan, studi-studi Al-Qur’ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan ini tidak terlepas dari mulai
diliriknya tradisi berfikir keilmuan dalam religious studies kontemporer yang memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu sosial dan humaniora untuk mengkaji Al-Qur’ân. Para cendekiawan modern berusaha melakukan dialektika antara tradisi berfikir keilmuan dalam Islamic studies dengan
ilmu linguistik, hermeneutik, semiotik serta beragam pendekatan lainnya. 1 Sebagai konsekuensinya, pertemuan kedua tradisi pikir keilmuan ini melahirkan perubahan
kerangka teori, metode dan epistemologi yang digunakan. Segala hal yang dianggap sakral termasuk bangunan-bangunan hukum Al-Qur’ân yang tidak dapat direinterpretasi harus diuji, dikritik dan didialogkan dengan konteks kekinian di mana manusia hidup.
Dalam khazanah Islam klasik, embrio lahirnya wacana desakralisasi hukum Al-Qur’ân ini bermuara dari kontroversi para ulama mengenai eksistensi Al-Qur’ân dan metodologi penafsirannya. Setidaknya ia terekam dalam tiga hal. Pertama, wacana kemakhlukan Al-Qur’ân yang diusung oleh kaum Mu`tazilah. Sebagai implikasinya, Al-Qur’ân merupakan produk historis karena diciptakan dalam konteks sejarah tertentu dan pada gilirannya ia merupakan teks sejarah yang dapat
dikontekstualisasikan. 2 Kedua, teori interpretasi yang menekankan pemaknaan kata
1 Amin Abdullah, “Pengantar”, dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur ’ ân Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet. ke-1, hal. xix
2 Khalid M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqh Otoritatif Ke Fiqh Otoriter, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi: 2003), Cet ke-1, hal. 191. Wacana ini lahir juga dipicu oleh
kontroversi tentang adanya kalâm nafsî, firman Tuhan yang belum terkonstruk dalam sebuah bahasa.
melalui latar peristiwa bukan dari keumuman bentuk kata (al-`ibrah bi khushûsh al- sabab lâ bi `umûm al-lafzh). Ketiga, konstruksi pewahyuan Al-Qur’ân yang menyejarah dengan memilih bahasa tertentu, bahasa Arab yang memiliki keistimewaan karakteristik, aturan tata bahasa serta latar sejarah tertentu.
Ketiga konsep tersebut merupakan pilar penting untuk menelusuri relasi hukum-hukum Al-Qur’ân dengan kultur Arab yang melingkupinya serta proses negoisasi antara keduanya dalam membangun pola fikir dan prilaku masyarakat Arab menjelang turunnya Al-Qur’ân. Tentang term pertama misalnya, klaim Al-Qur’ân
diciptakan, menelurkan konsep historisitas Al-Qur’ân di mana situasi di sekitar teks ikut mempengaruhi pembentukan karakter hukum Al-Qur’ân. Teks tidak bersifat primordial dengan menegasikan peran realitas yang melatarinya. Teks tidak turun dalam suasana hampa sejarah dan budaya, namun diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang dikandungnya harus dipahami dalam sinaran konteks tersebut.
Sementara term kedua, teori otoritas realitas dalam menafsirkan Al-Qur’ân berjalin-berkelindan dengan wacana asbâb al-nuzûl yang merupakan elemen primer
untuk menafsirkan Al-Qur’ân. 3 Wacana ini menegaskan teks harus diletakkan sesuai dengan proporsinya, yaitu menjawab problematika khusus yang terjadi pada saat ia
diturunkan. Setiap horizon penafsiran yang menegasikan historisitas teks merupakan interpretasi keliru karena memaksa teks keluar dari timbunan realitas yang melahirkannya. Kekeliruan ini, bahkan pernah dilakukan oleh salah seorang sahabat, `Usmân bin Mazh`ûn, yang melakukan interpretasi Al-Qur’ân dengan hanya
bersandar pada petunjuk lahiriah teks. 4
Menurut mayoritas Mu`tazilah, kalâm nafsî tidak ada yang berimplikasi bahwa kalam yang telah berbentuk bahasa, baru dan merupakan makhluk. Sedangkan bagi Ahlussunnah, kalam nafsî ada dan qadîm yang berimplikasi kesakralannya karena terlepas dari situasi historis yang melatarinya. Lihat perdebatan antara Mu`tazilah dan Ahlussunnah dalam Jalâl al-Dîn al-Mahallî, Syarh ‘ ala Matn al-Jam` al-Jawâmi`, (Kairo: Mushthafâ al-Babî al-Halbî, 1937), Cet. ke-2, Juz 1, hal. 139
3 Menurut Imam al-Wâhidî tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu ayat tanpa dilandasi pengetahuan terhadap kisah dan sebab turunnya. Lihat Alî bin Ahmad al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (al-
Qâhirah: Maktabah al-Mutanabbî, t.th.), hal. 4 4 Abdurrahmân bin Abî Bakr al-Suyûthî (selanjutnya disebut dengan Jalâl al-Dîn), al-Itqân fî
`Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz 1, hal. 30
Namun, pola penafsiran dengan memakai sarana asbâb al-nuzûl ini akan menghadapi problem serius ketika menyentuh teks Al-Qur’ân yang tidak diketahui peristiwa yang melatarinya. Hal ini disebabkan karena pembatasan definisi yang diproduksi oleh para ulama klasik bahwa term asbâb al-nuzûl hanya mencakup pada
setiap peristiwa tertentu yang melatari turunnya Al-Qur’ân. 5 Situasi historis masyarakat Arab secara umum yang secara tidak langsung memberikan pengaruh
terhadap timbulnya teks, turut terpinggirkan dengan tidak didokumentasikannya realitas parsial yang melahirkannya. Oleh Karena itu, Hasan Hanafi, seorang scholar
muslim Mesir, berusaha memperlakukan wacana asbâb al-nuzûl ini secara lebih general untuk memberikan solusi bagi problematika kontemporer yang dihadapi oleh kaum muslim. Menurutnya term ini berarti setiap peristiwa sosio-politis secara
general yang melatari turunnya Al-Qur’ân. 6 Sedangkan term ketiga, historisitas bahasa Al-Qur’ân, meniscayakan
keterkaitan Al-Qur’ân dengan teks-teks bahasa Arab pra Al-Qur’ân. Misalnya keterkaitan lahirnya Al-Qur’ân dengan fenomena tradisi syair jahiliyyah yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Arab masa itu. Meskipun Al-Qur’ân bukan teks sastera (puisi), namun situasi lokal Arab waktu itu, turut mewarnai proses lahirnya Al-Qur’ân yang mirip dengan teks syair sehingga tidak dapat ditandingi oleh
para penyair Arab. 7 Berangkat dari fenomena ini, para ulama klasik banyak menggunakan tradisi syair pra Al-Qur’ân dan bahasa Arab badui untuk menafsirkan
kata-kata yang sulit dalam Al-Qur’ân. 8 Selain itu, realitas ini merupakan petunjuk penting untuk menelusuri perkembangan makna term-term Al-Qur’ân. Banyak term
5 Shubhî Shâlih, Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dâr al-Ilm li al-Malâyîn, 1977), Cet. ke-9, hal. 144
6 Hasan Hanafi, Min al-Nashsh iIâ al-Wâqi`, (Mesir: Markaz al-Kitâb li al-Nashr, 2005), hal. 137
7 Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi: 2005), Cet ke-1, hal. 113
8 Misalnya Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat diceritakan menggunakan syair Arab untuk menafsirkan kata-kata yang sulit untuk difahami dalam Al-Qur’ân. Ibnu Abbas merupakan sahabat
tercakap dalam menafsirkan Al-Qur’ân. Lihat Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, t.th.), Juz 1, hal. 54 tercakap dalam menafsirkan Al-Qur’ân. Lihat Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, t.th.), Juz 1, hal. 54
ditunjukkan teks, namun selalu mengkonstekstualisasikannya dengan konteks kekinian untuk dapat memecahkan problematika kehidupan yang terus berkembang. Di balik sebuah teks, terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi
yang harus dipertimbangkan untuk mengetahui gagasan yang hendak disajikan pengarangnya secara benar. 9
Pelbagai fenomena tersebut ketika dikaitkan dengan proses produksi hukum- hukum Al-Qur’ân dapat memicu lahirnya argumentasi historisitas hukum Al-Qur’ân, di mana hukum-hukum tersebut harus diletakkkan sesuai dengan konteks sosio historisnya. Interaksi antara teks dan konteks tersebut tidak dapat begitu saja ditransfer atau diproyeksikan pada konteks yang lain. Argumen ini juga didukung oleh fenomena proses turunnya wahyu secara gradual, dalam rentang waktu kurang lebih selama 23 tahun. Pada masa itu, hukum-hukum yang tersaji dalam Al-Qur’ân memberikan pelbagai fenomena menarik. Pelarangan khamr misalnya menunjukkan aspek gradualitas hukum. Pada periode pertama, Al-Qur’ân hanya menyinggungnya
sebagai bagian dari nikmat-nikmat Allah swt. 10 Kemudian pada periode selanjutnya hanya dijelaskan eksistensi khamr tersebut sebagai minuman yang bermanfaat namun
terdapat dosa besar di dalamnya. 11 Selanjutnya minum khamr hanya dilarang bagi seseorang ketika ia hendak shalat 12 dan akhirnya turun larangan minum khamr secara tegas. 13
9 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Jakarta: Teraju, 2004), Cet. ke-II, hal. 2
10 QS. al-Nahl (16): 67 11 QS. al-Baqarah (2): 219 12 QS. al-Nisâ’ (3): 43 13 QS. al-Mâidah (5): 90
Fenomena ini secara implisit menyajikan adanya pengaruh konteks sosio- historis terhadap karakteristik respon Al-Qur’ân pada peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi waktu itu. Selama persoalan tersebut tidak menciderai prinsip-prinsip dasar Islam, Al-Qur’ân tidak segera meresponnya dengan bentuk larangan yang tegas, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang tepat sehingga tidak mengejutkan audiensnya.
Disamping itu, sebagai kitab samawî pemungkas, Al-Qur’ân juga memiliki keterkaitan erat dengan kitab-kitab “langit” sebelumnya, seperti Taurat, Zabur dan Injil yang diturunkan terhadap komunitas Yahudi dan Nasrani. Fenomena ini juga diperkuat dengan banyaknya kemiripan ajaran antara keduanya dan praktek ritual yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. sebelum turunnya Al-Qur’ân yang
menurut mayoritas ulama mengikuti ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. 14 Eksistensi syari`at sebelum Al-Qur’ân ini, dalam bangunan ushul fiqh juga diakui sebagai
standar dalam menetapkan hukum selama tidak ada dalil yang menghapusnya.
Pelbagai realitas ini semakin memperkukuh pandangan bahwa sebagian produk hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’ân tidak genuin berasal dari Islam. 15 Ia
memiliki keterkaitan erat dengan konteks sosio-historis masyarakat Arab dan tradisi
14 Para ulama berbeda pendapat mengenai prilaku nabi saw. dan ummatnya baik pra atau pasca diutusnya beliau. Perbedaan tersebut berkisar pada dua hal. Pertama, apakah nabi saw. sebelum
diangkat menjadi utusan, menjalankan peraturan seperti syari`at umat sebelumnya. Kedua, apakah beliau dan ummatnya masih dituntut untuk melakukan praktek-praktek syariat sebelumnya. Mengenai term pertama, sebagian ulama seperti sebagian pengikut mazhab Malik dan mayoritas para ahli kalam menentang bahwa Muhamad saw beribadah seperti ibadah umat sebelumnya. Sementara pengikut mazhab Hanafi, Hanbalî, Ibn al-Hâjib dan Imam Baidhâwî menyatakan bahwa ibadah nabi mengikuti cara umat-umat terdahulu. Sedangkan al-Âmidî, al-Ghazâlî dan ulama lainnya lebih memillih sikap mauqûf dalam menyikapi hal tersebut. Mengenai Term kedua, para ulama sepakat bahwa hukum- hukum umat terdahulu yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’ân dan Sunnah dan hukum-hukum yang dihapus oleh syariat Islam bukan merupakan ketetapan hukum yang harus diikuti oleh umat Islam. Sementara hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari`at Islam, para ulama sepakat bahwa ia juga merupakan syari`at bagi umat Islam seperti puasa dan berkurban. Sedangkan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’ân atau hadits, namun tidak terdapat penjelasan harus diikuti atau ditinggalkan, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya, seperti hukum qishash yang diceritakan Al-Qur’ân sebagai hukum yang terdapat di dalam kitab Taurat. Lihat Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Suriah: Dâr al-Fikr, 1986), Cet. Ke-1, hal. 839
15 Menurut Wael B. Hallaq sebagian hukum Islam diadopsi dari tradisi Arab yang mengadopsi terlebih dahulu dari tradisi hukum daerah lainnya. Lihat Wael B. Hallaq, The Origins an Evolution of
Islamic Law, (Cambridge: University Press, 2005), hal. 18 Islamic Law, (Cambridge: University Press, 2005), hal. 18
Namun, argumentasi historisitas hukum Al-Qur’ân ini akan menemukan batu sandungan ketika dihadapkan pada pendapat mayoritas ulama mengenai hukum-
hukum Al-Qur’ân yang merupakan produk asli Islam 16 serta teori interpretasi mainstream yang menyatakan teks Al-Qur’ân merupakan sesuatu yang final dan tidak
dapat diotak-atik. Teks-teks yang bersifat qath`iyyât atau muhkamât 17 tidak mungkin untuk direinterpretasi karena petunjuknya jelas dan sesuai dengan makna lahir teks.
Menurut mayoritas ulama ushul fiqh, hukum-hukum yang ditunjukkan dengan dalil qath`î dan tidak ada dalil lain yang lebih kuat menyatakan hukum sebaliknya, tidak dapat dipending meskipun bertentangan dengan kultur masyarakat. Bagi para pengikut Asy’arî, Zhâhiriyah dan yang mengelompokkan dirinya sebagai ahlussunnah, teks selalu memberikan payung kemashlahatan bagi manusia dan segala
praktek yang mengabaikannya harus dilawan. Jika terjadi kontradiksi antara teks dan akal, teks harus didahulukan. 18
Namun, pendapat ini mendapat tantangan kuat dari pelbagai kalangan intelektual. Sebab, ketika membahas term qath`î sendiri, para ulama tidak seluruhnya sepakat. Al-Syâthibî misalnya memberikan syarat ketat terhadap sesuatu untuk
17 Al-Qur’ân dan Hadis memiliki dua dimensi yaitu qath`î dan zhannî. Qath`î dan zhannî dibagi dua, adakalanya qath`î al-tsubût dan qath`î al-dalâlah, zhannî al-wurûd dan zhannî al-dalâlah.
16 Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 927
Lihat penjelasan qath`î dan zhannî dalam Abdul Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2003), hal. 34-35
18 Nashr Hâmid Abû Zaid, Isykaliyyât al-Qirâ ’ ah wa Alliyyât al-Ta ’ wîl, (Beirut: al-Markaz al- Tsaqafî al-Arabî, 1994), hal. 56 18 Nashr Hâmid Abû Zaid, Isykaliyyât al-Qirâ ’ ah wa Alliyyât al-Ta ’ wîl, (Beirut: al-Markaz al- Tsaqafî al-Arabî, 1994), hal. 56
kemashlahatan, mashlahah harus didahulukan dan akal dapat secara mandiri menemukan mashlahah, tanpa harus meminta bantuan pada teks. 20
Pada masa modern, para intelektual muslim berusaha merevitalisasi metodologi interpretasi teks untuk mengembalikan teks Al-Qur’ân pada konteks sosial yang melatarinya sehingga efektif untuk memecahkan problematika kehidupan kontemporer. Mahmud Thaha misalnya menggulirkan isu evolusi dalam merespon
dualitas realitas yang dihadapi Al-Qur’ân, periode Makkah dan Madinah. Menurutnya syari`at yang turun di Makkah harus menjadi fokus perhatian daripada hukum yang diturunkan dalam periode Madinah karena lebih memberikan kesan universalitas Al- Qur’ân. Sedangkan ayat-ayat madaniyyah turun pada masa transisi yang dipengaruhi oleh situasi sosio-historis umat Islam yang berusaha mempertahankan eksistensinya
dari gangguan bangsa lain. 21 Sementara al-Na’im, yang merupakan murid setia dari Thaha, menelurkan konsep nâsikh mansûkh radikal, di mana ia membalik pola konsep
nasakh dengan menyatakan bahwa ayat-ayat makkiyyah memiliki peran sebagai penghapus terhadap ayat-ayat madaniyyah. 22
Atas dasar adanya asumsi bahwa tradisi Arab memiliki peran yang signifikan dalam produktifitas hukum Al-Qur’ân serta keragaman para ulama dalam menyikapi eksistensi pelbagai hukum tersebut ketika berada pada ranah kontemporer, penulis tertarik untuk menelusuri lebih jauh relasi ayat-ayat hukum Al-Qur’ân dengan tradisi Arab sehingga penelitian ini diberi judul “Historisitas Hukum Al-Qur’ân: Analisis
Kritis Pengaruh Tradisi Arab Terhadap Hukum Al-Qur ’ân”.
19 Al-Syâthibî menyatakan jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara ’ . karena untuk menyatakan bahwa dalil tersebut qath`î, dibutuhkan syarat-syarat yang ketat yang sulit
untuk terjadi. Lihat Abi Ishâq Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Juz 1, hal. 24 20 Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 803
21 Mahmoud Mohamed Thaha, “Risalah Kedua Islam”, dalam Charlez Kuzman (ed.), Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 461-464
22 Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari`ah, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-4, hal. 90
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Al-Qur’ân yang turun dalam ranah Arab, dalam konstruksi hukumnya kerap dipengaruhi oleh tradisi Arab sehingga ketika hukum tersebut berada dalam konteks sosio-kultural yang berbeda, ia menghadapi problem serius untuk diterapkan. Dari persoalan ini, dapat diidentifikasi beragam persoalan berikut yang berkaitan dengannya:
1. Apakah hukum Al-Qur’ân memiliki keterkaitan erat dengan tradisi Arab?
2. Bagaimana respon Al-Qur’ân terhadap konstruksi hukum Arab ?
3. Apakah seluruh hukum Al-Qur’ân yang terbukti dipengaruhi tradisi Arab boleh untuk direinterpretasi seiring dengan perubahan zaman?
4. Apakah hukum-hukum Al-Qur’ân yang terbukti dipengaruhi oleh tradisi Arab dapat diterapkan pada situasi saat ini?
5. Bagaimana potret respon para cendekiawan muslim terhadap hukum Al- Qur’ân yang bercorak Arab?
C. Pembatasan Masalah
Dari pelbagai persoalan yang dapat diidentifikasi tersebut, masalah akan dibatasi pada persoalan bagaimana respon Al-Qur’ân terhadap konstruksi hukum Arab dan apakah hukum-hukum Al-Qur’ân yang terbukti dipengaruhi oleh tradisi Arab dapat diterapkan pada situasi saat ini. Selain itu, untuk membatasi jangkauan persoalan yang dibahas dalam penelitian tesis ini, penulis hanya membatasi terhadap persoalan hijâb dan haji. Persoalan-persoalan ini menurut pengamatan penulis, penting untuk direinterpretasi sebab memiliki corak Arabisme yang kental dan terkait erat dengan situasi umat Islam saat ini yang seringkali keliru dalam mengaplikasikan kedua persoalan tersebut. Persolan hijab dipilih, karena hijab sering dimaknai sebagai sarana pemingitan wanita dan konsep gaya busana tertentu, padahal konsep ini pada
awalnya tidak dimaksudkan untuk menunjukkan makna demikian. 23 Sementara dalam
23 Kritik pemaknaan hijab pada sarana pemisahan, pemingitan dan konsep busana tertentu ini diadopsi dari tulisan Qâsim Amîn, dalam Tahrîr al-Mar ’ ah. Lihat Qâsim Amîn, Tahrîr al-Mar ’ ah, (al-
Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.th.), hal. 89 Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.th.), hal. 89
bagi umat Islam sehingga berakibat hilangnya nyawa para jamaah haji. 24
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang dipaparkan di atas, bahwa sebagai konsekuensi Al-Qur’ân turun dalam ranah Arab, bangunan hukumnya dicurigai kerap dipengaruhi oleh tradisi Arab. Fenomena ini terlihat dalam konsep hijâb dan haji, di
mana bangunan hukumnya terkait erat dengan tradisi Arab. Kedua konsep hukum Al- Qur’ân tersebut, perlu mendapat kajian kritis ketika akan diterapkan pada konteks saat ini yang berbeda jauh dengan situasi sosio-kultural saat kedua konsep tersebut lahir.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk menyelidiki relasi hukum Al-Qur’ân dengan tradisi Arab dan analisis kritis terhadap pelbagai persoalan yang memiliki corak Arab yang kental, namun menghadapi problem serius ketika akan diterapkan pada konteks saat ini. Tulisan ini juga berusaha untuk mensinergikan dua kaidah yang seringkali kontradiktif ketika dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’ân, yaitu kaidah al-`ibrah bi `umûm al-lafzh lâ bikhushûsh al-sabab dan kaidah al`ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi `umûm al-lafzh . Dari penelitian ini, ditargetkan untuk memperoleh pemahaman yang integral terhadap hukum-hukum yang termuat dalam Al-Qur’ân.
Adapun kegunaan penelitian ini:
1. Kegunaan ilmiah atau kegunaan akademis yang dapat menambah informasi dan memperkaya khazanah intelektual Islam sehingga berguna bagi penelitian pengaruh tradisi Arab terhadap produktifitas hukum Al- Qur’ân dan kemungkinan melakukan analisis kritis terhadap ayat-ayat
24 Lihat Muhammad Arkoun, Bagaimana Membaca Al-Qur ’ an, pent. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hal. 237 dan dalam www.gusdur.net 24 Lihat Muhammad Arkoun, Bagaimana Membaca Al-Qur ’ an, pent. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hal. 237 dan dalam www.gusdur.net
2. Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah menyajikan realitas pengaruh tradisi Arab terhadap lahirnya hukum-hukum Al-Qur’ân sehingga ketika dihadapkan pada konteks yang berbeda dengan situasi sosio-kultural saat pelbagai hukum tersebut lahir, ia harus direinterpretasi melalui perangkat nilai luhur yang diusung oleh Al-Qur’ân yang selalu relevan sepanjang zaman.
F. Metode Penelitian dan Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian historis yaitu seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-
hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. 25 Karena yang diteliti di sini adalah persoalan hukum, peneliti menggunakan metode penelitian sejarah hukum yaitu
usaha mengidentifikasi tahap-tahap perkembangan hukum dalam Al-Qur’ân dan menelusuri potret penafsiran para generasi awal Islam, baik nabi atau sahabat,
terhadap produk hukum tersebut. 26 Selain itu, untuk membantu memudahkan penelitian ini, penulis menggunakan
pendekatan hermeneutik dan sosiologis, khususnya sosiologi hukum. Pendekatan sosiologis yaitu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya. Karena dikonsepkan sebagai suatu gejala yang berada dan berproses dalam dunia empiris, pelbagai hukum Al- Qur’ân menurut perspektif ini tunduk pada keajegan-keajegan atau keseragaman- keseragaman. Dengan demikian hukum akan dapat diamati melalui pertalian-pertalian
kausalnya dengan masyarakat. 27 Sedangkan pendekatan hermeneutis yaitu metode
25 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 44
26 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. Ke-5, hal. 98
27 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, hal. 76
Dalam penelitian ini, sumber yang dihimpun terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah mushhaf Al-Qur’ân, kitab-kitab sejarah yang mengisahkan situasi bangsa Arab seperti Târîkh al-Umam wa al-Mulûk karya Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî. Selain sumber sejarah, pelbagai literatur tafsir yang memuat riwayat sebab-sebab turunnya Al-Qur’ân, seperti Asbâb al-Nuzûl, karya Alî ibn Ahmad al-Wâhidî, dan al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr karya Abdurrahman ibn Abî Bakr al-Suyûthî, turut menjadi sumber primer dalam penulisan tesis ini. Sedangkan referensi sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya ilmiah berupa buku, jurnal, makalah, serta literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
G. Kajian Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, belum ada satu karya ilmiah khusus yang membahas relasi antara hukum-hukum Al-Qur’ân dengan konteks sosio-historis masyarakat Arab serta analisis relevansi hukum tersebut ketika didialektikakan pada konteks saat ini. Peneliti hanya menjumpai beberapa buku atau karya ilmiah tentang relasi hukum Islam dan kebudayaan Arab pra Islam. Buku-buku ini hanya meninjau sekilas tentang tradisi Arab pra Islam dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam, tanpa disertai analisis kritis yang jelas. Selain itu, ilustrasi relevansi penerapan hukum tersebut dalam konteks saat ini tidak banyak disinggung. Termasuk dalam karya-karya ini adalah:
1. Karya Wael B. Hallaq yang berjudul The Origins and Evolution of Islamic Law. Dalam tulisan ini Wael B. Hallaq menyinggung tentang realitas sosial masyarakat Arab sebelum lahirnya Al-Qur’ân serta menyinggung bahwa praktek hukum Islam ada juga yang diadopsi dari tradisi Arab. Kekurangan tulisan ini adalah tidak menganalisis penyebab pengaruh budaya Arab tersebut terhadap konstruksi
hukum-hukum Al-Qur’ân dan analisis penerapan hukum-hukum tersebut pada konteks saat ini melalui teori-teori keislaman klasik.
2. Karya Fazlur Rahman yang berjudul Islam. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan kesejatian kandungan Al-Qur’ân dan eksistensi kaum Yahudi dan Kristen dengan Islam. Namun, di sini Fazlur Rahman hanya menyebutkan sekilas tentang hukum-hukum Al-Qur’ân dan interaksinya dengan prilaku budaya Arab jahiliyyah. Ia tidak memberikan analisa yang kongkrit mengenai pengaruh kultur Arab tersebut dalam hukum-hukum Al-Qur’ân. Dalam karya ini, Fazlur Rahman menyatakan bahwa Al-Qur’ân bukan kitab dokumen hukum, namun kitab yang menggagas moral yang mengusung tujuan ideal yaitu monotheisme dan keadilan sosial ekonomi.
3. Kontekstualitas Al-Qur’ân; Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al- Qur’ân, karya Prof. Dr. Umar Syihab, M.A.
Dalam buku ini, khususnya dalam poin Al-Qur’ân dan Kontekstualitas Sejarah, penulis menyinggung tentang pengaruh realitas bangsa Arab dalam membidani lahirnya hukum-hukum Al-Qur’ân dan upaya untuk kontekstualisasi hukum Al- Qur’ân. Namun, buku ini kurang menganalisis problematika Al-Qur’ân yang secara lahiriah bertentangan dengan konteks zaman serta pengaruh budaya Arab yang telah disusupi oleh agama atau budaya lainnya terhadap lahirnya hukum-hukum Al-Qur’ân.
4. Disertasi Imam Mukhlash di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1990 yang berjudul Hubungan Sebab Antara Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’ân dan Adat Kebiasaan dalam Tradisi Kebudayaan Arab Jahiliyah.
Disertasi ini menyebutkan secara terperinci praktek-praktek bangsa Arab yang direspon oleh Islam. Namun, ia tidak menyebutkan karakteristik hukum Al-Qur’ân
5. Tesis yang ditulis oleh Ahmad Jalaluddin pada tahun 2002 di IAIN Jakarta yang berjudul Stabilitas dan Perubahan Hukum Islam. Tesis ini menyebutkan aspek-aspek perubahan dalam hukum Islam namun tanpa menyebutkan ayat-ayat hukum yang sesuai dengan konteks bahasan dan analisis pengaruh tradisi bangsa Arab terhadaphukum-hukum dalam Al-Qur’ân.
Dari pelbagai buku yang disebutkan ini, sejauh pengamatan penulis, belum ada yang membahas secara khusus mengenai wacana yang diusung dalam tesis ini, yaitu kajian kritis pengaruh tradisi Arab terhadap lahirnya konstruksi hukum Al- Qur’ân dan relevansi pelbagai hukum tersebut ketika berada pada konteks saat ini. Aneka buku tersebut, hanya menyinggung secara sekilas mengenai peran tradisi Arab dalam membentuk pola hukum Al-Qur’ân dan cenderung bersikap diam dalam menghadapi hukum-hukum Al-Qur’ân yang bertentangan dengan konteks saat ini. Mayoritas buku tersebut, kecuali karya Fazlur Rahman, banyak meminggirkan peran konteks sosio-historis Arab secara universal yang turut memberikan kontribusi bagi lahirnya pelbagai hukum Al-Qur’ân serta menempatkan realitas kontemporer hanya sebagai obyek hukum, tidak dijadikan sebagai partner dialog yang aktif untuk menemukan solusi hukum yang tepat bagi pelbagai persoalan yang baru muncul saat ini. Sementara buku Islam, karya Fazlur Rahman, kurang memberikan analisis melalui teori klasik (ushul fiqh) terhadap pelbagai persoalan hukum yang termuat dalam Al-Qur’ân. Karya ini dan perlbagai karya Fazlur Rahman lainnya juga kurang menyinggung persoalan hijâb dan haji secara mendetail.
H. Sistematika Pembahasan
Agar mencapai tujuan yang diinginkan, penulisan tesis ini menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
Bab II membahas konstruksi hukum Al-Qur’ân. Bab ini terdiri dari lima sub bab yaitu: pengertian hukum, prinsip-prinsip hukum Al-Qur’ân, penjelasan Al-Qur’ân terhadap hukum-hukum, dalâlah Al-Qur’ân terhadap hukum, sebagian kaidah-kaidah ushul yang terkait dengan interpretasi Al-Qur’ân. Dalam bab ini, akan diidentifikasi pengertian hukum dan karakteristik hukum Al-Qur’ân dalam merespon pelbagai
persoalan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Selain itu, disinggung pula pelbagai prinsip dan kaidah penafsiran yang turut mempengaruhi perbedaan penafsiran para ulama terhadap hukum Al-Qur’ân.
Bab III berisi usaha penulis untuk menelusuri relasi tradisi bangsa Arab dan hukum Al-Qur’ân. Ada tiga aspek yang menjadi fokus kajian yaitu: pengertian tradisi Arab, situasi sosial-budaya dan keagamaan masyarakat Arab menjelang turunnya Al- Qur’ân, tradisi masyarakat Arab, hukum Arab dan hukum Al-Qur’ân. Dalam bab ini, berusaha dijelaskan keterkaitan tradisi Arab dalam perkembangan hukum-hukum Al- Qur’ân. Selain itu, akan ditelusuri karakteristik respon Al-Qur’ân terhadap produk hukum bangsa Arab.
Bab IV berisi usaha penulis untuk menganalisis problematika hukum yang dipengaruhi oleh tradisi bangsa Arab dan relevansinya untuk diterapkan pada kondisi saat ini. Ada dua hal yang akan dilakukan penulis untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, menganalisis metodologi ulama klasik dalam mengkaji teks serta mendialogkannya dengan beberapa teori modern dalam melakukan kajian teks Kedua, menerapkan metodologi kajian tersebut pada beberapa persoalan yang dipengaruhi tradisi Arab, namun menghadapi pelbagai problem ketika akan diterapkan pada situasi saat ini. Problematika tersebut adalah: hijâb dan haji
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan serta saran-saran. Bab ini berisi kesimpulan penulis serta saran-saran bagi penelitian selanjutnya terhadap obyek kajian yang relevan dengan persoalan yang diteliti dalam tesis ini.
BAB II KONSTRUKSI HUKUM AL-QUR ’ÂN
A. Pengertian Hukum
Secara etimologi, hukum berarti menolak. 1 Kata “hukum” dan padanannya yang berakar padanya tersebar pada 88 tempat dalam ayat-ayat Al-Qur’ân. Dalam
kamus bahasa Indonesia, kata hukum ini merupakan bahasa baku yang berarti undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat yang berlaku
dan mengikat untuk seluruh anggotanya. 2 Secara terminologi, menurut para ulama ushûl, hukum merupakan:
Putusan Allah swt. yang bertali-temali dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
dengan tuntutan (iqtidlâ’), pilihan (takhyîr) atau ketentuan-ketentuan (al-wadl`). 3
Sebagian ahli ushûl mengganti kata putusan Allah dengan putusan syâri` untuk mengintegrasikan hukum-hukum yang tidak ditentukan Allah secara langsung, seperti hukum-hukum yang ditunjukkan sunnah dan ijma’ ulama. Imam Tâj al-Dîn al- Subkî mendefinisikan hukum sebagai titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari sisi ia merupakan orang yang dibebani dengan tuntutan (khithâb Allah
1 Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, (Kairo: Dâr al-Mishriyyah, t.th.), Juz 15, hal. 31 2 Dalam kamus bahasa Indonesia, hukum dapat bermakna 4 hal. 1. Peraturan atau adat yang
secara resmi dianggap mengikat. 2. Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. 3. Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa yang tertentu. 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim; vonis. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Pusat Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 410
3 Definisi ini pertama kali diungkapkan oleh Ibn al-Hâjib dan diikuti oleh para ulama ushûl kontemporer seperti Wahhâb Khallâf, Abû Zahrah dan Wahbah al-Zuhailî. Lihat Jalâl al-Dîn al-
Mahallî, Syarh `alâ Matn al-Jam ’ i al-Jawâmi ’ , (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, hal. 52-53, Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (al-Qahirah: Dâr al-Fikr al-Arabî, 1997), hal. 26, Wahbah Al- Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Suriah: Dâr al-Fikr, 1986), Cet. ke-1, hal. 38. Bandingkan dengan pernyataan Abdul Wahhâb Khallâf yang lebih memilih definisi hukum sebagai khithâb syâri`. Abdul Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2003), hal. 91 Mahallî, Syarh `alâ Matn al-Jam ’ i al-Jawâmi ’ , (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, hal. 52-53, Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (al-Qahirah: Dâr al-Fikr al-Arabî, 1997), hal. 26, Wahbah Al- Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Suriah: Dâr al-Fikr, 1986), Cet. ke-1, hal. 38. Bandingkan dengan pernyataan Abdul Wahhâb Khallâf yang lebih memilih definisi hukum sebagai khithâb syâri`. Abdul Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2003), hal. 91
syar`î (khithâb al-syâri` al-mufîd fâidatan syar`iyyatan). Al-Âmidî mengkritisi definisi hukum yang diungkapkan oleh sebagian ulama sebagai putusan Allah yang berhubungan dengan orang mukallaf atau hamba, tanpa menyertakan pembatasan lebih lanjut karena dapat mengelompokkan ayat seperti نﻮﻠﻤﻌﺗ ﺎﻣو ﻢﻜﻘﻠﺧ ﷲاو
٥٦:٣٧ ( / تﺎﻔﺼﻟا ) dan ( ٦٢:٣٩ / ﺮﻣﺰﻟا ) ءﻲﺷ ﻞﻛ ﻖﻟﺎﺧ ke dalam definisi hukum, padahal
berdasarkan kesepakatan ulama kedua ayat ini bukan merupakan bagian dari hukum
5 syar`î. Perbedaan definisi di antara para ulama tersebut pada dasarnya tidak
menyentuh persoalan yang sangat substansial. Akan tetapi, definisi yang ditawarkan Imam al-Subkî terkesan kurang lengkap karena tidak menyertakan batasan-batasan (iqtidlâ’, takhyîr dan al-wadl`) seperti yang diungkapkan oleh mayoritas ulama, sehingga dapat menimbulkan problematika lebih lanjut. Sejatinya para ahli ushûl sepakat bahwa yang dinamakan hukum adalah putusan syâri` mengenai perbuatan mukallaf baik dengan format tuntutan, pilihan atau ketetapan-ketetapan.
Jika dikompromikan antara pengertian hukum secara etimologi dan terminologi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa apabila seseorang sudah mengamalkan seluruh titah Allah, maka dia akan menolak berbuat lalim terhadap
sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. 6 Sebagaimana disinggung sebelumnya, definisi hukum sebagai putusan Allah
atau Syâri’ ini tidak berfungsi menegasikan sumber-sumber hukum lainnya seperti sunnah, ijmâ’, qiyâs dan sebagainya, karena dalil-dalil ini sebenarnya juga bertumpu kepada Al-Qur’ân. Dalil-dalil tersebut berperan sebagai pengenal khithâb Allah,
4 Tâj al-Dîn al-Subkî, Matn al-Jam` al-Jawâmi`, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, hal. 46-49 5 Alî bin Alî bin Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyyah, t.th.), Juz 1, hal. 84. Kritik yang dilancarkan al-Âmidî ini tampaknya mengkritisi definisi hukum yang disajikan oleh al-Ghazâlî yaitu titah syari’ apabila berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Lihat Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, hal. 55
6 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur ’ ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al- Qur ’ ân , (Jakarta: Penamadani, 2005), Cet ke-3, hal. 334 6 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur ’ ân: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al- Qur ’ ân , (Jakarta: Penamadani, 2005), Cet ke-3, hal. 334
menetapkan hukum, namun hanya sebagai penjelas hukum. 7 Atas dasar ini, Al-Qur’ân merupakan sumber utama hukum Islam. Artinya,
dalam menyelesaikan kasus, seseorang harus merujuk pertama kali ke dalam Al- Qur’ân sebelum melangkah ke sumber-sumber hukum lainnya. Hal ini juga berarti bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’ân tidak boleh kontradiktif dengannya. Al-Qur’ân memiliki otoritas istimewa dalam menunjukkan hukum dibandingkan dengan sumber-sumber hukum lainnya. Menurut Syahrûr, salah seorang intelektual muslim asal Syiria, peran otoritatif Al-Qur’ân ini, tidak dapat tergantikan oleh sunnah sekalipun, sehingga interpretasi yang ditunjukkan oleh al-sunnah, bukan merupakan cermin dari interpretasi tunggal yang tidak dapat berubah karena selalu terkait dengan nuansa lokalitas di mana nabi Muhammad saw. berada. Penafsiran Al-Qur’ân selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Ia tidak lantas berakhir dengan
hanya telah ditafsirkan oleh sunnah nabi. 8 Pendapat kontroversial ini jika dihubungkan dengan pernyataan ulama
mayoritas mengenai peran al-sunnah yang cukup luas dapat mendesakralisasi fungsi al-sunnah sebagai penafsir Al-Qur’ân yang otoritatif. Padahal, dalam penyajian hukumnya, Al-Qur’ân seringkali menggunakan petunjuk global bahkan samar,
7 Al-Bannânî, Hâsyiyah al-Bannânî, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, hal. 50 8 Menurut Muhammad Syahrûr, Al-Qur’ân selalu dapat ditafsirkan secara dinamis. Seluruh